Part 32 - Once Upon a Bali

Sarapan pagi itu cukup hening. Pak Rio hanya berkomentar asal tentang sedapnya makanan pagi itu, sedangkan Sinta dan Dante sama-sama bungkam.

Setelah keluarga Pramudana dan Mila menyelesaikan makanan mereka pagi itu, Dante langsung beranjak dan seperti biasa, Mila mengikuti di belakang karena memang letak kamar mereka bersebelahan.

Dante berhenti, kemudian menoleh. "Mila, bisa aku bicara sebentar denganmu?"

Dengan senyum tersungging, Mila menjawab dengan anggukan kecil. Mereka pun berjalan menuju sebuah pekarangan di belakang rumah tepat di samping sebuah kolam ikan koi.

"Ada apa?" tanya Mila. Keduanya berdiri di samping kolam.

"Mila di malam kita pergi ke pertunjukan seni, kenapa kau tidak bilang kalau kau bertemu Dana? Kau tahu sendiri aku mencoba menghubunginya semalaman," ucap Dante dan dia bisa melihat seketika perubahan raut wajah gadis itu.

"Aku bilang pun tidak akan membantu. Karena itu aku pikir tidak akan berguna kalau pun aku memberitahumu," ucap Mila dan Dante bisa tahu gadis ini merasa terganggu dengan pertanyaanya.

"Entahlah ... walaupun tidak akan membantu, paling tidak kau bisa memberitahuku kau melihatnya dan sudah memberitahunya tentang pertunjukan seni yang akan kita tonton," ucap Dante.

Mila tidak langsung menjawab, hanya menatap Dante dengan tatapan tidak terima. "Kalau ini membuatmu lebih baik, aku minta maaf. Maaf kalau aku tidak bilang apapun ke kamu malam itu. Tidak akan ada yang berubah kalau pun aku memberitahumu," imbuh Mila.

Dante menghembuskan napas kasar, cukup paham bahwa saat ini Mila tersinggung dengan pertanyaannya.

"Baiklah, aku hanya ingin tahu alasanmu. Maaf mengganggu waktumu," ucap Dante dan langsung berbalik meninggalkan gadis itu berdiri di sana. Dante merasa tidak puas dengan jawaban Mila namun dia pun tidak lagi peduli.

Setelah kembali ke kamarnya untuk mengambil ponsel dan laptop, Dante keluar dari kamar dan berjalan menuju ke motor yang terparkir di halaman rumah utama. Ibunya masih memainkan jurus diam, jadi Dante hanya bisa berpamitan tanpa mendapat sahutan.

Saat Dante sudah naik ke motor, dia melihat Mila berjalan ke arahnya. "Maaf membuatmu menunggu," kata gadis itu sambil berjalan mendekat.

Saat Mila sudah berada tepat di samping Dante, pria itu berkata, "Maaf aku tidak bisa memberikanmu tumpangan."

"Apa?" respon gadis itu cepat dan kaget.

"Kemarin Ibuku mengatakan pada Dana bahwa dirinya membuatmu salah paham tentang hubungan kami. Kita berdua tahu, kaulah yang bisa membuat Dana salah paham. Jadi,mulai sekarang, sebaiknya aku berhati-hati. Kita hanya rekan kerja dan aku akan menjaganya seprofessional mungkin," ucap Dante tegas.

Mila hanya diam sambil memandangnya.

"Baiklah. Tidak masalah. Katakan maafku pada Dana jika kehadiranku membuatnya salah paham," ucap Mila dengan tidak suka.

*

"Lah, terus kalau bukan Dana, siapa yang pergi? Dita? Maya? Kan, memang tugas Dana selain sebagai Afdeling, dia juga Asisten kebun. Dita dan Maya mengerjakan administrasi," jelas Rio, kemudian menyeruput kopinya.

"Bapak ini sengaja, ya. Supaya Dante dan Dana bisa pergi bareng. Mau jadi mak comblang, gitu? Ibu nggak setuju!" sungut Sinta yang duduk tepat di samping Rio dengan badan menghadap sepenuhnya ke Rio.

"Nggak perlu jadi mak comblang mereka sudah jadian, Buk. Dante malah sudah bilang ke kita, kan, dia mau serius sama Dana," ujar Rio kalem.

*

"Tumben telat."

Dana yang sedang memarkirkan sepedanya langsung menoleh dan mendapati Dante sudah berdiri di belakangnya sambil tersenyum-senyum sendiri.

"Ada kabar baik apa? Pagi-pagi senyum sudah lebar gitu," tukas Dana kemudian berjalan menuju kantor dan Dante menyesuaikan langkahnya di samping Dana.

"Jum'at besok kita ke Bali," ucap pria itu, terus-terusan menelengkan kepalanya ke Dana. Dana, yang mendengar kata 'Bali' dan 'kita' langsung berhenti dan membulatkan matanya.

