Part 31 - Once Upon a Sari's Request

"Tidak ada yang serius. Saya kasih infus dulu dan tunggu Mbaknya siuman. Sementara itu, Bapak atau Ibu bisa menyelesaikan pembayarannya," kata dokter wanita yang sedang berjaga di IGD pada Dante dan Sari.

"Budhe di sini aja biar saya yang selesaikan administrasinya," kata Dante dan lagi-lagi, pria itu tidak menunggu Sari untuk menjawab. Sejujurnya, Dante cukup takut Sari akan menolaknya. Karena itu, dia tidak memberikan ruang bagi Sari untuk mengatakan tidak.

Setelah menyelesaikan pembayaran, Dante kembali ke bed yang ditempati Dana. Sari terlihat duduk di samping Dana.

Sari menoleh saat menyadari Dante datang. "Terima kasih Tuan Muda. Tuan Muda bisa kembali ke rumah sekarang. Saya bisa jaga Dana sendirian," kata Sari.

Dante terdiam. Kemudian, "Maaf Budhe Sari. Saya nggak mau dan nggak bisa ninggalin Dana."

Sari menunduk dan menyeka matanya. "Semalam dia nggak pulang ke rumah," isak Sari lemah.

"Maksudnya budhe?" mata Dante melebar dan dia bertanya dengan cepat. Dia akhirnya tahu kenapa semalaman dia mengkhawatirkan Dana.

"Budhe habis marahin Dana dan dia langsung keluar rumah. Dia nggak bawa handphonenya dan Budhe tahu Tuan Muda telepon terus kemarin malam karena handphone Dana dibawa Budhe. Budhe pikir Dana akan pulang menjelang malam tapi sampai pagi, dia belum pulang," jelas Budhe Sari.

Mulut Dante terbuka. Pria itu terlalu bingung harus bertanya mulai dari mana. "Dana tidur di mana tadi malam?" tanya Dante pada akhirnya.

Sari kembali menyeka matanya sambil menggeleng. "Budhe juga nggak tahu," isak Sari.

"Budhe marahin Dana soal apa?" tanya Dante masih terlihat shock.

Sari menoleh dan Dante melihat mata wanita itu sudah merah dan berair. "Tuan Muda, Dana sudah bilang kalian menjalin hubungan. Karena itu, Budhe marahin dia. Tuan Muda, Budhe minta tolong," kata Sari dengan suara tersendat karena tangisnya sendiri.

"Tolong tinggalin Dana. Kalau Tuan Muda yang meninggalkan Dana, Budhe yakin Dana nggak akan lagi berani mendekati Tuan Muda," pinta Sari sambil terisak.

"Budhe juga bukannya tidak tahu anak budhe," lanjut Sari dengan isakan yang semakin keras. "Kalau Tuan Muda tidak memberikan harapan pada Dana, anak Budhe juga nggak akan nekad. Saya sudah tidak bisa membujuk Dana, jadi," kata Sari sambil menatap Dante dengan tatapan memelas.

"Saya bisa, kan, minta tolong ke Tuan Muda. Tuan Muda bisa mendapatkan wanita yang lebih dari Dana. Saya mohon, jangan membuat posisi kami sulit," rintih Sari lagi.

Dante tidak bisa berkata. Dia hanya membalas tatapan memelas Sari. Wajah wanita itu sudah basah dengan air mata. Dante hanya ingin memastikan Dana bagun dulu. Dia ingin tahu di mana gadis itu tidur semalam. Tidak bisakah mereka fokus pada Dana dulu?

Sari masih belum memutus tatapannya pada Dante. Dante berjalan pelan mendekati Sari kemudian berjongkok di samping wanita itu, membuat Sari buru-buru mau memberikan tempat duduknya.

"Tuan Muda duduk di sini saja," kata Sari masih dengan suara berat. Namun, dengan cepat Dante menarik tangan Sari dan memintanya untuk tetap duduk di sana.

Dante meletakkan tangan kanannya di sandaran kursi yang diduduki oleh Sari dan tangan kiri memegang pinggiran tempat tidur di mana Dana berbaring.

"Saya tidak sabar menantikan saat di mana saya bisa memanggil Budhe dengan sebutan Ibu," ucap Dante hangat, namun Sari semakin terisak. Wanita itu menutup kedua matanya dengan tangan kiri dan meredam tangisnya.

