Part 6 - Once Upon a Big Meal

Budhe Sari sedang mengupas kentang dan memotongnya kecil-kecil seukuran dadu. "Iya. Malam ini, budhe tidur sini biar gak capek bolak balik," ucap budhe.

"Dana?" tanya Dante lagi.

"Dia sudah biasa Tuan Muda ditinggal di rumah sendirian," jawab Sari.

"Kamu kenapa sih dari tadi tanya Dana terus?" bisik Sinta sangat pelan pada Dante, merasa terganggu dengan pertanyaan anaknya.

"Nggak apa-apa. Ya sudah buk, Dante mau tidur," ucap Dante. Dan, setelah Sinta mengangguk, Dante pun naik ke kamarnya.

Saat sudah di kamarnya dan dia sudah berganti pakaian, Dante merebahkan diri di atas tempat tidur, kemudian mengecek ponselnya. Ada pesan baru dari Dana.

Dana:

Maaf kalau aku tadi tidak sopan. Padahal kau sudah memberiku tumpangan pulang. Maaf merepotkan. Semoga berhasil dengan kencanmu besok.

Oh ya, mobilmu terlalu bagus dan mewah. Kalau kau mengerti maksudku.

Dante:

Aku juga minta maaf karena berteriak-teriak padamu tadi. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku merasa kesal.

Dana:

Kau sudah minta maaf tadi. Tidak perlu meminta maaf lagi. Aku tidak marah.

Dante hendak mengetik pesan balasan, namun jarinya berhenti. Dia memutuskan menelepon Dana. Setelah dua kali nada sambung, Dana mengangkat panggilan itu.

*

Dana, yang merasa sangat lelah dan sudah tiduran di atas tempat tidur, terlonjak kaget saat ponsel yang dipegangnya berdering cukup keras dan nama Dante muncul di sana.

'Ngapain dia telepon,' batin Dana.

Dana pun mengangkat panggilan tersebut. "Ada apa?" tanya Dana, kemudian duduk.

"Sudah mau tidur?" Dana bisa mendengar suara berat Dante di seberang sana. Kenapa rasanya menenangkan sekali mendengar suara pria itu? Kenapa dibandingkan marah, dia merasa sedih Dante tadi memarahinya? Dan terutama sekarang, saat dia mendengar suara pria itu melalui telepon, tidak sedikit pun Dana mengingat apa yang Dante lakukan tadi.

"Iya, ini sudah pake selimut. Ada apa telepon?" tanya Dana.

"Kau sendirian di rumah?" tanya Dante.

"Ha? Ah kau melihat Ibuku di rumahmu ya. Sudah biasa. Ibu cukup sering tidur di sana," ucap Dana santai.

Dana, kemudian mengingat acara besok. "Oh ya, besok kencanmu jam berapa?" tanya Dana.

Dana bisa mendengar Dante tertawa pelan. "Bisa kau ganti kata kencan yang selalu kau pakai itu? Kami belum resmi berkencan. Kami hanya keluar sebagai teman. Tapi, mungkin setelah besok dia akan lebih terpesona sama aku. Jadi, kemungkinan besar setelah besok kami akan resmi berkencan," kata Dante sambil tertawa kecil.

Dana tersenyum simpul mendengar jawaban panjang Dante. "Iya, aku cukup yakin itu. Jangan lupa, besok jangan bawa mobilmu kalau kau memang mau mendalami peranmu," kata Dana.

"Aku tahu. Aku berencana membawa motor butut Bapak," ucap Dante.

"Kau tahu ... kalau aku jadi dia, aku pasti akan sangat marah setelah tahu kau membohongiku. Aku pasti sangat tidak terima karena merasa dipermainkan," ucap Dana.

"Aku tidak akan berbohong untuk waktu lama. Lagipula, kalau kita setuju menerima proposalnya, dia pasti segera tahu tentangku. Dan, saat itu datang, aku akan cukup yakin dia memang menyukaiku karena diriku," jelas Dante.

"Apa kau sangat menyukainya?" tanya Dana lirih.

"Hu um," gumam Dante.

Dana hanya diam tidak menjawab. Memangnya dia bisa menjawab apa sekarang. Dia sudah memberikannya semangat. Tidak mungkin dia melakukannya lagi. Lagipula, Dana cukup yakin Dante pasti berhasil membuat Mila jatuh cinta padanya bahkan tanpa menunjukkan kekayaannya.

"Dana? Kau masih di sana?" tanya Dante, karena Dana hanya diam selama beberapa detik.

