Part 27 - Once Upon a Morning Ride
"Kau tidak tahu betapa leganya aku mendengar aku tidak melakukan hal yang sudah menyinggung Bu Sinta," ucap Dana.
"Jangan khawatir. Aku akan meyakinkan Ibuku. Bapak sudah memberikan restu untuk kita," kata Dante.
Dana melepaskan tangan Dante dari wajahnya dan menatapnya dengan mata memicing. "Kau baru bilang suka kemarin dan sekarang kau sudah membahas soal restu?" potong Dana.
"Memangnya kenapa? Kau pikir aku hanya main-main denganmu?" sambar Dante dengan wajah tersinggung.
"Ibuku ..... juga tidak setuju dengan hubungan kita," sela Dana cepat dan Dante langsung berseru "APA?!" dengan mata membelalak lebar.
"Memangnya, aku kurang apa? Aku tampan, pintar, kaya, baik, dan pastinya aku sangat menyukaimu," protes Dante, dan kali ini giliran Dana yang tertawa.
"Apa kau tidak malu mengatakannya? Aku saja malu mendengarmu mengatakannya," goda Dana sambil bergidik dengan dramatis.
"Tapi, memang benar, kan?" tekan Dante. "Aku akan bicara dengan Ibumu malam ini. Aku harus tahu apa kekuranganku sampai dia tidak menyetujuiku," sungut Dante.
Dana kembali tertawa. "Justru karena kau terlalu sempurna dan kau seorang Tuan Muda, Ibu tidak mau aku dekat-dekat denganmu. Kalau kita bersama, itu seperti aku dan Ibuku mengkhianati kebaikan yang sudah diberikan orang tuamu selama ini," jelas Dana.
Dante menggelengkan kepalanya. "Ibuku dan Ibumu cocok sekali. Mereka memiliki pemikiran yang sama. Kenapa berpikir sekolot itu," gumam Dante.
Dana hanya bisa mengangkat bahunya.
"Atau ...," kata Dante sembari mengangkat kepala dan menegakkan punggungnya.
"Kalau mereka menyukai hal-hal seperti ini, aku bisa bilang ke Budhe Sari bahwa dia harus membalas kebaikan keluargaku dengan menyerahkan anak gadisnya padaku," ucap Dante dengan wajah berbinar-binar dan keduanya tertawa.
*
Keesokan harinya, seperti biasa Dana datang lebih dulu di kantor dan langsung mengunjungi beberapa area di perkebunan. Setelah menghabiskan waktu dua puluh menit berkeliling, dia berniat kembali ke kantor.
Saat itu bertepatan dengan datangnya Dante. Dan, pagi itu, seperti kebanyakan pagi-pagi sebelumnya, Dante datang dengan sepeda motor butut Pak Rio dengan Mila duduk di jok belakang.
Dana tahu bahwa Mila biasanya langsung ke lokasi pembangunan dan Dante akan ke kantor setelah mengantarkan Mila. Karena itu, dia buru-buru masuk ke kantor dan tidak harus menyiksa dirinya lebih jauh dengan melihat Dante berboncengan dengan wanita lain. Tidak mungkin bagi Dana tidak cemburu. Belum resmi berhubungan saja Dana sudah tidak tahan melihat mereka berduaan, apalagi sekarang. Mungkin karena Dana merasa dia lebih berhak, kini rasa cemburunya semakin besar.
Dana menunduk dan berjalan cepat ke pendopo kantor. Dari sudut matanya, dia bisa melihat Dante sedang melewatinya. Badan Dana terhuyung saat seseorang tiba-tiba menarik tangannya dengan keras dari belakang.
"Dana!"
Dana menoleh dan mendapati Doni sedang berdiri tepat di depannya sekarang sambil cengar cengir. Dana sempat melihat ke motor Dante yang sudah melewatinya. Pria itu menolehkan kepalanya dan mata mereka bertemu. Namun, tidak lama, karena Dante kembali menatap ke jalanan di depan.
'Kenapa aneh begini rasanya,' batin Dana yang melihat Dante sedang berboncengan dengan wanita lain dan saat ini Doni sedang memegang tangannya.
"Apa?" tanya Dana dan Doni pun melepaskan pegangan tangannya dengan canggung.
"Nanti malam sibuk nggak?" tanya Doni sambil tersenyum tidak jelas.
"Kenapa?"
"Mas Satria nanyain kamu. Tanya, kapan kamu bisa nyanyi di tempat dia lagi. Gimana? Bisa nggak? Kafe Mas Satria kalau Senin malam itu rame banget," ujar Doni.
