Part 15 - Once Upon a Guilty Feeling

Dante menoleh dan mendapati budhe Sari, sedang membereskan peralatan makan yang mereka pakai sarapan.

"Di ruang tamu aja, ya, Bu," kata Dante, kemudian bangkit dan berjalan menuju ruang tamu.

"Ada apa?" tanya Sinta pada Rio dan Rio hanya menggeleng tidak mengerti. Pada akhirnya, Sinta dan Rio pun menghampiri Dante di ruang tamu.

"Ada apa, sih, kok, kayanya serius banget. Kamu bikin Ibu khawatir," ucap Sinta yang sudah duduk, dengan Rio berdiri di sampingnya.

"Dante dengar, kemarin Ibu nolak Dana waktu Mila ngajak dia ke sini untuk ikut makan siang. Ibu kenapa begitu? Ibu nggak tahu, kalau, apa yang Ibu lakukan itu bikin dia malu?" tanya Dante dengan nada sopan.

"Ibu, apa?" Rio memutar kepalanya dan memandang istrinya kaget.

Sinta mendengus tidak percaya dan berkata, "Astaga, anak itu! Begitu saja sudah sok mengadu ke kamu. Kenapa? Biar kamu kasihan sama dia?"

"Dana nggak bilang apa-apa sama Dante, Bu," desah Dante.

"Ibu sudah keterlaluan. Anak itu sudah banyak bantu Bapak dan orang-orang di sini. Memangnya kenapa menolak Dana?" Rio ikut menyuarakan keberatannya.

"Astaga, ini bukan masalah besar. Ya sudah, nanti kalau dia memang butuh makan, nanti Ibu suruh orang antar makanan ke dia," ketus Sinta.

"Bu! Bukan itu masalahnya," embus Dante.

"Ya, itu kan masalahnya. Nggak dikasih makan 'aja sudah ngerengek gitu!" dengus Sinta.

Dante menyisir rambutnya frustasi, kenapa Ibunya tidak paham yang dia maksud. "Kalau Ibu nggak merasa bersalah, Dante nggak bisa ngomong apa-apa. Coba Ibu bayangkan kalau Ibu di posisi Dana," kata Dante, yang kemudian meninggalkan kedua orang tuanya dan keluar melewati pintu dengan cepat.

Dibandingkan semalam, pagi ini Dante merasa jauh lebih kesal. Dia sama sekali tidak mengira Ibunya menganggap Dana serendah itu. Dante tidak tahu kenapa Ibunya jadi seperti itu. Dia ingat betul, Ibunya dulu sangat menyukai Dana. Saat mereka kecil, Ibunya tidak keberatan Dana menghabiskan waktu seharian di rumah utama bersama Dante. Dante terus berjalan dengan perasaan tidak enak.

"DANTE!!! DANTE!!!"

Dante, yang berjalan cepat, seketika berhenti dan melihat Rio sedang berjalan ke arahnya.

"Ada apa, Pak?" tanya Dante saat Rio sudah berhenti dan berdiri dua langkah darinya.

"Kita ngobrol sebentar di sana, ya," kata Rio sambil menunjuk sebuah kursi taman yang berada di halaman rumah utama. Dante, yang awalnya ragu, akhirnya mengangguk. Keduanya pun berjalan menuju bangku taman yang ditunjuk Rio tadi.

"Kenapa, Pak?" tanya Dante.

"Soal Ibumu barusan. Bapak mau bilang, sebenarnya Bapak juga punya andil dalam hal ini," ucap Rio dengan napas berat.

"Maksudnya, Pak?" Dante memiringkan badannya.

"Kau ingat 'kan bagaimana Ibumu dulu suka sama Dana. Bapak juga suka sama Dana. Terutama setelah dia lulus dengan predikat cumlaude dari IPB dan membantu Bapak di perkebunan. Waktu itu, sekitar satu bulan setelah dia lulus dan kembali ke sini dari Bogor, Bapak ngomong ke Ibu kamu. Omongan santai aja maksud Bapak waktu itu," cerita Rio.

"Waktu itu Bapak bilang, karena Dana dan kamu cukup dekat, pasti menyenangkan kalau Dana jadi menantu kami. Jujur saja, ide itu terlintas begitu saja di benak Bapak dan tentu saja Bapak hanya mengutarakan pendapat Bapak tanpa berniat memaksa siapa pun. Namun, Ibumu langsung bereaksi keras atas angan-angan Bapak tadi."

