Part 22 - Once Upon Holding Hands
"Kau kenapa diam saja dari tadi?" tanya Dante sambil menoleh sebentar. Dirinya saat ini berada di dalam mobil, dalam perjalanan menuju ke hotel.
"Tidak. Tidak ada apa-apa," jawab Dana. Sebenarnya Dana mulai sedikit berharap pada Dante. Entah itu salah atau tidak. Kenapa Dante sebaik ini dan seperhatian ini padanya? Bolehkan Dana berharap sekarang? Dante juga mengatakan dia tidak menyukai Mila seperti yang dia pikir sebelumnya. Dan malam ini, Dana merasa seperti memiliki seorang kekasih yang sedang menjemputnya.
"Bagaimana tadi?"
Dana menoleh dan pertanyaan Dante membuyarkan lamunannya. "Menyenangkan," sahut Dana sambil tersenyum.
"Bagaimana denganmu?" Dana bertanya balik.
"Menyenangkan juga. Selalu menyenangkan bertemu teman lama," ucap Dante.
"Yah, kau benar," gumam Dana, namun kepalanya masih dipenuhi harapan akan perasaan Dante padanya.
"Dana, besok pagi ... kau tidak ada acara, kan?" tanya Dante.
"Kenapa?" tanya Dana.
"Ibu memintaku pulang pagi besok. Jadi, aku akan memesan tiket baru untuk kita," kata Dante.
"Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Dana dengan khawatir.
Dante menoleh dan tersenyum padanya. "Tidak. Semuanya baik-baik saja," sahutnya.
"Syukurlah," ucap Dana sambil menghela napas.
"Ah, tapi besok aku ada janji dengan Soraya. Kau tidak perlu membeli tiket baru untukku. Aku akan tetap pulang dengan tiket yang sudah kau pesankan untukku," kata Dana.
Dante tidak langsung menyahut. Pria itu tampak tidak senang. Dia juga terlihat sedang berpikir keras.
*
Dante menoleh dan Dana masih terlihat lebih banyak diam. Dia ingin Dana pulang dengannya besok pagi, tapi dia tahu dia tidak boleh memaksa Dana. Dan lagi, Dana memiliki janji dengan temannya. Tapi, dia juga tidak mau mengecewakan Ibunya.
Jalanan bogor malam itu tidak begitu ramai walaupun besok hari Sabtu. Selama sisa perjalanan malam itu, baik Dante dan Dana tidak banyak bicara. Keduanya seperti tenggelam dengan pikiran masing-masing.
Saat sudah masuk ke dalam hotel, Dante yang melihat Dana hendak masuk ke dalam kamar, langsung memanggilnya.
"Dana ..."
"Ada apa?" jawab Dana dan gadis itu berhenti. Kamar mereka bersebelahan dan masing-masing berdiri di depan pintu kamar mereka.
"Bisakah kau pulang besok pagi denganku?" tanya Dante. Dante masih ingin dia pulang bersama Dana walaupun itu berarti dia bersikap egois.
"Kenapa?" tanya Dana.
"Aku ingin kau pulang bersamaku," ucap Dante dan Dana menatapnya cukup lama. Gadis itu tidak langsung menjawab, hanya diam sambil melihat ke arahnya. Setelah beberapa detik, "Baiklah," ucap Dana sambil mengangguk.
"Kau serius?" kata Dante kali ini berjalan mendekat ke Dana.
"Iya," jawab Dana sekali lagi.
Dante melihat Dana sambil tersenyum, begitu juga dengan Dana. Mereka hanya saling menatap selama beberapa detik. Perlahan, Dante mengulurkan tangan dan dia menempelkan telapak tangannya di pipi Dana. Gadis itu membeku, sama sekali tidak bergerak bahkan berkedip pun tidak.
Dante mengusap ibu jarinya di pipi Dana dan menatap Dana semakin dalam. "Aku masuk dulu," ucap Dana cepat dan gadis itu buru-buru masuk ke dalam kamarnya.
*
Di balik pintu yang tertutup, Dana memegang dadanya. Kakinya pun terasa lemas seperti jelly. Apa yang dilakukan Dante barusam? Kenapa dia memegang wajahnya? Kenapa dia menatapnya seperti itu? Dana semakin menekan tangannya ke dada karena degupnya semakin kencang.
