II. Yuta dan Ara di Hari-Hari Setelahnya

Yuta duduk di sana. Pemuda itu memeluk lutut di bawah ratusan daun dan puluhan dahan ranting yang bergerak pelan ditiup angin. Cahaya emas menerobos celah lalu memantul di pakaian dan kulit pemuda itu. Suasana yang damai di Yogyakarta. Ini hari terakhir Yuta ada di kota ini sebelum pada akhirnya dia harus melanjutkan perjalanan ke Afrika.

Sebenarnya transit di negara ini tidak pernah ada di dalam benaknya, akan tetapi Gojo-sensei mendadak tambahkan Indonesia sebagai bagian dari rute perjalanan pemuda itu. Pria bersurai putih tersebut memang selalu saja sesukanya. Namun, toh, pada akhirnya Yuta tidak keberatan. Ralat, ia sama sekali tidak keberatan.

"Kak...?"

Pemuda itu lantas menoleh dan mendapati sosok gadis yang tengah ditunggunya berjalan dari balik pohon. Ara melangkah pelan ke samping si kakak kelas lalu duduk di sana, bergabung bersama Yuta yang sedari tadi memandangi danau buatan di hadapan.

"Hmm...." Pemuda bersurai hitam legam bak bulu gagak itu menelisik lawan bicara di sebelah. Entah kenapa hari ini ada yang berbeda dari Ara. Gadis itu ... dengan caranya yang misterius pada hari ini terlihat jauh lebih dewasa daripada dirinya yang Yuta temui sepuluh hari belakangan.

Ara duduk di sana, mengenakan one piece dress hitam selutut. Rambutnya yang digerai panjang itu bahkan kini hampir menyentuh punggung. Padahal seingat Yuta, rambut si gadis belum sepanjang itu.

"Kenapa ya, aku merasa kamu berbeda hari ini?" celetuknya.

Si gadis menunduk, ia menggigit bibir bawahnya hingga kulit di sana memutih. Kemudian ia angkat wajah itu sebelum dihadapkannya ke arah Yuta. "Mungkin itu hanya perasaannya Kak Yuta saja. Tidak ada yang berubah, kok."

Yuta sebenarnya jadi tidak terlalu fokus mendengar apa yang diucapkan si gadis. Kedua netranya justru malah fokus menatap netra lawan bicaranya. Pemuda itu terdiam sejenak selagi ia mengamati sesuatu di mata Ara.

"Ara-chan, apa kamu habis menangis?"

Suara gemerisik dedaunan memenuhi telinga begitu tak ada percakapan lagi di antara mereka. Bibir si gadis mendadak jadi bungkam, tidak cerewet seperti biasanya. Kantung matanya yang berwarna kemerahan dan sedikit bengkak itu kini sudah tidak dapat disembunyikan. Ara tidak punya pilihan.

"Aku sedang merindukan seseorang," katanya sambil memaksa senyum.

"Oh, ya? Benarkah itu?" Yuta tampak penasaran, tapi ia tidak begitu khawatir karena di hari sebelumnya Ara pernah bilang kalau dia tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun. Yah, meskipun pada dasarnya sangat aneh bagi Yuta untuk mengkhawatirkan hal ini karena kan, mereka hanya sebatas teman saja. "Apa dia sedang berada jauh darimu?"

Ara diam lagi. Bibir gadis itu mendadak kelu selama sepersekian detik sebelum pada akhirnya dia mengangguk. "Iya, orang itu sekarang jauh sekali sampai-sampai aku tidak bisa menggapainya lagi."

Kening Yuta mengernyit. Ia butuh waktu beberapa saat untuk mencerna kalimat itu. Mendadak, ia jadi tidak enak. Namun, belum sempat bertanya, seketika Ara menyandarkan kepalanya di lengan atas si pemuda. Gadis itu kembali menggigit bibir sembari jemarinya meremas lengan baju sang kakak kelas.

"Hei, Ara-chan..., kamu kenapa?" Suara Yuta terdengar sangat lembut bagai embus angin. Lantas sebelah tangannya yang bebas kini bergerak mengelus kepala adik kelasnya dengan sayang. "Apa kamu mau cerita sesuatu padaku? Mungkin aku bisa membantumu."

Hening.

"Pasti orang ini sangat berharga bagimu, ya? Makanya kau sangat merindukannya sampai jadi seperti ini?" Pemuda itu bersuara sekali lagi, tahu dia tidak mendapat jawaban.

"Iya," jawab si gadis singkat. Tenggorkan Ara terasa sangat kering berkat sensasi mencekik yang mampir di sana. Ia bahkan langsung menyembunyikan wajahnya di lengan Yuta begitu lelehan berwarna bening yang hangat merembes keluar dari pelupuk.

Yuta mengangguk. Ia langsung mengerti dan membiarkan si gadis terisak kecil di sana. Pemuda bermanik hitam malam itu hanya duduk di sana, sembari jemarinya bergerak di antara helaian rambut biru gelap lawan bicara. Ia berharap bisa membawa ketenangan untuk Ara, gadis ceria yang belakangan mencuri perhatiannya.

Namun hari ini, gadis ceria itu menangis.

