Part 14 - Once Upon a Lunch Invitation
"Mila memberitahuku, mulai besok dia akan menginap di rumah utama," terang Dana.
"Ya," jawab Dante singkat.
"Kau harus bisa menahan diri, oke?" ucap Dana sambil bercanda.
"Maksudmu?" tanya Dante dengan alis menyatu.
"Kau tahu 'kan, kalian akan sering bertemu. Pria dan wanita. Jadi .... Jangan melakukan sesuatu yang melewati batas," kata Dana.
"Kau ini seperti wanita tua, ya. Kemarin kau mengomentariku karena makan sambil memegang ponsel, kau memastikan nenek Darmi minum obat sebelum pergi, kau tidak mau kehujanan, dan sekarang, kau mengingatkanku tidak melewati batas pada Mila. Kau benar-benar seperti wanita tua yang hanya bisa mengomeli orang lain," cecar Dante.
"Aku hanya mengingatkan," kata Dana santai sambil mengangkat bahu.
"Apa itu berarti kau juga tidak pernah melewati batas?" Dante bertanya balik dengan tatapan yang menusuk tepat ke mata Dana.
"Tentu saja tidak pernah! Yang benar saja!" geram Dana.
"Ah, iya, aku lupa. Dicium saja kau tidak mau 'kan?! Tapi, aku tidak yakin kau bisa menolak ciuman orang yang kau sukai," goda Dante.
"Bisa tutup mulutmu! Kenapa malah membahasku. Kau ini yang sedang berhubungan dengan seseorang. Kau yang harus hati-hati!" serang Dana sambil mengarahkan telunjuknya pada Dante. Dante hanya tertawa kecil sembari memasukkan suapan terakhir ice cream ke mulutnya.
"Aku tidak sedang berhubungan dengan seseorang," guman Dante sambil menatap Dana dengan senyum kecilnya.
"Ya, ya ... terserah. Katakan hal yang sama minggu depan kalau kau bisa," tantang Dana, yang kemudian turun dari tempat duduknya.
"Ayo, pulang, mau hujan!" seru Dana sambil berjalan ke pintu keluar.
*
Keesokan harinya.
Sebelum menuju lokasi pembangunan, Mila sudah sampai di rumah utama. Gadis itu bersyukur sarapan di rumah tersebut sudah selesai saat dia datang. Dia merasa tidak enak, kalau harus ikut keluarga Dante sarapan. Dibantu salah satu karyawan di sana, Mila memindahkan koper besarnya ke dalam kamar yang berada cukup dekat dengan kamar Dante.
Entah kenapa, membayangkannya saja membuat Mila tidak bisa berhenti tersenyum sendiri. Saat hendak menuju lokasi pembangunan, Mila bertemu dengan Dante.
"Pagi, Dante," sapa Mila.
"Kau sudah sampai?" tanya Dante kaget.
"Ya, sekitar setengah jam yang lalu. Aku sudah memindahkan koperku ke kamar. Kau mau ke kantor?" tanya Mila.
"Ya. Kau mau ke lokasi 'kan? Ayo, aku temani. Hari ini Dana sepertinya tidak bisa menemanimu," ucap Dante.
"Baiklah," jawab Mila sambil tersenyum manis.
Mila dan Dante, yang sudah berjalan ke depan dan hendak naik motor, dihentikan oleh Sinta yang meneriakkan nama Mila dengan sangat lantang.
"Ya, Tante?" jawab Mila, kembali turun dari motor butut Dante. Dante masih duduk di atas motor, sedangkan Mila turun.
"Nanti makan siang di sini aja, ya. Ingat, ya. Tante bakal siapin makan siang buat kamu juga," kata Sinta super ramah.
Mila menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, merasa tidak nyaman dengan kebaikan Sinta. "Apa tidak masalah Tante? Mila bisa cari makan siang sendiri, kok," ucap Mila. Dia tidak enak jika menolak ajakan Sinta, tapi dia juga tidak mau terus-terusan merepotkan.
"Nggak masalah ..... Jangan khawatir. Tante nggak bakal minta kamu makan siang di sini setiap hari, kok. Tante paham kalau kamu merasa nggak nyaman. Makan siang di sini pas tante bilang 'aja. Oke?!" harap Sinta.
Mila tersenyum simpul dan menjawab, "Baik Tante."