"Ibu ... ."

Sari dan Dante sontak menoleh ke Dana yang memanggil Ibunya dengan sangat lirih.

"Kamu sudah bangun, nak," isak Sari.

"Hmm ... ," gumam Dana lemah. Mata gadis itu beralih ke Dante yang kini berdiri tepat di samping Sari. Dana tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Dante sebentar kemudian beralih ke Ibunya.

"Dana sudah nggak apa-apa," ucap Dana. Sari membelai rambut anaknya sambil mengusap air matanya.

Dante memanggil dokter yang memeriksa Dana tadi dan dokter tersebut bergegas menuju tempat tidur Dana. Dia melakukan sedikit pemeriksaan, sebelum akhirnya berkata, "Jangan terlalu capek dan jangan terlalu stress ya."

*

Dante kini mengendarai mobilnya dengan Dana dan Sari duduk di bangku penumpang di belakang. Dante belum sempat bicara berdua dengan Dana. Tidak sedetik pun Sari beranjak dari samping Dana. Di dalam perjalanan, Rio meneleponnya.

"Ya Pak," jawab Dante.

Jeda.

"Sudah. Tidak apa-apa. Kami sedang perjalanan pulang sekarang."

Jeda.

"Baik Pak. Nanti aku sampaikan ke Dana."

Dante mengantarkan Dana dan Sari sampai di depan rumah. Beberapa pekerja melihat kedatangan mereka dan mereka hanya bisa berkasak-kusuk dari kejauhan. Dana pun sudah bisa berjalan sendiri.

"Dana aku perlu bicara denganmu," kata Dante cepat saat Dana dan Sari sudah mau masuk ke dalam rumah.

"Aku butuh istirahat. Aku akan meneleponmu nanti," kata Dana dingin dan Dante bisa merasakan aura tidak bersahabat dari gadis itu.

Setelah mengatakan itu, Dana berjalan masuk ke dalam rumah dan tidak lagi menoleh ke belakang. Sari di lain pihak, mengucapkan terima kasih pada Dante dan memintanya untuk segera kembali.

"Terima kasih banyak tuan muda. Saya dan Dana sudah banyak merepotkan Tuan Muda dan keluarga Pramudana," ucap Sari yang berdiri berhadapan dengan Dante di depan pintu.

Bahu Dante melesak turun. Kenapa Budhe Sari mengucapkan hal seperti itu. "Saya melakukannya karena Dana," ucap Dante.

"Saya masuk dulu tuan muda. Sebaiknya Tuan pulang," jawab Sari, sepertinya sengaja mengabaikan kata-kata Dante barusan.

Budhe Sari hendak berbalik ketika Dante dengan tegas berkata, "Saya mencintai Dana. Dan saya tidak sedikit pun meragukan perasaan saya. Saya harap Budhe Sari menerima saya."

Sari yang sudah berbalik, hanya diam di tempatnya. Namun, hanya selama empat detik, sebelum wanita itu masuk ke dalam rumah. Seketika Dante merasa kebahagiannya terhisap penuh dan dia hanya bisa membayangkan bayangan-bayangan tidak menyenangkan di masa depan.

*

Dana menatap tubuh kurus Ibunya. Kerutan sudah sangat kentara di tangan wanita yang kini memijat tangannya pelan itu. Dana sedang menyandarkan punggungnya di ranjang dan Sari duduk di sampingnya.

"Semalam kamu tidur di mana?" tanya Sari lembut, sepertinya dia tidak ingin bertengkar lagi dengan anaknya.

"Di hotel dekat perempatan besar," jawab Dana. Walaupun belum makan, efek infus yang diberikan padanya cukup besar. Dia merasa jauh lebih segar dan bertenaga.

"Ibu minta maaf soal kemarin. Kamu pasti terluka dengan kata-kata Ibu," kata Sari dengan kepala menunduk, belum berani melakukan kontak mata dengan anaknya.

Dana merasa sedih melihat Ibunya seperti itu. Dia merasa kini hidupnya akan susah karena sudah membuat Ibunya menangis tadi. Dibandingkan perasaan marah pada Ibunya atau Bu Sinta, Dana merasa lebih marah pada Dante. Saat dirinya berkeliaran di luar rumah sendiri di tengah malam setelah membela perasaannya pada Dante, pria itu malah pergi dengan Mila.

