Part 26 - Once Upon a First Date
Menjelang jam sembilan pagi, semuanya kembali ke rumah masing-masing. Dana mencoba menghubungi ponsel Hira namun dia tidak menerima panggilan teleponnya. Pada saat menolaknya, Dana berharap tidak akan ada yang berubah di antara mereka. Karena itu, kemarin Dana meyakinkan Hira bahwa tidak ada yang boleh tahu tentang percakapan mereka kemarin. Sayangnya, dia sendiri yang mengingkarinya.
Begitu sampai di rumah, Dana langsung mandi dan berniat membantu Pak Hermawan lagi. Saat hendak keluar dari rumah, ponselnya berbunyi dan dia pun mengeluarkan benda yang bergetar di dalam tas kecilnya. Dari Dante.
"Kau sedang apa?" tanya Dante di ujung sana.
"Aku mau ke tempat Pak Hermawan," jawab Dana.
"Lagi?" pekik Dante.
"Kemarin, kan, aku janji akan kembali, tapi aku kemarin langsung pulang," jelas Dana kemudian mengapit ponselnya di bahu agar dia bisa mengunci pintu rumahnya.
"Bagaimana kencan kita?" tuntut Dante.
"Memangnya kau mau mengajakku keluar kapan?" kata Dana sembari memasukkan kunci rumahnya ke dalam tas dan berjalan ke sepeda yang terparkir di halaman luar.
"Nanti aku telepon lagi. Yang pasti kau harus sudah siap. Aku akan mengajakmu makan enak," jawab Dante.
*
Membayangkan makan malam bersama Dana malam ini, membuat Dante bersemangat. Sayangnya, semangat tadi segera menguar dengan cepat. Sesaat pria itu keluar dari kamar, Sinta sudah menunggunya di depan pintu.
"Ibuk ngapain berdiri di sini?" tanya Dante dengan dahi mengernyit, merasa aneh melihatnya Ibunya diam di depan kamarnya.
"Tadi pagi Mila sarapan sama kami dan dia bilang kamu masih belum balik dari kemah. Kamu nganter Mila semalam karena dia nggak enak badan tapi kenapa kamu malah balik lagi ke sana?" cerocos Sinta.
"Memang kenapa kalau Dante balik ke sana? Bukannya Dante sudah nganter Mila ke rumah biar dia bisa istirahat?" Dante bertanya balik.
"Kalau nggak ada Mila di sana, harusnya kamu langsung balik. Kamu jagain dia," sungut Sinta sambil mendaratkan pukulan di bahu anaknya.
Dante menutup matanya merasa tiba-tiba mood-nya buruk. "Buk, berapa kali aku bilang, Dante dan Mila nggak ada apa-apa. Kalau aku memang pacar Mila, aku nggak akan balik lagi semalam," sahut Dante.
"Berapa kali Ibu bilang ke kamu, kamu bakal nyesel kalau ngelepasin perempuan sebaik Mila," Sinta kembali mengingatkan.
"Dan, berapa kali aku bilang, aku nggak suka sama Mila. Aku nggak ada perasaan khusus buat Mila. Kalau Ibu terus mendesak aku, aku harus bagaimana supaya Ibu ngerti," kata Dante putus asa.
"Kamu coba pacaran dulu sama dia. Kalau memang setelah pacaran kamu masih nggak ada perasaan sedikit pun sama dia, Ibu baru akan mundur. Dan, Ibu yakin kamu akan sadar Mila itu perempuan terbaik buat kamu," jawab Sinta mantap.
"Usia kamu itu sudah cocok buat segera menikah. Ibu juga yakin teman-teman kamu sudah banyak yang nikah, kan?" Sinta kembali menyudutkan.
"Ibu mau aku segera menikah? Kalau Ibu berhenti mendesak aku buat deket sama Mila, mungkin keinginan Ibu bisa segera terwujud," ucap Dante tanpa keraguan sedikit pun.
