Part 4 - Once Upon an Ankle
Dana tertawa sendiri mendengarnya. "Kau tidak percaya diri tanpa uangmu? Kau ini tampan, kaya, pintar. Kau benar-benar paket lengkap," seru Dana.
"Wahh ... kau sepertinya sangat mengagumiku," goda Dante dan Dana sudah melayangkan tinjunya. Dante cepat-cepat menghalau tangan Dana dan berkata, "Oke oke, maafkan aku, aku hanya bercanda."
"Aku bukannya tidak percaya. Aku hanya tidak pernah melakukannya," kata Dante tegas sambil kembali berjalan karena Dana juga mulai berjalan pelan.
"Baiklah ... baiklah ... . Tapi kalau dia marah karena merasa ditipu, jangan libatkan aku," Dana mengingatkan.
"Baiklah, gadis kecil," kata Dante sambil merangkulkan tangannya ke pundak Dana.
"Jangan sok akrab. Kita bukan anak kecil lagi," protes Dana sembari menjauhkan dirinya dari Dante.
"Bukahkah kita dulu sering menghabiskan waktu bersama?" Dante mengingatkan sambil melebarkan langkah karena Dana berjalan setengah berlari di depannya.
Hampir seharian Dana mengajak Dante berkeliling perkebunan Pramudana dan menyapa banyak orang di sana. Setelah mengunjungi kebun terung, mereka mampir ke beberapa lahan kebun lainnya. Tidak seperti yang disangka Dante, ternyata masih banyak sekali orang yang mengingat dirinya. Dante juga mengingat beberapa orang yang masih bekerja di sana dari dirinya masih kecil.
Beberapa orang itu bahkan ada yang sudah menikah dan memiliki anak. Dante cukup heran bagaimana Dana bisa sangat akrab dengan semua orang itu. Dan orang-orang itu, Dante bisa melihat bagaimana mereka juga sangat menyukai Dana.
Matahari masih terik walaupun sudah menjelang jam tiga sore. Dante dan Dana berjalan berdampingan setelah keduanya memutuskan kembali ke kantor.
"Kakimu tidak capek?" tanya Dante mengingat entah sudah berapa kilometer mereka berjalan ke beberapa lahan di perkebunan.
"Kamu capek?" Dana bertanya balik.
"Yah lumayan. Aku bakal tidur sangat nyenyak malam ini," jawab Dante dan pria itu tidak bertanya balik.
Dante dan Dana berjalan berdampingan tanpa lagi berbicara selama tiga menit penuh, sampai Dante kembali bertanya. "Hai, soal Doni yang entah berapa kali mengingatkanmu jangan lupa soal besok," kata Dante.
"Hhmmm .. ada apa?" tanya Dana sambil masih berjalan santai dengan Dante di sampingnya.
"What is it all about?" tanya Dante.
"Kenapa kau penasaran?" tanya Dana.
"Bukan apa-apa. Hanya saja dia mengatakannya berulang-ulang seakan itu hal yang penting," ucap Dante sambil sesekali menoleh ke arah Dana.
Dia bisa melihat Dana tersenyum kecil sebelum menjawab, "Bukan apa-apa."
"Kau tidak mau mengatakannya?" tanya Dante.
Bukannya menjawab, Dana berjalan dua langkah di depan Dante kemudian berbalik dan berjalan mundur menghadap Dante sambil bertanya, "Hei, soal kencanmu hari Sabtu dengan Mila. Berjanjilah sesuatu."
"Apa?" tanya Dante.
"Kalian tidak akan membicarakan soal rencana penginapan di perkebunan. Kita hanya akan membicarakan itu minggu depan saat aku ikut nanti," pinta Dana sambil masih berjalan mundur.
"Baiklah, tidak masalah," janji Dante sambil tersenyum.
"Bagus. Terima kasih," kata Dana dan saat Dana melangkah mundur lagi, dia tidak menyadari sebuah batu besar di belakangnya. Kakinya memijak batu tersebut dan terselip sehingga dia hampir terjatuh ke belakang kalau saja Dante tidak cepat maju dan menangkap tubuhnya.
Dante mendekap tubuh Dana dan menahan kepala gadis itu dengan lengannya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Dante kaget.
"Ya, aku baik-baik saja," jawab Dana. Namun saat Dana hendak memijakkan kakinya lagi, dia menyadari rasa sakit yang teramat sangat di pergelangan kaki kanannya.