Merasa tenaga di kakinya benar-benar hilang, Dana duduk tepat di balik pintu itu dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Apa mungkin dia menyukaiku?" gumamnya sendiri.
*
Setelah mengirimkan pesan permintaan maaf pada Soraya semalam, pagi itu Dana kembali menelepon Soraya dan kembali meminta maaf. Untunglah, Soraya tidak marah sama sekali.
Sebuah ketukan terdengar di pintu dan Dana langsung menoleh. Dia kemudian menyambar ransel dan memakai sepatunya dengan cepat. Saat membuka pintu, Dante sudah berdiri di sana.
"Sudah siap?" tanya Dante dan Dana mengangguk.
Mereka tiba di bandara satu jam sebelum jam keberangkatan. Keduanya pun duduk bersebelahan di lounge. Dante menoleh dan melihat ransel yang masih menempel di punggung Dana. Pria itu kemudian menarik dan melepaskan ransel tersebut.
"Tidak apa," sergah Dana.
"Masih lama. Kau terlihat tidak nyaman," ucap Dante, masih berusaha melepaskan ransel tadi dan Dana akhirnya menurut.
"Apa kau lapar?" tanya Dante.
"Tidak. Kau lapar?" Dana bertanya balik dan pria itu menggelengkan kepala.
"Terima kasih karena pulang bersamaku," ucap Dante. Dengan jarak sedekat itu, Dana benar-benar tidak bisa mengendalikan degup jantungnya.
Setelah menunggu kurang dari satu jam, keduanya masuk ke dalam pesawat. Kali ini Dana duduk di samping jendela dan Dante di sebelahnya.
"Sayang sekali kita hanya menginap semalam," kata Dana sambil menatap ke luar jendela yang memperlihatkan gumpalan awan putih yang sangat cantik.
"Kenapa sayang sekali?" tanya Dante.
"Aku masih ingin tinggal di hotel mewah itu lebih lama. Paling tidak, satu malam lagi," ucap Dana.
"Kita bisa ke sana lagi kapan-kapan," sahut Dante.
Dana memutar kepalanya dan melihat Dante seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun, dia hanya diam. Dia kembali memutar kepalanya dan melihat ke luar jendela. Saat sedang menatap langit di luar, Dana tersentak dan dengan cepat menolehkan kepalanya lagi karena tiba-tiba Dante meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
"Dante apa yang kau lakukan?" tanya Dana bingung. Bingung dengan kondisi jantungnya.
Namun, pria itu menutup mata dan menyandarkan kepalanya. "Aku mau tidur," ucapnya.
"Tanganku ..," lirih Dana.
"Biarkan saja," sahut Dante pelan, masih dengan mata terpejam. Dante menggerakkan badannya sepertinya sedang mencari posisi yang lebih nyaman.
Dana hanya bisa menatap tangannya yang digenggam Dante dengan pasrah. Kalau sudah begini, dia sudah boleh berharap, kan?
*
Dante menutup matanya dan merasakan sensasi menyenangkan saat menggenggam tangan kecil Dana. Dia tidak ingin melepaskannya. Awalnya, Dana berusaha menarik tangannya pelan, namun Dante dengan kuat menahan tangan gadis itu.
Sampai akhirnya, sepertinya gadis itu pasrah dan membiarkan Dante menggenggam tangannya. Dante membuka sedikit matanya dan melirik Dana. Gadis itu kembali menatap ke luar jendela. Hanya dengan memandangnya seperti ini, Dante merasa sangat bahagia.
"Can I call you mine?" bisik Dante sangat pelan.
*
Dana sepakat berbagi taxi dengan Dante menuju perkebunan. Pria itu tidak mengatakan apa-apa soal alasannya membatalkan tiket pulang mereka. Dana mengira ada hal penting yang perlu Dante lakukan.
Karena rumah utama berada lebih dekat dari gerbang depan perkebunan Pramudana, taxi berhenti lebih dulu di depan rumah besar tersebut untuk menurunkan Dante.
"Hati-hati," kata Dante saat hendak turun dan Dana mengangguk sambil tersenyum. Sejak Dante memegang tangannya selama di pesawat tadi, Dana tidak lagi ingin menjauh dari Dante. Dia ingin memberikan dirinya sendiri kesempatan untuk mengetahui perasaan Dante yang sebenarnya.
