Part 30 - Once Upon a Confrontation

"Ah, ini. Dante mengajakku melihat pertunjukkan teater malam ini. Dia meninggalkan tiketnya dan sedang mengambilnya sekarang."

Dana tidak bisa menghilangkan kalimat Mila dari otaknya. Hatinya cukup kacau karena kata-kata Ibunya tadi, tapi sekarang ... dia harus melihat pacarnya pergi berdua untuk menonton pertunjukan seni dengan wanita lain?

*

Entah sudah berapa kali Dante mengecek ponselnya. Mila yang duduk di sampingnya beberapa kali menoleh sembari tertawa dengan cukup keras saat lakon yang ada di pentas memeragakan beberapa tingkah konyol mereka. Namun, Dante sama sekali tidak bisa fokus dengan apa yang ada di depannya.

Dante sudah mengirimkan sepuluh pesan ke Dana, tapi gadis itu belum membacanya satu pun. Teleponnya pun juga tidak dijawab. Sepertinya tidak mungkin kalau gadis itu sudah tertidur.

"Kau kenapa?" bisik Mila pada akhirnya karena menyadari Dante lebih sibuk dengan ponselnya daripada pertunjukan yang dipentaskan di panggung.

Dante yang tidak merespon pertanyaan Mila, kembali mendapat pertanyaan. "Dante apa ada masalah?" tanya gadis itu lagi.

"Tidak, tidak ada masalah. Aku hanya belum berhasil menghubungi Dana," jawab Dante sekenanya, sama sekali tidak menoleh ke Mila.

Mila hanya diam, tidak lagi bertanya padanya. Dari sudut matanya, Dante hanya tahu bahwa gadis itu sedang menikmati pertunjukkan di depan mereka. Dante, di lain pihak, masih berusaha menghubungi Dana.

Menjelang jam setengah sepuluh malam, pertunjukkan akhirnya selesai. Dante dan Mila pun berdiri dari tempat duduk penonton bersama penonton lain yang memadati gedung teater. Karena pintu keluar yang tersedia hanya satu, Dante harus bersabar karena mereka harus keluar satu per satu.

Beberapa kali Mila memergokinya melihat ke jam tangan. Setelah keluar dari gedung teater, Dante langsung bergegas ke lahan parkir mobil diikuti Mila yang akhirnya ikut berjalan dengan tempo sedikit lebih cepat.

"Kau menikmati pertunjukan tadi?" tanya Mila saat Dante sudah melajukan kendaraan.

"Maafkan aku, aku tidak bisa berkonsentrasi dengan pertunjukan tadi," jawab Dante sama sekali tidak menyembunyikan ketidaksabarannya.

"Apa kau masih berusaha menghubungi Dana?" tanya Mila sambil memerhatikan Dante yang memasang headset di telinganya.

"Iya," jawab Dante singkat.

"Kenapa kau sepertinya khawatir sekali. Bukankah seharusnya dia sekarang sudah ada di rumah? Apa yang membuatmu khawatir?" tanya Mila lagi.

Dante menoleh ke Mila sebentar, hanya sedetik, sebelum kembali menolehkan kepalanya ke depan. "Aku hanya ingin memastikan," jawab Dante datar.

"Tante Sinta sepertinya tidak menyetujui kalian. Apa kau tidak masalah dengan itu?" Mila bertanya tanpa menatap Dante.

Dante kembali menoleh singkat, sebelum menjawab, "Ibuku menyukai Dana. Dia hanya lupa."

"Hah?" kali ini Mila menatap Dante.

"Ibuku dulu sangat menyukai Dana. Kami dulu sering menghabiskan waktu bersama di rumah utama. Aku hanya perlu mengingatkannya," jawab Dante.

"Bagaimana jika tante Sinta masih belum bisa menerima hubungan kalian?" Mila kembali bertanya, dan pertanyaannya kali ini membuat Dante mengerutkan keningnya.

"Mila, maafkan aku. Aku tidak nyaman membicarakan hubunganku dengan Dana denganmu," jawab Dante sembari memberikan Mila tatapan tajam.

Mila hanya bisa tersenyum simpul sembari mengangguk pelan.