Dana mengernyit, berusaha menahan rasa sakitnya.
"Kau bisa berdiri?" tanya Dante melihat Dana yang tidak kunjung melangkah, hanya berdiri sambil berpegangan pada lengan baju Dante.
Dana diam. Mungkin dengan diam beberapa saat, rasa sakitnya akan hilang. Dana mencoba melangkah dengan kaki kanannya dulu dan ternyata apa yang dia bayangkan salah. Dia baru sadar pergelangannya sangat sakit saat dia mencoba melangkah dengan kaki kanannya tersebut, hingga tanpa sadar dia berteriak kesakitan.
Dengan cepat, Dante kembali memegang lengan gadis itu sambil berusaha menumpukan beban badan gadis itu pada dirinya.
"Biar kulihat," kata Dante dan dia langsung berlutut di depan gadis itu.
"Dante kau tidak perlu begini," kata Dana panik karena Dante sudah berlutut di depannya. Dana bergerak dengan gelisah namun gerakannya tadi malah kembali memunculkan rasa sakit di kakinya dan dia kembali memekik kesakitan.
"BISAKAH KAU DIAM!" teriak Dante terlihat sangat tidak sabar. Dana yang terhenyak, langsung membeku di tempatnya.
Dante mengarahkan tangannya dan dia memegang pergelangan kaki Dana. Saat itulah, Dana kembali berteriak kesakitan. "Kakimu terkilir," ucap Dante, masih berlutut di depan Dana.
"Ayo, biar kugendong pulang," ucap Dante dengan wajah serius.
"Apa? Tidak-tidak, tidak perlu," tolak Dana panik.
"Apa kau mau kita sampai kantor malam kalau kau nekad berjalan dengan kondisi seperti ini?" tekan Dante.
Dana terdiam. Dia tahu dia tidak memiliki pilihan.
Dan saat itulah, Doni lewat membawa sepedanya. Doni yang melihat Dana dan Dante berhenti, ikut menghentikan sepedanya.
"Ah Doni! Syukurlah!" seru Dana.
"Ada apa?" tanya Doni masih berada di atas sepedanya.
"Sepertinya kakiku terkilir. Kau bisa mengantarku pulang?" tanya Dana cepat-cepat.
"Astaga Dana. Kau ceroboh sekali. Ayo naik," ucap Doni.
"TUNGGU!" seru Dante. "Apa kau tidak lihat sepedanya? Di mana kau akan duduk? Ayo, naik saja ke ....," Dante tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena Dana memotongnya cepat.
"Aku bisa duduk di depan!" jawab Dana kencang sambil menunjuk besi di depan sadel kulit sepeda tua itu.
"Ya, Dana bisa duduk di situ," timpal Doni.
"Tapi ...," ucap Dante masih tidak yakin.
"Ayo ... ayo cepat Doni," perintah Dana dan Doni mendekatkan sepedanya ke Dana. Gadis itu kemudian duduk miring di depan Doni. Dan, Doni kembali meletakkan keduanya tangannya di pegangan tangan, sehingga badan kecil Dana terkungkung oleh badan Doni.
"Dante maaf, aku tinggal dulu ya," ucap Dana dan gadis itu menepuk lengan Doni.
Doni yang langsung tersadar, berkata, "Mari tuan muda. Saya anter Dana pulang dulu." Dan pria itu kemudian melajukan sepedanya, meninggalkan Dante berdiri sendiri di sana.
*
"Dua bulan wes terkilir dua kali itu gimana ceritane seh nduk," ujar Sari sambil mengurut pergelangan kaki anaknya.
"Maaf Buk, Dana gak hati-hati," jawab Dana menyesal.
"Sudah. Jangan gerak-gerak dulu. Sepeda kamu, kamu tinggal?" tanya Sari lagi dan Dana hanya bisa mengangguk.
"Ya wes Ibuk istirahat dulu. Kamu juga ndang tidur," imbuh Sari dan dia keluar dari kamar Dana dan menutup pintunya.
Dana berbaring di tempat tidurnya dan menatap langit-langit sambil menerawang. Dia tidak percaya, jantungnya masih berdetak tidak karuan saat bersama Dante tadi, apalagi saat pria itu merangkulnya. Dulu pun begitu.
Dana berbalik dan menghadap ke kanan. Dulu dan sekarang, dia tidak pernah memiliki kesempatan.