"Ibumu bilang dia memang suka sama Dana, tapi dia tidak akan mau menyandingkan putranya dengan anak ...," Rio berhenti sebentar. "Anak seorang pembantu. Bahkan setelah malam itu, Ibumu masih saja memojokkan Bapak dengan kata-kata seperti, bagaimana bisa Bapak berpikir untuk menjodohkan anak sendiri dengan anak pembantu. Atau, bagaimana orang-orang di perkebunan akan memandang kami nanti jika itu terjadi? Dan, sejak obrolan malam itu, sikap Ibumu ke Dana jadi berubah dingin dan sinis. Sepertinya Dana juga merasakan perubahan itu lama," urai Rio.

Dante menahan napas, tidak tahu apa yang harus dia katakan. Apapun itu, Dana sama sekali tidak melakukan kesalahan atas perbuatan Ibunya. Dia memijit pelipisnya dan merasa cukup bersalah pada Dana.

"Jangan memperlakukan Dana sama dengan Ibumu, ya. Bapak sama sekali tidak serius dengan ucapan Bapak waktu itu. Kamu bebas memilih siapa pun pendampingmu nantinya. Sayangnya, Ibumu sudah terlanjur menganggap serius ucapan Bapak dan mulai melihat Dana sebagai ancaman," imbuh Dante.

Dante mengecek ponselnya. Pesannya semalam masih belum dibaca Dana.

"Dante nggak akan begitu, Pak. Terima kasih Bapak sudah cerita ke Dante," ucap Dante.

"Ya sudah, kamu balik kerja, Bapak mau ngomong sama Ibu kamu lagi," ucap Rio sambil berdiri dan menepuk bahu anaknya.

*

Dante sudah sampai di kantor saat dia melihat surat pengajuan cuti atas nama Dana Lavanya di atas mejanya untuk hari Jum'at minggu ini.

"Dana mana?" tanya Dante pada Maya dan Dita sambil melayangkan kertas pengajuan cuti tadi.

Maya dan Dita saling bertatapan, sebelum salah satu dari mereka menjawab, "Nggak bilang tuan muda, tapi biasanya kalau pagi gini selalu keliling ke perkebunan."

Dante meletakkan kertas tadi dengan kasar ke meja dan duduk di kursinya sendiri. Dia pun menelepon Dana. Tiga kali nada sambung. Lima kali nada sambung. Tujuh kali nada sambung.

"Tuan Muda, handphonenya Mbak Dana nggak dibawa," kata Dita sambil mengangkat ponsel yang sedang berdering dengan nama Dante muncul di layar.

Dante memilih menunggu Dana di kantor sampai gadis itu kembali, karena tidak mungkin dia mencari di lahan perkebunan yang berhektar-hektar luasnya. Hingga lewat jam makan siang, gadis itu masih belum kembali. Ponsel Dana kembali berdering dan kali ini Dita menjawab panggilan masuk tersebut.

"Mas Hira, ini Dita," jawab Dita dan Dante langsung mengangkat kepalanya.

Dita diam, sepertinya sedang menunggu Hira berbicara.

"Mbak Dana dari tadi pagi nggak di kantor. Handphonenya lupa dibawa. Nanti saya sampaikan," ucap Dita lembut.

"Baik, Mas," ucap gadis itu lagi.

Dante merasa semakin gusar. Sudah dari semalam dia ingin berbicara langsung pada Dana. Dia hanya ingin memastikan perlakuan Ibunya kemarin tidak membuat gadis itu sedih. Dante juga ingin meminta maaf secara langsung. Dan, selain itu, kini Dante ingin tahu kenapa Dana mengajukan cuti untuk hari Jum'at.

Sekitar jam dua siang, Mila menghubungi Dante dan memintanya untuk datang ke lokasi pembangunan. Tidak lama, Dante pun pergi menuju lokasi yang disebutkan Mila.

*

"Habis dari mana saja kamu?" sembur Maya saat Dana baru kembali dengan sepeda putihnya.

"Ada sedikit masalah air di kebun tomat. Ada apa, Mbak?" tanya Dana yang langsung duduk di kursi kerjanya.

"Ponsel kamu dari tadi bunyi terus. Nih," kata Maya sambil menyodorkan benda persegi itu pada Dana dan Dana menerimanya sembari mengucapkan terima kasih.

