04

"Kenapa tidak dihabiskan sarapannya, Non? Masakan Bibi tidak enak, ya?"

Aku terpaksa mengangkat dagu begitu mendengar teguran Bibi Sati. Entah sejak kapan wanita itu memperhatikan tingkahku di meja makan.

"Tidak, Bi. Ini enak, kok," sahutku sambil mengurai senyum tipis. Semenjak tiba di Makassar aku sudah berjanji dalam hati akan memperlakukan wanita itu dengan lebih baik. "Bibi sudah makan?" Aku mulai melanjutkan makan kembali.

"Bibi akan makan sebentar lagi," ucapnya.

"Kenapa kita tidak makan sama-sama saja?"

"Baiklah, Bibi akan makan sekarang, sekalian mengawasi Non Beta. Jangan sampai sarapannya tidak dihabiskan," selorohnya sambil menarik sebuah kursi kayu persis di seberang tempat dudukku.

"Aku janji akan menghabiskan sarapanku. Bibi tenang saja," cetusku seraya mengerling pada wanita tua itu lalu tergelak setelahnya.

"Baiklah. Bibi akan pegang janji Non Beta."

Sesungguhnya ada sesuatu yang mengganggu pikiranku sejak semalam yang tak bisa kuceritakan pada Bibi Sati. Tentang Darren. Pasalnya bayangan laki-laki itu terus bergayut di pikiranku dan enggan untuk pergi meski aku sudah mencoba untuk mengusirnya.

Darren menanyakanmu.

Kalimat Kak Alfa pun terus terngiang di telingaku. Membuatku gamang dan terjebak dalam perasaan yang sama sekali tak bisa kuartikan dengan gamblang. Mungkinkah aku sedang merindukannya? Apa ini hanya karena Kak Alfa yang memancing pembahasan tentang Darren semalam?

Jika harus jujur, aku memang merasa kehilangan dirinya. Namun, aku yakin pasti bisa mengatasinya perlahan-lahan. Meski mungkin agak sulit.

"Ada yang datang, Non."

Bibi Sati menyadarkanku dari lamunan yang kupikir tak berujung. Lalu suara ketukan pintu terdengar setelah wanita itu menutup mulutnya.

"Siapa?" gumamku seolah bertanya pada diri sendiri. Karena Bibi Sati bukan paranormal yang bisa mengetahui sesuatu di balik tembok. Bahu wanita itu hanya mengedik.

"Biar Bibi saja yang membuka pintu," tawar Bibi Sati, namun langsung kucegah. Lagipula aku sudah kehilangan selera makan.

"Biar aku saja, Bi." Aku mengangkat tubuh dan berjalan ke ruang tamu dengan pikiran penuh prasangka. Bukan Darren yang datang, kan?

Seorang laki-laki berperawakan tinggi dan berkulit putih, tampak berdiri kaku ketika aku berhasil membuka pintu. Wajahnya lumayan tampan dengan kumis tipis menghias atas bibirnya. Meski aku sedikit terkejut dengan kehadiran orang asing itu, namun aku cukup lega bukan Darren yang datang.

Laki-laki itu mencoba mengurai senyum hangat. "Apa benar kamu Beta?" tanyanya kemudian.

"Ya," jawabku pendek. Aku mengernyit heran. Terus terang aku belum pernah melihat laki-laki itu sebelumnya. Ia bukan kerabat keluarga kami. Apa mungkin ia suruhan Darren? Ah, betapa konyolnya jika aku bisa berpikiran seperti itu. Darren tidak akan menyuruh orang lain untuk menemuiku. Mungkin saja dia disuruh Pak RT atau seseorang yang bertugas untuk meminta sumbangan, menilik sebuah map berwarna biru yang berada dalam genggamannya. "Kamu siapa dan ada urusan apa?"

Laki-laki itu justru mengembangkan tawa mendengar dua pertanyaan yang kucecar padanya.

