BONUS. Yuta dan Ara di Dunia yang Lain

Tidak mudah untuk jadi seorang Ara. Pada hari di mana ia dibuat sangat jatuh cinta, ia juga dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya. Ia seharusnya tahu kalau adalah sebuah risiko mencintai Yuta Okkotsu. Namun, dia bisa apa dalam hal melawan perasaannya? Ara hanyalah seorang gadis remaja ceria yang polos. Sebelumnya ia tak pernah tertarik dengan lelaki manapun meskipun pada faktanya ada banyak yang mendekatinya.

Yuta Okkotsu, itu adalah cerita yang lain. Yuta adalah sebuah anomali dalam hidup Ara. Gadis bernetra biru laut dalam itu tidak pernah menyangka bahwa hatinya berdenyut aneh ketika untuk pertama kali ia menangkap Yuta di pandangan. Hari itu hari Senin minggu kedua masuk sekolah. Ara berjalan di lorong sambil menenteng banyak camilan di tangan. Lantas, pemuda itu lewat.

Wangi shampo mint langsung menelusup masuk rongga hidung begitu pemuda dengan postur tinggi itu lewat. Netra hitamnya tampak dingin sedangkan kantung matanya menunjukkan kalau dia lelah, entah karena apa. Ini adalah kali pertama Ara melihatnya dan di detik itu juga ia merasakan gelenyar aneh di dada. Netranya terus fokus mengamati Yuta yang berjalan dengan tas di gendongan menuju gedung kelas dua.

“Siapa?” bisiknya pada angin. Ia tidak sempat melihat name tag pemuda itu, tapi ia bersumpah akan mencari tahu siapa dia.

⚘️

Mata hitam yang dingin, rambut hitam legam bak bulu gagak, serta kantung mata ikonik yang menghias wajah.

Anak-anak perempuan di kelas terkejut, mungkin hampir setengah mampus ketika Ara menyebutkan ciri-ciri pemuda yang disukainya. Bagaimana tidak? Rumor itu sudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah, tentang murid gila yang gagal naik kelas. Katanya anak itu mengurung diri di rumah dan tidak pernah mau keluar selama satu tahun. Tidak ada yang tahu penyebabnya, tapi kejadian itu disusul dengan berita kematian salah seorang siswi SMA.

Yuta itu pembawa sial. Yuta itu anak yang mengerikan. Yuta itu anak aneh. Jangan dekat-dekat.

“Siapa namanya tadi?” Bibir Ara tersenyum.

“Yuta Okkotsu,” jawab yang lain, ada raut ngeri di wajahnya saat Ara justru tampak senang setelah mendengar rumor itu. Yang konon katanya sangat tabu untuk dibicarakan.

Ara manggut-manggut sembari jemarinya mengusap dagu. Ia punya rencana.

“Aku akan mendekati Kak Yuta,” katanya.

“Orang gila,” dengkus temannya, ia tak habis pikir mengapa Ara begitu keras kepala. Namun, apa boleh buat? Sepertinya keputusan Ara yang sudah bulat itu tak dapat diganggu gugat. Toh, kalaupun mereka melarang, si gadis bersurai biru gelap itu tetap bakal mendekati Yuta dengan cara teraneh sekalipun.

⚘️

Bukan perihal mudah mendekati si Yuta, itu kata Ara. Pasalnya si pemuda tampak selalu menyendiri dan hanya mau bergaul dengan dua atau tiga orang saja. Selebihnya ia menghabiskan waktu sendirian di perpustakaan, membaca buku dengan kedua telinga yang disumpal earphone.

Ara sudah berdiri di sana dari tadi, bahunya bersandar ke rak sambil matanya menatap punggung Yuta. Apa yang harus ia lakukan agar sekiranya si kakak kelas mau memperhatikannya?

Gadis itu lantas mulai berjinjit, mencoba mengambil buku ensiklopedia tebal di barisan rak paling atas. Ia menggapai-gapai buku tersebut sambil sesekali mengeluarkan suara bak orang yang sedang kepayahan.

“Duh, tinggi sekali, sih! Tanganku tidak sampai!”

Ia melirik. Yuta masih diam. Oke, sekali lagi.

“Aaargh! Tinggi sekali, sih! Aku mau baca buku itu!”

Lantas ia melirik lagi, tapi Yuta masih diam.

“Perpustakaan memang tidak ramah untuk manusia dengan tinggi diskonan seperti aku!”