*
Pagi itu hingga menjelang jam sebelas siang, Dante menemani Mila di lokasi pembangunan. Sesekali, Dante mengajak Mila ikut berkeliling ke beberapa kebun di sana. Menjelang jam makan siang, ponsel Dante berdering. Dari nomor telepon kantor pendopo.
"Dari kantor," kata Dante pada Mila, karena gadis itu menatapnya seakan ingin tahu siapa yang menelepon.
"Ya," jawab Dante, setelah menerima panggilan telepon itu.
"Tuan Muda ini Dita. Ada dua orang tamu dari perusahaan packaging katanya mau ketemu sama Tuan Muda," ucap Dita di ujung sana.
"Ah, iya. Aku memang sedang menunggu mereka. Suruh mereka tunggu di kantor. Aku ke sana sekarang," kata Dante.
Dante pun menutup panggilan telepon tadi dan menghadap Mila.
"Aku harus ke kantor, ada tamu. Kau tidak apa-apa 'kan aku tinggal?" tanya Dante.
"Iya, tidak masalah. Sebentar lagi juga jam makan siang. Aku akan langsung ke rumahmu," ucap Mila.
"Baiklah."
Setelah mengucapkan itu, Dante pun mengambil motor bututnya dan melesat pergi.
*
Dana baru kembali dari kebun alpokat dan hendak berjalan ke kantor untuk makan siang. Saat itulah, dia bertemu Mila.
"Dana!!!!" panggil Mila dari kejauhan dan Dana pun berjalan menghampirinya.
"Kau mau ke mana?" tanya Mila sambil terengah-engah.
"Mau balik kantor buat makan siang. Kau mau ikut?" tanya Dana.
"Mmmmm ... ikut makan siang sama aku aja, yuk," ajak Mila.
Dana menaikkan alisnya. "Di mana?" tanya Dana, merasa aneh karena biasanya Danalah yang mengajak Mila makan siang.
"Di rumah utama. Tante Sinta tadi ngajak makan siang di rumah. Aku merasa sedikit canggung kalau tidak ada temannya. Dante sedang ada tamu. Kau mau' kan menemaniku?" pinta Mila.
Dana tampak berpikir. "Mila, sebaiknya jangan. Bu Sinta hanya mengajakmu," kata Dana.
"Aku yakin dia tidak masalah. Dia 'kan orangnya sangat baik. Dia pasti juga sangat senang kalau kau ikut," bujuk Mila lagi, kali ini sambil menarik lengan Dana.
"Entahlah ...," ucap Dana merasa tidak yakin.
"Ayolah, kumohon," desak Mila lagi, kali ini sembari menarik gadis itu hingga mau mengikutinya. Dengan langkah berat, Dana pun akhirnya mengikuti Mila.
*
Mila dan Dana datang tepat lima menit sebelum jam makan siang. Sinta sedang berdiri di sana dengan senyum lebar, sepertinya sengaja menanti Mila.
"Tante," sapa Mila yang berjalan masih dengan menggandeng tangan Dana.
"Bu Sinta," Dana pun ikut mengucapkan salam dengan canggung.
"Iya Mila, Dana," Sinta membalas salam keduanya.
"Ibumu ada di belakang Dana kalau kau mencarinya. Ayo, Mila, makan siangnya sudah siap," ajak Sinta.
"Terima kasih Tante. Oh, iya, sebenarnya Mila ngajak Dana buat ikut makan siang, tidak masalah 'kan Tante?" Mila meminta izin.
Sinta yang sudah berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah, seketika berhenti dan berbalik. Wanita itu tertawa kikuk, "Aduh ... bagaimana, ya ... Dana, karena tadi Ibu hanya mengajak Mila, Ibu nggak nyiapin buat kamu juga. Nggak masalah 'kan kamu nggak makan siang dengan kami?"
Mata Dana melebar dan Mila sepertinya juga terkejut dengan reaksi Sinta.
"Ah, iya, tidak masalah Bu Sinta. Tadi Dana juga sudah bawa bekal dari rumah. Mila, aku balik kantor dulu, ya. Permisi," kata Dana yang kemudian berbalik dan meninggalkan tempat itu.
Mila hanya bisa diam di tempatnya, sedangkan Sinta hanya tersenyum, kemudian mengajak Mila masuk.