Setelah Dante turun dari taxi, kendaraan roda empat tersebut kembali melaju. Namun, baru beberapa meter, Dana berteriak kencang, meminta si sopir untuk berhenti.
"Kenapa, Mbak?" tanya pak sopir yang sepertinya kaget dengan teriakan Dana.
"Maaf Pak. Berhenti sebentar, ya. Ponsel teman saya ketinggalan," kata Dana yang kemudian mengambil ponsel Dante yang tergeletak di kursi di sebelahnya.
"Saya mundur saja ya, Mbak," pak Sopir menawarkan.
"Tidak perlu, Pak. Saya jalan aja, deket kok. Sebentar ya, Pak," ucap Dana cepat kemudian turun dari taxi.
Dana pun berjalan setengah berlari menuju rumah utama. Kakinya berhenti saat melihat Dante berdiri di samping Bu Sinta dan Pak Rio. Ketiganya berdiri menghadap Mila dan Pak Andrew.
Kelima orang tersebut tampak mengobrol dengan akrab, sebelum semuanya berjalan masuk ke dalam rumah dengan Rio merangkul bahu Andrew saat mereka semua menghilang ke dalam rumah.
"Dana?!"
Dana menoleh dan mendapati salah satu pekerja di rumah utama, sama seperti Ibunya, sedang berada di sana. "Ngapain kamu di sini?" tanya Bu Lani.
"Bu Lani, bisa minta tolong?" pinta Dana masih dengan wajah pucat. Apa yang barusan dia lihat tentu bukan hal yang dia harapkan.
"Apa?" tanya Bu Lani.
"Ponsel Dante ketinggalan. Bisa minta tolong berikan ini ke Dante?" kata Dana sambil menyodorkan benda itu ke Bu Lani.
"Kenapa nggak kamu kasih sendiri aja?" kata Bu Lani.
"Nggak Bu. Sepertinya mereka lagi ada tamu," jawab Dana.
"Iya, Ayahnya Mbak Mila datang. Mereka mau keluar makan siang bersama. Makanya, kita nggak perlu masak siang hari ini. Kayaknya mereka beneran mau besanan," kikik Bu Lani.
Dana hanya bisa ikut tertawa kecut. "Bu Lani, nitip aja, Bu. Dana juga lagi buru-buru," ucap Dana.
"Oalah. Ya sudah. Mana, sini," sahut Bu Lani sambil mengulurkan tangannya.
"Bu Lani .... Kalau bisa diam-diam aja," pinta Dana dengan wajah serius.
Bu Lani menatapnya dengan heran. Tak urung, wanita itu mengangguk dan mengusap lengan Dana lembut sebelum berbalik dan masuk ke dalam rumah.
Dana berjalan kembali ke taxi yang sedang menunggunya. Berbeda dengan tadi, kali ini Dana hanya bisa berjalan pelan. Kini dia tahu alasan Dante membatalkan pesawat malam mereka.
*
Sisa hari Sabtu itu, Dana berusaha mengenyahkan semua pikiran tentang Dante. Kali ini, dia harus bersikap tegas pada dirinya sendiri. Berada di rumah sendirian, Dana mengerjakan semua pekerjaan rumah yang bisa dia kerjakan. Bahkan sudut-sudut yang jarang dia perhatikan, hari itu dia bersihkan dengan tuntas.
Dia merasa bodoh dan merasa Dante memperlakukannya dengan tidak serius. Entah bagaimana Dante dulu dengan teman-teman wanitanya saat dia di luar negeri, tapi yang pasti Dana tidak mau diperlakukan manis lagi oleh Dante. Tidak jika pria itu hanya bermain-main dengannya.
Dia sudah pernah menangis saat melihat Mila berada di dalam satu mobil bersama keluarga Pramudana. Dia tidak akan membiarkan dirinya tampak menyedihkan lagi.
*
Dante berada di restoran sebuah hotel bersama orang tuanya, Mila, dan Pak Andrew. Sejak Bu Lani menyerahkan ponsel padanya, Dante berusaha menghubungi Dana. Sayangnya, ponsel gadis itu mati.
