Part 5 - Once Upon a Song
Malam itu, jalanan tidak seberapa macet sehingga, mereka sudah sampai di kafe sepupu Doni yang berlokasi di Surakarta hanya dalam waktu satu jam.
"Ini tempatnya?" tanya Dana, sambil turun dari motor dan melepas helmnya dan menyerahkan pada Doni.
"Iya. Bagus ya tempatnya," ujar Doni, menatap kafe yang mulai ramai di depan mereka. "Keren banget Mas Satria," ucapnya lagi.
Setelah memarkirkan motornya, keduanya berjalan menuju ke kafe tadi.
"Eh itu Mas Satria," ucap Doni, menatap ke depan dengan senyum lebar. "MAS SATRIA!!!" teriak pria itu, sambil berjalan cepat meninggalkan Dana yang masih harus susah payah berjalan.
Dana melihat Doni sedang berbincang dengan seorang pria jangkung dengan rambut pendek sedikit berombak.
"Dana sini!" seru Doni pada Dana, sambil mengayunkan tangannya. Percuma saja. Walaupun ingin, Dana tidak akan sanggup berjalan lebih cepat dari langkahnya sekarang.
"Dana, ini Mas Satria, sepupuku yang buka kafe ini," kata Doni, masih dengan senyum konyolnya.
"Satria," pria itu mengulurkan tangan dan tersenyum ramah.
"Dana," ucap Dana, sambil menerima uluran tangan Satria.
"Kaki kamu terluka?" tanya Satria, sambil menunduk dan mengarahkan matanya ke pergelangan kaki Dana yang terbalut perban.
"Iya, kemarin terkilir. Sekarang sudah agak mendingan," jawab Dana, sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
"Maaf ya. Doni gak bilang apa-apa soal kaki kamu. Aku malah jadi merepotkan gini," ucap Satria dengan tampang menyesal.
"Gak masalah kok. Nanti kan aku mau nyanyi, bukan mau dance. Lagian aku juga udah janji," ucap Dana, berusaha membalas senyuman Satria.
"Ya udah kamu duduk yuk biar kakinya gak tambah sakit," ajak Satria. Setelah Dana mengangguk setuju, Satria menuntun Dana ke sebuah tempat duduk empuk yang berada di bagian dalam indoor area kafe tersebut.
"Don, bantuin ya," ucap satria setelah mempersilahkan Dana duduk.
"Dana, aku tinggal dulu ya. Malam ini malam pembukaan jadi agak hectic. Nanti kalau giliran kamu tampil, aku ke sini lagi. Kamu gak usa ke mana-mana. Nanti biar aku minta karyawan ke sini bawain kamu minum dan snack," kata Satria, sambil menunduk menatap Dana.
"Gak perlu repot," sahut Dana.
"Gak repot kok," jawab Satria, kembali tersenyum dengan cukup memesona.
Satria masih sangat muda. Mungkin hanya dua atau tiga tahun di atasnya.
Setelah Doni dan Satria pergi, Dana hanya bisa duduk sambil memerhatikan orang-orang yang berkunjung di sana. Kafe malam itu cukup penuh dan kebanyakan yang datang adalah muda-mudi bersama teman-teman atau pasangan mereka.
Interior kafe milik Satria sangat menarik. Terdapat area indoor dan outdoor. Area outdoor lebih luas dibandingkan area indoor. Area outdoor lebih ramai dipadati pengunjung. Lampu bohlam yang ditata di atas, membuat kafe ini terlihat sangat cantik.
Lamunan Dana buyar saat seorang karyawan datang dan membawakan segelas milkshake dan French fries.
"Silahkan Mbak," kata karyawan wanita tadi dengan sopan.
"Ini dari Mas Satria?" tanya Dana mencoba memastikan karena, dia tidak merasa memesan apa-apa.
"Iya Mbak. Pak Satria yang nyuruh," jawab karyawan tadi, sambil tersenyum dan merangkul tray kayu di tangannya.
"Makasih ya."
*
Setelah menunggu kurang lebih satu jam sendirian, akhirnya Doni dan Satria kembali terlihat.
"Dana, sudah siap?" tanya Satria pada Dana.
"Maaf ya ditinggal terus dari tadi. Kafenya gila rame banget," ucap Doni, sambil duduk dan menyeruput minuman Dana tanpa permisi, terlihat sangat kelelahan. Beruntung, Dana cukup mengenal Doni jadi dia sama sekali tidak protes atau marah.