*
Dengan matahari berada tepat di atas, Dana berjalan kembali menuju kantor pendopo. Dibandingkan marah atau kecewa, Dana lebih merasa sangat malu. Kenapa saat Bu Sinta menolaknya seperti itu, kenapa harus di depan Mila? Seakan dia ditunjukkan siapa yang lebih berhak ada di sana.
Sesampainya di sana, Maya dan Dita sudah membuka bekal makan siang mereka lebih dulu. Kalau saja dia dengan tegas menolak Mila, rasa tidak enak yang mengganjal di hatinya saat ini tidak akan ada. Dia melihat Dante sedang duduk di kursinya sendiri dengan dua orang tamu.
Dana pun melenggang ke kursinya, membuka bekal yang sudah dia bawa dari rumah, dan memakannya dalam diam.
"Mbak Maya, Dana mau cek kondisi di outlet, ya," Dana meminta izin, setelah menyelesaikan makan siangnya.
"Sekarang?" tanya Maya, yang malah belum menghabiskan makan siangnya, pada Dana dan Dana mengangguk.
"Mau ditemani?" Maya menawarkan. "Nanti saja tapi, setelah jam istirahat."
"Nggak perlu Mbak. Dana berangkat sendiri aja. Duluan ya, Mbak Maya, Dit," ucap Dana, membuat Maya dan Dita saling bertatapan aneh.
*
"Dana kenapa, ya, tadi Dit?" tanya Maya sambil mengetik tugasnya di komputer.
Dita yang memang selalu irit suara, hanya menggeleng lesu.
"Nggak biasanya dia terlihat sedih dan nggak semangat begitu," imbuh Maya. Tanpa Dita menimpali pun, Maya akan tetap mengatakan apa yang ingin dia katakan.
"Dana kenapa?"
Maya dan Dita sama-sama mendongakkan kepala dan melihat Dante berdiri di depan mereka.
"Nggak apa-apa Tuan Muda. Cuma tadi waktu pamit mau ke outlet, wajahnya kayak orang yang mau nangis," jawab Maya sedikit mendramatisir.
"Dana ke outlet?" ulang Dante.
Baik Maya dan Dita menjawab dengan anggukan kepala. Dante tidak mengerti, kenapa Dana ke outlet hari ini. Dante pun keluar dari kantor hendak pulang untuk makan siangnya yang tertunda.
Saat sudah sampai di rumah, Dante bertemu dengan Mila yang baru keluar dari halaman. Dante pun menghentikan motornya.
"Kau sudah selesai makan siang?" tanya Dante.
Mila mengangguk dengan wajah sedih. "Kau kenapa? Apa Ibuku mengatakan sesuatu yang membuatmu sedih?" tanya Dante yang bisa membaca raut wajah Mila.
"Bukan. Tante Sinta sangat baik dan memperlakukanku dengan sangat istimewa. Aku hanya merasa tidak enak pada Ibumu dan juga Dana," kata Mila.
"Dana?" ucap Dante tidak mengerti.
Mila pun menceritakan semuanya pada Dante, tentang apa yang terjadi tadi. "Aku sudah meminta maaf berkali-kali pada Ibumu. Aku juga minta maaf padamu kalau apa yang aku lakukan itu menyinggung Ibumu. Aku benar-benar merasa tidak enak," ucap Mila.
Dante hanya diam dan menatap ke bawah.
"Nggak apa-apa tuan muda. Cuma tadi waktu pamit mau ke outlet, wajahnya kayak orang yang mau nangis." Hanya kalimat Maya yang terngiang di kepalanya saat itu.
"Aku juga merasa tidak enak pada Dana," imbuh Mila.
"Tidak perlu merasa tidak enak. Kembalilah," kata Dante dan Mila mengangguk mengerti.
*
Malam itu, Dana berada di atas kamar tidurnya, masih dengan sesuatu yang mengganjal di dadanya. Mungkin dia harus bersyukur tadi Ibunya tidak ada di sana saat Bu Sinta menolaknya. Dana tidak akan sanggup melihat Ibunya merasakan malu seperti rasa malu yang dia rasakan tadi.
Mila:
Dana, kau baik-baik saja, kan? Aku benar-benar minta maaf soal tadi siang. Aku benar-benar tidak menyangka. Aku yang salah. Aku mohon maafkan aku.
