Part 25 - Once Upon a Clash

"Kau, apa?" tanya Dana dengan suara bergetar.

"Dana, kumohon .... katakan kau tidak menerima Hira," Dante kembali bertanya. Pria itu terlihat sangat gelisah. Dia terus mengepalkan tangannya, berharap segera mendengar jawaban Dana.

Dana masih terlihat tercengang, namun dia menggelengkan kepalanya. Dan, sepersekian detik kemudian, Dante langsung menarik tubuh Dana dan membungkusnya ke dalam pelukannya.

"Kau benar tidak menerima Hira, kan?" Ulang Dante sambil mengeratkan pelukannya.

"Tidak," jawab Dana dengan suara teredam karena wajahnya tersembunyi di dada Dante.

Dana bisa mendengar Dante menghembuskan napas panjang, seakan beban di dadanya telah terangkat. "Syukurlah," ucap Dante, kembali mengeratkan pelukannya.

"Bagaimana ini ... setelah ini, aku benar-benar tidak akan melepaskanmu. Setelah ini, jangan harap kau bisa jauh dariku," ucap Dante.

"Baiklah," isak Dana. Walaupun Dante tidak sedang melihat gadis itu karena wajahnya yang tersembunyi di dadanya, Dante tahu bahwa Dana sedang menangis.

"From now on, I will call you mine," ucap Dante.

Dante memegang kedua bahu Dana menjauhkan badan gadis itu agar dia bisa melihat wajahnya. "Aku benar-benar dalam masalah," ucap Dante saat dia melihat Dana.

"Kenapa?" tanya Dana dengan mata yang sudah basah.

"Kukira hanya senyummu yang membuatku tidak rela melepaskanmu. Tapi, melihatmu menangis seperti ini, aku semakin yakin untuk menguncimu di kamarku setelah ini," kata Dante dan kata-kata pria itu membuat Dana tertawa kecil. "Jangan tertawa sambil menangis seperti ini," ucap Dante sambil menyeka air mata Dana yang jatuh di pipinya.

"Baiklah. Asal jangan menaliku atau mengunciku," sahut Dana dengan mata yang basah. Dante tertawa kecil saat mendengarnya. Gadis itu tidak tahu seberapa lega Dante tahu bahwa dia tidak menerima Hira. Dante tidak mengira pada akhirnya dia bisa mengatakan perasaannya secara jujur pada Dana.

"Kau membuatku tergila-gila padamu, Dana," ucap Dante sambil kembali menarik Dana ke dalam pelukannya. Dante menikmati pelukannya dan terus memeluk Dana dengan sangat erat.

Keduanya berpelukan selama beberapa saat, menikmati kenyamanan dan kehangatan yang menjalari keduanya.

"Sebaiknya kita kembali. Yang lain nanti khawatir," kata Dana akhirnya sambil melepaskan diri dari pelukan Dante.

"Hapus dulu air matamu," sahut Dante. Dana pun menyeka kedua matanya menggunakan tangan. Gadis itu kemudian melihat ke arah Dante dan tertawa sambil menutup mulutnya.

"Apa?" tanya Dante bingung kemudian menunduk, mengikuti arah pandang Dana dan mencari tahu apa yang salah dengannya.

"Ini," ucap Dana sembari menunjuk jaket Dante di bagian dada yang basah karena air mata dan kemungkinan besar juga ingus Dana.

"Biarkan saja," sahut Dante. "Ayo." Dante menawarkan tangannya pada Dana, tapi Dana hanya menatap uluran tangan Dante tanpa menerimanya.

"Ada apa?" tanya Dante, menatap Dana dengan kecewa.

"Aku tadi menolak Hira. Aku tidak mau membuatnya terluka dua kali," jawab Dana.

"Aku tidak peduli! Aku malah ingin menunjukkan padanya kau memilihku!" seru Dante.

"Dante, kumohon. Hira sudah sangat baik padaku selama ini," kata Dana dengan putus asa. Dante masih diam, tampak masih tidak setuju untuk menyembunyikan kebahagiaannya malam ini.

"Kumohon," pinta Dana lagi dengan wajah memelas.

"Baiklah. Ada satu syarat," kata Dante.

"Apa?" tanya Dana.

"Besok pergi kencan denganku," kata Dante.

Dana mengeratkan jaketnya sambil tersenyum menatap Dante. Gadis itu kemudian mengangguk.

*

Kurang dari satu jam Dante menyetujui permintaan Dana, dia langsung menyesalinya. Sepanjang malam itu, Hira hampir ingin selalu menempel pada Dana. Hal itu akhirnya membuat Dante tidak bisa melepaskan matanya dari Dana.

