Part 33 - Once Upon My Part

Dana yang sudah duduk di atas ranjang empuk, nyaman, dan mewah di dalam kamar hotel, dikagetkan oleh suara ketukan di depan pintunya. Dengan ragu, gadis itu turun dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu.

"Dante?!" seru Dana dan dia langsung menatap sekitar. Tanpa permisi, Dante langsung masuk ke dalam kamar.

"Dante kamu gila, ya?! Gimana kalau Ibumu tahu kamu di dalam kamarku?!" teriak Dana heboh.

"Nggak bakal. Ibu sudah bicara sama kamu. Itu sudah cukup membuatnya puas jadi Ibu nggak akan cari aku lagi sampai nanti malam," kata Dante yang kemudian langsung duduk dipinggiran tempat tidur.

"Mau makan di kamar aja atau keluar?" tanya Dante.

Dana yang menyadari perutnya merasakan lapar yang luar biasa, langsung menempelkan tangannya di perut. Dia kemudian menatap sekeliling. Kamar ini cukup luas, dan terdapat teras kecil yang menghadap ke laut.

Dia sebenarnya iri saat melihat orang-orang menikmati makanan di restoran tadi sementara dirinya sedang dimarahi Bu Sinta. Dia juga ingin makan di restoran, namun untuk saat ini, sepertinya makan di kamar jauh lebih aman.

"Di kamar aja," jawab Dana.

Dante mengangguk dan kemudian bergerak mendekat ke telepon yang berada di atas nakas tepat di samping ranjang tanpa dirinya turun dari tempat tidur.

Dante tidak menanyakan apa yang Dana ingin pesan. Pria itu langsung menyebutkan beberapa menu yang ada di buku menu yang tadi tergeletak di samping pesawat telepon.

Kurang dari satu jam, seorang staff hotel mengantarkan makana mereka ke kamar. Selagi menikmati makan malam mereka di teras kamar hotel, keduanya membicarakan banyak hal, mulai dari workshop mereka siang tadi, kehidupan kuliah mereka, hingga kenangan masa lalu. Namun, satu yang tidak lagi dibahas Dante. Tentang ibu mereka masing-masing.

"Apa kau pernah sekali saja memikirkanku saat kau sekolah di luar negeri?" tanya Dana tiba-tiba.

"Aku akan berbohong kalau aku bilang aku selalu memikirkanmu. Tapi, kau memang selalu berhasil muncul beberapa kali. Seperti saat aku dan teman-temanku pergi ke taman hiburan. Aku juga tiba-tiba teringat padamu saat melihat hiasan rambut berbentuk ladybug. Aku ingat kau dulu sering sekali mengajakku mencari kumbang kecil dan kemudian kau memasukkan mereka ke dalam kotak kacamu," jawab Dante.

"Atau saat aku belajar keras untuk ujian dan aku merasa lelah, aku tiba-tiba teringat dirimu. Kau yang masih SMP kala itu berkata, 'kenapa belajar keras sekali? Aku nggak pinter pun semua orang di sini masih sayang aku.' Aku tidak setiap saat memikirkanmu tapi beberapa kali, tanpa kuduga, bayangan dirimu tiba-tiba muncul seperti tadi. Saat itu terjadi, aku penasaran bagaimana dirimu saat itu. Apakah kau sudah bertambah tinggi? Di mana kau belajar? Apa kau masih berkeliaran seperti anak tersesat di perkebunan? Aku ingat kau selalu sendirian di rumah, karena itu kau lebih senang menghabiskan waktu di rumah pekerja atau memintaku menemanimu," tawa Dante.

Dana ikut tertawa dan menatap pria tampan di depannya dengan sangat dalam.

"Dana, kamu jangan berpikir untuk tinggalin aku, ya. Apapun yang Ibuku atau Ibumu katakan nanti, kamu nggak boleh menyerah sama aku. Aku minta kamu percaya aku. Kamu harus janji," kata Dante serius.

Dana, di lain pihak, mengernyitkan dahinya. "Kenapa ngomong kayak gitu serius banget sih," ucap Dana sembari memutus kontak mata dengan Dante.

"Dana, janji sama aku," ulang Dante, sembari memajukan punggungnya.

"Kita jalani dulu aja," jawab Dana tampak bingung. Gadis itu bahkan menolehkan kepala Dante dengan tangannya, berharap Dante tidak lagi menatapnya dengan lekat.

*

Walaupun semalam berbagai pikiran memenuhi kepalanya, pagi ini Dana kembali mendapat tambahan tenaga saat dirinya terbangun dengan pemandangan laut yang membentang di depannya. Dana yang terbiasa lari pagi, bahkan memutuskan untuk tetap berbaring di atas ranjang selama lima belas menit. Hanya memandang ke arah laut di depannya.

