Part 1

Suara bel sekolah berbunyi, tanda telah menunjukkan pukul 6.45 WIB. Siswa-siswi yang tadinya bergerombol di depan kelas segera memasuki ruangan.

Di deretan bangku dekat pintu nomor dua dari depan, terlihat Tari menutup novel berjudul "Black Beauty" yang sedang ia baca. Dikeluarkannya buku catatan baru sambil menunggu wali kelas tiba memberi sambutan selamat datang sebagai kelas XII di tahun ajaran 2017/2018.

Seseorang tiba-tiba menaruh tasnya di samping kursi Tari dengan sedikit kasar. Gadis berkacamata itu sedikit terperanjat sambil mengelus dada. Dilihatnya perempuan berambut sebahu yang sedang berdiri sambil mencepol kecil rambutnya.

"Di sini kosong kan? Aku duduk di sini ya karena yang lainnya penuh," katanya. "Oh ya kenalin, aku Ester Adreanna, bisa dipanggil Ester. Kamu?"

Tari membalas jabat tangannya sambil berkata, "Tari, Istari Candraningtyas. Kamu Ester yang itu?"

"Oh kamu sudah dengar sepak terjangku ya? Tenang, aku nggak gigit kok. Guru-guru aja tuh yang melebih-lebihkan."

"Oh." Tari hanya sedikit mengangguk dan memundurkan tubuhnya agar Ester bisa masuk.

Tidak lama kemudian seorang guru wanita berperawakan kecil dan kurus memasuki ruangan. Beliau memberi salam dan pesan pada anak-anak didik barunya agar lebih rajin dan aktif mengingat ini adalah tahun terakhir mereka. Tapi bagi Tari sendiri ia tidak yakin apakah bisa menghadapi satu tahun terakhirnya di SMA Panca Jaya dengan baik. Ah mungkin Tari terlalu larut memikirkan banyak hal hingga ia terlalu jauh memikirkan satu tahun ke depan.

Karena belum mulai pelajaran baru waktu istirahat dipercepat. Tari mengambil novel yang tadi ia baca dan segera beranjak ke perpustakaan. Di kelas terlalu ramai anak-anak yang sedang berkenalan satu sama lain sehingga suasananya terlalu bising untuk membaca.

"Mau kemana? Nggak kenalan dulu tuh sama anak-anak?" ujar Ester sambil memasang earphone di ponselnya.

"Nanti juga kenal. Mau ke perpus dulu."

Ester hanya menjawab dengan anggukan. Tari segera melangkah menuju perpus mengingat waktu istirahat hanya lima belas menit.

Setelah mengisi buku tamu, ia duduk di pojok ruangan yang hanya beralaskan karpet. Letaknya cukup tertutup karena berada di belakang rak buku besar tempat menyimpan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan buku-buku ensiklopedia. Ia terhanyut dalam kisah novel yang pinjam tadi pagi. Menimati petualangan kuda betina berwarna hitam di era abad ke sembilan belas di Britania Raya.

Suara mendengkur seseorang membuat Tari mengernyit. Ketenangannya terusik. Ia mengalihkan pandangannya dari buku menuju deretan bangku di ujung ruangan. Terlihat seorang anak laki-laki tengah tertidur lelap sambil duduk.

Tari menghampirinya, mencoba membangunkan anak itu dengan mengguncang-guncangkan bahunya tapi tidak ada hasil.

"Dasar kebo!"

Akhirnya Tari memukulkan bukunya di bahu anak itu hingga dia berdiri.

"Eh iya, Pak, iya! Sebentar lagi selesai!" serunya. Tari terkikik geli melihat itu tapi ia segera diam ketika Mbak Anna, penjaga perpustakaan memberi kode dengan satu jari di depan di bibirnya.

"Asem, isin aku."1 Ia nyengir memperlihatkan deretan gigi putihnya sambil menggaruk-garuk tengkuk.

"Makanya jangan tidur mulu. Udah dari kelas sebelas masih belum sembuh penyakitmu, Kal?" ujar Tari lirih.

"Hehe, kayak biasa lah, Tar, capek," jawab Haikal yang ikut merendahkan suaranya.

Tidak lama suara bel kembali berbunyi. Keduanya kembali ke kelas masing-masing. Tari di kelas XII IPS 2 sedangkan Haikal berada di kelas XII IPA 1.

***

Seorang anak laki-laki berambut gondrong sebahu dengan bagian atasnya diikat tengah menurunkan koper dari bagasi taksi. Dia mendorong menyeret kopernya dengan malas karena harus kembali pulang di rumah masa kecilnya. Rumah yang akan terus memutar kembali memori masa kecilnya bersama sang ayah tercinta.

Ia berdiri di depan pagar rumahnya. Melihat bangunan minimalisnya yang masih kokoh. Bahkan warna catnya tidak pudar, masih berwarna jingga seperti yang ia inginkan dulu karena terlalu menyukai buah jeruk.

Seorang lelaki kira-kira berusia lima puluhan membukakan gerbang untuknya. Senyumnya ramah menyambut majikan mudanya pulang kembali ke kota kelahirannya.

"Selamat datang, Mas Wandi. Wealah sekarang tambah ganteng aja to, Mas. Padahal dulu masih kecil, masih sering minta gendong sama Bapak."

"Itukan dulu, Pak. Sekarang ya enggak donk."

"Yakin enggak, Wan? Kan biasanya kamu ngerengek tuh sampai nangis-nangis guling-guling di lantai kalau nggak digendong Ayah."

"Kak Diah," ujarnya dengan memutar bola matanya. "Adikmu ini baru datang mbok disambut malah diledekin."

Kak Diah menaikkan kedua sudut bibirnya. Lalu menghampiri Wandi yang masih memasang muka masam kemudian memeluknya.

"Selamat datang ya, Wan. Kakak janji akan selalu disamping Wandi sesuai pesan Ayah." Kak Diah mengusap kepala adiknya dengan sayang. Matanya berkaca-berkaca mengingat kepergian Ayahnya.

"Sudah, Kak, sudah." Wandi menepuk-nepuk punggung kakaknya hingga kembali tenang.

Kak Diah melepaskan pelukannya dan mengajak Wandi masuk. Pak Darman membawakan kopernya diikuti Wandi yang membenarkan tas ranselnya.

Yah, Wandi pulang. Wandi janji nggak akan sedih lagi dan Wandi janji akan menjaga Kak Diah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top