Dana terdiam. Di dalam otaknya dia berpikir apakah dia perlu meminta izin pada Dante dulu. Tapi, dengan cepat dia langsung ingat bagaimana Dante barusan berbocengan dengan Mila. Kalau Dana memberikan dia izin, seharusnya Dante juga harus melakukan hal yang sama.
"Nanti jemput aja di rumah," ucap Dana.
*
Suasana di kantor pendopo cukup hening. Hanya suara ketikan keyboard Mbak Maya berhasil membuat Dana semakin tidak sabar. Kakinya terus saja dia ketuk-ketukkan di lantai. Sudah hampir jam sebelas dan Dante masih belum kembali ke kantor.
Hari ini Pak Rio datang ke kantor dan saat ini sedang memeriksa proposal yang dikerjakan Dita. Dana menggigit bibir bawahnya dan melirik ke ponsel yang dia letakkan di meja. Tidak ada panggilan atau notifikasi apapun. Merasa jengkel melihat benda yang layarnya tidak kunjung menyala itu, menggunakan bolpointnya, Dana mendorong ponselnya menjauh. Mungkin dengan itu, dia tidak akan berharap ada pesan lagi dari kau tahu siapa.
"Mbak Dana," panggil Dita dengan suara pelan dan lembutnya, membuat Dana menoleh cepat dan mendongak karena gadis itu berdiri tepat di sampingnya.
"Ya?" tanya Dana.
"Pak Rio manggil Mbak Dana," kata Dita dengan suara pelannya lagi. Dana memundurkan kursi berodanya untuk bisa mengintip ke arah Pak Rio dan laki-laki separuh baya itu sedang menatapnya sambil tersenyum. Saat tahu Dana melihat ke arahnya, Rio melambaikan tangannya.
"Ah, iya. Makasih, Dit," kata Dana kemudian berdiri dari duduknya dan berjalan ke meja Pak Rio.
"Ya, Pak," ucap Dana saat sudah berdiri di depan meja Rio.
"Mau keliling perkebunan sama saya?" tanya Rio dengan senyum hangatnya.
Dana merasa aneh namun, kemudian dia mengangguk. Rio pun tersenyum lebih lebar dan berdiri dari duduknya kemudian berjalan ke luar, diikuti Dana dari belakang.
*
"Dana mana?" tanya Dante, yang baru sampai di kantor pendopo menjelang pukul dua siang, pada Maya. Dari pagi hingga siang ini, Dante menemani Mila menemui beberapa vendor yang berhubungan dengan pembangunan penginapan. Dia tahu bahwa Dana tadi pagi melihatnya. Dia sedikit menyesal tidak sempat mengirimkan pesan padanya.
Maya menegakkan tubuhnya dan memajukan dadanya yang berisi sambil menekuk kedua tangannya di depan. Dengan senyumnya yang paling manis, Maya menjawab, "Diajak keliling sama Pak Rio, Tuan Muda."
"Dari tadi?" tanya Dante lagi.
"Menjelang jam makan siang tadi," ucap Maya sambil memutar sedikit kursi berodanya ke kanan dan kiri.
Dante mengernyit dan kembali ke mejanya. Sebelum berbalik, dia melihat ponsel Dana tergeletak di atas meja gadis itu.
*
Setelah berkeliling ke beberapa area perkebunan sambil mengobrol dengan beberapa orang di perkebunan, Rio mengajak Dana kembali. Berbeda dengan Dana yang harus kembali ke kantor, Rio mengatakan dia akan langsung pulang ke rumah.
"Ini sudah jam setengah empat. Kamu kalau mau langsung pulang nggak apa-apa," ucap Rio kepada Dana dan gadis berkulit putih itu mengangguk mengerti.
Dana berjalan sendiri menuju kantor dan saat sudah dekat dengan bangunan pendopo tersebut, dia melihat Dante sedang serius menatap flat screen komputernya. Dana pun berjalan cepat dan sengaja berjalan agak jauh agar pria itu tidak melihatnya.
Dana mengendap-endap untuk mengambil sepedanya. Namun, dia kemudian teringat pada ponsel dan tas yang dia tinggal di meja tadi. Dana yang sudah naik di atas sepedanya, menimbang-nimbang apakah dia harus masuk dan mengambil barangnya atau tidak.
Begitu mengingat kembali kejadian tadi pagi, Dana kembali merasa kesal dan akhirnya mengayuh sepedanya menjauh.
*
Dita yang memang tidak terbiasa banyak bicara, melihat ponsel dan tas Dana di mejanya. Dia kembali mengecek jam tangannya. Sudah jam empat lebih lima belas menit. Mbak Maya pun sudah pulang sekitar lima menit yang lalu.
