III. Yuta dan Ara di Depan Kubah Kematian

Angin berembus tenang, Yuta baru saja menginjakkan kaki bersepatu putih gadingnya di sebuah lahan kosong, tepat di sebuah kubah hitam legam yang ia sendiri tidak tahu dalamnya akan terlihat seperti apa. Ia sengaja pergi ke belahan kota yang lain, memilih jalan masuk yang jauh dari teman-temannya dengan harapan ia bisa menghabisi musuh lebih dulu agar yang lain tak kesulitan.

Begitulah pemuda itu, memang dia selalu nekat. Gelar special grade yang melabeli dirinya tanpa sadar bertranformasi menjadi beban tersendiri yang memberatkan pundak. Yuta dihujani dengan kepercayaan dan tanggung jawab. Puja-puji melayang untuknya disertai dengan iring-iring tepuk tangan yang pada akhirnya mendorongnya masuk mendekati jurang ajal.

Yuta menghela napas berat. Ia tidak punya pilihan. Namun, baru saja ia niat melangkah masuk, sebuah suara familier menahannya.

"Yuta!"

Si pemuda pemilik mata sayu itu akhirnya mengurungkan niat lalu menoleh dan mendapati seorang gadis bersurai biru gelap berdiri tak jauh darinya. Wajah gadis itu tampak lelah, terlihat dari kantung matanya yang besar dan menghitam. Yuta lantas menggumam menyebutkan nama gadis itu. Ara. Sejak awal, ia memang tak berniat membiarkan gadis itu berpartisipasi dalam culling game. Jadi, ia akanーtunggu. Sepertinya kejadian ini tidak asing.

Kening Yuta lantas berkerut begitu sensasi deja vu merangsek masuk ke dalam sel-sel tubuhnya hingga merinding. Ia bersumpah demi apa pun kalau kejadian semacam ini begitu sangat familier baginya. Namun, kapan? Ini sungguh sangat tidak masuk akal mengingat culling game saja baru dimulai dan ia tidak pernah ikut permainan serupa.

"Aku mohon jangan pergi." Tanpa sadar, kini Ara sudah ada di depannya. Ia genggam kedua tangan Yuta erat-erat seolah akan ditinggalkan selamanya.

Pemuda itu menenggak saliva begitu merasakan betapa dinginnya kulit gadis itu. "Aku harus pergi, Ara. Kau tidak bisa menghalangiku."

Kedua netra Ara yang maniknya sebiru lautan pun melebar sembari kepalanya menggeleng cepat. Ia makin eratkan pegangan di tangan pemuda itu lantas berkata, "Tidak. Pokoknya tidak boleh. Aku tidak akan membiarkanmu masuk apa pun yang terjadi. Dan kalau kamu mau masuk, maka aku akan ikut."

Sebelah alis Yuta terangkat, entah kenapa sensasi deja vu itu masih terus dirasakan oleh setiap sel di dalam tubuhnya. Ia bahkan menemukan kata-kata yang ganjil dari gadis di depan. Hanya mendengar lewat nada suaranya yang bergetar, Yuta tahu saat ini Ara sedang takut. Berbeda sekali dengan Ara yang biasanya keras kepala dan pemberani, bahkan Yuta saja tadinya sudah mempersiapkan kalimat bujukan maut untuk membuat Ara enggan ikut permainan maut ini.

Namun, apa yang terjadi? Gadis itu justru menahan Yuta untuk tidak ikut.

"Kenapa... ah...." Yuta, dengan caranya yang misterius tiba-tiba mendapat sebuah gambaran samar. Ia seketika jadi ingat bahwa ada hari-hari di mana dirinya seolah didatangi oleh dua Ara. Itu adalah Ara yang berbeda: Ara yang pertama adalah seorang gadis ceria yang polos sedangkan Ara kedua adalah seorang gadis yang tampak lebih dewasa dan sikapnya jauh lebih tenang.