Bahkan saat Mila memintanya duduk bersamanya, Dante langsung menolak dan tanpa ragu menghampiri Dana. Dante tidak mengerti apa yang dipikirkan pria itu. Pria normal pasti akan langsung menjaga jarak dengan wanita yang sudah menolaknya. Namun, berbeda dengan Hira. Sepanjang malam itu, Hira selalu berdiri atau duduk atau mengobrol dengan Dana.

Karena terlalu senang tadi, Dante tidak sempat menanyakan pada Dana bagaimana gadis itu menolaknya tadi. Bisa jadi, Hira masih menaruh harapan pada Dana.

*

"Astaga, aku iri sekali dengan Dana," ucap Putri yang duduk bersama Nia, Dinda, Mila, dan Fandy. Karena ucapan putri, semuanya ikut menatap ke arah Dana yang berdiri di dekat alat barbeque bersama Hira dan Dante.

"Kenapa?" tanya Fandy tidak mengerti.

"Itu, lihat," jawab Putri sambil mendongakkan dagunya. "Di sebelah kanan ada Hira, di sebelah kiri Tuan Muda."

"Kira-kira, tadi Dana menerima Hira nggak, ya?" tanya Nia lebih pada dirinya sendiri.

"Aku juga penasaran," sahut Dinda masih menatap ketiga orang yang sedang mereka bicarakan.

"Jangan-jangan, Tuan muda juga suka Dana. Lihat, daritadi Tuan Muda tidak mau jauh dari Dana," sela Fandy dan dia langsung mengaduh kesakitan karena Nia secara spontan memukul lengannya keras. Fandy protes dengan tatapan matanya namun Nia langsung melotot padanya dan mengarahkan dagunya ke Mila.

"Dante dan Dana sudah temenan lama. Jadi, wajar kalau mereka dekat," ucap Mila kemudian menyeruput kopi panasnya.

*

"Apa kau tidak bisa mengambil sendiri?" gerutu Dante yang jengah mendengar Hira meminta Dana mengambilkan sosis bakar yang ada di depannya. Hira hanya melirik Dante dari sudut mata dan tidak membalas perkataannya.

"Dante," panggil Mila tiba-tiba. Gadis itu ternyata sudah berdiri di belakang Dana, Hira, dan Dante. Walaupun nama Dante yang dipanggil, Dana dan Hira yang berdiri tepat di sebelah Dante pun ikut menoleh.

"Ada apa?" tanya Dante.

"Aku merasa tidak enak badan. Bisakah kau mengantarkanku pulang?" pinta Mila. Tidak langsung menjawab, Dante memutar kepalanya dan kembali menatap Dana. Dan, Dana pun sedang menatapnya. Namun, hanya dua detik sebelum gadis itu kembali menolehkan kepalanya ke arah Mila. Dante tidak tahu apakah Dana akan merasa keberatan atau tidak, karena itu dia ingin melihat reaksinya. Namun, sekali lagi, gadis itu cukup pintar menyembunyikan apa yang dia rasakan.

"Aku akan segera kembali," ucap Dante pada akhirnya lebih kepada Dana.

Dante pun berjalan menghampiri Mila dan mengangguk sekali saat dia sudah berdiri di samping gadis itu. "Terima kasih," gumam Mila yang kemudian berjalan mengikuti Dante dari belakang.

Dana, di lain pihak, menatap keduanya berjalan menjauh. Dia pun cepat-cepat memutar tubuh dan bertanya pada Hira, "Kau mau apa lagi?"

*

Mila meremas tangannya dengan gugup saat sudah di dalam mobil bersama Dante. Sejujurnya, tadi Mila merasa tidak nyaman melihat Dana yang selalu berada dekat dengan Dante. Sikap Dante pada saat mereka awal berkenalan dulu cukup berbeda dengan sikap Dante yang sekarang.

Ada perasaan kehilangan. Mila merasa tidak lagi menjadi pusat perhatian bagi Dante. Dia sangat ingin memiliki perasaan itu kembali.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Mila dengan suara lirih.

"Tentu saja," jawab Dante dengan mata masih lurus ke depan.

"Apa kau dan Dana sangat dekat?" tanya Mila.

Dante menoleh sebentar sebelum kembali fokus dengan jalanan di depannya. "Ya, kami sangat dekat."

"Apakah karena saat kecil kalian selalu bersama?" Mila kembali bertanya.

"Ya. Kami dulu ke mana-mana selalu berdua."

Mila menelah ludah dan menegakkan punggungnya. "Apa kalian ....," imbuh Mila tanpa menyelesaikan kalimatnya.

"Ada apa?" tanya Dante.

Mila diam tampak bingung. Namun, kemudian, "Tidak. Tidak ada apa-apa," ucapnya sambil tersenyum manis seperti biasa. Entah kenapa, Mila cemas, menanyakan perasaan Dante terhadap Dana bisa menjadi boomerang baginya.