Kali ini ada suara langkah kaki mendekat. Lewat aroma shampo mint yang menyusup ke rongga hidung, Ara tahu itu Yuta!

“Nih.” Kini ensiklopedia tebal yang tadi berusaha Ara ambil sukses ada di tangan Yuta. Pemuda itu tersenyum hangat sambil mengulurkan buku tebal di tangan ke depan Ara.

“Ah…” Si gadis justru malah bengong. Dia tidak menyangka kalau rencananya akan berhasil. Dan bonusnya, ia diberi kesempatan untuk melihat senyuman si kakak kelas yang sukses melumerkan hatinya. “Terima kasih.”

Yuta mengangguk singkat dan mulai berjalan kembali ke bangkunya. Ia lanjut membaca buku sedangkan Ara dengan gerakan tidak alami langsung mengekor dan duduk di sebelahnya. Sambil sesekali curi pandang, netra si gadis lantas menatap ke arah ensiklopedia di meja. Di sana tertulis ensiklopedia ruang angkasa. Duh, gawat. Dia tidak paham sama sekali tentang benda-benda langit karena baginya pembahasan tentang itu membosankan.

Pemuda di sebelah diam-diam memperhatikan. Baginya, ekspresi Ara begitu cemberut sambil memandang ensiklopedia di meja terlihat konyol. “Anak kelas satu sekarang memangnya sudah belajar tentang ruang angkasa?”

Jantung Ara seolah berhenti berdetak ketika ia mendengar suara dari sebelah. Netra biru laut dalam miliknya melebar untuk sedetik sebelum pada akhirnya ia menoleh dan mendapati Yuta menatapnya. “I-iya … sudah, Kak.”

Yuta tersenyum. Ah, sial. Manis banget. Ara tidak kuat.
“Bukannya itu pelajaran IPA di semester dua? Sekarang masih semester satu, kan?”

Ara refleks memukul jidat hingga bekas kemerahan timbul di sana. Lantas, demi tidak terlihat mencurigakan, ia pun melontarkan kalimat apa pun yang ada di dalam benaknya. “Ah, yah, memang. Tapi aku ingin mempelajarinya lebih dulu. Lagipula ruang angkasa itu menarik. Ada matahari, bulan, bintang, meteor….”

Si pemuda mengangguk dan tanpa sadar, matanya berkilat menunjukkan ketertarikan. Kemudian, ia pun menggeser kursinya menjadi satu meja dengan Ara. Tentu saja hal itu membuat si gadis kelimpungan sendiri. Sekarang pemuda itu, yang kata orang adalah anak gila pembawa sial ternyata hanyalah siswa SMA normal yang senyumannya super manis.

Yuta ikut membaca isi ensiklopedia, netra hitamnya tampak seru menjelajahi kalimat demi kalimat. “Kukira Cuma aku yang tertarik dengan ruang angkasa. Tapi ternyata aku ada teman.” Pemuda bersurai hitam itu mengangkat wajah setelah menghabiskan seluruh kalimat di halaman.

Ara meringis. Ia yang tidak paham hal-hal tentang ruang angkasa kini harus berpura-pura menyukainya atau ia akan melewatkan kesempatan untuk mengobrol panjang dengan orang yang disukainya. Lantas, si gadis pun berdeham, menelan saliva ketika tenggorokannya mendadak kering.

“Ya, menurutku ruang angkasa itu sangat menarik. Di sana pasti ada banyak hal-hal misterius yang manusia tidak tahu.”

Yuta mengangguk lagi lalu dia menunjuk sebuah gambar bintang di salah satu halaman ensiklopedia. “Kamu tahu tidak? Cahaya bintang yang kamu lihat malam ini adalah cahaya bintang dari puluhan tahun lalu.”

Ara terbengong mengetahui fakta tersebut, netranya menatap gambar bintang yang kini sedang diketuk-ketuk oleh telunjuk Yuta.

“Itu artinya, kalau kamu melihat ke atas langit pada malam hari, kamu sedang melihat ke masa lalu. Lucu, kan? Seolah kita yang ada di bumi ini sedang melakukan perjalanan waktu ke masa lalu dan bertemu dengan orang-orang yang ada di sana.”

