"Duduklah, biar aku pesankan," kata Dante saat dirinya dan Dana baru masuk restoran di rest area.
"Tidak masalah. Aku bisa ikut mengantri. Restorannya juga tidak sedang ramai," ucap Dana.
Setelah memesan makanan di counter, keduanya duduk di samping jendela yang menghadap ke persawahan.
"Kau menginap di mana?" tanya Dante.
"Mmm .... temanku Soraya menawariku menginap di tempatnya. Waktu itu aku bilang 'Ya'. Tapi sekarang, sepertinya aku tidak akan nyaman. Mungkin aku akan mencari hotel," kata Dana sambil memasukkan empat French fries sekaligus ke dalam mulutnya.
"Aku kira perempuan suka menginap bersama," ucap Dante yang makan dengan lebih elegan dibandingkan Dana. Dante memakan sup ayamnya dengan perlahan.
"Ya, sebenarnya aku ingin begadang semalaman dengannya. Dia teman dekatku waktu kuliah. Aku ingin mengobrol semalaman dengan Soraya. Hanya saja ....," kata Dana menggantung.
"Hanya saja apa?" tanya Dante.
"Dia adalah saudara kembar yang pernah aku ceritakan beberapa waktu lalu," jawab Dana, kemudian menyeruput chocolate milkshake-nya. Dante mengerutkan dahi, mencoba menarik ulang ingatan dan hanya dua detik, sebelum matanya melebar.
"Dia saudara kembar mantan pacarmu?!" pekik Dante.
"Pintar sekali."
"Apa kau gila?! Bagaimana kau bahkan bisa mengatakan 'Ya' pada tawaran untuk menginap di rumah, di mana mantan pacarmu ada di sana?! Apa kau masih menyukainya? Apa kau berharap kalian jadian lagi? Karena itu kau berkata 'Ya'?" cecar Dante dengan nada tinggi.
Dana yang melihat reaksi Dante, langsung mengerutkan dahinya.
"Apa?!" todong Dante dengan tatapan nyalang.
"Kenapa dengan reaksimu?" tanya Dana.
Dante hendak membuka mulut, namun ponsel yang dia letakkan di meja berbunyi. Dan baik Dante dan juga Dana sama-sama melihat ke benda tersebut dan membaca nama Mila tertera di sana.
"Ya, Mila," sapa Dante, masih terdengar marah.
"Ya, aku sudah sampai. Sekarang dalam perjalanan menuju Bogor," kata Dante lagi.
"Dana? Ya. Aku dengar dia ke Bogor juga, tapi aku tidak bersamanya," jawab Dante pelan dan dia melirik Dana. Gadis itu sedang menatapnya dengan ekspresi terkejut.
"Baiklah," kata Dante,s sebelum kembali meletakkan ponselnya di meja.
"Kenapa kau berbohong pada Mila? Apa kau tidak mau Mila tahu kau sedang bersamaku?" tanya Dana dengan ekspresi sedikit tersinggung.
Dante diam dan menatap Dana, seakan pria itu sedang meminta maaf dengan tatapan matanya. "Bukan Mila. Aku hanya tidak ingin Mila mengatakan kepada yang lain aku sedang bersamamu," jelas Dante.
"Yang lain? Siapa?" Dana masih menuntut jawaban.
Dante tidak ingin mengatakan pada Dana, bahwa dia tidak ingin Ibunya tahu dirinya bersama gadis ini. Dante tidak mau, Dana memiliki pemikiran jelek kepada Ibunya.
Dana terdiam menatap Dante. Namun, tiga detik kemudian, gadis itu memaksakan seulas senyuman. "Sepertinya aku tahu siapa yang kau maksud," ucap Dana, kemudian kembali melanjutkan makanannya.
Dante tidak tahu apakah Dana benar menebak tentang Ibunya. Namun, melihat wajah sedih Dana membuat hatinya kembali sakit.
"Dana ... apa kau tidak apa-apa?"
"Ya. Tentu saja," ucap Dana dengan senyum sama yang dipaksakan.
*
Dana cukup yakin siapa yang dimaksud oleh Dante. Sudah pasti Bu Sinta. Dana masih tidak tahu kenapa sikap Bu Sinta berubah drastis tidak lama, setelah dirinya baru kembali dari Bogor dan menyelesaikan kuliahnya.
Dana ingat betul saat baru pulang, Bu Sinta dan Pak Rio mengajaknya mengobrol lama di rumah utama. Mereka banyak bertanya pada Dana mengenai kehidupan kuliahnya dan bagaimana kehidupannya di Bogor, jauh dari perkebunan. Pak Rio dan Bu Sinta bahkan memberi hadiah kelulusan padanya. Sebuah buket bunga yang sangat indah.
