Part 28 - Once Upon Disappointment
Sesuai instruksi Dante, Dana duduk di bangku depan sedangkan Doni duduk sendirian di belakang. Karena ada Doni di sana, baik Dante dan Dana tidak banyak bicara. Setelah kurang dari satu jam berkendara, ketiganya sampai di kafe yang dituju.
Benar kata Doni. Walaupun ini bukan akhir pekan, kafe Satria malam itu sangat ramai. Banyak anak muda sudah memadati tempat tersebut. Dante berjalan berdampingan dengan Dana sedangkan Doni terlihat sedang menelepon seseorang.
"Kita disuruh langsung masuk," kata Doni pada keduanya.
Sama seperti pertama kali Dana ke sini, Doni membawanya ke ruangan indoor kafe. Namun, kali ini, Dante menemaninya.
"Aku panggil Mas Satria dulu, ya," kata Doni yang tidak ikut duduk, sedangkan Dante sudah duduk dengan nyaman lebih dulu.
Sepeninggal Doni, Dante memajukan badannya sehingga dia bisa bicara lebih dekat dengan Dana. "Ini yang terakhir," kata Dante sambil menatap Dana lekat.
"Apanya?" tanya Dana.
Dante memajukan duduknya dan mencondongkan tubuh ke depan. "Kau boleh ke sini selama aku bersamamu, tapi tidak untuk menyanyi. Aku tidak yakin aku bisa tahan melihat semua mata laki-laki di sini memandangmu," ucap Dante serius. Wajah Dana memanas dan pipinya memerah. Dia berusaha keras tidak tersenyum karena itu akan membuatnya terlihat bodoh.
"Sudah jangan melihatku terus," kata Dana sambil menolehkan kepala Dante dengan tangannya.
"Ah, iya," imbuh Dante cepat sambil menoleh ke Dana seakan dia baru saja memiliki ide cemerlang. Dana menaikkan alisnya dan menunggu Dante bicara.
"Nanti sebaiknya kau mengucapkan kalimat pembuka seperti, terima kasih kepada kekasihku yang tampan yang hadir menemaniku malam ini. Lagu ini aku tujukan untukmu," usul Dante dengan mata berbinar.
"Apa kau yakin?" tanya Dana dengan alis terangkat.
"Tentu saja," jawab Dante yakin dengan senyum yang lebar.
"Baiklah," jawab Dana santai, sebelum kemudian menambahkan, "Mungkin kau lupa, malam ini Doni juga di sini. Dan, lagu yang akan aku nyanyikan tentang seorang wanita yang sudah putus dari kekasihnya dan dia berkata bahwa dia akan baik-baik saja."
Dante membeku dan berkata cepat, "Menyanyi saja tidak perlu bicara apa-apa."
Dana tertawa melihat reaksi Dante.
"Dana!"
Baik Dana dan Dante memutar kepalanya dan mendapati Satria berjalan ke arah meja mereka bersama Doni. Ini kali ketiga Dana bertemu dengan Satria.
"Aku senang sekali kau bersedia mengunjungi kafeku lagi. Terima kasih. Banyak pengunjung di sini yang menanyakanmu," ucap Satria dengan raut wajah bahagia. Dana di lain pihak hanya bisa tersenyum menanggapi perkataan Satria.
"Mas Satria, ini Tuan Muda Dante yang dulu pernah ke sini," kata Doni, dan Satria dengan ramah mengulurkan tangannya yang kemudian disambut oleh Dante.
"Terima kasih sudah datang," ucap Satria. "Pesan apa saja, malam ini gratis buat kalian."
"Dana, sebaiknya kita ke sana sekarang," lanjut Satria, dan Dana mengangguk. Dana berjalan mengikuti Satria dan Dante mendampingi di sampingnya.
*
She's dancing on your feet
With our song on repeat
She painted every role of us
She's taking off her clothes
In the bed you kept me warm
Heard she's everything I never was
I'm not her, no
Never will
Never gonna move like her, move like
I'm not her, no
Never will
Never gonna look like her, be like
I'm not her
I'm not her, no
At least that's what I've heard
https://youtu.be/Id683uSiZxM
Semua orang yang ada di sana seakan terhipnotis dengan suara merdu Dana. Semuanya terpaku pada Dana, termasuk Dante. Dante tidak yakin kapan tepatnya dia jatuh hati pada gadis ini. Namun, melihatnya sekarang, dia ingat betul apa yang dia rasakan saat melihat Dana menyanyi di tempat yang sama dulu.