"Yuta?" Ara kini tampak bingung, ada raut penuh harap yang memancar dari wajahnya. Ia benar-benar sangat berambisi untuk menghentikan Yuta. Gadis itu sudah tidak sanggup, dia tidak mau kembali hanya untuk hidup di hari-harinya yang sepi dan terasa menggerogoti jiwa itu.

"Sudah berapa kali kamu ke sini, Ara?" Pada saat itu, Yuta tersenyum hangat, jemarinya balas menggenggam jemari milik si gadis dengan erat. Sementara itu, Ara yang kini berdiri di depannya langsung membuka netranya lebar sebelum pada akhirnya bibirnya bergetar kecil. Rasa lelahnya yang sudah menumpuk di dada dan pundak itu pada akhirnya sukses meruntuhkan dinding pertahanan.

Air matanya pun kini luruh bagai tanggul sungai yang dibobol palu godam raksasa.

"K-kenapa b-bisa...?" tanyanya yang diiringi oleh lelehan bulir bening dari pelupuk. Ia menunduk, tidak sanggup memandangi kekasihnya itu. Dari sekian ribu percobaan bolak-balik dimensi waktu di mana ia terus-terusan mendengar respon Yuta yang berulang, baru kali inilah, pemuda itu meresponnya dengan berbeda.

Yuta ingat Ara.

"Kenapa bisa katamu?" Yuta menggumam, "itu karena aku ingat hari-hari di mana ketika aku bertemu dengan versi dirimu yang agak berbeda."

Gadis itu lantas menenggak saliva, tenggorokannya kering tandus dan terasa sakit. Ia tidak tahu apakah Yuta akan mempercayai ini, tapi dia putuskan untuk menjawab pertanyaan si pemuda yang paling awal sembari ia menahan diri untuk tak menangis. "Aku sudah datang ke sini 1001 kali, Yuta."

"Kenapa kamu merobek-robek dimensi waktu untuk menemuiku, hm?" Yuta mengambil helaian rambut di wajah gadisnya lalu menautkannya ke belakang telinga dengan gerakan sayang. "Merobek dimensi waktu sampai kamu bisa ada di sini bukan pekerjaan mudah. Berapa persen energi kutukanmu yang habis, Tuan Putri?"

"Aku enggak peduli," kata gadis itu, "aku akan selalu datang sampai kamu setuju untuk tidak masuk ke culling game."

Pemuda bernetra hitam gelap itu diam sesaat sambil mencoba mencerna dan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Lantas bibirnya pun tersenyum lembut begitu ia paham dengan maksud kedatangan-kedatangan Ara yang sampai menyentuh percobaan ke seribu satu itu. Lantas, ia mengusap puncak kepala gadisnya dan berkata, "Hei, terima kasih sudah datang sejauh ini untuk aku. Pasti berat dan kesepian sekali, ya bagimu."

Ara seketika bungkam. Hatinya seketika mencelos begitu mendengar ucapan si pemuda.

"Maaf," kata Yuta lagi, ada jeda yang memberatkan di sana, "maukah kamu mendengarkanku lalu berjanji untuk menjadikan percobaan kali ini jadi percobaanmu yang terakhir?"

Janji, katanya. Bagaimana Yuta bisa dengan mudah mengucapkan janji seringan itu jika janjinya yang dulu saja dia ingkari? Namun, berbeda dengan pikiran, Ara pada akhirnya mengangguk meski ia harus gigit bibirnya kuat-kuat.

Yuta menghela napas pelan begitu melihat ekspresi gadis di depan. Lalu tangannya bergerak, dekatkan ibu jari agar ia bisa mengelus bibir itu dengan sayang sembari berharap Ara untuk tidak mengiggigitnya lagi. Sungguh, Yuta paling benci kalau melihat Ara terluka. "Ara, dengarkan baik-baik karena ini adalah jawaban terakhirku yang juga jadi kesimpulan atas seribu satu percobaanmu."