"Bali? Kita?" ulang Dana.

"Iya. Undangan workshop di Bali. Kau dan aku yang akan pergi," ujar Dante penuh semangat.

Dana yang mulanya diam dan tampak berpikir keras, akhirnya bertanya, "Apa tidak apa-apa?"

"Apanya yang tidak apa-apa?" sahut Dante santai.

"Apa kau lupa prahara di rumahmu dan rumahku kemarin?! Kau masih bisa bertanya apanya yang tidak apa-apa?!" seru Dana, kemudian memijat pelipisnya.

"Kita, kan, kerja," kembali, Dante menjawab dengan santai dan senyum lebar kemudian melenggang lebih dulu masuk ke dalam kantor.

*

"Kamunya suka nggak?"

"Kalau Mila suka tapi Dantenya gak suka, kan, juga percuma Pi," jawab Mila kesal.

"Yaelah, anak papi sejak kapan sih mudah menyerah gini. Kamu, kan, juga bukannya mau merebut suami orang. Kalau kamu memang gak suka, papi gak masalah. Tapi, kalau kamu suka, papi berharap kamu memperjuangkan dia dulu. Kamu, kan, juga belum melakukan apa-apa buat merebut hati Dante."

Percakapan Mila dan ayahnya Andrew beberapa hari lalu masih terngiang di kepalanya. Dia menatap tiket yang ada di tangannya dengan berbagai pikiran memenuhi otaknya.

*

Setelah perjalanan kurang lebih dua jam, keduanya sampai di Bali dan langsung menuju Six Senses Uluwatu. Dari mereka turun dari pesawat, menunggu mobil jemputan, hingga berjalan menuju aula hotel, Dana tidak bisa berhenti tersenyum seperti orang bodoh. Dante hampir tidak pernah melepaskan tangannya.

"Mari, acaranya sudah dimulai," kata seorang pria yang berpakaian super rapi dengan tatanan rambut yang tidak kalah rapi saat Dante dan Dana sampai di tempat resepsionis hotel. Balutan jas hitam dan sepatu fantofel mengkilap pria itu mengingatkan Dana pada jajaran bodyguard para petinggi atau orang penting.

Ketiganya memasuki ballroom super mewah di hotel bergengsi tersebut. Dana yang baru masuk, langsung terpukau dengan suasana ballroom itu.

Lantai dan langit-langitnya memiliki warna kayu walnut yang sama. Meja bundar dibalut kain putih senada dengan warna kursi yang mengelilinginya. Setiap meja dikelilingi delapan kursi. Yang membuat Dana semakin terpukau adalah hamparan laut biru nan jernih di bagian kiri ballroom yang terlihat sangat jelas berkat dinding kaca besar.

Walaupun belum penuh, beberapa orang sudah menempati tempat duduk mereka masing-masing. Pria yang mengantarkan Dana dan Dante tadi berhenti di sebuah meja yang berada tepat di depan panggung. Nama Dante dan Dana tidak berada di meja yang sama, namun meja mereka bersebelahan. Dengan sopan, pria itu mempersilahkan Dana dan Dante untuk duduk.

Setelah tepat jam empat sore, pembicara pun menyudahi sesi hari itu dan mempersilahkan para peserta untuk kembali ke kamar dan beristirahat. Dengan tertib, para peserta keluar dari ballroom.

"Kau sepertinya sangat menikmati berbicara dengan pria di sebelahmu," sungut Dante saat keduanya berjalan menuju kamar mereka. Berbeda dengan konsep hotel pada umumnya, hotel tersebut tidak menawarkan bangunan yang menjulang ke atas. Setiap kamar berbentuk cottage dengan ukuran yang luar biasa luas.

Dana yang mendengar omelan Dante, sontak menoleh ke pria itu dan menatapnya tidak percaya. "Kenapa kau terlihat marah begitu," sahut Dana.

"Apa kau tidak sadar kalian lebih banyak bicara dibandingkan pembicaranya sendiri. Sampai Mr Matthew tadi melontarkan pertanyaan pada kalian berdua. Mungkin kau tidak menyadarinya, tapi suara kalian bisa didengar banyak orang di ruangan," imbuh Dante masih terlihat kesal. Dante menyebutkan nama pembicara pada workshop mereka tadi.

"Lantas aku harus bagaimana? Dia menanyakan banyak hal tentang perkebunan. Dia sepertinya tertarik untuk bekerja sama. Apa aku harus mengabaikan pertanyaannya?" Dana bertanya balik.

Dante berjalan di atas jalan setapak dari batu berwarna putih dengan Dana mengikuti di belakangnya. Dana harus mempercepat langkahnya karena kaki Dante yang panjang menghasilkan langkah kaki yang lebih lebar dibandingkan kaki Dana.