Pagi itu Dana memilih mengenakan celana capri berwarna coklat dan atasan berwarna hitam. Saat mematut dirinya di depan cermin, dia mendengar pintu kamarnya diketuk. Sebuah senyuman langsung terbit di wajahnya. Semalaman dia memikirkan Dante dan hal itu membuatnya sangat merindukan pria itu pagi ini. Dana memutuskan menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan Dante sebelum dia mundur.

Dengan penuh semangat, Dana berlari kecil menuju pintu dan membukanya. Namun, semangatnya langsung luruh saat melihat ternyata Milalah yang berdiri di depan pintu.

"Hai," sapa gadis itu riang. Tapi, tidak dengan Dana.

"Pagi Mila," Dana menjawab sapaan Mila.

"Workshopnya mulai jam berapa?" tanya Mila masih dengan senyum lebar khasnya.

"Jam sepuluh," jawab Dana.

Mila kemudian melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Masih ada waktu," gumam gadis itu sendiri.

Mila kemudian kembali mendongak dan menatap Dana. "Sarapan bareng, yuk. Tapi, di luar hotel aja. Ada yang mau aku omongin juga," ajak Mila.

Dana yang bahkan belum menjawab, terkaget-kaget saat Mila tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dan berkata dengan ceria, "Ayo."

*

"Dante, ya?"

Dana mendongakkan kepalanya dari layar ponsel ke wajah gadis yang duduk di depannya, Mila. Setelah menarik Dana untuk ikut dengannya, Mila kini membawa Dana ke sebuah restoran yang tidak seberapa besar namun dengan nuansa Bali yang sangat kental.

"Aku angkat dulu," kata Dana sembari berdiri dan menuju ke pintu keluar yang tidak seberapa jauh mengingat ukuran restoran yang kecil. Selain dirinya dan Mila, pagi itu ada sepasang laki-laki dan perempuan bule yang juga menikmati sarapan mereka di sana.

Dana berhenti tepat di depan pintu masuk, karena merasa tidak nyaman berbicara dengan Dante di depan Mila.

"Kau di mana?" sambar Dante tepat setelah Dana menerima panggilan teleponnya.

"Aku tidak sarapan di hotel. Sebenarnya aku bersama Mila saat ini. Dia mengajakku sarapan di luar. Dia bilang ada yang ingin bicarakan," jelas Dana.

Dana bisa mendengar Dante mengumpat pelan di seberang sana, membuat Dana mengernyitkan dahinya karena ini pertama kalinya Dante terdengar mengatakan kata-kata tidak pantas. "Maaf, aku tidak bicara padamu," kata Dante, sepertinya menyadari Dana mendengar kata-katanya barusan.

"Ada apa?" tanya Dana. Dari reaksi Dante, sepertinya pria itu tahu apa yang akan Mila katakan padanya.

"Apapun yang dia bilang nanti, tidak perlu mengatakan apa-apa. Cukup dengarkan dan sudahi cepat," kata Dante tidak sabar.

Dana mengernyitkan dahinya kembali, bukan karena dia melihat tiga orang bule sedang berboncengan sepeda motor yang sedang melintas, melainkan karena tidak mengerti dengan ucapan Dante. "Memang kamu tahu dia mau bicara apa?" tanya Dana.

"Dia mengatakannya padaku kemarin," ucap Dante.

"Tidak ada masalah, kan?" tanya Dana lagi mencoba menggali sedikit lagi informasi.

"Tentu saja tidak ada masalah di antara kita. Tapi, otaknya yang sudah bermasalah. Aku tidak menyangka dia wanita seperti itu," oceh Dante lagi.

Dana menggidikkan kepalanya. Sepertinya berbicara dengan Dante membuatnya semakin bingung. "Aku tutup dulu. Aku akan kembali sebelum workshopnya mulai," jawab Dana pada akhirnya.

"Baiklah. Aku tunggu di sini," sahut Dante di seberang sana.

Setelah menutup sambungan telepon dengan Dante, Dana kembali masuk dan mendapati Mila sedang memperhatikannya.

"Kenapa nggak makan?" tanya Dana yang hendak duduk, melihat di atas meja sudah ada pesanan mereka tertata rapi di sana.

"Nggak apa-apa, nunggu kamu," jawab Mila ramah.

Setelah Dana duduk, keduanya pun langsung menikmati sarapan mereka. Mila memesan supreme avocado breakfast sedangkan Dana memesan Hawaiian fried rice. Dana menikmati sarapannya sembari menunggu Mila yang memulai pembicaraan.

"Apa kamu kaget pas lihat aku sama Tante Sinta datang?"

'This is it,' batin Dana yang menyendokkan suapan terakhir nasi goreng ke dalam mulutnya. Dia menatap Mila dan piring gadis itu sudah bersih.

"Entahlah. Bali kan memang tujuan wisata. Jadi ... ," ucap Dana menggantung.

"Aku tidak akan basa-basi," ucap Mila dengan senyum yang super manis, seakan dia sudah sangat terlatih menjaga sikapnya agar senantiasa terlihat anggun dan memesona.