Ara menunduk, dadanya terasa sangat sakit sebab ia sudah dapat menebak apa jawaban pemuda itu. Si gadis tahu lebih dari siapa pun tentang bagaimana Yuta yang selalu mengedepankan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Ia juga tahu betul bagaimana Yuta akan selalu menjadi orang yang berdiri paling depan jika ada hal-hal yang mengancam nyawa orang lain.

Yuta selalu nekat dan Ara tidak menyukainya.

"Apa pun yang terjadi nanti, aku putuskan untuk tetap maju," ujar pemuda itu sembari jemarinya menghapus tiap bulir bening yang jatuh dari pelupuk mata sang gadis, "kita tidak pernah tahu masa depan, Ara. Mungkin dengan tetap maju seperti ini, maka akan ada lebih banyak orang yang terselamatkan."

"Lalu kamu...? B-bagaimana dengan kamu?" tanya gadis itu, air matanya semakin deras jatuh di pipi. Suara Ara kini terdengar parau dan tersiksa, jelas sekali kalau tenggorokannya merasakan sensasi tercekik luar biasa akibat rasa sedih dan frustrasi yang melampaui batas. "Apa kamu sudah tidak menyayangiku? Kenapa kamu setega ini meninggalkan aku sendiri...?"

"Justru karena sayang, makanya aku akan tetap maju. Tuan Putri, aku ingin menciptakan dunia di mana kau bisa tinggal di sana dengan terlindungi dan dilindungi." Yuta tersenyum lembut lagi, jemarinya tak pernah berhenti berusaha untuk menghapus jejak-jejak air mata yang ada pipi si lawan bicara.

"... Tanpa kamu?"

Hening sejenak. Yuta tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ia tahu pada saat ini Ara sedang terluka dan dia sendiri tidak dapat membayangkan betapa menderitanya sang kekasih selama ini hidup tanpanya. Lantas, pemuda itu maju dan langsung mendaratkan sebuah ciuman manis di bibir si gadis. Sentuhan itu terasa sangat lembut dan hangat, meskipun mereka terdiam cukup lama di posisi itu, tapi entah kenapa rasanya sangat sebentar.

Begitu Yuta mundur, Ara langsung mencelos sakit. Hati gadis itu terasa hampa seolah ada angin dingin yang menari-nari di dalam rongganya. Kemudian, Yuta tersenyum tulus.

"Aku mencintaimu, Ara. Selamanya," ujarnya, "maukah kamu hidup bahagia untukku?"

Ara memegangi dadanya yang sesak. Ia tekan tempat yang terasa sakit hingga air matanya terus memompa keluar. Inilah akhirnya, kesimpulan dari seribu satu kali percobaan dan perjalanan menembus waktu yang habiskan banyak energi kutukannya. Yuta, meskipun pada akhirnya menyadari keberadaan Ara, pemuda itu tetap teguh pada pendirian.

Jika sudah begini, maka Ara sudah tidak bisa apa-apa lagi. Lantas gadis itu mengangguk lalu mundur perlahan.

"Aku juga mencintaimu, Yuta. Selamanya."

⚘️

Yuta duduk di sana. Setelah kepergian Ara, dia masih belum beranjak. Ia habiskan waktu sendirinya dengan menangis, antara menyesal atau berpikir ini sudah keputusan tepat. Menjadi seorang penyihir jujutsu dengan gelar special grade ternyata memang tidak mudah. Hal ini kadang juga membuatnya jadi membenci diri sendiri.

"Kenapa kamu datang menyusulku?" Yuta berdiri dari tempatnya duduk hanya untuk berbalik dan menatap Ara yang berlari tergesa menghampirinya.

Kali ini, ia pastikan untuk kedua kali bahwa dia akan melindungi Ara dari takdir kejam yang tidak perlu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top