Ekspresi Yuta tampak agak sendu ketika netranya tertuju pada gambar bintang di atas kertas. Namun, si gadis yakin saat ini pikiran kakak kelasnya itu sedang menerawang jauh, mungkin melayang di antara debu galaksi atau menyusuri rasi bintang dan mengabsen tiap polanya, yang mana pun Ara tidak tahu. Namun, Yuta tampak sedang sedih.

⚘️

“Aku tidak tahu kalau memilikimu bisa jadi terasa sakit, tapi juga membahagiakan di saat yang sama.”

Ara berdiri di sana, di bawah samudera galaksi sedangkan telapak kaki bersandalnya menyentuh pasir pantai. Suaranya yang serak dan bergetar itu sedikit tersamarkan dengan adanya debur ombak.

“Ara, maaf kalau selama ini aku menyembunyikannya darimu. Aku tahu aku ini pacar yang buruk. Tapi aku hanya tidak bisa menyingkirkan dia dari tempat spesial di hatiku begitu saja.”

Yuta berdiri menghadap gadis itu, jemarinya menggenggam jemari milik sang kekasih dengan erat. Ia bisa merasakan kalau tubuh si lawan bicara kini bergetar. Pemuda itu tahu, Ara tidak bergetar karena angin dingin laut yang berembus terbangkan helaian rambut mereka, tapi karena Yuta.

Yuta telah menyakitinya.

“Terus aku apa, Kak?”

Yuta menggigit bibir bawah, ada ringisan kecil yang keluar dari rongga tipis mulutnya itu sebelum berkata, “Kamu pacarku. Fokusku yang sekarang dan di masa depan ada di kamu.”

Ara ikut menggigit bibir bawah hingga kulitnya memutih. Hal itu lantas membuat si pemuda khawatir, ia lantas arahkan tangannya yang bebas untuk mengusap bibir itu dengan jemari. “Jangan begitu, nanti berdarah, Ara…”

“Ck!” Ara berdecak sebal, ada nada kecewa yang menuntut penjelasan lebih dari sang kekasih. Gadis itu bahkan melempar pandangannya ke arah lain seolah tumpukan sampah di pinggir pantai jauh lebih menarik minatnya pada saat ini.

Yuta mengerang pelan, ia tidak mau melukai hati pasangannya dengan menunjukkan perilaku yang bisa memantik api di hati gadis itu. Kemudian, dengan gerakan lembut ia menangkup salah satu pipi Ara dan membuat gadis itu menoleh ke arahnya.

Hey, listen to me,” katanya dengan suara lembut, “I love you with all my heart. You are my present, my future, and my everything. No past can change that.”
Ada jeda sejenak. Tenggorokan Yuta terasa kering. Walau bagaimana pun, dia juga sama lelahnya sekarang. Ia benci harus mengalami situasi yang seperti ini.

I’m fully committed to you, Princess. I am yours, body and soul.”

Dada si gadis terasa sesak dijejali berbagai macam perasaan yang tak jelas. Ara masih kenakakan untuk memahami dan menerima ini. Orang favoritnya, yang selama satu tahun ini melewati hari-hari bersamanya baru saja mengungkapkan sebuah cerita. Cerita yang kali ini Ara tidak mau dengar lagi.

Yuta bilang, dia dulu pernah sangat mencintai seseorang bahkan hingga di titik di mana ia rela melakukan apa pun untuk orang itu. Awalnya Ara biasa saja karena toh, itu masa lalu kekasihnya. Tidak ada yang bisa diubah dan ia paham akan hal tersebut. Namun, semua berubah begitu Ara bertanya dengan iseng.

“Lalu apa Kakak masih mencintainya?”

Ada jeda sejenak. Yuta tampak ragu, tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk jujur. Sebab sekarang Ara adalah dunianya, segala-galanya buat Yuta dan pemuda itu tidak berpikir untuk menyembunyikan apa pun dari gadisnya.

It’s complicated. She will always hold a special place in my heart.”

Itulah awal dari segala suasana tidak nyaman ini. Padahal tadinya dua insan tersebut ingin merayakan hari jadi mereka, sendiri ke tempat sunyi hanya untuk menghabiskan malam romantis sambil mengamati sungai bintang.

Ara jelas sakit hati. Untuk pertama kalinya dalam hidup, gadis itu mengenal bagaimana rasanya itu dikhianati. Ia benar-benar sangat sakit sampai rasanya sungguh mual dan ingin muntah. Satu tahun yang ia habiskan bersama Yuta ternyata tak lebih dari sekadar kesia-siaan. Selama menghabiskan waktu berdua, rupanya di hati pemuda itu Ara tak tinggal sendiri melainkan ada sosok perempuan yang lain.
Ara muak. Ara tidak bisa.