*
Dana sudah membungkus kaki kanannya dengan elastic bandage dan dia sudah bersiap ke kantor setelah menyelesaikan sarapannya. Seperti biasa, Sari sudah pergi ke rumah utama sejak pukul setengah lima pagi.
Dengan tertatih, Dana berjalan menuju pintu dan membukanya. Setelah mengunci pintunya, Dana berjalan ke luar rumah.
"Sudah siap?"
Dana melongok dan kaget saat melihat Dante sudah berdiri di depan pagar rumahnya dengan sepeda motor butut milik Pak Rio.
"Dante? Ngapain kamu di sini?" tanya Dana bingung.
Dante masih berdiri tegak di sana sambil tersenyum simpul. "Aku takut kamu bolos kerja dengan alasan kakimu," ucap Dante sambil mengarahkan dagunya ke kaki Dana yang terbalut perban coklat. "Ayo," katanya, kemudian maju dan meraih tangan Dana dan menariknya pelan ke arah sepeda motor.
Dante memegang satu setang sepeda motornya dan menatap Dana, menunggu gadis itu untuk naik.
"Makasih ya," kata Dana sebelum akhirnya naik ke boncengan motor dengan sedikit susah payah.
Setelah Dana sudah duduk di belakang, Dante pun naik di depannya.
"Aku harus membeli motor baru. Kakiku sakit rasanya menaiki motor ini," ucap Dante sembari melajukan motornya. Dana hanya tertawa tanpa suara di belakangnya.
"Semalam aku menelepon Mila lagi. Kita mengobrol hampir tiga jam. Kau percaya itu?" ucap Dante dan Dana hanya tersenyum simpul tanpa Dante bisa melihatnya.
"Apa aku mengajaknya membeli motor baru sekalian hari sabtu besok saat aku mengantarnya membeli buku?" ucap Dante.
"Apa kau gila?!" seru Dana di belakangnya. "Bukannya kau yang bilang ingin mempertahankan image orang biasa di depannya? Orang biasa tidak tiba-tiba membeli motor baru. Beberapa dari kami harus menabung lama, itu pun kadang kami hanya bisa membeli motor second. Yang benar saja," oceh Dana.
Dante, di lain pihak, malah tertawa keras di depannya. "Kau benar juga," setuju Dante.
Seharian ini, tidak seperti biasa, Dana menghabiskan seluruh waktunya hanya di kantor bersama Maya dan Dita. Rio kembali menemani Dante di kantor dan beberapa kali mengajak anaknya untuk berkeliling.
Saat jam makan siang, Doni datang ke kantor dan menyapa ketiga wanita yang ada di sana.
"Dana, nanti malam jadi kan?" tanya Doni lagi.
"Kalau kamu tanya sekali lagi, serius aku bakal bilang nggak jadi," jawab Dana sambil menghela napas kesal.
"Aku takut karena kakimu itu, kamu batalin rencana nanti malam. Lagian kamu juga, seneng banget terkilir kakinya. Perasaan baru kapan hari terkilir, sekarang terkilir lagi," cerocos Doni yang duduk di meja Dana dengan hanya satu pantat menempel di meja tersebut.
"Iya kan? Perasaan baru kapan hari Dana keseleo eh sekarang keseleo lagi," timpal Maya.
"IYAAA DANA ITU KAKINYA KIRI SEMUA MAKANYA DIA SUKA KESANDUNG SAMA KAKINYA SENDIRI," Rio, yang mendengar percakapan mereka, ikut berkomentar sambil berteriak dari ruangannya yang berada di pojok tanpa tersekat dinding pembatas sama sekali.
Dante yang ada di sana akhirnya ikut menoleh ke Dana dan melihat gadis itu sedang menikmati makan siang dari kotak bekalnya bersama Maya dan Dita.
"Injih, bener itu Pak. Jadi inget yang waktu dia kesandung sendiri terus nabrak tumpukan kayu sampe kayunya jatuh semua," tawa Doni yang mengingat kejadian tersebut.
"WAKTU ITU KAMU JUGA KAN DON YANG BANTU DANA RAPIIN BALOK-BALOK KAYU ITU," Rio kembali ikut berkomentar.
"Injih Pak. Bisa habis Dana kalau saya gak lewat waktu itu," ucap Doni dengan wajah penuh kebanggaan.