*

Saat sudah sampai di depan rumah utama, Dante ikut turun dan menemani Mila berjalan sampai di depan pintu. "Apa kau akan kembali?" tanya Mila pada Dante dan pria yang kini berdiri di depannya itu menganggukkan kepala.

"Sebaiknya kau istirahat," ucap Dante yang ingin segera kembali ke lokasi kemah. Walaupun Dana sudah menerimanya, dia masih merasa harus waspada terhadap Hira.

"Baiklah. Sampaikan maafkan ke semuanya," ucap Mila pelan.

"Oke."

*

Mila masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya rapat. Dia menyadari bahwa perasaannya pada Dante menjadi semakin nyata. Dia menyukai bagaimana Dante dulu menatapnya dan bagaimana keluarganya kini menerimanya.

Dengan semua yang diterimanya dan semua yang terjadi, Mila sudah mengharapkan akan ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Walaupun dia cukup tahu Dante dan Dana hanya sebatas teman, tetap saja Mila berharap Dante tidak bisa melepaskan mata darinya. Namun, malam ini, dia menyadari bahwa Dante lebih dekat ke Dana dibandingkan ke dirinya.

Mila melihat pantulan dirinya di cermin dan tersenyum kecil. Dia belum pernah merasa tidak yakin tidak bisa mendapatkan seseorang. Dan, ini hal baru untuknya. Mila terbiasa menjadi pusat perhatian dan dengan siapa pun, mereka akan dengan mudah mengagumi Mila.

Sejujurnya, dia merasa kecewa ketika melihat Dante kembali ke acara kemah setelah mengantarkan dirinya tadi. Ada sedikit harapan bahwa Dante memilih untuk tetap tinggal di rumah karena Mila tidak akan lagi di sana. Sayangnya, tebakannya salah.

*

Dana sedang mendengarkan Dinda menceritakan pengalaman seramnya selama di perkebunan, saat dia melihat Dante datang. Mungkin hanya Dana yang saat itu mendengarkan Dinda sambil lalu. Dibandingkan cerita Dinda, Dana lebih takut Dante tidak akan kembali setelah mengantarkan Mila. Dan, bila itu terjadi, dia tidak akan bisa dan tidak akan mau lagi berharap apa-apa.

Senyum cerah langsung terpasang di wajah Dana saat melihat Dante datang. Dante langsung menempati celah tepat di sebelah Dana, membuat Hira mau tidak mau menggeser duduknya. Dante bersyukur Hira memberikan jarak antara dirinya dan Dana sehingga dia bisa menelusup di antara keduanya.

"Hai," bisik Dante sambil menoleh ke Dana. Karena Dante mencuri spot di antara Dana dan Hira, jarak duduknya dan Dana cukup dekat.

"Bagaimana Mila?" tanya Dana sambil berbisik, tidak ingin mengganggu cerita Dinda.

"Aku sudah mengantarkannya kembali ke rumah," jawab Dante.

"Dia kenapa?" Dana kembali bertanya.

"Entahlah. Aku tidak bertanya. Sepertinya baik-baik saja," jawab Dante lagi.

Menjelang jam satu malam, semuanya masuk ke tenda masing-masing. Dana tidur di satu tenda bersama Nia, Cici, Putri, dan Dinda, sedangkan Dante bergabung dengan Doni, Hira, dan Fandy.

Dante melipat kedua tangannya rapat di depan dada saat dirinya berbaring di dalam tenda. Bukannya dia tidak terbiasa berkemah, hanya saja bayangan Dana sedang berbaring dekat dengannya membuatnya sulit tertidur.

"Kau bisa pulang ke ranjangmu yang nyaman kalau kau tidak bisa tidur," lirih Hira yang berbaring di samping Dante. Ada jarak sepuluh centimeter di antara mereka.

"Aku heran kenapa kau memaksakan diri ikut dengan kami. Jelas-jelas semua ini tidak cocok dengan seorang Tuan Muda sepertimu," imbuh Hira.

"Kau bisa diam sekarang," sahut Dante.

Hira mendengus mencemooh. Hal tersebut membuat Dante menolehkan kepalanya dan menatapnya jengkel. "Aku tidak tahu ternyata kau orangnya cukup mengesalkan," desis Dante.

"Urus saja urusanmu," imbuh Dante, kemudian menolehkan kembali kepalanya ke langit-langit tenda.

"Tentu saja kalau kau berhenti menempel ke Dana. Aku tidak paham apa maumu. Kau berhubungan dengan Mila tapi mengatakan tertarik pada Dana," cemooh Hira.

"Apa masalahmu denganku," sahut Dante, kali ini duduk dan menatap Hira dengan penuh amarah. Melihat Dante sudah di posisi duduk, Hira pun melakukan hal yang sama.