*

Dana, yang semalam tidak pulang kerumah melainkan menginap di hotel di daerah perkebunan, terbangun tepat jam lima pagi. Dana menunduk dan menatap pakaian yang dia kenakan. Dia masih mengenakan celana kolor warna biru dan kaos putihnya. Dana masih harus berangkat kerja hari ini. Jadi, dia harus pulang untuk ganti pakaian dan mengambil ponsel serta dompet.

"Jam lima. Ibuk baru mau berangkat," kata Dana pada dirinya sendiri. Dia masih ingin menghindari Ibunya. Dia pun beranjak dari tempat tidurnya dan memutuskan untuk mandi terlebih dahulu.

Menjelang jam setengah tujuh, Dana memutuskan untuk kembali ke rumah. Karena jarak hotel tempat dia menginap dan perkebunan Pramudana cukup dekat, Dana hanya perlu berjalan.

Dia merasa sedikit malu berjalan mengenakan pakaian seperti yang dia kenakan saat itu, padahal semalam dia sama sekali tidak peduli dengan apa yang dia pakai. Dana akhirnya sampai di perkebunan Pramudana. Rumahnya melewati rumah utama karena rumah besar tersebut terletak tidak jauh dari gerbang utama.

Saat melewati rumah besar putih itu, Dana berdoa dia tidak harus bertemu dengan Ibunya atau pun Dante. Dia masih marah pada Ibunya dan dia juga sangat marah pada Dante karena malah pergi kencan dengan Mila semalam. Dana bernar-benar berharap tidak harus bertemu dua orang itu.

Dana menoleh sebentar ke rumah mewah dengan pilar besar putih membuat siapa pun yang melewatinya merasa terintimidasi. Dana mempercepat langkahnya karena tidak ingin Sari atau Dante melihatnya.

"DANA!!!!!"

Dana bersumpah dia merasa jantungnya langsung copot seketika. Langkahnya spontan langsung berhenti seakan ada besi berat yang tiba-tiba terikat di kedua pergelangan kakinya. Gadis itu berhenti dan menoleh dengan gerakan lambat, hanya untuk melihat Sinta sedang berjalan ke arahnya dengan cukup menakutkan bahkan untuk ukuran pagi dengan udara masih sangat segar dan matahari belum bersinar terlalu terik.

Dia lupa mengucapkan satu nama saat berdoa tidak bertemu dengan Sari dan Dante tadi. Dia seharusnya menyebut nama Sinta juga.

Sayangnya sudah terlambat karena Sinta sudah berjalan dengan langkah mantap ke arahnya.

"Ada apa Bu Sinta?" tanya Dana dengan suara tercekat.

"Aku tidak mau basa-basi. Kamu tolong jangan lagi dekat-dekat sama Dante. Dante dan Mila mau menjalin hubungan serius. Tapi, kehadiran kamu mengganggu mereka. Kehadiran kamu menimbulkan salah paham. Kamu bisa berhenti menempel ke Dante, kan?! Kalian sudah bukan anak SD lagi yang bisa ke sana-kemari berdua," ucap Sinta dengan suara lantang dan Dana cukup yakin, Sinta setengah berteriak saat mengatakannya.

Beberapa pekerja perkebunan yang melewati mereka pun sampai harus menundukkan kepala mereka dalam. Dana, di lain pihak, merasa sangat malu. Sepagi ini dia sudah dimaki oleh Ibu seorang pria yang sangat dia cintai.

Semalam, Ibunya sendiri yang membuatnya merasa rendah karena perkataan tajamnya. Dan, sekarang, Bu Sinta mengatakan hal yang hampir sama. Kenapa mereka menganggap Dana yang terus menempel pada Dante? Apa dia semenyedihkan itu di mata mereka?

"Jadi, tolong kamu berhenti cari Dante. Mila sudah salah paham tentang hubungan kalian," tegas Sinta sekali lagi, membuat Dana mengatupkan mulutnya rapat. Bagaimana Dana bisa membantah jika dia masih ingin mempertahankan hubungannya dengan Dante. Dia juga tidak ingin Bu Sinta semakin membencinya.

Dana, masih dengan pakaian rumahnya, menunduk memandang sepasang sandal yang dipakainya pagi itu. Dia ingin sekali menangis tapi dia menahannya sekuat tenaga. Dana tidak mau terlihat lebih menyedihkan. Dan, Bu Sinta sama sekali tidak memperdulikan beberapa pekerja perkebunan yang melewati mereka.