"Maaf, aku mengantuk sekali. Sepertinya tidak sadar tertidur," entah kenapa Dana malah berbohong. Dia bahkan berpura-pura menguap.

"Kau ini!!!" teriak Dante di seberang sana.

"Ya sudah tidur sana! Jangan lupa mengunci pintu rumah, pagar, dan jendela," Dante terdengar sangat kesal.

"Hu'um," gumam Dana.

"Kau dengar aku kan? Jangan lupa mengunci semua pintu dan jendela!" ulang Dante, masih terdengar kesal.

"Iya, iya. Sudah semua," jawab Dana, masih berpura-pura mengantuk.

"Ya sudah aku tutup dulu."

Setelah Dante memutus sambungan telepon tersebut, Dana hanya bisa melamun di dalam kamarnya. Dia tadi berniat mengajak Dante untuk ikut makan besar bersama di perkebunan besok. Namun, setelah dia menyebutkan nama Mila tadi, entah kenapa Dana malah takut akan menganggunya. Dana tidak mau Dante merasa dia harus datang karena Dana mengajaknya. Lagipula, Bu Sinta sudah pasti memberitahu pria itu tentang makan besar di perkebunan besok.

*

Dante sudah sampai di depan toko buku yang disebutkan Mila. Sayangnya, gadis itu berkata akan datang sedikit terlambat karena ada tugas yang mendadak harus dia selesaikan.

Setelah menunggu selama hampir satu jam, akhirnya Dante melihat Mila berlari kecil ke arahnya. Rambut gadis itu berkibar di belakang karena terpaan angin saat dia berlari.

"Ma ..af .... a ...ku .... ter .... lam ...... bat," ucap Mila tersenggal, berusaha mengatur napas.

Dante melihat gadis yang menarik napas dengan tersenggal-senggal di depannya. "Kenapa kau lari? Bukankah aku bilang tidak masalah? Ayo, kau harus minum dulu," ucap Dante, kemudian menarik tangan Mila dan mengajaknya masuk.

Toko buku yang mereka datangi hari ini memiliki kafe di dalamnya. Setelah keduanya masuk ke dalam toko buku tadi, Dante menarik satu kursi untuk Mila dan gadis itu langsung duduk, sedangkan Dante langsung menuju ke counter untuk memesan minuman untuk mereka.

Dante kembali ke meja dengan dua kopi dingin.

"Terima kasih," ucap Mila sambil menerima minuman dari Dante.

"Aku sudah cukup senang kau tidak membatalkan janji kita," kata Dante, yang sudah duduk di seberang Mila.

Mila menyeruput minumannya sambil tersenyum cerah. "Tidak mungkin. Aku sebenarnya cukup tidak sabar menunggu hari Sabtu untuk bertemu denganmu," ucap Mila sambil menunduk.

"Bagus sekali. Karena aku juga."

Mila mengangkat kepalanya dan menatap Dante yang ternyata sedang tersenyum ke arahnya. Mila pun ikut tersenyum.

"Bagaimana pekerjaan di perkebunan?" tanya Mila.

"Baik, kurasa. Masih beberapa hari jadi aku belum bisa menilai," ucap Dante, sambil menatap Mila.

"Aku harap kalian setuju dengan rencana kami. Pasti menyenangkan bisa sering bertemu denganmu," kata Mila.

Dante tidak menyangka Mila adalah gadis yang cukup terus terang. Mungkin, itu salah satu yang membuat Dante menyukainya sejak pertama mereka mengobrol.

Setelah menghabiskan segelas kopi dingin mereka, Dante dan Mila beranjak dan berjalan menuju rak-rak buku yang ada di sana. Toko buku yang mereka kunjungi cukup besar. Untuk area bukunya sendiri berada di lantai satu dan di lantai dua, sedangkan area kafe hanya berada di lantai satu.

"Kau mencari buku apa?" tanya Dante yang berjalan di lorong rak buku bersama Mila.

"Ini," kata Mila sambil menyodorkan ponselnya. "Yang lain, aku belum menentukan. Aku mau beli paling tidak tiga buku," jawab Mila.

"Aku sudah membaca buku itu," kata Dante.

Kepala Mila langsung berputar, "Bukankah buku ini baru ... ." Mila tidak menyelesaikan kalimatnya, baru menyadari sesuatu. "Kau membaca versi aslinya?" tanya Mila.

Dante mendelik. Dia lupa satu hal, dia harus menyembunyikan identitasnya. Dia memang sudah membaca buku itu, versi Bahasa Inggris, waktu dirinya masih di Inggris. Versi terjemahan memang baru keluar bulan lalu.