Pada akhirnya, Dita memasukkan ponsel dan tas Dana di laci besar di bawah meja Dana. Setelah memasukkan barang pribadi Dana dan menutupnya, Dita pun berjalan keluar.
"Tuan Muda, saya balik dulu," sapa Dita yang hendak keluar.
"Iya. Makasih, ya, Dit. Hati-hati di jalan," sahut Dante, mengalihkan kepalanya sebentar dari layar komputer.
*
Setelah membalas beberapa email penting dan memeriksa semua laporan yang diserahkan padanya, Dante meregangkan kedua tangannya ke atas sambil menguap lebar. Dia menoleh ke kanan dan kiri, baru menyadari bahwa di luar sudah gelap. Dia mengecek jam tangannya dan menyadari sudah hampir jam setengah tujuh malam.
Dia pun kemudian berdiri dan berjalan ke arah meja Dana. Dia heran kenapa gadis itu tidak kembali lagi ke kantor. Namun, karena kesibukannya tadi, dia kembali teralihkan. Dante mengerutkan dahinya saat melihat meja Dana sudah rapi. Dia cukup yakin tadi Dana meninggalkan ponselnya di atas meja, begitu juga dengan tasnya.
Walaupun tidak ada siapapun di sana dan hanya ada suara katak dan serangga, Dante masih saja memutar kepalanya ke kanan dan kiri, mencoba mencari tahu siapa kira-kira yang mengambil ponsel dan tas Dana.
Pria itu akhirnya menyerah dan berbalik untuk kembali ke rumahnya. Namun, tepat saat dia berjalan menuju motornya yang terparkir, Dana datang dari arah berlawanan bersama Doni, berboncengan motor. Dante benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia pun mundur dan berjalan mendekati keduanya yang kini berhenti tepat di depan kantor.
Doni yang memegang kemudi, menghentikan motornya dan hanya melemparkan senyuman pada Dante sembari menyapanya ramah. Dana, di lain pihak, terlihat turun dari motor dalam gerakan lambat.
Gadis itu menatap Dante dengan tatapan ngeri. Mungkin karena mata Dante yang melotot. Bukannya menyapa Dante seperti yang pria itu harapkan, Dana malah berjalan sopan sambil sedikit membungkukkan badannya dan masuk ke dalam pendopo.
Mata Dante mengikuti Dana namun pria itu kemudian menoleh ke Doni yang masih setia di atas motornya.
"Baru mau pulang Tuan Muda?" tanya Doni dengan santai.
"Mau ke mana sama Dana?" tidak menjawab pertanyaan Doni, Dante malah melemparkan pertanyaan.
"Mau ke kafe saudara saya Tuan Muda. Yang di Surakarta," jawab Doni tanpa menyadari jawabannya sedang membangunkan singa tidur.
"Kau bilang, apa?" desis Dante dan pria itu berjalan dua langkah lebih dekat ke Doni.
Doni mulai merasa ada yang aneh dari cara Tuan Mudanya bertanya. Dia cukup yakin tidak mengucapkan sesuatu yang tidak sopan atau salah. Dia hanya memberitahu Tuan Mudanya bahwa dia dan Dana akan ke kafe saudaranya yang bernama Satria. Namun, saat Dante maju dua langkah dan mengunci tatapan matanya tanpa berkedip, dia jadi menciut.
"Ke kafe saudara saya di Surakarta Tuan Muda. Sudah janjian sama Dana," Doni kembali menjelaskan dengan suara bergetar.
"Siapa yang memberikan izin?" tanya Dante dengan tatapan elangnya.
"Maksudnya, Tuan?" tanya Doni bingung. Apakah Dana harus melakukan pekerjaan dengan pria ini malam ini jadi dia memerlukan izinnya?
Doni yang hendak menjawab, langsung menolehkan kepalanya ke arah kiri di mana Dana terlihat baru saja keluar dari kantor pendopo. Dante mengikuti arah pandang Doni dan menolehkan kepalanya.
"Ayo, Don," kata Dana sepertinya sengaja tidak melihat Dante.
*
Tanpa aba-aba, Dana langsung naik ke atas motor Doni walaupun pria itu belum menyalakan motornya. Sejujurnya dia terlalu takut melihat reaksi Dante saat ini. Dan, kenapa pula pria itu masih ada di kantor jam segini.
"I .. iya," ucap Doni terbata, menyadari aura menakutkan di sana.
Doni pun menyalakan motornya dan berpamitan, "Kami berangkat dulu, Tuan." Hanya dengan satu gerakan, Dante berdiri di depan motornya.