Malam itu, Dana menyanyikan tiga lagu, sebelum berterima kasih kepada semua pengunjung yang menikmati penampilannya dan dia undur diri.
"Dana, Dante, jangan pulang dulu, ya. Aku siapkan hidangan spesial dari kami," ajak Satria sesaat setelah Dana dan Dante duduk di meja yang sama yang mereka duduki saat baru pertama datang tadi.
"Kami mau langsung pulang. Besok masih hari kerja. Lain kali saja," sahut Dante dan Dana mengangguk setuju. Satria terlihat kecewa, namun dia mengerti bahwa besok keduanya masih harus bekerja.
"Doni mana?" tanya Dana sambil menarik kepalanya ke atas agar bisa melihat lebih jelas. Satria pun ikut menoleh.
"Dia tadi bilang padaku akan pulang sendiri," sahut Dante cepat.
"Pulang sendiri?" tanya Dana sambil menatapnya.
"Iya, dia bilang masih mau di sini," urai Dante lagi.
Dana hanya menoleh ke Dante dan Satria bergantian, dan menjawab singkat, "Baiklah."
*
"Doni nanti pulang naik apa?" tanya Dana yang berjalan di samping Dante menuju tempat mobil pria itu terparkir.
Dante tidak menoleh dan menjawab santai, "Dia sudah besar. Bisa memikirkan sendiri."
Di tengah perjalanan, ponsel Dante berbunyi. Pria itu kemudian merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Saat sudah memegang benda tersebut, Dante menatap Dana setelah melihat ke layar ponselnya.
"Dari Mila," ucap Dante dan Dana tidak memberikan reaksi apa-apa.
"Halo," jawab Dante menerima panggilan dari Mila.
Jeda sebentar.
"Sekarang?" tanya Dante lagi.
Jeda.
"Tunggu sebentar."
Dante menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Mila baru saja makan malam dengan tamu yang kami temui tadi. Karena tadi dia berangkat bersama mereka, sekarang dia meminta tolong apa aku bisa menjemputnya. Apa kau keberatan?" tanya Dante pelan.
"Kau akan menjemputnya sendiri?" tanya Dana lirih.
"Tentu saja bersamamu. Kau tidak masalah?" tanya Dante lagi.
Dana tampak berpikir sejenak, kemudian kembali bertanya, "Apa tidak apa-apa dia melihat kita keluar bareng?"
Dante menatapnya dan dengan cepat, kembali menempelkan ponsel tadi ke telinga. "Oke, kirimkan alamatnya."
*
Mila mengulum senyumnya saat dirinya berdiri di depan restoran dan menunggu kedatangan Dante. Dia bersyukur Dante bersedia menjemputnya saat dia meminta pria itu untuk datang. Sepertinya, kata-kata Papinya telah merasuk ke dalam dirinya.
Dia memang menyukai sosok Dante. Pria itu pintar, pekerja keras, bertanggung jawab, dan tampan tentu saja. Namun, selama ini Mila tidak benar-benar memikirkan tentang dirinya dan Dante. Hanya saja, sekarang semua berbeda. Semuanya terjadi setelah Andrew mengatakan bahwa dia ingin memiliki menantu seperti Dante, ketika terakhir kali mereka bertemu.
Tentu saja Mila hanya tertawa saat mendengar Papinya mengatakan hal tersebut. Namun, kata-kata itu membekas dan dia jadi semakin tidak bisa berhenti memikirkan Dante. Dan, pagi ini, saat Dante selalu setia mendampinginya untuk menemui beberapa orang yang bertanggung jawab di proyek, Mila kembali melihat Dante dengan cara yang berbeda.
Apakah dirinya dan Dante memiliki kesempatan?
Senyum di wajah Mila semakin melebar saat dia melihat mobil Dante datang dan mendekat. Jantungnya berdegup kencang. Dia bahkan sedikit berjinjit, berusaha menahan debaran menyenangkan di dadanya. Namun, semakin dekat mobil Dante, semakin sirna juga raut bahagia di wajahnya.
Dia bisa melihat Dana duduk di samping Dante. Dia menyadarinya saat di tempat kemah. Dia tidak suka melihat Dante dan Dana bersama.
