Part 8 - Once Upon a Raincoat

Perjalanan ke Klaten malam itu kurang lebih satu jam. Selama perjalanan, Dante menceritakan tentang kencannya dengan Mila, walaupun dia beberapa kali harus berhenti bicara saat jalanan yang mereka lewati cukup terjal.

"Kalau dia mau kamu ajak nonton, kemungkinan besar, dia suka sama kamu," ucap Dana, sambil mengeratkan jaketnya. Angin malam tiba-tiba terasa jauh lebih dingin.

"Jadi, kamu juga suka sama cowok tadi, karena, kamu mau waktu dia ngajak kamu?" tanya Dante balik.

"Aku? Cowok tadi? Maksud kamu Hirawan? Aku sama Hirawan sudah temenan dari SMA. Waktu kamu sekolah di luar negeri. Dia cucunya Bu Darmi sama Pak Slamet, yang kerja di kebun kubis. Ya beda kasusnya sama kamu dan Mila, yang barusan kenal," kata Dana.

"Itu pagar hijau rumahnya!" teriak Dana cepat, sambil menunjuk sebuah rumah di depan mereka.

Dana dan Dante masuk ke dalam rumah Pak Gito. Keduanya melihat bulek Nur keluar untuk menyambut mereka dengan perasaan lega dan bahagia.

"Syukurlah bisa dianter malam ini. Paklikmu kalau minum jamu ini, langsung enakan. Maaf ya Dana jadi merepotkan kamu sama temen kamu," ucap Bulek Nur pada Dana dan Dante.

Setelah itu, Dana bersama Nur masuk ke dalam kamar paklik Gito, sedangkan Dante menunggu di ruang tamu. Sekitar lima belas menit kemudian, Dana keluar bersama Nur.

"Bilang Ibumu besok gak usa ke sini kalau masih pegel badannya. Nanti malah tambah sakit," kata Nur.

"Iya Bulek, nanti Dana sampaikan. Dana pamit dulu ya Bulek," kata Dana, sambil mencium tangan wanita kurus tersebut dan Dante ikut berdiri, kemudian menyalaminya.

"Hati-hati di jalan ya. Mendungnya gelap," kata Nur terlihat khawatir. "Yakin gak nginep di sini aja?" tanya Nur lagi.

"Gak papa Bulek. Gak sampe satu jam sudah sampe rumah kok," ucap Dana.

Di perjalanan, Dana kembali mengeratkan jaketnya. Sepertinya mau hujan karena malam itu udara terasa lebih dingin. "Dante kamu gak kedinginan kan?" tanya Dana pada Dante.

"Musim dingin di London jauh lebih dingin dari sekarang. Ini bukan apa-apa," ucap Dante.

"Baguslah," kata Dana, kembali mengepalkan tangannya di balik saku jaket.

Baru lima belas menit perjalanan, tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Dante pun langsung menepikan motornya di depan sebuah pos yang cukup sepi dan gelap.

Beruntung karena langsung menepi, mereka tidak sampai basah.

"Semoga ada jas hujan," kata Dante, kemudian membuka jok motor Rio.

"Ada!" seru Dante, sambil mengeluarkan jas hujan berwarna abu-abu besar. "Cuma satu," ucap dante.

"Gak masalah. Itu Jas hujan bisa dipake berdua. Aku bisa nutupin kepala dan badanku dengan bagian belakang jas hujan," jelas Dana.

Dante menatap Dana sebentar, kemudian membuka jas hujan besar itu.

"Itu Dante!" ucap Dana cepat, sambil menunjuk dua pengguna motor lain yang mengenakan jas hujan model sama untuk berdua.

"Ya sudah, ayo," ucap Dante, kemudian memasang jas hujan itu di badannya.

Dante naik dulu ke atas motor, kemudian disusul Dana, yang menyeruak masuk ke dalam bagian belakang jas hujan yang dipakai Dante.

"Sudah?" teriak Dante, karena suara hujan yang cukup deras.

"Sudah!" balas Dana sama berteriaknya.

Dana memegang ujung jas hujan sembari memastikan jarak aman antara dirinya dan Dante. Dia takut duduk terlalu dekat dengan Dante.

*

Saat berhenti di lampu merah, Dante menoleh ke belakang dan melihat jemari Dana sedang memegangi ujung jas hujan sehingga lengan jaketnya terlihat basah.

