03
"Bagaimana kabarmu, Be?"
Kak Alfa, batinku ketika mendengar suara khas laki-laki itu.
"Aku?" Aku malah bertanya sebelum menjawab pertanyaannya. "Aku baik-baik saja. Kakak juga baik, kan?"
"Ya." Telingaku menangkap suara desahan berat dari seberang sana. "Kamu sudah makan?"
Aku hampir meledakkan tawa mendengar pertanyaan konyolnya. Aku bersama Bibi Sati. Dan tentu saja wanita itu tidak akan membiarkanku kelaparan.
"Ya. Beberapa menit lalu. Kenapa tiba-tiba menelepon?" Aku melirik jam kecil yang berada di atas nakas. Jam sembilan di Makassar.
"Apa aku tidak boleh menelepon?"
"Bukan begitu," sahutku seraya menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Kak Alfa selalu sibuk dengan pekerjaannya dan kupikir ia tidak akan punya waktu senggang hanya untuk bercanda denganku di telepon.
"Aku hanya khawatir, Be."
"Apa yang perlu dikhawatirkan dariku?" tukasku cepat. Kupikir satu-satunya orang yang bisa mencemaskan diriku hanya Bibi Sati.
"Be." Kak Alfa menukasku dengan tak sabar. Apa ia marah? "Kenapa kamu berpikir seperti itu, hah?"
"Aku baik-baik saja, Kak." Aku mengulangi kalimatku lagi untuk meyakinkan dirinya kalau aku memang baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dariku. "Oh, ya, Kak ..."
"Darren menanyakanmu," ucap Kak Alfa sebelum aku sempat menuntaskan kalimat. Padahal aku ingin menanyakan sesuatu padanya, tentang perihal yayasan sekolah PAUD dan TK yang dibangun mama di tempat ini.
Darren?
Entah keyakinan yang datang dari mana, namun aku tahu jika laki-laki itu akan mencari tahu tentang keberadaanku. Aku memang sengaja memutus hubungan secara sepihak darinya. Termasuk mengganti nomor telepon. Jadi, aku tidak terlalu terkejut mendengar pengakuan Kak Alfa.
"Kakak tidak memberitahunya kalau aku di sini, kan?" Aku malah takut jika Kak Alfa membocorkan keberadaanku saat ini pada Darren.
"Tidak." Mendengar jawaban Kak Alfa seketika membuat perasaanku lega. "Tapi dia terus mendesakku, Be. Dia meminta nomor teleponmu."
"Lalu?"
"Aku tidak akan memberitahunya tanpa seizinmu."
Sangat melegakan, batinku bersyukur. Berarti Kak Alfa benar-benar ingin melindungiku.
"Kumohon jangan beritahu Darren apapun tentangku," ucapku sambil menegakkan tubuh dan mulai mengayun langkah ke dekat jendela. Angin yang berembus ke wajahku menawarkan hawa dingin sisa hujan sore tadi.
"Tapi kenapa, Be? Jika kalian ingin berpisah, kenapa tidak bicara baik-baik?"
Kak Alfa tidak pernah tahu tentang betapa dinginnya hubungan rumah tanggaku dengan Darren. Kami hanya berbagi obrolan beberapa menit setiap hari dan berbagi punggung di atas tempat tidur. Dan di saat aku tertimpa begitu banyak persoalan, Darren mulai menunjukkan simpatinya padaku. Perbincangan kami lebih serius, bahkan ia sempat mengakui perasaannya padaku beberapa hari sebelum aku memutuskan untuk pergi. Darren juga pernah mengatakan akan menungguku, tapi bagaimana aku bisa memperjuangkan cinta jika itu akan melukai hati mama Darren? Aku tidak bisa melakukannya dan aku lebih memilih untuk menghilang dari hadapan Darren.
"Terlalu banyak masalah yang menimpa keluarga kita, Kak. Dan aku tidak mau membebani Darren."
"Tapi sepertinya Darren tidak keberatan ..."
Memang Darren tidak keberatan, tapi mamanya? Apa aku harus mengulangi kalimat-kalimat yang pernah dilontarkan mama Darren beberapa waktu yang lalu?
"Mama Darren tidak ingin putranya terkena imbas permasalahan keluarga kita," tukasku mengungkap apa sebenarnya yang terjadi. "Kenapa kita harus membahas masalah ini lagi? Bukankah saat itu Kakak tidak keberatan aku pergi ke Makassar?"
"Memangnya kalau aku memintamu untuk tidak pergi, apa kamu akan tetap tinggal di sini?"
Tidak, aku akan tetap pergi. Batinku yang menjawab, namun bibirku masih terkatup rapat.
"Aku membiarkan kamu pergi, karena aku tahu tempat tujuanmu dan kupikir kamu akan berubah pikiran suatu saat nanti. Lagipula aku bisa mengunjungimu kapan saja, bahkan aku bisa menyeretmu pulang kalau aku mau," tandas Kak Alfa di saat aku sibuk dengan kebisuan. "Be? Kamu masih mendengarku, kan?"
"Ya, aku masih di sini," jawabku pelan.
"Aku akan bicara dengan Darren."
"Jangan!" cegahku nyaris berteriak. "Jangan bicara apapun padanya. Kami akan segera bercerai."
"Bercerai? Tapi, kenapa? Kulihat Darren menyukaimu. Kamu juga menyukainya, kan?"
"Mama Darren yang akan mengurus perceraian kami dan aku sudah menyetujuinya."
"Apa?!"
Mungkin seharusnya aku memberitahu Kak Alfa sebelum memutuskan pergi ke Makassar agar aku tak mendengar jeritannya seperti ini.
"Tapi, Be ... yang menjalani pernikahan itu kalian berdua, bukan mama Darren. Dia tidak berhak ikut campur dalam rumah tangga kalian meski Darren adalah putra kandungnya."
"Tapi sejak awal pernikahan kami sudah diatur oleh mereka. Pernikahan kami adalah sebuah kesepakatan dan itu bisa berakhir kapan saja." Aku mendebat pernyataan Kak Alfa.
"Tapi cinta bukan sebuah kesepakatan, Be. Kalau kalian saling mencintai, kenapa tidak sama-sama berjuang?"
Berjuang, batinku getir. Untuk apa berjuang jika hanya akan melukai hati seorang ibu? Sungguh, aku tidak bisa melakukannya.
"Beta?"
Aku tergeragap mendengar panggilan Kak Alfa dan tiba-tiba sebutir air bening jatuh dari ujung mataku. Aku benci menjadi rapuh seperti ini, tapi untung saja Kak Alfa tidak melihatnya.
"Aku selalu berharap kamu kembali suatu hari nanti," tandasnya usai mendengar aku berdeham.
Aku tersenyum mendengar sebait doa Kak Alfa.
"Kenapa? Makassar nyaman untuk ditinggali. Lagipula kita lahir dan tumbuh di sini, kan?" Aku mengusap pipiku yang basah menggunakan punggung tangan.
"Karena aku dan papa ada di sini. Tidak lucu kalau kamu ada di Makassar sendirian."
"Aku tidak sendirian. Ada Bibi Sati di sampingku."
"Aku tahu. Tapi, aku tidak ingin kamu merasa kesepian dan sendirian lagi."
Kak Alfa masih mengingat curahan hatiku saat itu?
"Aku baik-baik saja, Kak." Aku merasa jauh lebih baik sekarang. Dan merasa diperhatikan olehnya.
Kak Alfa menutup perbincangan kami semenit kemudian. Padahal aku belum sempat membicarakan soal yayasan dengannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top