Mobil Dante berhenti dan pria itu turun dari mobilnya, sedangkan Dana menurunkan kaca mobil, membuat dirinya bertatapan langsung dengan gadis itu.
"Malam, Mbak Mila," sapa Dana, dan Mila harus memaksakan senyumannya. Walaupun dia tidak menyukai kenyataan bahwa Dana ada di sana bersama Dante, gadis itu sudah sangat baik padanya.
"Malam. Kalian dari mana?" tanya Mila pada Dana, dan kemudian matanya mengikuti Dante yang membukakan pintu belakang untuknya. Sekali lagi, dia merasa kecewa dan kembali menahan senyumnya yang terasa berat.
Dana menoleh ke belakang, dan Mila akhirnya masuk ke jok belakang. Setelah Dante menutup pintu, Dana menjawab, "Tadi baru dari kafe saudaranya Doni, Mbak Mila."
"Oh," gumam Mila pelan.
Selama perjalanan, Mila lebih banyak mendengarkan obrolan Dante dan Dana. Mereka tidak henti saling bersahutan membahas tentang Doni dan kafe yang barusan mereka kunjungi.
"Mbak Mila, gimana proses pembangunan homestay-nya?" tanya Dana tiba-tiba sambil melongok ke belakang, membuat Mila yang daritadi membuang muka ke arah jendela, ikut menoleh dan menatapnya.
"Ah, baik. Sudah kira-kira 50 persen," jawab Mila dengan senyum kecil.
"Nanti aku bakal ajak Ibu buat nginep di sana. Jadi tamu pertama," cetus Dana dengan tawa yang renyah.
"Iya, terima kasih," jawab Mila singkat.
Setelah beberapa menit berkendara, mereka memasuki area perkebunan Pramudana. Karena rumah utama lebih dekat dengan gerbang depan perkebunan, mereka pun berhenti di depan rumah utama dulu.
"Mila, aku anterin Dana dulu. Kamu bisa turun duluan," ucap Dante sambil menoleh ke belakang.
Mila mengangguk dengan gugup, dan mengucapkan terima kasih pada Dante kemudian mengucapkan selamat malam pada Dana.
Setelah turun, Mila tidak langsung masuk. Dia berdiri di halaman depan rumah utama yang luas sambil menatap mobil Dante menjauh. Kenapa dia merasa sesedih ini? Kenapa dia sangat tidak menyukai Dana saat ini padahal gadis itu tidak melakukan hal yang buruk padanya?
Gadis itu memijit keningnya, merasa sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Dante ke mana itu?"
Mila langsung menolehkan kepalanya dan mendapati Bu Sinta sudah berjalan menghampiri.
"Oh, itu ... Dante anter Dana pulang dulu Tante," jawab Mila sambil menunjuk ke arah mobil Dante pergi tadi.
"Kalian tadi keluar sama Dana?" tanya Sinta dengan dahi berkerut.
"Sebenernya mereka berdua pergi ke kafe milik saudaranya Doni, Tante. Terus perjalanan pulang, Mila minta tolong Dante buat jemput Mila soalnya tadi Mila nggak bawa mobil," jelas Mila.
Sinta menarik kepalanya ke atas berusaha melihat ke arah mobil Dante pergi walaupun tentu saja itu semua sia-sia karena mobil Dante sudah tidak lagi terlihat. Wanita itu kemudian menoleh lagi ke Mila. Dan, insting seorang wanita ditambah insting seorang Ibu selalu berhasil membuat wanita mana pun menjadi lebih peka.
Sinta melihat kesedihan di wajah Mila, hingga dia berkata ketus, "Dana itu suka banget nempel sama anakku."
"Ayo," imbuh Sinta sambil merangkul bahu Mila dan mengajaknya masuk.
*
Dante menoleh dan melihat lampu di dalam rumah Dana sudah dimatikan. Dia kemudian menolehkan kepalanya ke kiri dan menatap gadis yang duduk di sampingnya.
"Kau kenapa?" tanya Dante dengan dahi berkerut karena melihat ekspresi sedih di wajah Dana.
"Apa kau yakin tidak ..... tidak menyukai Mila lagi?" tanya Dana tanpa menatap Dante, hanya menundukkan kepalanya.
"Hah?" cetus Dante bingung.
"Kau dulu kan memintaku membantumu mendapatkan Mila," Dana mengingatkan.