Dante pun dengan cepat menarik tangan Dana dan menggapai tangan satunya, kemudian dengan cukup kuat, menarik kedua tangan Dana dan melingkarkan di perutnya. Dia kemudian memastikan ujung jas hujan aman.

Lampu merah belum berubah menjadi hijau, sehingga dia belum menjalankan motornya. Dante merasa aneh dengan dirinya. Dadanya berdebar dengan sangat keras saat merasakan Dana merangkulkan tangan ke tubuhnya.

Badan mereka sekarang menempel karena Dante menarik tangan Dana cukup kuat tadi. Namun, begini jadi terasa lebih hangat.

"Dana," panggil Dante.

"Hmm?" ucap Dana dari balik jas hujan. Dia tidak bisa melihat wajah Dana karena tertutup jas hujan.

"Tidak apa-apa," kata Dante cepat dan segera menjalankan motornya karena lampu sudah berubah berwarna hijau.

Dante merasakan desiran aneh di dadanya. Tidak mungkin. Jelas-jelas dia sangat mengagumi Mila dan menyukai gadis itu. Apa yang dia rasakan pada Dana mungkin hanya karena dia bersentuhan dengan teman masa kecilnya. Kalau Mila yang memeluknya dari belakang, apakah dia akan merasakan hal yang sama? Ataukah dia merasakan hal yang lebih dari ini?

Pikiran Dante terhenti saat Dana berkata, "Dante hujannya sudah berhenti."

Dante baru menyadari setelah berkendara selama empat puluh menit. Dan benar, jalanan yang mereka lalui sudah tidak lagi hujan. Dante menepikan motornya dan Dana langsung turun dari motor saat mesin kendaraan mati.

Dana dan Dante tanpa sengaja bertatapan dan entah kenapa keduanya menjadi canggung. Danalah yang pertama memutus kontak mata itu dengan membenarkan posisi helmnya. Dante pun melepas jas hujannya.

Selama sisa perjalanan, keduanya tidak lagi saling bicara.

*

"Terima kasih banyak," kata Dana saat mereka sudah berada di depan rumah Dana. Dana menoleh ke rumahnya sebentar. "Sepertinya Ibu sudah tidur," kata Dana kembali menoleh ke Dante.

"Iya, gak perlu dibangunin. Aku balik dulu kalau gitu," kata Dante.

Dan rasa canggung di antara keduanya entah kenapa masih terasa.

*

Seperti biasa, jam lima pagi, Dana lari pagi di daerah perkebunan. Semalaman dia masih saja memikirkan tentang dirinya dan Dante kemarin malam. Debaran jantungnya sudah cukup menjawab bahwa Dana masih menyukai Dante. Bagaimana bisa anak SD dan SMP sudah menyukai anak laki-laki dan dia masih menyukai pria yang sama hingga sekarang.

Di kejauhan, Dana melihat Dante. Pria itu juga sedang lari pagi. Dengan cepat, Dana memutar balik dan berlari menjauh lebih cepat.

*

Saat sedang lari pagi, Dante melihat Dana di kejauhan. Dante yang hendak menyusul, mengurungkan niatnya karena Dana berlari sangat cepat dan menghilang di tikungan.

*

"Kau di mana? Kita seharusnya ke Jogja menemui Pak Andrew dan Mila siang ini," Dante berbicara lewat telepon, sambil berdiri di depan meja kantornya. Rio hanya memandangnya sambil memeriksa laporan yang diberikan Dita.

"APA?!! KAU SUDAH DI JOGJA?" teriak Dante, membuat tidak hanya Rio, tapi juga Maya dan Dita menoleh ke arahnya.

"Baiklah," kata Dante, kemudian memutus panggilan teleponnya.

"Bagaimana dia sudah sampai di Jogja sepagi ini?" omel Dante terlihat kesal.

"Bukan masalah kan? Toh nanti kalian ketemu di sana," sahut Rio santai.

Sayangnya, Dante masih merasa kesal mengetahui Dana sudah berangkat lebih dulu dari dia. Kenapa Dana tidak menunggunya? Gadis itu bilang dia harus menemui saudaranya dulu. Tetap saja, dia bisa meminta Dante menemaninya.

"Aku berangkat," kata Dante, sambil menyambar kunci mobil di mejanya.