Dana masih sangat menyukai Dante, namun dia merasa Dante sudah mengabaikannya.

"Dana, Ibu tahu Tuan muda suka sama kamu dan kamu juga suka sama Tuan Muda," ucap sari, kembali membuka topik yang sama. "Tapi ...," kali ini Sari mengangkat kepalanya dan menatap anaknya dengan tatapan memohon.

"Ibu tidak sanggup melakukan ini. Pak Rio dan Bu Sinta, serta mendiang Ayah mereka Pak Theo sudah sangat baik dan menjaga Ibu. Ibu yang ditinggal Bapak kamu waktu hamil besar, benar-benar kehilangan harapan," ucap Sari. Dana sudah cukup sering mendengar cerita ini dari Ibunya.

Dan sekarang, Ibunya kembali mengingatkannya pada cerita yang sama. "Kalau bukan karena keluarga Pramudana, Ibu nggak tahu gimana nasib Ibu sekarang. Ibu bisa membesarkanmu, menyekolahkanmu, menyekolahkan anak Paklik Gito di Klaten, itu semua karena mereka. Ibu nggak sanggup kalau kamu sampai sama Tuan Muda. Ibu akan merasa jadi orang yang serakah kalau itu terjadi. Ibu cuma mau menjaga hubungan karyawan dan majikan ini terus," pinta Sari dengan tatapan dalam yang ia layangkan pada Dana.

Dana terdiam. Dia tidak sanggup melihat Ibunya memohon seperti ini. Kata-katanya kemarin memang sangat melukai dan merendahkan Dana. Tapi, kini, dia melihat Ibunya terlihat sangat sedih saat memohon dengan sangat padanya.

"Bagaimana kalau kita pindah sementara waktu dari sini? Kita bisa tinggal di Klaten dulu sama Bulik dan Paklikmu?" pinta Sari.

"Bukannya Ibu sudah janji tidak akan meninggalkan perkebunan?" tanya Dana.

"Mungkin mereka akan lebih senang kalau Ibu melanggar janji Ibu dibandingkan menepati janji Ibu," sahut Sari.

"Buk ... Ibuk perlu tahu, Dana cinta sama Dante. Tapi kalau Ibu memaksa, Dana akan menurut. Dana hanya ingin memastikan bahwa Ibu tahu, Dana akan terluka dan sangat sedih kalau disuruh meninggalkan Dante," ucap Dana.

Sari mengangguk pelan seraya berkata, "Maafin Ibu, ya, Nak. Maafin Ibu."

*

Dana, maaf. Aku keluar dengan Mila malam ini. Kuharap kau tidak salah paham. Aku akan meneleponmu nanti malam untuk menjelaskan.

Dana, apa kau marah? Kenapa tidak menerima teleponku.

Dana, aku sudah sampai di teater seni. Aku khawatir. Tolong balas pesanku atau telepon aku.

Apa kau sudah tidur?

Dana kumohon angkat teleponku, aku ingin mendengar suaramu. Sebentar saja, hanya untuk membuatku tenang.

Aku mencoba meneleponmu daritadi. Apa kau tidak mendengar dering ponselmu?

Acaranya sudah selesai. Kami pulang sekarang. Aku akan ke rumahmu malam ini.

Dana ... aku merindukanmu. Bisa angkat teleponku sebentar?

Dana, tidak ada masalah kan? Kau hanya sudah tidur kan?

Dana membaca pesan-pesan yang dikirimkan Dante semalam, beserta notifikasi 100 panggilan tidak terjawab. Gadis itu menekuk lututnya dan membenamkan wajahnya pada tangan yang dilipatnya. Dana terlalu larut dengan amarahnya dan tidak menyadari Dante berusaha menghubunginya tanpa henti.

Di dalam kamar dengan lampu yang sudah padam, Dana menghubungi Dante. Hanya satu kali panggilan dan dengan cepat Dante mengangkat panggilannya.

"Dana ... ," Dante menerima panggilan telepon tersebut dengan memanggil namanya dengan sangat lembut.