"Apa kau marah? Apa salahku? Kan, salah satu tujuan workshop adalah mendapatkan lebih banyak relasi?" cecar Dana namun Dante masih berjalan lebar tanpa menoleh ke belakang atau berniat memelankan langkah kakinya.

"Aku tidak pernah merasa sekesal ini. Melihatmu akrab dengan laki-laki lain membuatku tidak tenang," imbuh Dante, yang kemudian berhenti dan menatap Dana kesal.

Dana tidak menjawab, hanya bisa tertawa kecil mendengar pengakuan Dante. Dan, di sanalah mereka berada. Di bawah langit sore yang sangat indah. Dana ingin terus berada di saat ini, bisa bersama Dante. Dana tidak yakin berapa lama lagi dia bisa mempertahankan momen seperti ini.

"Aku mencintaimu," kata Dante tiba-tiba.

"Aku lebih mencintaimu," balas Dana dengan senyum lebar tersungging di wajahnya. Dante kemudian mendekatkan tubuhnya ke tubuh Dana dan membungkus gadis itu ke dalam pelukannya.

"Apa yang kalian lakukan berpelukan di tempat terbuka seperti ini?!"

Dante dan Dana sontak menoleh dan Danalah yang lebih dulu dengan cepat melepaskan dirinya dari Dante saat suara Sinta tiba-tiba mengagetkan keduanya.

"Ibu ngapain di sini?" tanya Dante pada Ibunya yang berdiri tepat di sampingnya dengan Mila berdiri tepat disamping Sinta.

Dana menahan rasa malu bercampur takut yang memenuhi dirinya. Di hadapannya, Bu Sinta memandang dengan penuh benci dan tidak suka. Bu Sinta benar-benar melihatnya seperti seekor serangga yang harus segera dibasmi.

"Hotel ini, kan, terbuka untuk umum. Memang nggak boleh? Dana ikut aku. Aku mau ngomong berdua sama kamu," kata Bu Sinta, sejurus kemudian kembali menatap nanar ke arah Dana.

"Ibu mau ngomong apa sama Dana?" tanya Dante yang dengan cepat langsung melangkah dan menempatkan dirinya tepat di depan gadis itu, seakan dia akan siap sebagai tameng kalau-kalau Sinta tiba-tiba menyerangnya.

"Memang Ibu nggak boleh ngomong sama Dana? Dana, apa kamu keberatan?!" Sinta menaikkan nada suaranya di pertanyaan kedua yang dia tujukan pada Dana dan sedikit melongokkan kepalanya karena Dana tersembunyi di belakang badan tinggi Dante.

"Dante, minggir dulu," kata Dana lirih dari belakang Dante.

"Kalau Ibu mau bicara sama Dana, aku ikut," sembur Dante yang tidak suka dengan ide membiarkan Ibunya dan Dana berbicara berdua.

"Ibu ini mau ngomong berdua sama Dana," tegas Sinta.

Langit cerah dengan semburat kemerahan kini digantikan dengan warna biru gelap dan lampu-lampu gantung berjejer, memberikan cahaya bagi penginapan yang ditelan oleh gelapnya langit. Lampu-lampu bulat berjejer membuat Six Sense Uluwatu tampak jauh indah karena birunya hamparan laut di depan mereka tidak bisa lagi terlihat. Bintang-bintang pun terlihat sangat jelas dan cantik malam itu.

"Kamu ini kenapa, sih? Ibu mau bicara sama Dana, kok, kamu larang?!" Sinta terlihat sama tidak sabarnya dengan anak laki-lakinya sekarang.

"Dante, tolong minggir dulu. Percaya aku," kata Dana lagi dan Dante yang masih berdiri di depannya menoleh dan menatap matanya.

"Bu Sinta hanya mau ngomong sama aku," bisik Dana dengan seulas senyum yang dia paksakan. Keduanya hanya saling menatap selama lima detik, sebelum Dana akhirnya berjalan maju melewati Dante dan menghampiri Sinta.

Dante hanya bisa diam saat melihatnya dua wanita yang dia sayangi sedang berjalan menjauh dengan Dana mengikuti Sinta dengan patuh dari belakang. Dante menatap keduanya berjalan ke arah tempat duduk di samping kolam renang yang menghadap langsung ke laut.

*

"Untung aku datang, kan. Di depan umum aja kalian sudah nggak malu pelukan kayak gitu. Apa seperti itu caramu menjerat Dante?!" sentak Sinta.

Dana diam. Apapun pembelaan yang ingin dia katakan saat ini tidak akan berguna. Pada dasarnya wanita ini tidak menyukainya. Bahkan jika dia bicara panjang pun, tidak ada satu pun yang bisa membuat Sinta berubah pikiran.