Saat di perjalanan, Mila meneleponnya.

"Ya Mila," jawab Dante. Entah kenapa perasaannya masih buruk.

"Aku sudah mengirim alamat tempatnya nanti. Apa kau sudah berangkat?" tanya Mila.

"Iya. Aku sedang dalam perjalanan," jawab Dante sembari fokus dengan kemudinya.

"Baiklah. Sampai ketemu di sana," kata Mila.

"Oke."

Dante mengakhiri panggilan telepon dari Mila, dan bergumam, "Aku akan mengomelimu habis-habisan."

*

"Kamu gak terlambat?" tanya Dana, kemudian meneguk coklat panasnya.

"Gak masalah. Aku akan berada di lokasi proyek selama satu bulan jadi mungkin aku tidak akan bisa sering-sering bertemu denganmu," kata Hira. Keduanya sedang duduk di coffee shop di Jalan Kaliurang.

"Aku akan sesekali menengok nenek Darmi dan kakek Parno," ucap Dana.

"Terima kasih. Bolehkah aku menanyakan sesuatu?" tanya Hira seketika berubah serius.

"Apa hubunganmu dengan Dante, atau, yang orang-orang panggil dengan sebutan Tuan Muda, sangat dekat?" tanya Hira.

Entah kenapa, Hira tiba-tiba ingin membahas Dante. Padahal, dari tadi pagi Dana berusaha menghilangkan sosok pria itu dari kepalanya. "Kami dulu cukup dekat. Karena Ibuku bekerja di rumah utama, jadi aku sering berkunjung ke sana dan dari situ kami sering bermain bersama. Tapi, setelah dia bersekolah di luar negeri, kami tidak pernah lagi berkomunikasi," jelas Dana.

Hira hanya diam seakan sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Ada apa?" tanya Dana pada akhirnya.

"Tidak. Bukan apa-apa," kata Hira.

"Hira kalau kau harus pergi sekarang, kau tidak perlu menungguku," kata Dana, dengan perasaan menyesal.

"Sudah kubilang tidak masalah. Lagipula aku masih ingin di sini, mengobrol denganmu," senyum Hira.

"Semoga berhasil nanti," ucap Hira lagi.

"Terima kasih. Dante sudah pasti setuju dengan usulan mereka, mengingat bagaimana Dante tertarik pada Mila. Tapi, aku memiliki keluarga untuk aku lindungi di perkebunan," jelas Dana.

"Dante tertarik pada Mila?" tanya Hira, sambil menaikkan alisnya seakan apa yang dikatakan Dana adalah hal yang mustahil.

"Ya," jawab Dana mantap.

"Apa kau yakin?" tanya Hira lagi masih terlihat tidak percaya.

"Iya. Dia sendiri yang bilang padaku. Dia berusaha mendapatkan hatinya. Karena itu, aku sedang dalam misi. Membantu sang pangeran mendapatkan hati Cinderellanya," ucap Dana dengan senyum kecil.

"Kukira dia ....," kata Hira tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Kau kira dia apa?" tanya Dana.

Hira tersenyum. "Bukan. Bukan apa-apa."

*

Dante turun dari mobilnya dan menuju restaurant yang diinfokan Mila. Saat Dante berjalan masuk, dia melihat Dana sedang berdiri di depan restoran bersama pria yang kemarin.

"Sudah dari tadi?" tanya Dante dengan dahi berkerut.

"Nggak. Kami juga barusan sampe," jawab Dana.

"Ayo masuk," kata Dante, kemudian melewati keduanya tanpa menyapa Hira.

Dana menyadari Dante sama sekali tidak menghiraukan Hira. "Hira, maafkan aku," kata Dana pada Hira.

"Apa kau minta maaf untuk sikapnya?" tanya Hira dan Dana mengangguk pelan.

"Jangan lakukan itu lagi. Kecuali kalian memiliki hubungan khusus," kata Hira.

"Tidak. Tentu saja tidak," potong Dana cepat.

"Kalau begitu, jangan meminta maaf padaku," tutur Hira.

"Baiklah. Terima kasih sudah menemaniku. Aku masuk dulu. Hati-hati di jalan," kata Dana.