"Iya, sebenarnya, temanku yang meminjamkannya padaku. Dia baru pulang dari luar negeri," kata Dante cepat. Dia harus sedikit berhati-hati.


"Benarkah? Wah menyenangkan sekali," ucap Mila dengan mata melebar.

"Itu buku yang kau cari," kata Dante sambil menunjuk rak buku di bagian New Release. Keduanya berhenti dan Mila menoleh sebentar ke Dante, kemudian berjalan menuju rak yang ditunjuk Dante tadi.

Berikutnya, Dante tidak lagi mengekor Mila karena gadis itu juga sibuk mencari buku yang hendak dia beli. Dante berjalan ke arah book section tentang self improvement. Dia memutuskan mengambil salah satu buku dan membacanya di sana.

Sekitar dua jam berikutnya, Dante, yang sudah tenggelam dengan bacaannya, dikagetkan oleh Mila.

"Hei, kau baca apa?" tanya Mila sambil menempel ke badan Dante dan mengintip buku yang sedang dibaca Dante.

"Ini," jawab Dante, sambil membalik buku yang dipegangnya dan menunjukkan cover buku yang tersebut. "Kau sudah selesai?" tanya Dante.

"Iya. Tunggu ya. Aku ke kasir dulu. Kau tidak beli?" tanya Mila.

"Tidak," kata Dante sambil tersenyum pada Mila.

Mila berdiri sambil berkata, "Baiklah."

Setelah Mila membayar tiga buku yang dibelinya, dia kembali berjalan ke tempat duduk yang ditempati Dante. Dante sendiri sudah mengembalikan buku yang tadi dia baca ke raknya lagi.

"Sudah?" tanya Dante yang melihat Mila berjalan mendekat.

"Hu um," jawab Mila sambil tersenyum.

Dante mengecek jam tangannya. Masih jam setengah satu siang. "Kita cari makan siang?" ajak Dante.

"Baiklah."

Dante kembali tersenyum, melihat senyum cerah Mila. Keduanya berjalan ke tempat parkir.

*

"Dana, bisa tolong ambilin cah kangkungnya?" pinta seorang petani laki-laki tua yang bekerja di kebun kubis pada Dana.

"Iya Pak Jon!" seru Dana, kemudian berdiri dari duduknya dan mengambil cah kangkung yang berada cukup jauh.

Dana mengambil mangkuk besar yang berisi cah kangkung tersebut. "Nanti kalau sudah, Ibu juga mau ya Dana," ucap seorang petani lain pada Dana.

"Siap Bu Darmi," kata Dana penuh semangat.

Setelah menyerahkan cah kangkung pada Pak Jono, Dana menunggu di samping laki-laki tua itu. Setelah Pak Jono selesai mengambil, Dana membawanya kembali ke Bu Darmi. Dana pun kembali duduk di samping Doni.

"Dan, kamu juga makan dulu. Dari tadi kamu direpotin orang-orang terus," ucap Doni pelan, namun Maya yang duduk di sebelahnya menyahut.

"Dana itu suka Don direpoti orang-orang sini," celetuk wanita dengan badan berisi itu.

Dana tertawa mendengarnya. "Udah gak perlu bingung aku. Nanti pasti aku makan kok," ucap gadis itu.

Dana sangat menyukai acara makan besar yang diadakan di perkebunan Pramudana. Semua pekerja di sini berkumpul untuk menikmati hidangan yang disiapkan Rio Pramudana dan istrinya, Sinta. Setelah menghabiskan makanan, mereka juga biasanya bercengkerama.

"Dana!"

Dana menoleh dan mendapati Ibunya sedang berdiri beberapa langkah darinya.

"Bantu Ibu cuci piring ya," ucap Sari pada Dana, dan dengan cepat, gadis itu kembali berdiri dari duduknya dan menghampiri Sari.

"Aku aja capek lihatnya," celetuk Maya ketika Dana sudah pergi.

"Dita, ini daging suwirnya," kata Doni kelewat manis pada Dita, membuat Maya yang duduk di antara mereka mencibik kesal.

"Don! Dana mana?!"

Doni yang sebelumnya senyum-senyum sambil memerhatikan Dita, langsung memutar kepala dan melihat Hirawan berdiri di belakangnya.

"Lagi bantuan budhe Sari cuci piring," ucap Doni.

"Oke. Makasih," ucap Hirawan dan langsung berbalik cepat.

