Part 2
Ester membolak-balik isi tasnya dengan muka ditekuk dan wajah memerah. Ia tidak habis pikir bisa meninggalkan ponsel di rumah. Padahal dia membutuhkannya hari ini untuk menghubungi sahabatnya yang kini berada di Pulau Borneo.
Ia mengembuskan napas kasar lalu duduk sambil menyilangkan tangan di depan dada. Diliriknya Tari yang masih asyik berkutat dengan novel bersampul kuda hitam berjudul "Black Beauty". Sejak kemarin gadis itu asyik dengan bacaannya. Bahkan Tari tidak ke kantin saat istirahat. Ia hanya keluar untuk memperpanjang masa peminjaman buku tersebut di perpustakaan saat Ester menanyakan.
"Hei, kamu nggak bosan baca itu?"
"Hm?" Tari menoleh ke Ester. "Ini ceritanya menarik. Mengambil sudut pandang kuda di zaman pertengahan. Dulu tuh ya kuda dipasang kekang di mulutnya sangat kencang agar kepalanya tegak saat membawa kereta kerajaan. Padahal kuda-kuda itu sangat tersiksa, mereka mudah lelah dan tidak bisa makan dengan normal karena kekangnya melukai mulut mereka. Ah iya, ada cerita kuda bekas perang juga. Kuda itu sangat setia bahkan dia berharap bisa bertemu tuannya di surga. Ah so sweet pokoknya."
Ester hanya mengangkat sebelah alisnya melihat Tari yang tiba-tiba menggebu-gebu menceritakan isi novel yang sedang dibaca. Mata bulatnya berbinar-binar dan senyumnya sangat lebar hingga pipi tembamnya mengembang.
Ia menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Tidak percaya melihat Tari yang berubah menjadi sangat antusias hanya dengan sebuah buku. Sangat-sangat menarik. Andai dia juga sama tertariknya mungkin mereka akan sangat nyambung.
Perut Ester berbunyi keras menyebabkan Tari terdiam. Ester menutup wajahnya, tidak menyangka hanya karena meninggalkan sarapan membuat bunyi perut sekeras itu. Ia bahkan tidak berani menatap Tari yang sepertinya mulai terkikik lirih.
"Em... mau nggak anterin aku ke kantin?" ujarnya masih menutup wajah.
Ester melirik Tari dari sela-sela jarinya. Gadis itu mengangguk sambil terkikik geli. Dengan cepat ditariknya tangan Tari menuju kantin karena bel masuk istirahat pertama kurang lima belas menit lagi.
Kantin hanya berjarak sekitar lima belas meter dari kelas. Dari kelas menuju kantin mereka melewati kelas XII IPS 1, Koperasi, dan ruang ekstrakurikuler-ruang ektrakurikuler hanya tersedia untuk paskibra, PKS, dan Pramuka. Hanya saja kalau pagi-pagi begini pasti ramai anak-anak memesan sarapan sehingga Ester dan Tari harus bergerak cepat.
Mereka memilih bangku di pojok dekat dengan westafle. Ester meminta Tari untuk duduk saja karena ia yang akan memesan makanan untuk mereka berdua. Tari hanya mengangguk sambil membuka novelnya. Ia kembali tenggelam dalam bacaan.
***
Haikal terlonjak dari tempat duduk saat mendengar suara penggaris membentur keras menjanya. Kepalanya membentur tembok tempat dia menyandar. Teman-teman tertawa melihat ulah guru matematika yang terkenal killer pada Haikal. Dia hanya meringis sambil mengusap-usap kepala yang terbentur tadi.
"Enak tidurnya? Pelajaran saya memang pelajaran tidur kok. Pusing pastinya melihat angka-angka semruwet itu."
Mendengar kata-kata sinis Pak Bimo lagi-lagi membuatnya meringis. Entah sudah berapa kali dia menjadi sasaran empuk Pak Bimo dari kelas 11 dan sekarang naik kelas 12 dia bertemu guru itu lagi. Sungguh nasib baik belum berpihak padanya.
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian seisi kelas. Pak Bimo menghampiri seorang pria berkumis tebal yang membawa lelaki berambut gondrong berseragam SMA Panca Jaya. Seragamnya terlihat sangat bersih seperti baru atau memang dia murid baru? Haikal hanya mengedikkan bahu. Matanya memerah bahkan sesekali ia menguap saat sedang mengelus-elus kepala.
"Anak-anak, mohon perhatiannya sebentar. Kita kedatangan teman baru dari Bali. Ayo perkenalkan namamu, Nak," ujar Pak Tri.
"Halo! Perkenalkan nama saya I Nyoman Aswandi Bagaskara, bisa dipaggil Wandi. Pindahan dari Bali tetapi saya lahir di Semarang. Salam kenal."