"Don. Itu minuman Dana."
Walaupun Dana tidak keberatan, ternyata Satrialah yang merasa keberatan.
"Aku ambilin baru lagi," ucap Satria, sudah hendak berbalik sebelum Dana menghentikannya.
"Gak perlu. Nanti aja setelah nyanyi," ucap Dana. Satria menatap Doni dan Dana bergantian. Dana bisa melihat bagaimana Satria merasa tidak enak tentang dirinya.
"Oke," ucap Satria.
*
Dante memarkirkan mobilnya di kafe baru tersebut dan melihat kafe sudah dipadati pengunjung. Setelah cukup lama, Dante akhirnya menemukan tempat parkir walaupun, dia harus berjalan sedikit agak jauh. Saat datang, semua orang sepertinya terpaku pada seseorang yang sedang menyanyi secara akustik di depan mereka.
Love is a word that explains how I feel for you
When you're in my arms, all my dreams come true
And when you're not around, you can't hardly see
These tears that I'm crying now are for you to be with me
If life is short
Why won't you let me love you before we run out of time?
If love is so strong
Why won't you take the chance before our time has gone?
Yuk dengerin sama-sama
https://youtu.be/_DhVjMT315o
Seperti halnya orang-orang di sana, Dante juga terhipnotis dengan suara merdu seorang wanita, yang sedang menyanyikan lagu tersebut. Dante berjalan mendekat, melewati beberapa pengunjung yang ada di sana. Karena tingginya yang di atas rata-rata, Dante cukup mudah menyeruak di antara mereka.
Kakinya sontak berhenti saat melihat gadis itu duduk di sebuah balok kayu di samping seorang pria yang sedang memangku gitarnya. Dana menyanyi dengan sangat merdu dan penuh pendalaman.
Dante hanya bisa diam terpaku di sana dengan pandangan mata tidak bisa lepas dari gadis itu. Dia bahkan tidak sadar Dana sudah berhenti jika bukan karena suara riuh tepuk tangan para pengunjung yang ada di sana.
"Terima kasih banyak semuanya," kata gadis itu melalui microphone.
Dante hanya datang untuk bisa kembali menggoda dan mengejek Dana. Tapi, dia tidak yakin dia akan sanggup melakukannya sekarang.
*
Beberapa jam sebelumnya.
Dante tertawa melihat Dana, yang susah payah berjalan cepat menuju rumahnya setelah melihat reaksi Dante ketika gadis itu mengatakan dia akan menyanyi.
Dante sedang menyalakan mesin motornya saat Doni lewat di depannya.
"Sore Tuan Muda," sapa Doni, sambil mengangguk sopan.
"Don!!" Dante, yang masih duduk di atas motornya, berbalik cepat dan menoleh pada Doni yang sudah melewatinya. Doni berhenti dan kembali mendekati Dante.
"Ya tuan."
"Minta alamat kafe baru sepupu kamu," ucap Dante cepat dan memaksa.
Doninya, yang bingung, hanya bisa merespon dengan satu hembusan napas, "HAH?!"
"Alamat kafe sepupu kamu. Cepet!" ulang Dante tidak sabar.
Doni sepertinya baru mengerti apa yang diminta Dante. "Oh, iya iya tuan. Sebentar," kata Doni dan dia buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku. Saat hendak mencari alamat yang diminta, Dante langsung menyambar ponsel Doni dan menscan kode barcode Whatsapp-nya.
"Itu nomorku. Jangan dikasih ke siapa-siapa. Nanti alamatnya kirim lewat situ," ucap Dante cepat dan kembali menyalakan mesin motornya dan meninggalkan Doni yang bingung sendirian di sana.
Doni menatap punggung Dante yang menjauh dan rumah Dana bergantian. Rumah Dana dan hampir semua orang yang bekerja di sini berada di dalam area perkebunan Pramudana.
*
Dana kembali mengucapkan terima kasih setelah, menyelesaikan lagu ketiganya. Dia hendak berhenti di lagu pertama namun, semua orang di sana serempak berteriak memintanya untuk menyanyikan satu lagu lagi. Begitu pula saat dia menyelesaikan lagu keduanya.