Sinta, di lain pihak, terlihat membeku. Dia tentu ingin melihat anaknya bisa bersama Mila. Namun, lebih dari itu, Sinta ingin Dante segera menikah. Dan, mendengar anaknya mengatakan hal barusan dengan sangat yakin, Sinta mulai me-reset pikiran di dalam otaknya.
"Memang kamu sudah punya calon?" tanya Sinta. Nada serta raut wajahnya seketika berubah manis.
"Nanti aku pasti bilang ke Ibu. Jadi, aku minta tolong Ibu jangan lagi mendorong Mila ke aku," kata Dante kemudian berjalan melewati Ibunya.
"Dante tunggu ... siapa? Teman kuliah kamu? Temen kamu waktu di Inggris? Anaknya gimana? Cantik, kan? Kalau sekolah di Inggris pasti pintar, kan?" Sinta memberondong Dante dengan banyak pertanyaan sambil mengekor anaknya.
Dante berhenti di ruang keluarga saat dia melihat Bapaknya sedang menikmati acara dokumenter kesukaannya.
"Pak, bisa ngomong sebentar berdua saja sama Bapak?" ucap Dante yang tiba-tiba berhenti, membuat Sinta yang daritadi berjalan di belakang mendaratkan wajahnya di punggung Dante.
Rio menoleh dan berkata, "Kita ngobrol di ruang kerja Bapak aja." Rio kemudian mengambil remote televisi dan mematikan benda flat tersebut.
Rio yang sudah berjalan mendekat, mengusap punggung istrinya dengan lembut, kemudian berjalan menuju ruang kerjanya diikuti Dante.
*
"Ada apa? Ada masalah dengan pekerjaan?" tanya Rio yang sudah duduk di kursi kerjanya. Dante menarik kursi yang berada di depannya dan ikut duduk.
"Pak, aku ... mau serius sama Dana," ucap Dante dengan posisi tubuh tegak.
Rio yang awalnya terlihat santai, langsung ikut menegakkan tubuhnya. "Apa? Maksud kamu?" tanya Rio.
"Aku juga tidak menyadarinya saat pertama kali kembali. Setelah beberapa kali menghabiskan waktu bersama Dana, aku akhirnya paham, aku nggak bisa jauh dari dia dan aku nggak berniat melepaskan Dana," kata Dante serius.
Rio mengusap janggut tipisnya pelan dan meremas-remas tangannya. "Bagaimana dengan Dana?" tanyanya kemudian.
"Dia punya perasaan yang sama denganku. Aku juga baru tahu kemarin," jawab Dante.
Rio menghela napas panjang. "Kamu nggak tahu seberapa senengnya Bapak dengar ini. Tapi .... Kamu juga paham kalau ....," ucap Rio yang kemudian terpotong oleh Dante.
"Iya, Ibu. Aku paham. Karena itu, aku bilang lebih dulu ke Bapak. Aku akan meyakinkan Ibu pelan-pelan bagaimanana pun caranya," lanjut Dante.
"Sepertinya kamu cukup yakin dengan perasaan kamu," imbuh Rio dengan senyum tipis. Ada kebanggaan di wajah pria itu saat mengatakannya.
Dante tersenyum kemudian mengangguk. "Sangat yakin."
Rio beranjak dari duduknya dan berdiri di samping anaknya, membuat Dante ikut berdiri. Rio menepuk bahu anaknya dua kali sambil tersenyum, "Kamu sudah dewasa ternyata. Masalah Ibu kamu, pelan-pelan kita beritahu dia."
*
Dante yang sudah mengenakan kaos hitam berlengan panjang, celana jeans, sepatu loafer cokelat, rambut rapi, dan wangi, langsung menganga saat melihat Dana di tempat Pak Hermawan. Wajah gadis itu terlihat sangat berminyak, rambut acak-acakan, dan baju yang penuh noda lumpur.
