I. Yuta dan Ara di Hari Terakhir
Jika ada warna yang dapat menggambarkan Ara, maka warna itu adalah kuning cerah. Gadis itu, ketika berdiri membelakangi, maka helaian rambutnya akan berkibar pelan tertiup angin lantas, senyuman yang hangat seperti cahaya matahari pagi menyapa kulit akan menghias wajahnya.
Dia cantik, dia manis, dia sangat bersinar, dan dia sangat hangat. Tempatnya adalah bersama dengan orang-orang yang hangat juga, di tempat yang ada banyak cahaya dan kue-kue hangat.
Ara sangat berbeda dengan aku.
"Kak, jeng-jeng!"
Aku berjengit begitu sensasi lembab dan dingin menyentuh kulit pipi. Ada ringisian pelan tatkala benda itu mendarat di sana dan menciptakan sensasi kejut dramatis. Lantas aku menoleh dan mendapati gadis itu tengah tersenyum menatapku. Kulihat di tangannya ada sekaleng minuman dingin dan benda itu ia ulurkan padaku.
"Pertarungan yang tadi itu keren sekali, Kak. Aku tahu, sih, Kakak itu special grade, tapi aku baru tahu kalau kemampuan Kakak sehebat itu," Ia mulai mencerocos seperti biasa dan duduk di sebelah. Sementara aku menghela napas pelan sembari menatap ujung sepatuku. Kalau dipikir-pikir sewaktu kelas praktik tadi, gadis itu sama sekali tidak serius.
Ara pura-pura menyerang dan membiarkan dirinya hampir kena pukul, lantas ia pura-pura jatuh ke belakang agar ... agar aku menangkapnya. Iya, aku yakin sekali dia sengaja melakukan itu. Pasalnya di awal, gerakan gadis itu jelas sekali terlihat sudah sangat terlatih meskipun dia masih anak kelas 3 SMP.
"Ini buatku?" Pada akhirnya aku memberanikan diri bertanya yang langsung diangguki oleh Ara.
"Iya, ini spesial buat Kak Yuta," katanya. Lagi-lagi gadis itu tersenyum. Hangat, aku suka melihat senyuman itu, rasanya seperti ketika diselimuti oleh kain-kain berbulu halus di musim dingin.
Aku pun balas tersenyum lalu berterima kasih. Sementara itu Ara diam di sebelahku, menyangga dagu di kedua telapak sembari menatap ke sini dengan netra berbinar. Dia konyol.
"Bahasa Jepangku bagaimana? Bagus tidak?" Ara tiba-tiba menanyai pendapatku. "Sebentar lagi aku akan dikirim sekolah ke Jepang, ke sekolahnya Kak Yuta, loh. Kata Ayah, di sana kutukannya seram-seram dan jahat. Apa benar begitu?"
Aku balik memandang si gadis, tanpa sadar kutatap matanya yang biru bagai samudera. Kedua netra tersebut menghipnotis aku dengan caranya yang misterius, aku dibuat seolah sedang berenang di kedalamannya yang jernih. "Ah, iya. Aktivitas kutukan di sana sangat tinggi. Kurasa sedikit lebih tinggi daripada di sini, tapi bedanya kutukan di negaraku jauh lebih seram-seram dan jahat seperti apa yang kamu bilang."
Aku terkekeh sedikit, menirukan bagaimana Ara menyebutkan betapa seram dan jahat kutukan yang ada di Jepang kemudian mengangguk. "Dan, yah ... bahasa Jepangmu bagus. Aku bisa mengerti apa yang kamu katakan."
Kedua mata itu pun berkedip cepat sebelum akhirnya senyum hangat milik si gadis terbit lagi. Ara yang selalu tersenyum bagai bunga matahari itu tidak pernah membuatku bosan. Kalau boleh jujur, aku sangat menyayangkan kenapa dia harus menjadi seorang penyihir jujutsu. Maksudku, dengan kepribadian polos, ceria, dan hangat, Ara sama sekali tidak terlihat menyatu dengan dunia yang segelap jujutsu. Ia justru jadi seperti kunang-kunang kecil yang terbang sendirian di malam hari.
Dia terlalu berharga. Makanya pada hari itu aku melarangnya untuk ikut.
"Kenapa kamu datang menyusulku?" Aku berdiri dari tempatku duduk hanya untuk berbalik dan menatap Ara. Rambutnya sudah jauh lebih panjang dari yang kuingat terakhir di ingatan barusan. Ia juga mengganti gaya rambutnya dan jadi terlihat lebih dewasa meskipun gadis itu tetaplah masih gadis bunga matahari yang sama.
"Loh, kenapa bertanya? Sudah jelas aku mau ikut juga, Yuta."
Ah, dia memanggilku Yuta tanpa ada embel-embel Kakak lagi seperti dulu. Rasanya seperti sudah lama, tapi pada faktanya pertemuan kami kembali itu bahkan belum menyentuh angka setahun apalagi dua tahun. Dan lagi, akulah yang memintanya memanggilku begitu. Aku ingin dia jadi lebih dekat. Aku ingin Ara yang hangat itu jadi milikku selamanya.
"Kenapa?" tanyaku sembari maju selangkah hingga jarak kami terkikis beberapa sentimeter. Kugenggam tangannya, erat. "Ara, aku bilang begini bukan karena aku mau meremehkanmu atau apa."
"Maksudnya?"
"Ara, culling game terlalu berbahaya untukmu."
"K-kok bilang begitu? Kau kan, tahu sendiri aku ini cukup kuat untuk bertahan pasca insiden Shibuya itu." Ucapannya seketika terhenti, bibirnya bergetar sedikit, dan pada saat itu aku tahu pikirannya terditraksi pada kakak sepupunya lagi.