"WOW, KAU HEBAT SEKALI!" seru Satria dan tanpa sadar memberikan Dana sebuah pelukan singkat, sesaat, setelah Dana menyelesaikan penampilannya.
"Terima kasih," ucap Dana tersipu malu.
"Sudah kubilang kan Mas, Dana ini suaranya enak banget," kata Doni, sambil menaikkan dagunya, merasa dia berperan penting dalam keberhasilan Dana malam ini.
"Don, sudah malam," ucap Dana pada Doni.
"Kenapa? Kau sudah mau pulang? Tapi, ini baru jam setengah sebelas. Besok juga kan hari Sabtu. Nanti biar aku antar pulang," kata Satria dengan sangat bersemangat.
"Gak usa Mas. Dana biar pulang sama saya," kata Doni.
"Kamu nginep tempat saya dulu malam ini Don. Aku masih butuh bantuan. Dana biar aku antar," ucap Satria dengan wajah serius ke Doni.
"Tapi, Mas ..," Doni tampak ragu.
"Sudah, gak usa membantah. Dana biar sama aku pulangnya," desak Satria, membuat Dana menatap keduanya bergantian dengan bingung.
Dana merasa tidak enak kalau dia harus pulang dengan Satria karena, dia belum mengenal pria itu. Namun, kalau Doni masih dibutuhkan di sini, kasihan juga Doni kalau harus bolak-balik. Apa dia harus memesan mobil online? Tapi, ini sudah cukup malam. Akhirnya Dana hanya bisa diam dan menunggu keputusan mereka berdua.
"DANA SUDAH MALAM! AYO PULANG!!"
Baik Dana, Satria, dan Doni menoleh ke arah suara bersamaan.
"DANTE?!"
"TUAN MUDA?!"
Ucap Dana dan Doni bersamaan.
"Dana biar pulang sama aku. Lagipula, tujuan kita sama," ucap Dante lagi dengan tatapan menjurus ke Satria.
"Tuan Muda?" bisik Satria, tidak mengerti sambil menoleh ke Doni, meminta penjelasan.
"Dia bosnya perkebunan Mas," jawab Doni lirih namun, mustahil Dante tidak bisa mendengarnya karena jarak mereka tidak terlalu jauh.
"Doni, aku pulang sama Dante aja kalau gitu. Mas Satria, makasih banyak ya," ucap Dana, menengahi suasana yang mendadak aneh itu.
"Aku yang seharusnya bilang makasih. Nanti aku minta nomor kamu ke Doni ya. Aku harus membalas bantuanmu malam ini," ucap Satria, saat, menatap Dana sambil kembali tersenyum hangat.
"Baiklah," ucap Dana kemudian, berjalan perlahan ke arah Dante.
Dante yang melihat melihat Dana masih kesulitan berjalan, langsung maju dua langkah cepat dan memegang lengan gadis itu.
"Dante kamu ngapain sih," bisik Dana, tidak nyaman. Tapi, Dante hanya diam dan terus menuntun Dana sambil memegang lengannya.
Keduanya berjalan cukup jauh sehingga Dana minta berhenti sebentar.
"Kamu parkir mobil di mana sih?" ucap Dana kesal.
Dante melepaskan pegangan tangannya dan menatap Dana tajam.
"Kamu bodoh atau apa sih? Sudah tahu kaki kayak gitu. Kenapa masih aja keluyuran. Kamu dibayar berapa sampe segitunya belain kerjaan ini," tanya Dante tajam, tidak kalah kesalnya.
Dana hanya diam dengan ekspresi canggungnya. Dante yang membaca ekspresi itu, seketika membelalakkan matanya.
"KAMU GAK DIBAYAR??!!" teriak Dante sambil berkacak pinggang. Dante menyudutkan Dana dengan tatapan matanya, tapi Dana hanya diam saja.
"KAMU GILA YA?! KAKIMU KAYAK GITU DAN KAMU DATANG CUMA-CUMA?!!" sentak Dante, penuh murka.
Dana hanya diam tidak menjawab.
"KENAPA DIAM AJA?!" teriak Dante lagi ke arah Dana, sehingga, orang-orang yang lewat memerhatikan keduanya.
Tanpa diduga, mata Dana berkaca-kaca. Gadis itu hanya menunduk.
"Sudah selesai bentak-bentak aku? Kakiku sakit. Bisa pulang sekarang?" lirih Dana, dengan air mata yang menggenang.