Sepertinya hanya dia saja yang bersemangat dengan acara kencan mereka. Dengan kesal, Dante pun berjalan menghampiri Dana yang sedang duduk di teras depan rumah Pak Hermawan.
"Jadi, ini penampilanmu kalau mau kencan?" keluh Dante.
Dana langsung menoleh dan matanya melebar. Dan, dua detik selanjutnya, Dana menunduk dan melihat penampilannya sendiri.
"Kau sudah rapi," gumam Dana.
"Ayo. Kuantar ke rumahmu. Pak Hermawan mana?" tanya Dante.
"Kita langsung balik aja. Tadi Pak Hermawan pamit mau ke rumah Pak Cakra sebentar," kata Dana sambil berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah sepedanya terparkir.
"Kau mau ke mana?" seru Dante yang melihat Dana malah berjalan menjauhi mobilnya.
"Pulang dulu, kan," sahut Dana bingung.
"Naik mobilku aja," perintah Dante.
"Jangan, baju dan sepatuku kotor," sahut Dana sambil menarik kerah bajunya dan mencium badannya sendiri. Dante maju tiga langkah dan menarik Dana untuk ikut ke dalam mobilnya. Dante membukakan pintu mobilnya dan mendorong Dana pelan supaya gadis itu duduk di kursi depan.
Sesampainya di rumah, Sari terlihat sedang menyapu halaman rumah. Wanita itu melihat keduanya turun dari mobil. Saat Dante membukakan pintu untuk Dana, hal itu juga tidak luput dari penglihatan Sari.
"Budhe Sari," salam Dante sambil mencium tangan wanita itu.
"Kalian dari mana?" tanya Sari karena saat Dana berangkat tadi, Sari masih di rumah utama.
"Aku habis bantu Pak Hermawan, Buk," jawab Dana. "Mandi dulu," ucap Dana cepat sambil mengecup pipi Ibunya cepat dan melesat masuk ke dalam rumah. Dante memperhatikan Dana dan sebuah senyuman terbit di wajahnya. Sari pun memandang Dante saat pria itu tersenyum sambil menatap kepergian Dana.
Setelah Dana tidak lagi terlihat, Dante kembali mengalihkan pandangannya ke Sari. Dante menyadari bagaimana Sari menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Masuk dulu Tuan Muda," ucap Sari. "Mau minum apa?" tanya Sari sambil mempersilahkan Dante duduk.
"Nggak perlu budhe. Aku mau ngajak Dana makan di luar," ucap Dante lancar.
"Makan di luar? Sama siapa?" tanya Sari dengan sopan. Walaupun Dante lebih muda, bagaimana pun juga Dante adalah bosnya.
Dante terlihat bingung. Tak urung dia menjawab, "Berdua aja budhe."
Ekspresi wajah Sari seketika berubah. Dia hanya memberikan anggukan kecil dengan gerakan lambat sebelum pamit masuk ke dalam rumah.
*
Dana menyesali dirinya sendiri yang bernyanyi pelan saat keluar dari kamar mandi. Dia langsung melihat Ibunya sedang duduk dengan tangan dilipat di dada dan sorot mata penuh selidik. Cengir bahagia Dana pun tidak lepas dari mata Sari.
"Kamu mau ke mana sama Tuan Muda?" tanya Sari penuh selidik.
"Dante ngajak makan di luar," jawab Dana berusaha tidak menimbulkan kecurigaan. Sayangnya, yang diajak bicara masih menunjukkan ekspresi tidak puas.
"Ngapain makan di luar berdua?" tanya Sari lagi.
"Nggak ada apa-apa Buk. Lagi pengen makan di luar aja," sahut Dana dan dia hendak masuk ke dalam kamar, menghindari sorot mata menakutkan Ibunya. Namun, kata-kata Sari berikutnya membuat langkahnya terhenti.