Hira pun berlalu sambil melambaikan tangannya, sedangkan Dana menunggu di depan restoran sampai Hira melesat pergi dengan motornya. Setelah itu, Dana pun masuk ke dalam restoran dengan langkah berat. Semoga saja Pak Andrew dan Mila bisa segera datang.

Saat masuk, Dana bisa melihat Dante sedang menolehkan kepalanya menghadap jendela kaca yang menghadap langsung ke parkiran motor. Dana pun duduk di seberang Dante.

"Bukannya kau bilang ke rumah saudaramu?" tekan Dante.

Tanpa menatap Dante, Dana memainkan ponselnya dan menjawab, "Iya tadi ke rumah pakdeku. Ditemenin Hira."

Dante berdesis pelan dan Dana tidak bisa mendengar apa yang diucapkan Dante.

"Karena kau bisa berangkat sendiri, pulangnya kuharap kau juga bisa pulang sendiri. Aku berencana mengajak Mila keluar," pungkas Dante.

"Baiklah," ujar Dana.

Beruntung, Pak Andrew dan anak perempuannya, Mila, datang sekitar sepuluh menit kemudian. Walaupun Dana sudah pernah mendengarkan rencana mereka, Mila kembali menguraikan rencana penginapan di depan Dante dan Dana.

Setelah selesai, keduanya mulai membahas tentang pekerja di perkebunan tomat. Pak Andrewlah yang paling alot masalah ini. Saat pria berumur lima puluhan itu mengatakan dia tidak akan mempekerjakan siapapun dari perkebunan, Milalah yang kembali membujuk Ayahnya dengan sabar. Begitu pula dengan Dante, yang mencoba mencari jalan keluar untuk keduanya.

"Kami tidak bisa melanjutkan ini jika Anda bersikeras tidak mau mempertimbangkan usulan kami," kata Dante tegas.

Di luar dugaan Dana, Dante bersikap sangat tegas pada Pak Andrew dan Mila saat mereka mulai menanamkan ide bahwa mustahil mempekerjakan petani mereka. Dana merasa bersalah telah mengira Dante akan sepenuhnya setuju karena dia sudah terpikat pada Mila. Nyatanya tidak sama sekali.

Setelah mengobrol selama dua jam, keduanya setuju, Dante hanya akan menyewakan separuh lahan dari luas perkebunan yang mereka minta. Dan, Pak Andrew pada akhirnya sepakat menerima pekerja di perkebunan walaupun tidak sepenuhnya. Dante dan Dana sama-sama setuju Pak Andrew dan Mila tetap membawa karyawan mereka sendiri dari luar perkebunan, namun dengan jumlah lebih sedikit dibandingkan orang dari perkebunan yang akan dipekerjakan.

"Aku akan memperbaiki ini," kata Mila dengan senyum lebar, sambil mengangkat perjanjian mereka sebelumnya.

"Senang bekerja sama denganmu," kata Pak Andrew sambil menyalami Dante. "Pak Rio beruntung sekali memiliki orang sepertimu di sisinya," imbuh Pak Andrew. "Kami akan mulai minggu depan kalau begitu."

"Saya tunggu perjanjian barunya," ucap Dante.

"Pi, Mila mau keluar. Papi duluan aja," kata Mila saat keempatnya sudah berdiri.

"Oke. Papi duluan ya," kata Pak Andrew sambil mengelus rambut putrinya.

Dante, Dana, dan Mila melihat Pak Andrew keluar dari restoran.

"Kalau begitu, aku juga pamit," kata Dana, sambil menatap Dante dan Mila bergantian.

"Mbak Dana langsung pulang?" tanya Mila.

"Iya," jawab Dana dan saat melihat ke arah Dante, pria itu sama sekali tidak menatapnya.

"Duluan ya," pamit Dana lagi sambil melambaikan tangannya pada Mila dan Dante, yang masih enggan menatapnya.

"Hati-hati di jalan!" seru Mila.

*

Dana keluar restoran dengan perasaan cukup sedih. Apakah Dante merasa terganggu olehnya? Karena itu Dante daritadi terlihat suntuk dan bahkan tidak mau menoleh padanya.

Dana mengulurkan tangannya dan naik ke angkutan umum yang melintas.

***

wahhh ... yg sudah merasakan debaran-debaran :P .... Jangan lupa vote dan komennya ya. Terima kasiiihhhh

Published on Friday, July 8, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top