Mata Pak Tri menyapu seisi kelas lalu pandangannya berhenti di bangku Haikal yang sebelahnya masih kosong.
"Kamu bisa duduk di sebelah Haikal." Pak Tri menunjuk bangku nomor dua dari depan dekat pintu masuk.
Mendengar itu Haikal mendecih pelan. Segera dipindahkannya tas ke bangkunya sendiri. Wandi menghampiri Haikal dan menganggukan kepalanya tanda meminta izin. Ia balas anggukan kepala Wandi kemudian merapikan rambutnya.
Di ujung pintu, suara Pak Tri mengejutkan Haikal. "Oh iya Haikal, jangan mendengkur lagi."
Seisi kelas tertawa dan Haikal hanya menunjukkan bibirnya yang menipis membentuk garis lurus.
Wandi mengulurkan tangannya dan berkata, "Halo, kenalin namaku Wandi."
Haikal hanya menganguk dan sudah bersiap memejamkan mata.
"Jangan tidur lagi nanti ditegur Pak ... eh Pak siapa namanya?"
"Pak Bimo, guru matematika ter-killer. Namaku Haikal."
Mereka berdua hanya diam selama pelajaran berlangsung hingga bel istirahat pertama terdengar. Haikal mengambil buku komik di lacinya dan beranjak keluar kelas. Wandi menyusul di belakangnya.
"Kal, boleh tidak aku minta padamu untuk menemaniku keliling sekolah? Pengenalan lingkungan sekolah untuk anak baru?"
"Boleh, setelah aku beli makan di kantin."
Mereka berjalan ke kantin yang jaraknya hanya satu menit karena dari kelas menuju kantin hanya terpisah dengan tangga yang menuju lantai dua-SMA Panca Jaya hanya memiliki bangunan dua lantai untuk kelas.
Melihat empat warung pertama dari pintu masuk kantin yang penuh sesak dengan pembeli. Akhirnya Haikal memilih warung terakhir dekat ruang ekstrakurikuler yang tidak terlalu ramai. Di sana hanya menyediakan soto, nasi goreng, dan gorengan. Haikal membeli semangkuk soto sedangkan Wandi membeli sepiring nasi goreng.
Saat mencari tempat duduk Wandi melihat perempuan berambut sebahu membawa dua piring nasi goreng menuju meja dekat westafle. Ia merasa tidak asing dengan wajah oriental tetapi berhidung sangat mancung seperti orang arab, mirip Haikal. Dengan cepat dihampirinya perempuan tadi yang sekarang sedang menyantap makanannya.
Ketika ia menepuk pundaknya tiba-tiba tangannya dipelintir ke belakang hingga refleks menjatuhkan piring yang dipegang. Semua mata melihat ke arah mereka.
"Tu-tunggu, ini aku Wandi. Ester lepasin tanganku. Ester!"
Perkataan Wandi tidak digubris. Ester tetap bergeming pada posisinya. Matanya memerah seperti hendak menangis.
Tari mencoba melerai mereka, ia menepuk-nepuk pipi Ester agar perempuan itu merespon dirinya.
"Ester, tenang! Ini aku, Tari. Tolong lepaskan tanganmu ya, please!"
Pegangan tangan Ester pada tangan Wandi sedikit mengendur. Peluang itu tidak disia-siakan Wandi. Dengan cepat dia melepaskan diri dan mundur ke arah siswa-siswi yang melingkari mereka.
Haikal yang baru saja bisa menerobos kerumunan siswa terengah-engah, berdiri di sisi Wandi. Di lihatnya Ester yang menangis tersedu-sedu terduduk di lantai dalam pelukan Tari.
Haikal melihat Tari yang tengah melihatnya juga. Haikal bertukar pandangan bertanya tetapi Tari hanya mengedikkan bahu.
Kerumunan siswa-siswi tiba-tiba membubarkan diri. Seorang lelaki berbaju batik dengan rambut penuh uban menghampiri Ester dan Wandi. Dia Pak Arif, guru BK di SMA Panca Jaya. Pak Arif meminta keduanya untuk masuk ke ruang BK sedangkan Tari dan Haikal harus menunggu di luar.
"Mereka diapain ya, Kal?"
"Semoga mereka baik-baik saja." Haikal berdiri menyandar sambil memasukkan tangannya ke dalam saku.
Maaf ya kawan-kawan minggu kemarin saya tidak bisa update karena sedang mengurus pemakaman nenek.
Insyaallah minggu berikutnya dapat update setiap hari senin.
Terimakasih telah membaca, mem-vote, dan mengomentari cerita saya.
26-11-18
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top