"Ibumu baik-baik saja?" tanya Dana.

"Seharusnya aku yang menanyakan hal itu padamu," jawab Dante.

"Aku baik-baik saja. Maaf tidak masuk kantor hari ini dan membuatmu kesulitan," kata Dana.

"Aku merindukanmu," ucap Dante pelan.

"HHmmm .. aku juga."

"Apa kau marah padaku?" tanya Dante dan kening Dana mengernyit. Dia tidak menyadari bahwa Dante bisa tahu dia sedang marah padanya.

"Tidak, aku tidak marah," jawab Dana.

"Tidak masalah. Aku mengerti kalau kau marah. Kau berhak untuk marah. Aku minta maaf atas nama Ibuku," ucap Dante dan Dana tertawa kecil.

"Kenapa tertawa?"

"Ya, sebenarnya aku marah tapi bukan karena Bu Sinta. Tapi karena kau pergi berdua dengan Mila. Kemarin malam aku benar-benar tidak bisa tidur membayangkan apa saja yang kalian berdua lakukan," ucap Dana sambil menghela napas berat.

"Tunggu," kata Dante. "Bagaimana semalam kau tahu aku dan Mila keluar. Budhe Sari bilang dia membawa ponselmu dan katanya kau tidak pulang. Ah, ya. Di mana kau tidur? Kau tidur di rumah temanmu?"

Dana tersenyum tipis. "Sebenarnya aku menginap di hotel di dekat perempatan jalan besar," jawab Dana.

"Astaga, seharusnya aku menyusulmu," ucap Dante frustasi. "Lantas bagaimana kau tahu soal aku keluar dengan Mila?" tanya Dante.

"Kemarin malam aku bertemu dengannya. Dia sedang menunggumu di dalam mobil dan mengatakan kalian akan menonton teater berdua," jelas Dana.

"Apa? Dia bertemu denganmu? Dan, dia mengatakan itu?" tiga pertanyaan langsung meluncur dari Dante di ujung sana.

"HHmm," gumam Dana. "Padahal aku keluar rumah setelah bertengkar dengan Ibuku karena membelamu, tapi kau malah pergi berdua dengan Mila. Bayangkan bagaimana perasaanku."

"Mila tahu kita pacaran," gumam Dante. "Tapi kenapa .... ."

"Dante," panggilan Dana di seberang sana membuyarkan segala tanda tanya di kepalanya. Baru saja Dana bicara bahwa Mila memberitahu Dana malam kemarin bahwa mereka keluar berdua. Dan hal itu Mila lakukan setelah pengakuan Dante pada orang tuanya. Padahal gadis itu ada di sana saat Dante bicara pada orang tuanya. Selain itu, sepanjang pertunjukan seni, Dante berusaha menghubungi Dana namun tidak sekali pun Mila memberitahunya tentang dia bertemu dengan Dana.

"Ya," sahut Dante tidak ingin Dana menyadari ada sesuatu yang mengusik pikirannya.

"Apa kau dimarahi Bu Sinta?" tanya Dana sambil terkekeh pelan.

"Bagaimana denganmu? Apa kau dimarahi Budhe Sari?" balas Dante seulas senyum terbit di wajahnya. Dia merasa bersyukur bisa mengobrol dengan Dana. Walaupun masalah yang mereka hadapi cukup berat dan mereka sama-sama belum tahu bagaimana meyakinkan kedua wanita tersebut, Dante cukup bersyukur Dana menanggapi semuanya dengan tenang.

"Aku jadi merasa seperti anak SMP yang seharusnya tidak boleh pacaran tapi pacaran diam-diam supaya orang tua mereka tidak tahu," gelak Dana lagi.

"Tck, yang benar saja," protes Dante. "Kita tidak menyembunyikan apapun. Orang tua kita sudah sama-sama tahu."

"Dana ... aku tidak akan melepaskanmu jika itu yang kau pikirkan. Kalau pun kau memutuskan untuk menyerah, aku akan terus mengejarmu. Karena itu, jangan berani-berani berpikir untuk melepaskan aku," lanjut Dante.

***

Pagiii ...Semoga kalian suka part ini dan jangan lupa vote komennya okayy... Dante dan Dana cinta kalian!!!

Published on Thursday, August 4, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top