Namun, tidak lama setelah itu, Dana mulai menyadari perubahan sikap Bu Sinta. Tiap kali Dana ke rumah utama untuk menemani Ibunya, Bu Sinta memandangnya dengan tidak suka. Lambat laun, Dana akhirnya membatasi dirinya sendiri dari datang ke rumah besar itu.
"Aku juga belum memesan hotel. Aku pesankan sekalian," ucap Dante, membuyarkan lamunannya.
"Dante jangan terlalu mahal, ya," gumam Dana.
Dante menatap Dana sejenak. Dia masih melihat gurat sedih di wajah Dana.
"Kau tidak perlu membayarku," sahut Dante.
"Aku harus membayarmu. Aku tidak mau memiliki utang padamu," ucap Dana.
"Aku tidak menganggapnya sebagai utang," ucap Dana.
"Aku hanya sedang membatasi hubungan kita. Jadi, ada baiknya kita membayar pengeluaran kita masing-masing," tekan Dana.
"Membatasi? Membatasi hubungan kita? Memangnya kenapa? Bukankah kita sudah saling mengenal dari kecil?" tuntut Dante dengan mata melebar.
"Beberapa hal sudah berubah. Dan, aku cukup yakin kau juga tahu. Jadi, kumohon, kau pun harus menerima hubungan pertemanan kita sudah tidak sama seperti dulu," kata Dana.
"Apa maksudmu?" kata Dante lagi.
"Orang lain yang kau sebut tadi. Aku tahu dia adalah Ibumu. Kau pastinya juga sudah menyadari Ibumu tidak menyukaiku. Dan, percayalah, aku berharap. Sangat berharap, aku bisa minta maaf atas kesalahan yang sudah kulakukan. Kesalahan apapun itu. Aku bahkan berharap aku tahu kesalahan apa yang sudah kulakukan. Aku benar-benar menyesal dan sedih melihatnya bersikap dingin padaku. Aku menyukai kehangatan Bu Sinta dan aku merindukannya. Jadi, kumohon, jangan membuatnya semakin membenciku," urai Dana.
Tidak ada gurat marah atau kekecewaan saat Dana menceritakan perubahan sikap Sinta. Dan, hal tersebut membuat Dante semakin merasa bersalah.
"Maaf, aku membicarakan Ibumu di belakang," ucap Dana sambil menunduk dan kembali, gesture kecil seperti itu membuat Dante tidak sanggup melihatnya. Bagaimana dia bisa menghibur Dana tanpa harus mengatakan alasannya?
"Mungkin hanya sedikit kesalah-pahaman. Kuharap kau tidak membenci Ibuku," lirih Dante. Sebelumnya, Dante tidak menganggapnya sebagai hal yang besar. Namun, sekarang, saat Dana membahasnya, Dante cukup yakin Ibunya menunjukkan sikap tidak sukanya pada Dana dengan cukup jelas.
Di luar dugaan, Dana tertawa kecil, membuat Dante mengernyit. "Kenapa wajahmu terlihat depresi seperti itu. Jangan terlalu terbebani dengan hal ini. Bukannya kau sedang mengharapkan restu Ibumu," lanjut Dana.
"Bagaimana, jika aku mengharapkannya," gumam Dante sangat lirih, hanya pada dirinya sendiri, hingga Dana tidak bisa mendengarnya.
"Dana," panggil Dante dan gadis itu kembali mendongak.
"Apa?"
"Apa boleh aku mengantarmu nanti ke acara reuni?" pinta Dante.
Dana tidak langsung menjawab. Melihat ekspresi Dana, Dante buru-buru menambahkan, "Aku tidak minta bergabung dengan kalian. Aku hanya ingin mengantarmu ke sana."
"Aku hanya akan merepotkanmu nanti," sahut Dana dengan dahi berkerut.
"Tidak. Tidak akan. Selamanya, kau tidak akan pernah merepotkanku," kata Dante serius.
Dana menatap Dante dan pria itu juga sedang menatapnya dalam selama beberapa detik. Hingga, Danalah yang pertama kali memutus kontak mata itu. Dia menunduk sebentar, kemudian menjawab, "Baiklah."
Setelah menghabiskan makan siang lebih awal mereka, Dante dan Dana langsung menuju hotel yang tadi sudah dipesan Dante.