Yuta tidak tahu karena apa dan siapa jelasnya, tetapi di sisi lain ia cukup bangga sebab Ara tidak ragu menunjukkan sisi rentannya pada Yuta. Ia jadi semakin yakin kalau dirinya memang spesial untuk Ara.

Ketika suara dung dung dung yang berasal dari pedagang es potong masuk ke telinga, Ara buru-buru bangkit. Punggung tangannya bergerak, menghapus titik dan jejak air mata di wajah. Bibirnya lantas tersenyum.

"Kak, ini hari terakhir kita bisa keluar seperti ini, kan?" tanyanya.

"Hm, iya." Yuta pada awalnya agak terkejut begitu Ara membawa topik yang tak ingin didengarnya, tapi sedetik kemudian si lelaki pun tersenyum.

"Tolong traktir aku es krim itu, dong. Bukankah enak di hari terik begini kita makan es krim?" Telunjuk Ara terangkat, menunjuk ke arah gerobak pedagang es krim potong yang melintas di trotoar tak jauh dari tempat mereka duduk.

Yuta tertawa tergelak sebentar, berpikir kalau sikap kekanakan gadis itu rupanya tetap masih ada meskipun semenit lalu ia baru saja terisak. Lantas ia berdiri dan berkata, "Baiklah, sepertinya itu ide bagus, Tuan Putri. Tunggu sebentar, ya. Es krim akan segera datang."

Ara tersenyum kecil ketika punggung pemuda itu menjauh. Kemudian ia menghela napas dan menemukan rasa sakit yang terasa memberatkan dada di sana. Gadis itu mungkin akan memelihara rasa sakitnya sampai berhari-hari, berbulan-bulan, atau mungkin bertahun-tahun ke depan, yang mana pun ia tak tahu.

Namun, yang pasti, rasa sakit di hatinya terasa sangat perih seolah sudah tertanam dan berakar di sana.

⚘️

"Tuan Putri, es krimnya datー"

Yuta bergeming. Kakinya berhenti tepat ketika ia berbalik ke arah pohon besar, tempat tadi ia duduk bersama si adik kelas. Jika saja kedua tangan pemuda itu tidak sedang memegang es potong, ia pasti sudah gunakan salah satunya untuk menggaruk kepala.

Ke mana Ara?

"Kak Yuta!"

Yuta berbalik. Di atas trotoar, dari arah pintu masuk taman, Ara berlari kecil lantas berhenti di depan si pemuda. Pelipis gadis itu agak berkeringat di kala napasnya tersengal seolah habis lari maraton. Yuta lantas menurunkan alis, keningnya berkerut. Bagaimana tidak?

Ara yang pada saat ini ada di hadapannya mengenakan dress selutut berwarna merah jambu. Rambutnya yang digerai pun hanya menyentuh sebatas lengan atas dan sama sekali tidak ada tanda kalau ujungnya menyentuh sampai ke punggung.

"Hosh ... hosh, aku terlambat. Kak, maafkan aku!" Ara membungkuk cepat-cepat bak seorang bawahan yang baru saja melakukan kesalahan berat. Namun, seketika netranya memandang es krim potong di tangan Yuta dengan berbinar.

"Wah, Kak Yuta beli es potong? Satunya lagi buatku, ya? Terima kasih, loh!"

Yuta fokus memandangi mata si gadis, bahkan ia sampai tidak sadar kalau salah satu es krim di tangannya kini raib. "Kamu ... tidak habis menangis?"

"Hah? Menangis? Kenapa aku harus menangis kalau hari ini aku bertemu dengan Kak Yuta?" Ara terkekeh geli sebelum pada akhirnya menyeret si kakak kelas ke bawah pohon.

⚘️

"Ara, sampai kapan kamu akan menemuinya?" Itu Arabelle. Ia menatap sahabatnya dengan khawatir. Ini terhitung sudah kali kesepuluh Ara pergi menemui pemuda itu.

"Sampai..." Kalimat gadis itu menggantung, jemarinya berhenti mengaduk the hangat di dalam cangkir. Bunga camomile yang berada di atasnya kini hanyut dan tenggelam ke dasar, melayang tak tentu arah dan perlahan layu.

... layu sama seperti hatinya.

"Tidak tahu," katanya, "mungkin selamanya."
Arabelle mendengkus. Ia cemas. "Ara...."

Hanya lewat suara dan bagaimana ekspresi sahabatnya sekarang, Arabelle langsung tahu kalau Ara masih berduka. Ia bahkan tidak dapat memprediksi kapan duka anak itu akan mereda lalu sembuh total. Semasa hidup, si gadis belanda pernah menangani orang yang sama putus asanya seperti Ara, tapi bedanya orang itu adalah lelaki.

"Kamu sekarang jadi mirip Taka waktu kehilangan Anjani."

Ara terkekeh hambar. Ia tak menanggapi komentar cemas dari si gadis bersurai blonde dan hanya duduk di sana, bersandar pada kursi sambil menyesap the hangat berbau bunga dari cangkir. Tak peduli berapa lama atau seberapa sering pun, gadis itu akan selalu kembali menemui Yuta. Merobek lapisan demi lapisan dimensi waktu dengan memanfaatkan residual energi, meskipun pada nyatanya itu menggerogoti energi kutukannya sendiri.

"Ara..., sudah, ya? Saya mohon...."

Ara tidak menjawab. Dia diam saja di sepanjang hari itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top