"Kamu jangan lupa yang Ibu pernah bilang dulu. Jangan sampai bikin Tuan Muda suka sama kamu. Kamu harus mengubur dalam-dalam perasaan kamu kalau masih menganggap Ibu," kata Sari dengan sangat serius.
Dana yang sudah memunggungi Ibunya, hanya bisa membeku. Namun, kemudian, dia menoleh sebentar dan masuk ke dalam kamar.
*
"Aku tidak masalah saat melihatmu tidak siap ketika aku datang tadi. Tapi, kenapa dengan wajahmu sekarang?" tanya Dante sambil menoleh sebentar kemudian kembali fokus dengan jalanan di depan dan tangan di atas kemudi.
Dana terdiam. Dia menyadari sejak dirinya masuk ke dalam mobil, dia lebih banyak melamun. Dia bahkan tidak mencoba untuk membuka obrolan dengan Dante.
"Maafkan aku. Ada sesuatu yang aku pikirkan," kata Dana lirih sambil menunduk.
Tangan kiri Dante menggapai tangan Dana dan menggenggamnya erat. "Kita hampir sampai," ucap Dante.
*
Dana tidak pernah ke tempat yang sekarang ini dia datangi bersama Dante. Tempat tersebut cukup unik. Ada banyak rumah pohon di sana yang bisa digunakan untuk lima hingga sepuluh orang. Jarak antara rumah pohon satu dan rumah pohon lainnya tidak terlalu dekat, sehingga siapa pun yang berada di sana akan mendapatkan privasi yang mereka butuhkan. Rumah pohonnya tidak sepenuhnya tertutup. Hanya ada atap tanpa dinding.
Dante meraih tangan Dana dan mengajaknya ke tempat resepsionis. Setelah Dante menyebutkan namanya, seorang pelayan dengan sangat ramah menunjukkan tempat mereka. Ketiganya tiba di rumah pohon yang sudah di pesan Dante. Dengan sigap, pelayan tadi menjelaskan mereka bisa menggunakan tablet yang ada di sana untuk memesan makanan atau minuman. Dia pun kemudian mempersilahkan dirinya sendiri.
Tangga rumah pohon tersebut tidak terlalu sulit dinaiki. Lebar anak tangganya berukuran sekitar 50 centimeter dan tingginya 15 centimeter. Jadi, bahkan untuk orang tua pun, menaiki tangga ke rumah pohon yang ada di sana cukup nyaman dan aman.
Saat sudah di atas, Dana dibuat semakin terpukau. Tempatnya sangat nyaman dan hangat. Beberapa tempat duduk dari rotan dilapisi cover atau selimut yang terlihat tidak hanya cantik tapi juga hangat. Selain itu, ada string lights pada pembatas dan langit-langitnya. Karpet yang sangat unik juga membuat tempat tersebut semakin terlihat mewah. Dan, dari semua itu, pemandangan alam di sekitar rumah pohon membuat Dana semakin terpukau.
"Ini cantik sekali," kata Dana kemudian duduk di sofa rotan panjang di sana dan Dante menempati tempat kosong di sebelahnya.
"Senang rasanya bisa melihatmu tersenyum lagi," ucap Dante sambil menatap Dana lekat.
Dante pun melakukan pemesanan melalui tablet. Setelah selesai menentukan menu mereka malam itu, Dante kembali meletakkan tablet tadi dan memutar tubuhnya supaya bisa menghadap Dana.
"Ada apa?" tanya Dante dan satu tangannya terulur ke pipi Dana dan pria itu membelainya lembut.
Awalnya gadis itu terlihat ragu, namun kemudian dia ikut memutar tubuhnya sehingga keduanya sekarang duduk berhadapan. "Kau ingat saat aku bilang tentang Bu Sinta yang tidak menyukaiku dan aku tidak tahu apa salahku?" kata Dana sambil memajukan duduknya sehingga bisa lebih dekat dengan Dante.