"Ya wis aku tak balik. Dana, Mbak Maya, Ditaa," kata Doni berpamitan. Namun nada bicaranya mendadak lebih lembut saat menyebut nama Dita. Ditanya sendiri hanya mengangguk malu dan tidak mengucapkan apa-apa.
"Dana jangan lupa lho. Nanti malam," ucap Doni lagi sebelum berlari keluar setelah melihat wajah murka Dana karena kembali menanyakan hal yang sama.
*
Tepat jam empat sore, Maya dan Dita berpamitan pulang, dan Dana pun memutuskan untuk pulang tepat waktu juga.
"Pak Rio, Dante, Dana juga pulang," ucap Dana.
"Iya, hati-hati ya," jawab Rio.
"Ayo, kuantar," kata Dante langsung berdiri dari duduknya saat melihat Dana sudah berdiri dan berpamitan pada mereka.
"Gak perlu. Aku bisa minta anter Dita," kata Dana.
Dante tidak menjawab, hanya tetap berjalan keluar melewati Dana. Dana pun ikut keluar dan dia bisa melihat Dante sudah mengambil motor yang tadi terparkir.
"Ayo," katanya sambil menyalakan mesin motor.
Dana pun pasrah dan naik ke motor itu. Selama perjalanan yang singkat itu, baik Dante dan Dana tidak ada yang berbicara. Dante mematikan mesin motornya saat sudah di depan rumah Dana. Gadis itu turun perlahan sambil berpegangan pada lengan Dante.
"Makasih ya. Kayaknya Senin sudah enakan jadi gak usa jemput," ucap Dana.
"Oke,"ucap Dante.
"Jangan lupa saranku kemarin. Besok kalau kencan sama Mila, jangan ikutan beli buku, baca-baca aja di sana sambil nunggu dia selesai beli buku. Trus habis itu, ajak makan di depot sederhana aja. Kamu tetap yang harus bayarin," kata Dana.
Dante tidak memberikan ekspresi berarti dan hanya mengangguk.
Sebelum Dana berbalik, Dante tiba-tiba bertanya. "Doni ngajakin ke mana sih nanti malam. Kesel sendiri aku dengernya," ucap Dante.
Dana melotot dan tertawa. "Kamu ngapain kesel?" tanya Dana masih sambil tertawa.
"Lah dia tanya-tanya terus," jawab Dante. "Ke mana sih?" tanyanya lagi.
"Sepupunya baru buka kafe di Surakarta. Aku diminta ...," Dana berhenti sambil berdeham. "Menyanyi di sana," lanjut Dana tampak malu saat mengatakannya.
"Nyanyi?" ulang Dante seakan dia salah dengar.
"Iya."
Dante berusaha menahan tawanya. "Memangnya kamu bisa?" ledek Dante masih berusaha menahan tawanya.
"Iya ejek terus aja. Udah ah. Hati-hati pulangnya," kata Dana kemudian berjalan tertatih masuk ke dalam rumah dan langsung menutup pintunya rapat.
Tepat jam enam sore, Doni menjemput Dana menggunakan motor bebeknya. Dana masih harus melangkah dengan hati-hati saat keluar rumah dan naik motor Doni.
"ASTAGA KAMU PAKE APA DON?!" seru Dana seketika saat dia sudah naik ke jok belakang motor Doni. Dana menutup hidungnya, tidak kuat dengan aroma parfum Doni.
"Bau apa? Aku pake parfum. Wangi kan?" tanya Doni sambil mengendus sendiri ketiak kanan dan kirinya bergantian.
"Kalau kamu mau bikin orang pingsan, berhasil kamu," hina Dana masih menutup hidungnya. "Udah cepet jalan aja. Mungkin kalau kena angin baunya gak seberapa kerasa. Satu botol kamu tuang semua ke badan atau gimana sih," imbuh Dana yang wajahnya sudah memerah.
"Ah kamu aja yang gak ngerti beginian. Norak. Orang pake parfum aja pakek dikata-katain," cemooh Doni kemudian melajukan motornya.
"Terserah," celetuk Dana.
***
* * * si tuan muda * * *
*** yang terkilir dua kali dalam dua bulan * * *
Pagiiiii ... masih ada yang baca kan? Masih suka kan? Semoga masih suka dan makin penasaran ya. Please, jangan lupa tinggalin vote dan komen ya.
Published on Monday, Jul 4, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top