"Duh Hira cakepnya," ucap Maya mulai kecentilan lagi.

"Cakepan juga aku Mbak," celetuk Doni dan Maya langsung refleks menonyor kepalanya.

"Yang bilang kamu cakep itu, sudah buta matanya!" kata Maya penuh emosi.

*

Mila terdiam sebentar saat melihat motor butut yang dibawa Dante. "Kenapa?" tanya Dante bingung.

"Jangan marah ya. Kalau aku naik, motornya gak bakal mogok kan?" tanya Mila sambil mengernyit.

Dante tersenyum, "Gak lah. Ayok!"

Mila kemudian tersenyum dan duduk di belakang Dante dan memakai helmnya.

"Kita mau makan di mana?" tanya Dante saat keduanya sudah berkendara.

"Di mana aja boleh," jawab Mila.

Setelah berkendara selama dua puluh menit, Dante memarkirkan motornya di sebuah restoran Nasi Padang.

"Di sini mau kan?" tanya Dante sebelum mematikan mesin motornya.

"Boleh," jawab Mila.

Setelah Dante mematikan mesin motornya, Mila pun turun dan melepas helmnya.

*

"Hira?"

Dana kaget saat melihat Hira tiba-tiba sudah ikut berjongkok di sebelahnya dan mengambil busa cuci piring.

"Kamu ngapain? Jangan, biar aku aja," ucap Dana, tapi Hira menghiraukannya.

"Lebih cepet selesai kalau dikerjakan berdua," sahut Hira yang kemudian kembali diam dan fokus mencuci piring-piring kotor di depannya.

Dana pun akhirnya membiarkan Hira membantunya. Saat ini, keduanya berjongkok di area berumput, di mana terdapat pancuran air. Di depan mereka terbentang cantiknya pemandangan perkebunan dengan gunung Merapi dibaliknya.

"Cantik," gumam Hira.

"Hah?" Dana menoleh dan mendapati Hira sedang menatapnya.

Hira langsung mengalihkan matanya. "Pemandangannya cantik," kata pria itu, sambil menunjuk ke pemandangan di depan mereka.

Hira adalah cucu dari Du Darmi. Hira pindah ke perkebunan saat dirinya berusia enam belas tahun. Ibunya bekerja sebagai TKI di Hongkong. Sebelumnya Hira tinggal bersama Ibunya di sana namun karenanya Ibunya sakit, mereka pun kembali ke sini. Sudah menjadi sebuah rahasia umum, Hira adalah anak di luar nikah. Banyak yang mengatakan Ayah Hira bukan orang Indonesia.

Hal itu terlihat dari wajah tampan, mata coklat, dan kulit putihnya. Ibunya meninggal dua bulan setelah mereka pindah ke perkebunan. Hira kini tinggal bersama nenek Darmi dan kakek Parno. Dia sendiri tidak pernah tahu siapa Ayahnya.

"Iyaaa cantik banget kan? Makanya aku gak mau pindah kemana-mana. Aku bakal tetap tinggal di sini sampe tua nanti," ucap Dana penuh semangat. Setiap kali membicarakan perkebunan, mata Dana pasti langsung berbinar-binar.

"Eh ada Hira. Baguslah ada yang bantuin Dana. Ini Ibu tambah ya," ucap Sari yang membawa baskom besar berisi piring dan sendok kotor.

Hira yang melihatnya buru-buru berdiri dan mengambil alih baskom yang dibawa Sari. "Cah bagus," ucap Sari pada Hira. Beberapa orang di sini memang ada yang kurang bisa menerima Hira, namun banyak juga yang merasa simpati padanya. Dana tahu betul, Hira membenci rasa simpati yang ditujukan padanya. Namun semuanya sudah lebih baik saat Hira mulai kuliah dan terutama sekarang saat Hira sudah memiliki pekerjaan tetap di kota lain.

Hira tersenyum mendengarnya. "Makasih Bu," jawab Hira.

"Ibu tinggal dulu ya," ucap Sari lagi dan meninggalkan keduanya dengan lebih banyak piring kotor.

Saat banyak orang memanggil Ibu Dana dengan panggilan Budhe Sari, Hirawan memanggil Sari dengan panggilan Ibu.

***

KENALAN DULU SAMA HIRAWAN. NAMA JAWA - WAJAH BULE

Halooo ... ketemu lagi. Semoga kalian suka sama part ini. Jangan lupa lupa vote dan komennya. Makasiihhh :) 

Published on Wednesday, July 6, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top