"Baiklah," sahut Dana ikut menegakkan tubuhnya.

"Aku menyukai Dante," kata Mila lancar. Bahkan saat mengatakannya, gadis itu masih tersenyum hangat. "Aku tahu kalian sedang memiliki hubungan. Aku tidak akan mengatakan soal ini kalau aku tidak berniat melakukan apa-apa. Tapi, aku sudah memutuskan. Aku akan berusaha merebut hatinya," jelas Mila.

Dana bahkan sempat ingat umpatan Dante tadi. Rasanya dia juga ingin mengeluarkan kata-kata yang sama. Bagaimana bisa Mila mengatakan hal barusan dengan sangat tenang seakan dia tidak sedang menyakiti hati seseorang.

"Aku tidak akan senekad ini kalau tante Sinta dan Ayahku tidak mendukungku. Aku pikir ... ahhh ... sepertinya aku memang memiliki kesempatan," lanjut Mila. Dia bahkan tidak memberikan Dana waktu untuk memproses kalimatnya sebelum ini, tapi dia sudah meluncurkan kalimat lanjutan.

Pasangan bule yang duduk di seberang mereka tertawa keras, membuat Dana menoleh sekilas tapi tidak dengan Mila. Wanita itu seakan tidak terganggu dengan apapun yang ada di sekitarnya. Tawa keras bule tersebut membuat Dana merasa mereka sedang menertawakan dirinya.

"Aku pun sudah mengatakan hal yang sama pada Dante semalam. Aku cukup yakin Dante juga memiliki ketertarikan padaku," lanjut Mila.

'Bisa berhenti sebentar, aku perlu mencerna semua ini,' batin Dana sambil menatap Mila kosong.

"Aku tahu kau pasti membenciku. Aku tahu kau pasti terganggu dengan keberadaanku di antara kalian. Karena itu aku ingin memperjelas semuanya sekarang. Akan lebih baik jika kamu tahu maksudku dari awal, kan?" imbuh Mila.

"Hate is a strong word. Aku tidak pernah menganggapmu semacam gangguan seperti yang kamu bilang barusan," potong Dana. Kenapa Mila terus saja bicara tanpa bertanya apa pendapatnya.

"Baiklah," kilah Mila.

"Jadi, aku akan ....," Mila tidak sempat menyelesaikan kata-katanya karena Dana kembali memotongnya.

"Apa kau mencintai Dante?" tanya Dana dengan tegas.

Mila mengerjap. Sepertinya tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti ini dari Dana. "Aku menyukai Dante. Dari semua pria yang mencoba mendekatiku, cuma Dante yang berhasil membuatku penasaran dan memikirkannya. Ayahku juga sangat menyukainya. Tante Sinta, anehnya, juga beranggapan yang sama. Sepertinya ini pertanda, kan?" ujar Mila.

"Pertanyaanku cukup sederhana. Kau hanya cukup menjawab ya atau tidak. Apa kau mencintai Dante?" ulang Dana dengan raut wajah sangat serius.

Mila terkekeh pelan sambil menolehkan kepalanya ke kanan sekilas. "Tentu saja. Kalau tidak kenapa aku sampai mau melakukan sejauh ini," jawab Mila.

"Kau masih tidak menjawab pertanyaanku dengan jelas," gumam Dana lirih sehingga Mila tidak mendengarnya.

"Aku mencintai Dante. Dari dulu sampai sekarang aku selalu membayangkan bisa terus bersamanya. Melihatnya tersenyum bahagia, it's a privilege. Dia tersenyum bahagia karena diriku, aku tidak tahu apakah kau tahu bagaimana istimewanya perasaan itu. Aku memang mencintainya tapi bukan berarti aku cukup egois untuk memaksanya meninggalkan orang yang dia cintai. Bu Sinta," kali ini Dana yang bicara. Mila, di lain pihak, menatapnya kaku.

"Aku tidak pernah menyukai kata-kata mencintai tidak harus memiliki, tapi kenapa kalimat tersebut akhir-akhir ini terngiang di kepalaku," lanjut Dana, kemudian jeda sebentar.

"Apa pun yang kau lakukan nantinya, jangan melakukan hal yang membuatnya sedih. Karena itu akan jadi bagianku. Aku balik ke hotel sendiri. Terima kasih untuk sarapannya," ucap Dana kemudian berdiri dan pergi dari sana, tidak lagi menoleh ke Mila. Dia tidak peduli lagi apa yang akan gadis itu pikirkan. Namun, sekarang, dia sangat merindukan Dante.

***

Sianggg ...  Semoga part ini bisa mewarnai hari kalian (#ealah bahasanya hahahaaa). Jangan lupa komen dan votenya ya. Besok bakal update lagi. Dante dan Dana sayang kalian!!!

Published on Wednesday, April 27, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top