Dante memutar tubuhnya ke kiri sehingga dia bisa menghadap Dana. "Aku salah. Mila memang menarik. Dia cukup berbeda dengan gadis-gadis kaya yang aku kenal. Karena itu, dia sempat membuatku tertarik," sahut Dante dengan wajah serius.
Dana menaikkan kelopak matanya dan menatap Dante dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan.
"Tapi, apa yang aku rasakan dulu ke dia dan apa yang aku rasakan ke kamu jelas berbeda. Setelah beberapa kali menghabiskan waktu bersamanya, aku menyadari aku tidak ingin menjadikannya milikku," lanjut Dante. Dana menatapnya tanpa berkedip, kemudian,
"Sepertinya Mbak Mila menyukaimu. Aku bisa melihatnya. Perempuan memiliki insting yang sama," lanjut Dana, membuat suasana romantis yang sedetik lalu muncul karena kata-kata Dante, langsung hilang.
"Menurutmu begitu?" celetuk Dante dan Dana malah melotot ke arahnya.
Dengan cepat, gadis itu mencubit perut Dante sambil berseru, "Apa kau harus menunjukkan ekspresi sesenang itu?!"
"Apa?!" balas Dante sambil mengaduh kesakitan dan memegang bekas cubitan Dana.
"Begitu aku bilang Mila sepertinya menyukaimu, matamu langsung melebar. Kenapa? Apa kau mau banting setir sekarang?" todong Dana.
Dante tidak lagi memegang perutnya, dan ganti mencubit pipi Dana. "Apa kau cemburu?" ucap Dante sambil tersenyum nakal.
"Aku bukannya senang mendengar Mila menyukaiku. Aku senang melihatmu cemburu. Sekarang aku yakin kalau kau menyukaiku," ucap Dante.
*
"Sari, boleh ngomong sebentar."
Sari yang pagi itu sedang memeras santan untuk menu masakan di rumah utama langsung mendongak dan meletakkan pekerjaannya sambil menjawab sopan, "Injih Buk."
Dia beranjak dari duduknya dan berjalan mengikuti Sinta dari belakang. Wanita itu terus berjalan menuju bagian belakang rumah dan dia berhenti di sebuah bangku batu yang ada di halaman belakang rumah utama. Tidak ada orang lain di sana dan Sari semakin yakin apa yang hendak dikatakan Sinta adalah sesuatu yang serius.
"Wonten nopo Buk?" tanya Sari sopan.
Sinta duduk di bangku tadi dan menepuk bagian kosong di sampingnya, meminta Sari untuk ikut duduk dengannya. Saat itu masih cukup pagi sehingga cahaya matahari belum begitu terik. Sari menempati tempat yang ditunjuk Sari tadi.
"Sar, kamu kan wes ikut aku lama. Aku ini sayang banget sama kamu, sama Dana, dan pengen kalian bisa terus di sini," ucap Sinta, dan Sari mendengarkan dengan seksama.
"Aku ngomong ini, tolong jangan mikir aku ini jahat atau apa. Aku minta tolong ke kamu karena aku ini menghargai hubungan kita," imbuh Sinta lagi, dan Sari bergerak dengan gelisah.
"Ada apa, sih, Buk?" tanya Sari tidak sabar dengan inti pembicaraan mereka pagi itu.
Sinta terlihat menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Semenjak Dante pulang dari luar negeri, aku lihat Dana sering sekali menghabiskan waktu sama Dante. Iya, aku ngerti mereka itu temen dari kecil. Masalahnya, mereka sekarang sudah sama-sama dewasa. Belum lagi, ada Mila, yang suka sama Dante. Tiap kali Dante dan Mila mau keluar bareng, Dana mesti aja ikut. Jadi, aku minta tolong sama kamu, kamu kasih pengertian sama Dana," kata Sinta.
***
Injih Buk = Iya, Bu
Wonten nopo Buk = Ada apa, Bu?
Semoga masih ada yang nungguin kelanjutan Dante dan Dana dan kalian suka dengan part ini. Tetap kasih vote buat cerita ini ya ... makasiiihh ... ❤️❤️
btw, aku lagi suka sama lagu tadi. Aku suka banget sama lyricsnya, yang intinya, don't get carried away by your heartbreak and never compare yourself to a girl that your boyfriend chooses over you. You are you and she never be like you. It kinda reminds us, we are all special and the planet only has one YOU.
🌳🌳🌳
Published on Sunday, July 31, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top