“Ara…?” Yuta mengusap sebelah wajah gadis itu lembut. Hati pemuda itu pun sekarang sedang sakit berkat ulahnya sendiri. Ia tidak bisa berbohong kalau mantannya yang sudah meninggal itu menyisakan banyak memori manis yang tidak mudah dilupakan.

Yuta hanya terlalu baik dan perasa, tapi sikapnya yang itu justru menyakiti orang yang paling dia sayangi di masa kini. Ironis.

Sementara itu, Ara sudah tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia hanya berdiri di sana dan mulai terisak. Beberapa bulir air mata yang meluncur jatuh memantulkan cahaya redup purnama di langit. Yuta terdiam melihatnya. Lihat, ini salahnya sudah membuat si gadis menangis.

Kemudian ia perlahan merengkuh Ara ke dalam pelukan. Kepalanya sedikit membungkuk, sembunyi di rambut biru gelap sang kekasih. Bagai cermin yang dihantam palu, hati Yuta pecah berkeping-keping ketika melihat Ara yang tidak berhenti menangis. Lantas ia eratkan pelukannya dengan harapan menenangkan gadis itu, tapi tampaknya semua itu percuma. Sebab, Yuta adalah sumber rasa sakit gadis itu.

Kau tidak bisa mengobati luka yang tergores pisau dengan pisau itu sendiri.

Mencintai dua orang di saat yang bersamaan merupakan hal terbodoh yang dilakukan Yuta Okkotsu. Apakah pemuda itu menyesal? Iya. Lalu apakah pemuda itu akan memantapkan hatinya untuk move on dan fokus pada Ara?

… iya, tapi dia butuh waktu.

Ara meremas kain pakaian Yuta sambil menggemeretakkan gigi. Gadis itu benar-benar sekuat tenaga menahan tangis. Ia sadar betul kalau suara isakannya membuat Yuta tumbang. Bahkan, saat ini ia bisa mendengar jelas isakan samar datang dari pemuda itu.

Ara tidak ingin kehilangan Yuta. Di sisi lain, Yuta pun tidak ingin kehilangan Ara. Walau bagaimana pun gadis itu adalah cintanya yang baru. Yuta tidak mau melepasnya apalagi kalau sampai ia tenggelam dalam lautan keputusasaan dan absen dari sekolah sepanjang semester seperti dahulu.

Mereka sama-sama tidak mau kehilangan. Lalu sekarang harus bagaimana?

“Kak…” Suara Ara nyaris terdengar seperti bisikan. Namun, interupsi kecil itu mampu mengalihkan atensi Yuta.

“Ya, Princess?”

“Aku … aku akan mencoba untuk menerima masa lalu Kakak, … juga perasaan yang masih tertinggal di hati Kakak untuk mendiang mantannya Kakak….”

Itu kata Ara yang sukses membuat Yuta merasa sangat bersalah. Sumpah demi apa pun, ia pikir Ara akan mengajak putus karena apa yang dilakukan Yuta seharusnya tidak termaafkan. Dia telah berbohong dan mengkhianati Ara demi orang yang mungkin sekarang sudah tenang dan enggan kembali ke bumi.

“Ara, aku janji akan membuatmu bahagia…” Kini giliran Yuta yang bicara, suaranya sangat lembut dan bahkan hampir tidak terdengar. Bukannya apa-apa, pemuda itu merasa sangat lemah sekarang. “Aku akan melakukan apa saja untuk menebus kebodohanku dan agar kamu merasa dicintai. Kamu bebas mau mencintaiku atau tidak, tapi yang jelas aku akan akan selalu ada di sini.”

Ara memandangi Yuta, ia menangkap ada raut tulus di wajah kekasihnya itu.

“Kamu mau menungguku, kan?” tanya Yuta yang kini sudah benar-benar bertekad akan menjatuhkan seluruh perasaan, pikiran, dan cintanya hanya untuk Ara. Meskipun … yah, dia butuh waktu untuk melupakan mantan terindahnya.

“Iya, aku tunggu,” jawab Ara lalu memeluk Yuta dan menenggelamkan wajahnya di dada pemuda itu.
Tidak mudah untuk jadi seorang Ara. Pada hari di mana ia dibuat sangat jatuh cinta, ia juga dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top