"Di sini?" tanya Dana sambil menolehkan kepalanya ke kanan kiri saat Dante memasuki kawasan hotel. Dana tidak bertanya tadi hotel apa yang dipesan Dante. Ternyata, pria itu membawanya ke Hotel Pullman yang harganya bisa mencapai lebih dari dua juta per malam. Dana tahu, karena dulu dia pernah ke sini sekali saat mengikuti acara Universitasnya. Hanya saja, saat itu, dia tidak menginap di sini.
"Dante, astaga. Kenapa tidak cari hotel yang biasa saja? Apa kau masih bisa membatalkannya? Untuk kamarku saja," sesal Dana.
"Aku sudah bilang kau tidak perlu membayarku. Dan, asal kau tahu, seleraku sangat tinggi," sahut Dante kemudian memutar kemudinya dan memasuki area parkir.
*
"Nggak Bu. Dante ke sini karena ada janji sama teman kuliah," kata Dante sambil memegang ponselnya. Tidak lama setelah dia masuk kamar, Sinta meneleponnya.
"Kapan kamu pulang?" tanya Sinta dengan nada tidak puas.
"Besok malam, Dante pulang," jawab Dante.
"Kenapa nggak pagi aja? Pulang pagi aja. Mumpung Ayahnya Mila lagi di sini. Biar besok kita bisa makan siang bareng," desak Sinta.
"Kenapa Ibu sepertinya ingin sekali Dante menghabiskan waktu dengan ayahnya Mila? Kalau untuk urusan pekerjaan, seharusnya Bapak saja sudah cukup," tanya Dante hati-hati.
Dante tidak mendengar jawaban dari Ibunya. Maka, dia pun kembali bertanya, "Ibu tidak sedang berharap ada kesempatan antara aku dan Mila, kan?"
"Memangnya kenapa kalau Ibu berharap seperti itu?" kali ini Sinta merespon.
"Kalau begitu, sebaiknya Ibu berhenti," jawab Dante berusaha bicara dengan nada paling sopan.
"Kenapa? Mila itu anaknya cantik, baik, pintar, dari keluarga terpandang juga. Apa yang kurang dari dia?" tanya Sinta di seberang sana.
"Iya. Mila memang sempurna. Dia memiliki semuanya. Kalau memang aku mencari seseorang yang sempurna seperti Mila, aku bisa memiliki seseorang seperti itu dari lama, Bu. Dante mencari seseorang yang Dante sukai. Seseorang yang bisa membuat aku ingin selalu bersamanya, terus membuatnya bahagia, Bu. Ibu dulu memilih Bapak bukan karena Bapak sempurna, kan?" kata Dante panjang.
"Kalau kamu menyia-nyiakan gadis sesempurna Mila, suatu saat kamu bakal nyesel, Nak," embus Sinta.
"Kalau aku menerima Mila hanya karena hal-hal yang Ibu sebutkan tadi, suatu saat aku bakal nyesel," balas Dante.
"Ibu cukup yakin, nantinya, kamu bakal suka sama Mila," kata Sinta tidak mau dibantah.
"Selama aku belum suka sama Mila, bisakah Ibu berhenti melakukan sesuatu yang membuat aku tidak nyaman seperti yang Ibu sebutkan tadi?" pinta Dante sambil menyisir rambutnya dengan tangan.
"Kalau Ibu nggak menciptakan kesempatan buat kalian, kapan kamu dan Mila bisa dekat? Bisa-bisa, kamu bakal melewatkan kesempatan," desak Sinta.
Dante menghela napas dengan berat. "Bu, kesempatan seperti apa lagi? Mila sudah tinggal sama kita. Dia sudah sarapan dan makan malam sama kita hampir setiap hari. Aku juga masih harus menemani dia di lokasi pembangunan penginapan. Kalau memang aku bisa jatuh cinta sama dia, harusnya itu sudah terjadi lama, kan?" tandas Dante dengan putus asa. Dia pun menyesal kenapa dia sempat salah memahami perasaannya.
"Sudah. Pokoknya, usahakan besok pagi kamu sudah pulang," perintah Sinta.
*
Dante sampai di rumah baru Sophie, temannya waktu sama-sama kuliah di Inggris dulu. Sophie juga baru kembali dari London dan sepertinya kali ini dia akan menetap. Sophie saat ini sedang mengandung anak pertamanya.
"Ayo. Suamiku di dalam," kata Sophie dan mengajak Dante masuk ke dalam rumahnya yang baru. Gadis itu menoleh sebentar, dan berbisik, "Oh, dan jangan bilang suamiku, aku dulu pernah menyatakan padamu."
Dante tersenyum geli dan mengangguk setuju.