"Jangan membayangi Dana," ancam Hira.

"Siapa yang membayangi Dana!" tantang Dante dan pria itu bahkan sudah menarik kerah baju Hira. Secara spontan, Hira pun melakukan hal yang sama.

"ASTAGA, ADA APA INI!" pekik Doni ketika melihat Dante dan Hira sudah dalam posisi saling siap menyerang. Doni langsung bangkit dan menjauhkan keduanya. Fandy pun pada akhirnya ikut terbangun.

"Jangan lampiaskan kekesalanmu padaku," ancam Dante dengan tatapan mematikan terjurus ke Hira.

"Apa maksudmu!" tantang Hira.

"Jangan mulai. Aku bisa membahasnya sekarang. Percayalah, aku sangat ingin membahasnya kalau bukan karena Dana. Bertindaklah pintar," tekan Dante.

Mendengar kalimat yang diucapkan Dante, Hira tidak lagi menjawab. Dia hanya menatap Dante yang juga balik menatapnya dengan penuh ancaman. Dua detik, tiga detik, lima detik. Sepertinya Hira mulai memahami apa maksud kata-kata Dante. Dengan kasar, Hira menampik tangan Doni yang menahannya dan dia keluar dari tenda dengan penuh amarah.

*

"Hira mana?" tanya Putri pada Doni. Bukannya menjawab, Doni dan Fandy hanya saling pandang. Dana yang memperhatikan gelagat aneh keduanya, langsung menoleh ke Dante yang sedang duduk di atas log kayu dengan gawai di tangannya.

"Ditanya malah lihat-lihatan," imbuh Putri kesal.

"Hira sudah balik duluan pagi-pagi tadi," bohong Doni.

Mendengar jawaban Doni, Dana pun berjalan menuju Dante dan duduk di sampingnya. "Sedang apa?" tanya Dana.

"Ini," jawab Dante sambil menunjukkan layar ponselnya ke Dana. "Undangan untuk para pemilik perkebunan."

"Di mana?" tanya Dana.

"Bali."

"Dante, apa terjadi sesuatu antara kau dan Hira?" tanya Dana dengan nada sebiasa mungkin. Dante memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan menatap Dana. "Aku tidak menyukainya," ucap Dante.

"Jadi, benar? Ada sesuatu yang terjadi tadi malam?" tanya Dana.

"Tidak terjadi apa-apa. Jangan khawatir," ucap Dante santai.

Dana menggeser duduknya agar bisa lebih mendekat ke Dante. Kemudian, dengan tatapan mata menuntut, Dana kembali bertanya, "Lalu kenapa dia pergi pagi-pagi sekali?"

"Lebih tepatnya tadi malam," sahut Dante.

"APA?!" pekik Dana dan hal tersebut membuat Dante menoleh ke arahnya dengan heran.

"Kenapa reaksimu berlebihan seperti ini," protes Dante. Dia sangat tidak menyukai membahas pria lain dengan Dana, terutama pria yang sudah terang-terangan mengatakan rasa sukanya pada Dana.

"Katakan padaku apa yang terjadi," desak Dana.

Dengan malas, Dante menjawab, "Aku hanya secara tidak langsung mengisyaratkan padanya kalau aku sudah tahu jawabanmu. Itu karena dia dulu yang mulai cari gara-gara denganku," jawab Dante dan dia cepat-cepat menambahkan kalimat yang terakhir karena Dana sudah terlihat hendak membuka mulutnya.

"Astaga," sahut Dana sambil menyisir rambutnya dan menumpukan kedua sikunya ke lutut. "Aku akan bicara dengannya nanti," lanjut Dana.

"Tidak ... kau tidak boleh," ancam Dante.

"Dante, dia teman baikku. Aku tidak mau dia menyimpan rasa marah padaku. Aku sudah berjanji padanya tidak akan ada yang tahu tentang kemarin," jawab Dana putus asa.

Dante langsung memutar tubuhnya, "Dia membuatmu berjanji?"

"Tidak. Aku sendiri yang berjanji. Aku yakin itu akan mengurangi rasa malu karena jawabanku kemarin. Aku katakan padanya percakapan kami kemarin akan menjadi rahasia kecil kami," jawab Dana.

"Kau tidak perlu menemuinya," kata Dante final dan Dana sudah mau protes. Namun, Dante yang lebih dulu bicara, "Kalau kau mau menemuinya, aku harus ikut. Aku sudah mengingatkanmu kemarin, kau tidak akan bisa jauh dariku."

***

Pagiiii .... masih nungguin kan? Akhirrnyyaa mereka sudah setengah jadian. Kok setengah hahahaha❤️🌳🌳 Jangan lupa vote dan komennya yaa ... Dana dan Dante cinta kalian !!!!

Published on Monday, July 25, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top