"Dana, turun dulu. Bicara sama aku," ucap Dante penuh penekanan namun Dante tidak menatap Dana saat mengatakannya melainkan menatap Doni dengan penuh ancaman.
Dana bergidik, dan dengan gerakan lambat, dia turun kembali dari motornya. Doni menoleh dan berbicara pelan pada Dana, "Dana jangan lama-lama, ya, nanti terlambat."
Ucapan Doni tadi sampai di telinga Dante dan dia semakin menajamkan matanya.
Tanpa menoleh, Dante kemudian berjalan masuk ke kantor. Saat sudah masuk, Dana melihat pria itu sedang berdiri dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Kali ini, Dante menatapnya dengan tatapan elangnya.
"Apa?" tantang Dana. Walaupun dia merasa menciut dengan reaksi Dante, tetap saja Dante yang lebih dulu membuatnya marah.
"Apa maksudnya ini?" tanya Dante menakutkan.
"Apa?" Dana bertanya balik dengan nada sesantai mungkin.
"Kau mau pergi ke Surakarta malam-malam begini, boncengan dengan Doni, untuk bertemu pria lain di sana, DAN kau tidak memberitahuku," desis Dante.
Dana mengerjapkan matanya, memasang ekspresi seakan dia benar-benar tidak tahu telah melakukan kesalahan. "Apa aku harus memberitahumu?" tanya Dana dengan tampang polos.
"Apa ucapanku kemarin kurang jelas? Bukankah kita sudah berpacaran sekarang? Bukankah aku sudah bilang aku akan mendapatkan restu Ibumu dan Ibuku?" desak Dante.
"Tentu saja aku paham kita sedang berpacaran, tapi aku tidak tahu harus ada penyesuaian," sela Dana.
"Tentu saja harus ada penyesuaian. Kau pikir aku rela melihatmu pergi dengan pria lain walaupun pria itu Doni dan aku tidak mengetahuinya?" Dante kembali memojokkan.
"Jadi, mana yang salah? Aku pergi dengan Doni atau aku tidak memberitahumu?" ketus Dana.
"Tentu saja dua-duanya. Aku tidak suka melihatmu berboncengan dengan pria lain!" teriak Dante kehilangan kendali dirinya.
Dana, di lain pihak, hanya mendengus sembari memberi tatapan mencemooh. "Kenapa kau melihatku seperti itu?" tuntut Dante.
"Seharusnya tidak ada masalah untuk yang pertama karena tadi pun aku melihatmu boncengan sama Mila dan aku sama sekali tidak keberatan," jawab Dana dalam satu tarikan napas.
Dante diam, tidak mampu memberikan jawaban. Sepertinya pria itu menyadari kesalahannya. "Mila selalu ikut aku setiap berangkat kerja. Aneh rasanya kalau tiba-tiba aku menolak dan aku juga tidak punya alasan," jelas Dante.
Dana tertawa kecut. Mungkin, kalau kondisinya Mila tahu tentang hubungan mereka, Dana tidak akan semarah tadi. "Baiklah. Aku tidak akan pernah keberatan dengan hal itu selama kau pun melakukan hal yang sama," dengus Dana.
Dana kali ini berani menatap Dante dengan nyalang dan pria itu hanya diam sambil membalas tatapan matanya. Setelah beberapa detik, "Ya sudah. Aku pergi dulu," ucap Dana, kemudian berbalik dan hendak keluar.
"Apa kau benar-benar tidak keberatan?" tanya Dante, membuat Dana berhenti dan kembali menoleh.
"Memang kalau aku keberatan, akan ada yang berubah?" Dana bertanya balik.
"Ya," jawab Dante mantap.
Dana bimbang dengan jawaban mantap dari Dante. Dia memang keberatan namun mereka berniat menyembunyikan hubungan mereka. Kalau dipikir-pikir, dia harus menahannya dan tidak membuat satu orang pun curiga.
"Lupakan. Tidak masalah, aku tidak keberatan," jawab Dana pada akhirnya dan kembali berjalan keluar.
Dana yang keluar dari kantor dan berjalan menuju motor Doni, berhenti saat Dante melewatinya cepat sambil berkata, "Aku antar kalian."
"Don, kamu tunggu di sini sama Dana. Aku mau ambil mobil dulu," kata Dante tegas dan Doni yang awalnya hanya bisa melongo, akhirnya mengangguk cepat.
***
Terima kasih buat yg masih setia di sini. Hontoni arigatou ... Kl gak ada kalian, aku gak akan punya semangat buat terus nulis. Jadi, sekali lagi, terima kasihh. Jangan lupa vote dan komen seperti baisa ya. Dana dan Dante cinta kalian !!!
Published on Saturday, July 30, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top