"Maksud Ibu apa?"

Sinta dan Dana sama-sama menoleh dan mendapati Dante berjalan ke arah mereka. Dante kemudian berhenti tepat di samping Dana.

"Apa maksudnya Mila salah paham? Apa semalam aku kurang jelas bilang ke Ibu kalau aku suka sama Dana dan mau menjalin hubungan yang serius dengan dia?" tegas Dante menatap Sinta tanpa berkedip.

"Berapa kali Ibu bilang, yang pantas buat kamu itu Mila. Bukan Dana. Kamu bakal nyesel nanti kalau tetap memilih Dana. Kamu harus percaya sama omongan Ibu," desak Sinta tampak jauh lebih jengkel dibandingkan sebelumnya.

"Dan, berapa kali aku harus bilang ke Ibu, kalau soal cantik, pintar, atau kaya, banyak temen-temen kuliah Dante yang melebihi Mila. Tapi, nggak ada yang bisa bikin aku bener-bener bahagia dibandingkan saat bersama Dana. Aku harus bilang gimana lagi supaya Ibu paham?" Dante menurunkan nada suaranya dan bertanya dengan cukup frustasi pada Ibunya.

Bukannya menjawab pertanyaan frustasi dari Dante, Sinta menoleh pada Dana yang masih terdiam dari sejak dia memanggil gadis itu.

"Lihat! Seneng kamu sudah bikin Dante berani sama Ibunya sendiri?!" sentak Sinta dengan tatapan mata tajam.

"Bu, kita bicara di dalam. Malu dilihat para pekerja," kata Dante memohon pada Sinta dan barulah Sinta berhenti menatap marah pada Dana dan menoleh ke anaknya. Seakan menyadari beberapa pasang mata yang sudah mencuri pandang ke arah mereka, Sinta diam kemudian berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah.

"Ayo," kata Dante sambil meraih tangan Dana.

"Dante, tidak sekarang, aku mohon," kata Dana lemas.

"Maafkan aku. Kita masuk sebentar aja," Dante kembali membujuk Dana.

"Dante kumohon. Ada Ibuku di dalam. Dan, aku benar-benar tidak memiliki tenaga sekarang," ucap Dana dengan wajah yang lebih pucat dibandingkan sebelumnya.

"Aku akan mengantarmu pulang," kata Dante kemudian menarik tangan Dana dan melangkah satu langkah. Namun, langkah Dante terhenti karena Dana tidak beranjak dari tempatnya berdiri.

"Sebaiknya kau masuk dan bicara baik-baik dengan Ibumu," ucap Dana.

"Aku akan bicara dengan Ibuku setelah aku mengantarmu pulang," desak Dante dengan kening berkerut. Dia melihat bagaimana Dana cukup terguncang karena ini.

"Dante, kumohon. Aku akan menghubungimu nanti. Lagipula ini masih hari kerja. Kau bisa menemukanku di kantor nanti," ucap Dana dengan putus asa.

Dante tidak langsung menjawab. Dia melihat Dana yang menatapnya balik dengan tatapan memelas. Pria itu menghembuskan napas berat kemudian mengulurkan tangannya ke kepala Dana dan membelai lembut rambut gadis itu.

"Aku perlu bicara denganmu nanti. Beristirahatlah dulu. Kau boleh datang ke kantor siangan," Dante akhirnya menuruti permintaan Dana.

*

Semalam, Dana tidak sempat makan malam. Dan, dia tidak membawa uang untuk membeli makanan. Selain itu, hotel tidak menyediakan sarapan. Jadi dari kemarin sore, Dana hanya minum air putih dan sekarang badannya terasa sangat lemas. Entah apa benar karena dia belum makan atau lebih karena Ibunya dan Ibu Dante kompak memojokkan dirinya.

Saat itu menjelang jam delapan pagi saat Dana berjalan menyusuri jalanan setapak di perkebunan. Sinar matahari yang menyeruak tidak membuat kondisinya semakin baik. Kepalanya pun rasanya terasa lebih berat. Dana terus berjalan dan pandangannya semakin lama semakin kabur, hingga tiba-tiba badannya terasa menjadi sangat lemah dan dia mulai kehilangan kendali atas tubuhnya.