Selama di taxi saat perjalanan pulang dari Bogor tadi pagi, Dana sudah bertanya tiga kali kenapa Dante mengubah jam pulang mereka. Gadis itu memastikan tidak ada hal buruk yang terjadi. Dan, Dante tidak menjawab pertanyaan Dana dengan jelas.
Walaupun semua orang yang duduk di sana mengobrol dengan akrab, Dante tidak benar-benar mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
"Dante, apa ada masalah? Dari tadi kamu ngelihatin ponsel terus," ucap Andrew yang duduk berseberangan dengannya.
"Tidak, Pak. Tidak ada apa-apa," jawab Dante.
"Kamu juga kenapa makan sedikit sekali," imbuh Sinta kali ini.
Tidak menjawab Ibunya, Dante hanya kembali menghabiskan makanan yang masih tersisa di piringnya. Dante mendongak dan tanpa sengaja melihat Mila. Gadis itu menatapnya cukup lama dengan raut wajah serius. Dante mengalihkan matanya ke makanan di depannya.
Selama sisa makan siang itu, Dante tidak banyak bicara.
"Kamu kenapa, sih, aneh sekali. Pikiranmu jelas ke mana-mana tadi," dengus Sinta saat dirinya sudah berada di dalam mobil bersama Rio dan anaknya, kembali ke perkebunan.
"Dante nggak paham kenapa Ibu mengajak mereka makan siang bersama," ucap Dante yang duduk di belakang kemudi.
"Ibu kan sudah bilang. Mumpung Pak Andrew lagi di sini. Kita jamu dia dengan baik," jawab Sinta bersemangat.
"Kenapa kita harus menjamu mereka?" tanya Dante tidak mau kalah.
"Bapak setuju sama Dante, Bu. Kita jangan terlalu sering keluar makan kayak gini sama mereka. Kita jaga hubungan dengan mereka sebatas hubungan rekan bisnis," imbuh Rio.
"Terlalu sering gimana maksudnya?! Baru juga dua kali. Lagian, kenapa kalau kita dekat kayak saudara sama mereka. Untung-untung kalau kita bisa besanan sama mereka," sela Sinta.
"Bu ..." desah Dante sambil menoleh sebentar ke Ibunya yang duduk di belakang. "Aku minta tolong, Bu. Jangan berpikiran seperti itu. Aku nggak suka Mila seperti itu. Jadi, tolong Ibu jangan mengambil keputusan sendiri."
"Ibu tolong berhenti. Ibu dulu marah waktu Bapak membahas soal hal yang sama. Bapak juga bisa marah sekarang karena apa yang Ibu lakukan sekarang jauh lebih kelewatan," tambah Rio dengan penuh penekanan.
"Ya bedalah, Pak," kata Sinta sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan mencibirkan mulutnya.
"Beda gimana? Dulu, Bapak hanya membahas sama Ibu. Ini sekarang, Ibu sudah menyampaikan maksud Ibu ke Dante dan bahkan mengundang makan orang yang ingin Ibu jadikan menantu," geram Rio.
"Mila tentu beda sama anak itu. Nggak bisa dibandingin. Jauh. Ya, pantes Ibu marah sama Bapak. Kok bisa punya ide anaknya disandingkan sama anak rendahan gitu," cibir Sinta.
"Dana tidak rendahan. Dia baik dan pintar. Dia juga lulusan terbaik di Universitasnya. Dia pekerja keras. Bagaimana Ibu menilai Dana serendah itu?" kali ini Dante yang menjawab, membuat Sinta melepaskan tautan tangannya di dada dan memajukan badannya.
"Kamu tahu darimana?" sergah Sinta.
"Bapak yang cerita, Bu," jawab Rio.
"Bapak ini ngapain pake bilang hal nggak penting gitu ke Dante. Kamu juga. Nggak perlu belain anak itu. Terutama di depan Ibu," desis Sinta yang kembali memundurkan duduknya dan membuang muka ke jendela di sampingnya. Dante hanya diam. Dia tidak ingin lagi berdebat dengan Ibunya.
***
Malam .. maaf hari ini nggak bisa update pagi seperti biasanya. Semoga kalian suka part ini ya. Jangan lupa kasih vote dan komennya. Dante dan Dana sayang kalian ^^3
published on Friday, July 22, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top