"Aku bukannya mau bertanya padamu kenapa dia bersikap dingin padaku karena aku cukup yakin kau pun juga tidak tahu," lanjut Dana cepat.
"Aku tahu," sela Dante dan Dana yang hendak melanjutkan kalimatnya, langsung menutup mulutnya kembali. Gadis itu terlihat terkejut.
"Kau tahu?" ulang Dana dan Dante mengangguk sembari meraih kedua tangan gadis itu kemudian menggenggamnya erat.
"Jadi, kau tahu kesalahan apa yang sudah kulakukan?" tanya Dana masih dengan wajah terkejut.
"Ya, aku tahu, tapi itu bukan karena kau membuat kesalahan," ucap Dante. Dante kembali meremas tangan Dana dan menunduk, menatap tangan mereka yang bertautan sebelum kembali mengangkat kepalanya dan menatap gadis itu dalam.
"Aku akan mengatakannya, tapi kumohon jangan membenci Ibuku. Dia tetap menjadi wanita pertama yang akan selalu mendapatkan cintaku," ucap Dante.
Dana mengerjap dan dengan cepat menjawab, "Tentu saja. Aku tidak akan pernah membencinya. Dibandingkan bagaimana sikapnya padaku sekarang, aku masih ingat bagaimana istimewanya dia memperlakukanku dulu."
"Terima kasih," sahut Dante sambil tersenyum.
"Aku juga tidak tahu pada awalnya. Sampai, Bapak yang menceritakan padaku," kata Dante memulai ceritanya. Dan, pria itu juga menggeser duduknya maju sehingga lutut keduanya sekarang menempel.
"Kau ingat saat kau baru lulus dari kuliah?" kata Dante dan Dana spontan langsung mengangguk.
"Ya, tentu saja aku ingat. Aku pulang ke rumah dan Ibu mengajakku ke rumah utama. Di sana ada beberapa pekerja yang sama dengan Ibuku, kemudian Pak Rio dan Bu Sinta menyambutku dan memberikanku buket bunga yang sangat indah dan memberikanku selamat karena menjadi lulusan terbaik," kenang Dana dengan raut wajah masih tidak mengerti.
Dante tersenyum kecut dan bergumam, "Kenapa aku jadi menyesal tidak melihatmu saat itu."
"Kau masih di luar negeri saat itu," sahut Dana dan Dante kembali tersenyum.
"Setelah memberikanmu ucapan selamat, malamnya Bapak mengatakan pada Ibu betapa bangga dia padamu. Dan, sepertinya Bapak sangat menyukaimu, dia ... mengusulkan pada Ibuku untuk menjadikanmu menantu," urai Dante yang kemudian diikuti dengan tawa kecil dari Dante.
Dana, di lain pihak, memasang ekspresi kaget dan tidak percaya. "Apa?! Benarkah?" tanya Dana dengan mata membulat.
"Kemudian?" tanya Dana masih dengan ekspresi yang sama dan hal tersebut membuat Dante tersenyum semakin lebar.
"Selanjutnya, sebenarnya cukup tidak masuk akal. Ibu kurang setuju karena Ibumu adalah salah satu pekerja di rumah utama. Dia hanya menganggap itu kurang pantas. Itu cukup konyol, tentu saja. Yang pasti aku tidak akan pernah melepaskanmu," kata Dante sambil mengatupkan kedua tangannya pada wajah Dana.
"Jadi, karena itu?" tanya Dana.
"Hu'um," sahut Dante masih dengan senyum yang lebar sembari memainkan tangan di wajah gadis di depannya.
"Jadi, aku tidak berbuat salah, kan?" tanya Dan lagi.
"Hu'um," jawab Dante lagi.
***
Soreee ... masih ada yang nungguin cerita ini kan? Maaf tiga hari kemarin gk update. Semoga kalian suka sama part ini ya. Jangan lupa vote dan komennya. Dante dan Dana sayang kalian!!!!
Published on Friday, July 29, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top