"Tuan Muda tadi juga nanyain Mbak Dana," imbuh Dita.

Kepala Dana langsung memutar ke arah meja kerja Dante, namun meja tersebut kosong. Tahu bahwa Dana sedang melihat ke arah meja Dante, Dita berkata, "Mas Dante katanya tadi ke lokasi nemuin Mbak Mila."

"Oh," ucap Dana singkat.

"Mbak Maya, nanti jam tiga temenin Dana, yuk, ke outlet lagi," ajak Dana.

"Tapi, langsung pulang ya aku," tekan Maya.

"Iya, lagian perjalan ke sana aja sudah hampir satu jam," kata Dana.

"Oke .... Dit, nanti kita tinggal, ya," kata Maya pada gadis yang duduk di sebelahnya.

Dita hanya tersenyum sambil mengangguk.

*

Dante kembali ke kantor sekitar jam empat sore, setelah hampir dua jam berkutat dengan Mila di lokasi pembangunan. Saat sudah sampai, Dante hanya melihat Dita yang sepertinya sedang bersiap-siap untuk pulang.

"Dit, yang lain mana?" tanya Dante sembari meletakkan kedua tangannya di pinggang.

"Mbak Maya sama Mbak Dana jam tiga tadi ke outlet, Tuan Muda," ujar gadis itu.

"Handphonenya Dana sudah dia bawa, kan?" tanya Dante lagi.

"Iya, tadi sudah dikasihkan ke Mbak Dana," jawab Dita sangat sopan.

"Oke," kata Dante yang kemudian berbalik dan mengeluarkan ponselnya dari saku. Dia langsung mencari kontak Dana dan meneleponnya. Setelah enam kali nada sambung, gadis itu akhirnya mengangkat panggilannya.

"Kamu masih di outlet?" tanya Dante langsung.

"Iya," jawab Dana di ujung sana.

"Tadi naik apa?" tanya Dante lagi.

"Tadi bareng motornya Mbak Maya," jawab Dana.

"Oke. Jangan pulang dulu. Aku jemput, sekalian mau ngecek kondisi di sana," ucap Dante dan pria itu langsung menutup sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Dana.

*

Outlet atau semacam toko yang menjual semua produk segar dari perkebunan Pramudana sore itu masih cukup ramai dikunjungi orang. Walaupun produk-produk di sana sedikit lebih mahal dibandingkan yang dijual di kebanyakan pasar tradisional, tidak sedikit orang yang memilih membeli di sana karena produknya yang organik dan berkualitas.

Maya sudah pamit pulang sekitar lima belas menit yang lalu dan Dana saat ini sedang duduk di kantor berukuran lima kali tujuh meter bersama Pak Charles, sang manajer.

"Pak Dante kapan hari ke sini sama Pak Rio, setelah mereka dari Jogja," kata Pak Charles.

"Jadi sudah ketemu, ya, Pak," jawab Dana.

"Sudah. Pak Rio memperkenalkan Pak Dante kepada semua staff di sini. Gimana rencana home stay di sana?" tanya Pak Charles lagi.

"Masih dalam proses pembangunan, Pak. Beberapa ada yang keberatan, tapi kita bisa apa kalau yang punya tanah setuju. Semoga aja membawa kebaikan buat perkebunan," ucap Dana.

Setelah Dana dan Pak Charles mengobrol banyak tentang pekerjaan, Dante datang. Dia menyalami Pak Charles dan ketiganya kembali membahas tentang produk perkebunan selama kurang lebih empat puluh menit.

"Pak, kita balik dulu, ya," kata Dante akhirnya kepada Pak Charles.

"Baik, Pak Dante. Saya juga mau balik sebentar lagi," ucap Pak Charles dan ketiganya pun bersalaman.

"Ayo," ucap Dante pada Dana dan gadis itu mengangguk.

Dante berjalan lebih dulu ke mobil yang terparkir di area parkir dan Dana mengekor di belakangnya. Dante kemudian membukakan pintu untuk Dana dan menunggu hingga gadis itu masuk.

"Kamu sudah makan?" tanya Dante begitu dia masuk ke dalam mobil.

"Sudah," jawab Dana.

"Tadi makan siang di mana?" tanya Dante lagi.