Dia hanya bisa ambruk dan masih bisa mendengar orang-orang meneriakkan namanya. Bahkan saat seseorang menggoyangkan tubuhnya, dia tidak sanggup membuka mata.

*

"Bagus kamu nggak ngajak anak itu ke rumah. Aku sudah nggak mau lihat dia masuk ke rumah utama lagi," ketus Sinta dan Rio yang duduk tidak jauh dari istrinya, melihat Dante dan Sinta bergantian dengan tatapan tidak mengerti.

"Kenapa Ibu jahat sekali sama Dana? Kenapa Ibu jadi seperti ini? Hanya karena Dana anak Budhe Sari? Apa salahnya dengan itu?" Dante menghujani Sinta dengan pertanyaan.

"Ada apa ini?" tanya Rio yang sudah berdiri dan mendekat ke istri dan anaknya.

Dante menoleh ke Rio, namun tidak mengatakan apa-apa. "Ibu ngapain Dana?" Rio menyadari istrinya telah melakukan sesuatu tanpa Dante bicara apa pun.

Belum sempat Sinta membela dirinya sendiri, Bu Tari, salah satu pekerja di perkebunan berjalan dengan tergesa melewati mereka.

"Maaf Pak, Bu, Tuan Muda. Saya permisi mau manggil Sari. Dana pingsan," kata Tari dengan wajah cemas.

"APA?!!" seru Dante.

"Dana di mana sekarang?" tanya Dante yang dengan cepat sudah mendekat ke Bu Tari.

Tari terlihat bingung melihat reaksi Dante, namun dia tetap menjawab, "Orang-orang membawa Dana ke rumah Mas Karno."

Tanpa bicara apa-apa, Dante langsung berlari ke rumah yang baru saja disebutkan Bu Tari. Beruntung Dante tahu di mana rumah Pak Karno yang merupakan pekerja perkebunan terung di sana.

"Permisi Bu, Pak," kata Tari lagi sepeninggal Dante.

*

Dante menepikan mobilnya di halaman rumah Pak Karno. Dia melihat Pak Karno berdiri di dekat pintu depan rumahnya bersama dua orang pekerja lain.

"Tuan Muda," sapa Karno dengan reaksi heran.

"Dana mana, Pak?" tanya Dante dengan tidak sabar sembari meremas bahu pria tua itu.

Karno terlihat gelapan saat menjawab, "Di, di dalam Tuan Muda. Sama istri saya."

Tanpa permisi, Dante langsung masuk ke dalam rumah dan dia melihat Dana terbaring di kursi panjang di sana dengan selimut menutupi tubuhnya.

Bu Susi, istri Pak Karno, memberikan minyak di dahi Dana. Dante langsung berjongkok di samping Dana, membuat Bu Susi kebingungan. "Tuan Muda," respon Bu Susi.

"Dana belum bangun, Bu?" tanya Dante pada Bu Susi.

"Iya Tuan Muda. Sudah saya olesin minyak cukup banyak tapi mbak Dana belum siuman. Tari lagi manggil Ibunya. Kita mau bawa ke klinik," terang Susi.

"Saya bawa sekarang ke rumah sakit. Saya tunggu Budhe Sari datang dulu," kata Dante yang masih berjongkok di samping Dana, memberikan instruksi pada Susi. Bu Susi hanya bisa mengangguk walaupun wanita itu masih terlihat bingung kenapa tuan mudanya bisa sampai di sini.

"DANA ..... ANAKKU ...."

Dante menoleh dan mendapati Budhe Sari terlihat panik. "Budhe, kita bawa Dana sekarang ke rumah sakit."

Tidak menunggu jawaban Sari, Dante langsung menggendong Dana yang masih saja belum terbangun. Dante berjalan ke arah mobil dan memerintahkan Pak Karno untuk membukakan pintu mobilnya.

"Budhe Sari masuk dulu," pinta Dante sambil menoleh ke belakang, di mana Sari berdiri.

Sari pun bergegas masuk. Setelahnya, Dante menempatkan Dana tepat di samping Sari. Dante kemudian bergegas masuk dan melajukan mobilnya ke rumah sakit.

***

Kalau suka jangan lupa vote dan komennya boleh? Makasiiihhh. Dante dan Dana cinta kalian!!!

Published on Wednesday, August 3, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top