Dante yang melihatnya seketika terdiam. Dia menurunkan tangannya dan menyadari dia sudah kelewatan.
Dante melihat sebuah kursi taman tidak jauh dari mereka berdiri. Dengan canggung, Dante menuntun Dana menuju kursi tadi. Dana hanya bisa menurut, tidak mau Dante kembali membentak-bentak dirinya apalagi di depan umum seperti ini. Dante mendorong kedua bahu Dana perlahan sehingga, gadis itu dengan patuh duduk di bangku tadi.
"Kamu tunggu di sini aja. Aku ambil mobilku dulu," ucap Dante melembut.
*
Saat Dante pergi, Dana mengusap air matanya, merasa malu atas perlakuan Dante tadi. Memang kenapa kalau dia tidak dibayar? Memang kenapa kalau dia hanya ingin membantu dan menepati janji yang sudah dia buat? Kenapa Dante harus berteriak-teriak padanya di depan umum?
Dia juga tidak mengerti, bagaimana Dante bisa muncul malam ini? Rasanya tidak mungkin kalau hanya kabetulan. Tadi saat melihat Dante, Dana merasa lega karena pria itu menawarinya tumpangan pulang. Dia juga merasa lebih nyaman bersama Dante. Tapi, kenapa pria itu malah memarahinya seperti tadi?
Sekitar tujuh menit kemudian, mobil Range Rover berwarna hitam berhenti di depan Dana. Dante keluar dari mobil tadi, dan berjalan mendekat ke Dana.
"Ayo," ucap pria itu, sambil kembali memegang lengan Dana, membantu menuntunnya.
Selama perjalanan pulang, Dana hanya diam dan Dante pun tidak mengucapkan maaf atau memarahinya lagi. Selama satu jam perjalanan, Dante hanya fokus mengemudi dan Dana hanya menatap jalanan di depan.
Dante menghentikan mobilnya saat sudah sampai di depan rumah Dana. Dana melepaskan sabuk pengamannya namun, saat dia hendak membuka pintu, Dante menahan tangannya.
"Aku minta maaf soal tadi," ucap Dante setelah melepaskan pegangan tangannya.
"Oke," jawab Dana datar.
Dante sepertinya tidak puas dengan jawaban Dana, tapi dia tidak lagi bertanya.
Dana diam, menunggu apakah ada hal lain yang ingin diucapkan Dante. Saat Dana melihat sepertinya tidak ada lagi yang akan diucapkan Dante, Dana pun turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih sebelum menutup pintunya.
Dante menatap gadis itu sampai dia masuk ke dalam rumah.
*
Setelah mengantarkan Dana sampai di depan rumah, Dante kembali ke rumah utama. Tidak seperti biasanya, padahal sudah hampir tengah malam, namun, Dante bisa mendengar suara orang-orang bercengkerama di dapur.
Dante pun berjalan menuju dapur dan ternyata beberapa orang ibu-ibu sedang duduk di lantai sambil sibuk menyiapkan bahan makanan yang tampak sangat banyak.
Ibunya, Sinta, juga berada di sana. Dante juga melihat budhe Sari.
"Ada apa buk?" tanya Dante sambil berjalan kemudian, berlutut di lantai untuk mencium tangan Ibunya.
"Kamu baru pulang?" tanya Sinta. Dante hanya mengangguk.
"Mau ada acara 'buk?" tanya Dante lagi.
"Enam bulan sekali kan kita mesti makan-makan bersama. Buat syukuran aja sama biar tambah akrab juga," jawab Sinta, sambil memetik bayam dari batangnya.
"Habis ini juga selesai, besok subuh dilanjut lagi," imbuh Sinta.
Dante melihat ada tujuh orang ibu-ibu di sana. Dante melihat ke arah budhe Sari dan seketika pikirannya melayang ke Dana yang sedang di rumah sendirian. Dia pun bertanya.
"Dana sendiri rumah budhe?" tanya Dante, menatap budhe Sari.
***
Bilangin Dante jangan baper lihat Dana nyanyi. Kan besok mau kencan sama Mila 😜😜
Makasih yang sudah hadir di sini, kalian beneran penyemangat buat aku. Please vote dan komen ya. Love you soooo much!!! SERIOUSLY!!!
Published on Tuesday, Jul 5, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top