"Sama orang-orang di kebun tomat," jawab Dana tanpa menoleh ke Dante. Kalau boleh memilih, Dana ingin sekali pulang sendiri. Dana tahu betul kenapa Dante menjemputnya. Dan, dia tidak sedang ingin membahas tentang kemarin. Seharian ini dia sudah berhasil melupakan hal tersebut. Dia benar-benar tidak ingin mengungkitnya lagi.

"Dana kau tidak apa-a .....," kata Dante yang langsung dipotong oleh Dana.

"Dante, kalau kau mau membahas soal kemarin, kumohon, berhentilah. Aku bilang aku baik-baik saja. Kumohon lupakan itu, oke? Aku bahkan tidak memikirkannya," desak Dana dengan tatapan lurus ke jalanan di depannya. Dana tahu Dante menoleh ke arahnya, tapi Dana sedang tidak ingin melihat Dante.

Dante pun diam dan tidak meneruskan kalimatnya. Dante bisa tahu bahwa gadis itu sama sekali tidak ingin membahas itu dan dia tidak sedang menunggu kata maaf dari Dante.

Setelah keduanya diam selama sepuluh menit, Dante yang kembali bicara lebih dulu. "Kau ingin makan malam dulu sebelum pulang?" tanya Dante.

"Sebaiknya aku langsung pulang. Tidak apa, kan?" kata Dana sambil menoleh sebentar ke Dante, kemudian kembali melihat jalanan di depan.

*

"Sebaiknya aku langsung pulang. Tidak apa, kan?"

'Tapi aku masih ingin bersamamu,' sahut Dante dalam hatinya. Dante terdiam, merasa aneh dengan dirinya sendiri. Kenapa dia masih ingin bersama Dana? Dante cukup yakin dia masih merasa bersalah pada Dana.

"Sebaiknya kita cari makan dulu," ujar Dante.

"Dante, kumohon, aku ingin langsung pulang," kata Dana.

Saat Dante hendak menjawab, ponselnya berbunyi dan Dante kemudian mengenakan earphonenya.

"Ya, Mila," sahut Dante.

Dante sedikit melirik ke Dana dan gadis itu bergeming.

"Kau makan malam di rumah, kan? Ibumu mengajakku makan malam bersama lagi," kata Mila di seberang sana.

"Maafkan aku, aku akan makan malam di luar. Nikmati makan malam bersama orang tuaku, tidak perlu merasa sungkan," kata Dante, sekali lagi melirik Dana. Dan, masih, Dana hanya diam menatap ke depan.

"Oh, baiklah. Kau makan malam dengan siapa?" tanya Mila lagi.

Dante yang sudah hendak membuka mulut dan menyebutkan nama Dana, kembali membungkam mulutnya. Dia tidak mau Mila mengatakan pada Ibunya bahwa dia sedang bersama Dana. Tidak setelah apa yang dikatakan Bapaknya tadi pagi.

"Mila, aku hubungi kau lagi, oke? Aku tutup dulu," kata Dante, kemudian buru-buru melepaskan earphonenya.

"Dante, aku mau langsung pulang," kata Dana lagi yang sepertinya mendengarkan apa yang diucapkan Dante tadi.

"Kita cari makan dulu," kata Dante tidak mau dibantah.

"Aku bilang aku mau langsung pulang," desah Dana.

"Aku masih mau makan malam bersamamu. Kau boleh marah pada Ibuku, tapi kau tidak boleh menjauhiku," ucap Dante.

"Aku tidak marah pada Ibumu!" seru Dana dengan suara meninggi.

"Aku tidak marah pada Ibumu," ulang Dana, menurunkan intonasi suaranya.

"Berhenti bersikap seperti ini. Kau membuatku tampak semakin menyedihkan kalau kau masih keberatan dengan itu! Aku sama sekali tidak keberatan dengan apa yang terjadi kemarin. So please! Stop bringing it up!" erang Dana.

"Baiklah, aku tidak akan lagi membahas itu! Tapi, kau harus mau makan malam denganku!" potong Dante dengan nada tinggi. Sontak, Dana langsung membungkam mulutnya. Gadis itu sama sekali tidak menyangka Dante yang akan marah.

Dana kembali menyandarkan punggungnya di kursi dan menatap ke depan sambil bergumam pelan, "Baiklah."

***

Halo ... met hari Jum'at . Yey, besok weekend. Semoga kalian suka part ini. Jangan lupa kasih vote dan komen buat Dante dan Dana supaya bisa lanjut terus dan bisa rutin tiap hari. Danke !!!!!

Published on Friday, July 15, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top