"Apa aku boleh masuk? Kupikir kita bisa berbincang dengan nyaman di dalam," ujarnya tanpa canggung. Sekilas laki-laki itu mengingatkan aku pada seseorang, tapi siapa?

Aku mengangguk dan menyilakan laki-laki itu masuk ke dalam ruang tamu.

"Kamu mau minum sesuatu? Teh atau ..."

"Tidak usah," tolaknya sebelum aku menyelesaikan penawaran. Lagipula aku juga tidak serius ingin membuatkannya minuman. "Aku hanya sebentar." Laki-laki itu mengambil tempat duduk di atas sofa dekat pintu, sementara aku memilih tempat yang terjauh darinya.

"Jadi, ada perlu apa kamu datang ke sini?"

Laki-laki itu tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia malah menyodorkan map biru yang dibawanya ke atas meja.

"Aku disuruh mama untuk menyerahkan ini padamu," ucapnya.

"Apa ini?" Aku segera mengambil map biru itu lantas membukanya karena terlalu antusias. Dan sepasang mataku terbelalak sejurus kemudian.

"Itu adalah berkas-berkas kepemilikan tanah dan yayasan.  Ada lampiran laporan keuangan juga di situ. Tapi detailnya ada di kantor. Kamu bisa langsung ke sana untuk melihatnya."

Aku mengalihkan tatapan dari atas lembar-lembar kertas dalam genggamanku ke wajah laki-laki itu. Kurasakan wajahku menegang.

"Jadi, tante Lisa yang mengirim ini?" tanyaku sekadar ingin memastikan. Padahal jelas-jelas jawabannya 'iya'. Laki-laki itu juga pasti putra tante Lisa. Ia terlihat sepantaran denganku.

Laki-laki itu mengangguk. "Mama sedang mengurus sesuatu di Maros, jadi dia menyuruhku untuk menyerahkan berkas-berkas itu," tandasnya.

Astaga. Aku hanya bisa menertawakan tante Lisa dalam hati. Wanita itu tahu, jika ia yang menyerahkan sendiri berkas-berkas kepemilikan yayasan, aku tidak akan pernah mau menerimanya. Jadi, tante Lisa mengirim putranya untuk datang menemuiku.

"Bukankah mama sudah memberikan tanggung jawab yayasan itu pada tante Lisa? Kenapa berkas-berkas itu malah diserahkan padaku?" Aku meletakkan kembali map biru itu di atas meja. Sungguh, aku tidak suka terlibat dengan urusan yayasan itu. Aku sama sekali tidak tertarik meski yayasan itu terdaftar atas namaku. "Bawa pulang kembali berkas-berkas itu," suruhku dengan nada ketus.

"Aku disuruh mama untuk menyerahkan berkas-berkas itu padamu dan dia tidak menyuruh aku untuk membawanya pulang kembali," balas laki-laki itu seolah ingin memercik api perdebatan denganku.

"Aku yang menyuruhmu."

"Tapi mama sudah berpesan kalau aku tidak boleh membawa berkas-berkas itu pulang kembali. Mengerti?" Laki-laki itu mendelik. Memangnya siapa dia? Kenapa aku merasa sedang berhadapan dengan manusia berkepala batu? "Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu."

"Kapan tante Lisa akan pulang?" Aku nyaris berteriak ketika laki-laki itu sudah terlanjur mengangkat tubuh dan bersiap untuk melenggang kabur dari hadapanku.

Laki-laki itu membalik tubuh dan kulihat bahunya mengedik pelan. "Aku tidak tahu. Paling lama juga seminggu," jawabnya terkesan cuek. "Masih ada lagi?"

Aku menggeleng pelan dan tak menghiraukan lambaian tangan laki-laki itu serta membiarkannya pergi begitu saja.

Tante Lisa. Kenapa mesti memaksa dengan cara seperti ini? sesalku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top