Lihat, Ara itu tidak bisa. Hatinya terlalu hangat, dia gagal berkamuflase dengan dunia jujutsu yang serba gelap dan hitam. Gadis ini lebih cocok ada di tempat-tempat yang bercahaya dan hangat, dilindungi serta terlindungi. Diam-diam aku sangat berharap bisa ada terus bersamanya. Berdua selamanya di tempat yang hangat itu.
Namun, aku sudah terlanjur basah. Kurasa aku sudah tidak bisa naik ke permukaan lagi. Berbeda dengan Ara yang memang ditakdirkan untuk berdiri di atas sana dan bertransformasi menjadi bunga matahari. Setidaknya ... aku yang di bawah sini masih bisa melihat warna kuningnya yang cantik dan menghangatkan hati.
"Hatimu itu sentimental, Ara." Tidak, bukan ini yang ingin aku katakan. "Kalau boleh jujur, kamu tidak pantas ada dunia yang segelap dunia jujutsu."
"Hah, maksudnya aku lemah, begitu?"
Aku menggigit bibir, berusaha sekuat tenaga mengontrol emosi. "T-tidak bukan begitu. Hanya saja..." Tenggorokanku seketika kering.
"Apa? Ayo katakan."
"Kamu sangatーtidak, terlalu baik, Ara. Tidakkah kamu pernah sadar kalau kamu itu sangat cerah dan hangat seperti bunga matahari, hm? Bunga matahari sepertimu seharusnya tidak di sini," kataku, kugenggam tangannya tambah erat, "kamu dan aku berbeda. Aku bukan tipe orang yang hangat sepertimu. Jadi biarkan aku yang mengurus ini."
Ara terdiam, ia mengerutkan keningnya.
"Sampai kapan pun, aku tidak akan membiarkan tanganmu kotor oleh darah. Biarkan aku yang bergerak untukmu, jadi tamengmu, dan mengotori tanganku," kataku lagi, "aku janji akan kembali, oke?"
Gadis itu mendengkus lalu tak lama ia membuang muka kesal. Dia memang keras kepala kalau urusan yang begini. Sebagai orang yang jauh lebih suka memperhatikan daripada bicara, aku paham betul kalau Ara merasa dirinya tertinggal dari yang lain. Dia merasa lemah dan oleh karena itu, dia ingin berguna. Sudah sejak lama dia merasa begitu, bahkan sejak aku bertemu dengannya sepuluh bulan lalu.
Aku lantas tersenyum lalu kuusap puncak kepalanya. "Tidak apa-apa. Kamu jauh lebih kuat daripada apa yang selama ini kamu pikirkan. Dan lagi, kamu punya kelebihan di sini."
Aku menunjuk dadaku lantas netranya Ara mengikuti gerak tangan ini. "Kamu adalah penyihir jujutsu terbaik hati yang pernah kutemui. Suatu hari nanti, aku yakin kau akan menjadi seorang pemimpin yang baik untuk kerajaanmu."
"Yuta...," Ara akhirnya bersuara lagi, tapi kini ia sedikit cemberut, "janji kembali padaku segera, ya?"
"Iya," jawabku sebelum pada akhirnya kutarik tengkuk gadis itu dan mendaratkan ciuman hangat di kening. Aku terdiam di posisi itu cukup lama, ada rasa sakit menusuk yang secara misterius datang seperti rintik hujan, seolah aku tak akan melihatnya lagi untuk waktu yang sangat lama.
"Aku janji." Aku mundur, melepaskan ciuman sementara jemariku bermain di helaian rambut si gadis.
"Kalau perginya lama, aku ngambek, loh." Ara mengarahkan telunjuknya padaku, ia membuat gerakan berputar ringan di ujungnya sedangkan pipinya menggembung seperti bakpao.
"Oh, Tuan Putri ternyata bisa ngambek juga?" Aku terkekeh geli yang langsung dihadiahi Ara dengan beberapa cubitan kesal di pinggang.
"Yuta," katanya.
"Ya?"
"Kamu bilang aku seperti bunga matahari, kan?"
"Iya."
"Kamu tahu tidak, kalau bunga matahari itu menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk memandang matahari?"
"Oh, iya, aku tahu. Ada apa dengan itu?"
"Kamulah matahari itu," katanya lagi sambil menerbitkan senyum di bibir. "Menurutku, kamu tidak berbeda denganku. Kamu juga sangat hangat dan cerah. Kupikir kamu terlihat seperti matahari dan aku akan selalu memandang ke arahmu."
"Oleh karena itulah, Yuta. Tolong cepat kembali, ya karena aku tidak tahu harus memandang ke mana kalau kamu tidak ada."
Aku seketika bungkam. Ada perasaan hangat bercampur perih yang ditimbulkan oleh kata-kata itu. Jauh di dalam hati, aku ingin percaya. Aku ingin percaya kalau aku adalah orang hangat seperti apa yang Ara bilang padaku. Orang hangat, yang tempatnya ada bersama dengan orang-orang hangat juga dan kue-kue hangat.
Namun, di sinilah aku sekarang. Hampir mati, tidak, aku sudah pasti akan mati. Dan di saat-saat terakhir inilah aku malah membuang sisi kemanusiaaanku dan berubah jadi monster demi melindungi yang lain. Aku ingin menciptakan sebuah dunia yang hangat di mana Ara akan tinggal di sana, dilindungi, dan terlindungi meskipun itu tanpa aku di sampingnya. Biarlah aku ada di sini, dari bawah mengamati dirinya yang secerah bunga matahari.
Ah, karena aku tidak bisa kembali padanya dan menuntaskan janji yang sudah dibuat, jadi sepertinya Ara akan ngambek padaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top