"Kenapa diam aja?!" suara Sinta masih meninggi, menuntut penjelasaan dari Dana yang Dana yakin sebenarnya tidak dibutuhkan wanita ini.

"Maaf Bu. Tadi memang tidak pantas," ucap Dana lirih.

Sinta menghembuskan napas dengan kasar kemudian berdecak sebal. Kali ini Dana mengangkat pandangan matanya, membuatnya menatap langsung mata Sinta. Hanya satu kata yang dikatakan mata wanita itu, penghinaan.

"Aku ini minta baik-baik ke Sari supaya ngomong ke kamu. Kamu dan Dante sampai kapan pun nggak bakal cocok. Lagipula ada Mila. Mila jauh lebih pantas buat Dante. Tapi, sepertinya Sari nggak ngasih tahu kamu," kata Sinta sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ibu bilang. Ibu nyuruh saya menjauhi Dante," potong Dana. Walaupun dia kecewa dengan Ibunya, tapi dia tidak bisa mendengar siapa pun berani menghina Ibunya, bahkan jika itu Bu Sinta atau Pak Rio yang sangat dia hargai.

"Sudah?! Ya berarti kamunya yang nggak bisa dikasih tahu baik-baik. Apa kamu nggak bisa lihat, Dante jauh di atas kamu?! Kamu nggak akan pernah pantas mendampingi Dante," cibir Sinta.

Dana menahan napasnya. Dia memaksa otaknya untuk mengingat kembali semua kebaikan dan kehangatan yang pernah diberikan Sinta. Dana tidak boleh meledak.

"Bu Sinta nggak perlu khawatir. Saya bakal keluar dari perkebunan dalam waktu dekat," jelas Dana ingin segera menyudahi percakapan mereka. Setelah melihat album foto lama Ibunya beberapa hari lalu, Dana sudah bertekad tidak ingin membuat Ibunya sedih.

Sinta menoleh cepat dan menatap Dana dengan mata melebar, namun sedetik kemudian wanita itu menyipitkan matanya. Paham betul bahwa saat ini Sinta sedang meragukan kata-katanya, Dana menambahkan.

"Bu Sinta bisa pegang omongan saya. Saya akan cari kerja di tempat lain dan tidak akan lagi menemui Dante. Tapi tolong, hargai Ibu saya yang sudah kerja sama Bu Sinta dan Pak Rio dari sebelum saya lahir. Dibandingkan menghabiskan waktu dengan saya, Ibu lebih banyak mendedikasikan waktunya di rumah utama. Bu Sinta boleh menghina saya, tapi jangan Ibu. Sedikit saja Ibu nggak pernah bicara jelek soal Bu Sinta atau Pak Rio padahal dia melihat sendiri bagaimana Bu Sinta tidak menghargai saya," urai Dana.

"Kamu ngomong kayak gitu, kamu menuduh aku jelekin Ibumu atau bakal berbuat jahat sama Sari?! Hah?!" seru Sinta yang menangkap kata-kata Dana jauh dari maksud Dana. Suara riuh orang-orang yang sedang menikmati makan malam mereka di restoran yang berada tidak jauh dari sana terdengar oleh Dana.

Dana menggelengkan kepalanya. "Nggak. Saya yakin Bu Sinta dan Pak Rio tidak akan berbuat jahat sama Ibu. Itu karena saya kenal Bu Sinta dan Pak Rio. Kalian orang yang baik. Kalian juga yang menjaga saya saat Ibu sibuk dengan perkebunan dan rumah utama," kata Dana.

Sinta menghembuskan napas penuh cemooh.

"Aku bakal percaya sama omongan kamu. Soal meninggalkan Dante dan meninggalkan perkebunan. Bagus kalau kamu bisa mengerti. Aku yakin Dante bisa melupakan kamu dengan cepat kalau kamu nggak ada," ucap Sinta sinis.

"Saya juga berharap begitu. Karena saya akan butuh waktu lama untuk melupakan Dante. Saya tulus cinta sama Dante. Dari dulu. Selama dia bahagia, itu sudah cukup buat saya," kata Dana.

Melihat Sinta hendak menggencarkan cercaan lain, Dana buru-buru bicara. "Bu Sinta nggak perlu khawatir lagi. Akhir bulan ini saya akan pindah. Saya harap Dante tidak perlu tahu soal ini. Sepertinya sudah cukup jelas. Saya permisi dulu," kata Dana sambil menundukkan kepalanya pelan sebelum berbalik dan berjalan menjauh.

***

Semoga kalian suka part ini dan masih menunggu kelanjutannya. Jangan lupa vote dan komennya buat part ini ya. Makasiiihhh .. Dante dan Dana cinta kalian.

Published on Friday, August 5, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top