"Bukannya kau baru kembali minggu ini?" tanya Dante heran karena perabot rumah dan barang elektronik mereka sudah hampir lengkap.
"Mama sama Papa yang bantuin kami," jawab Sophie.
"Jadi, mana saudaramu? Katanya kamu nemenin dia?" tanya Sophie sambil berjalan menuju ke bagian lebih dalam rumah besarnya.
"Lebih tepatnya teman," koreksi Dante.
"Lah. Terus kenapa bilang saudara waktu di grup?" Sophie mengingatkan.
"Nanti malah jadi bahan sama anak-anak," sahut Dante.
"Jadi, beneran bisa jadi bahan?" goda Sophie dan Dante tersenyum, kemudian mengangguk kecil.
Temannya itu langsung berhenti dan tangan kirinya terulur untuk menahan Dante. "Serius?! Seorang Dante?! Astaga!" pekik Sophie.
Dante tertawa kecil melihat reaksi Sophie. Mata gadis itu melebar dan dia menutup mulutnya yang Dante cukup yakin sedang terbuka lebar.
"Sudah berapa lama? Apakah salah satu teman kita? Kau kan juga belum lama kembali? Apa dia Rachel?" cerocos Sophie dengan sangat bersemangat.
"Bukan. Dia juga belum tahu. Sebenarnya aku juga sepertinya baru menyadarinya. I really didn't expect this but I keep thinking about her. I can't help but making sure she's always on my sight. I'm captivated by her smile, her laugh, how she looks at me. And, when she's smiling for what I did, it becomes addictive and I want to give more," kata Dante.
Sophie menatap Dante dengan mata berkaca-kaca dan tangannya kini sudah turun ke dadanya.
"Andaikan suamiku bisa mengatakan hal-hal seperti yang kau katakan barusan. You're definitely in love with this girl," desah Sophie.
"Do you think so?" gumam Dante.
Sophie berdeham sebentar. "Bagaimana, jika, kau sedang melihat gadis ini sedang duduk di restoran bersama seorang pria dan mereka tertawa lepas dan kemudian .....," kata Sophie dengan gerakan tangan bebas, yang langsung dipotong Dante.
"Oke, sepertinya aku akan langsung menyeretnya dari sana," potong Dante.
"Yeap. You're unquestionably madly in love with her!" seru Sophie.
*
Menjelang jam tujuh, semuanya masih sangat bersemangat. Dana, yang mendengarkan Soraya sedang bercerita tentang kejadian lucu saat lomba debat dulu, menyambar tasnya cepat saat ponselnya berbunyi. Dana melihat nama Dante muncul di layar.
"Halo?" jawab Dana.
"Wow, sepertinya seru sekali," kata Dante di ujung sana.
"Iya," jawab Dana sambil tersenyum. "Ada apa?"
"Jam berapa aku jemput?" tanya Dante.
Dana menatap teman-temannya dan sepertinya mereka masih akan di sana sampai malam. "MMmm aku juga tidak yakin. Kau bisa balik hotel lebih dulu. Aku bisa balik sendiri," ucap Dana.
"Telepon saja aku. Nanti aku jemput," kata Dante.
"Ya, baiklah," jawab Dana cepat.
"Dana, kau dengar aku kan? telepon aku nanti kalau kau sudah selesai," ulang Dante kali ini dengan penuh penekanan.
"Ya, baiklah. Nanti aku telepon," jawab Dana.
Menjelang jam setengah sepuluh malam, semuanya memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing.
Dana melambaikan tangan kepada semua teman yang pergi terlebih dahulu. Dana mengeluarkan ponselnya, hendak menelepon taxi. Namun, saat sudah menempelkan handphone-nya di telinga, dia melihat Dante berdiri di samping mobilnya sambil memainkan ponsel.
"Dante?" lirih Dana pada diri sendiri.
Dana menurunkan ponsel dari telinga dan berjalan mendekat.
"Dante?" ucap Dana sembari menatap pria itu dengan tatapan tidak percaya.
Pria itu mendongak dan sebuah senyum cerah terbit di wajahnya. "Sudah selesai?" tanya Dante.
"Kau ... menungguku," gumam Dana lirih.
"Ya. Aku juga baru pulang dari rumah temanku. Kupikir, sebaiknya aku langsung ke sini. Ayo," kata Dante kemudian membukakan pintu untuk Dana.
***
Siangg ... semoga kalian suka part ini. Jangan lupa kasih vote dan komennya ya. Dante dan Dana sayang kalian ^^3
published on Thursday, July 21, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top