Dana menatap pesan dari Mila untuk beberapa saat. Dia pun akhirnya mengetikkan pesan balasan.
Dana:
Aku baik-baik saja. Tidak ada masalah. Tidak perlu minta maaf. Berhenti merasa bersalah, ok. Aku benar-benar tidak apa-apa.
Setelah mengirimkan pesan balasan ke Mila, pesan baru masuk. Dana tersenyum kecut saat membaca pesan tersebut.
Dante:
Dana, kau baik-baik saja? Aku mendengar apa yang terjadi. Kuharap kau tidak marah pada Ibuku. Aku minta maaf.
Dana segera mengetik pesan balasan.
Dana:
Kau dan Mila manis sekali. Kalian mengirimkan pesan minta maaf padaku di saat yang bersamaan. Kumohon, berhenti minta maaf padaku. Itu tadi bukan apa-apa. Katakan juga pada wanitamu aku benar-benar tidak apa-apa.
Setelah mengirimkan pesan tadi, Dana melemparkan ponselnya ke belakang dan menutup seluruh tubuh hingga kepalanya dengan selimut.
*
Dante menatap ponselnya dalam ruangan kamar yang sudah redup. Dua pesannya yang terakhir belum dibaca apalagi dibalas oleh gadis itu.
Dante:
Bisakah aku ke rumahmu sekarang?
Kau sudah tidur?
Dante tidak mengerti kenapa Ibunya melakukan hal semacam itu pada Dana. Seharian ini, dia tidak bisa bertanya pada Sinta karena cukup banyak urusan yang harus dia lakukan. Mungkin besok pagi, setelah sarapan. Membayangkan penolakan yang diterima Dana, Dante tidak bisa menahan diri untuk tidak menemui gadis itu. Sayangnya, saat itu sudah malam dan sepertinya Dana juga sudah tidur.
*
"Kau harus datang! Pokoknya harus! Wajib! Atau kita bukan lagi teman!"
Dana menggosok telinganya karena pagi-pagi sekali teman kuliahnya Soraya mengajaknya datang ke reuni kecil yang akan diadakan hari Jum'at ini.
"DANA!! KENAPA DIAM AJA!!!" teriak Soraya di ujung sana.
"Astaga Soraya. Kenapa kau jadi semakin mirip preman gini?!" gerutu Dana.
Dia bisa mendengar Soraya mendesah sangat keras di seberang sana. "Jadi, bagaimana?" tanya Soraya lagi.
"Akan aku usahakan. Aku harus mengajukan cuti terlebih dahulu. Lagian kenapa nggak hari Sabtu, sih. Kan, aku nggak perlu ngajuin cuti," sungut Dana karena kebanyakan teman kuliahnya memang berasal dari Bogor atau Jakarta jadi mudah saja bagi mereka kalau mau mengadakan acara kumpul-kumpul.
"Banyak yang berhalangan hari Sabtu. Jadi, Jum'at sore itu sudah waktu paling pas buat semuanya," terang Soraya.
"Baiklah. Aku akan mengajukan form cuti, tapi aku tidak janji apa-apa, ya," ucap Dana.
"HARUS JANJI!! KAPAN LAGI BISA KUMPUL LENGKAP KAYAK GINI!"
Dana sampai mengernyitkan dahinya karena Soraya kembali berteriak. Sarapan apa anak ini pagi-pagi sudah memiliki tenaga berlebih seperti itu.
*
"Mungkin kamu nggak terbiasa sarapan pake nasi, coba makan dikit, aja. Yang penting cicipi lauknya," ucap Sinta dengan sangat manis pada Mila.
Dante merasa cukup aneh dengan suasana pagi itu. Mila kembali duduk bersama mereka untuk sarapan bersama.
"Terima kasih, Tante," ucap Mila sembari mengambil ayam dan tempe goreng di meja.
"Buk, habis sarapan Dante mau bicara sebentar," kata Dante.
"Bicara apa? Di sini saja nggak apa-apa," ucap Sinta menatap anaknya. Sinta duduk di sisi kiri meja, Rio di ujung, dan Dante duduk bersebelahan dengan Mila di sisi kanan meja.
Dante menjawab tanpa melihat Ibunya, "Nanti saja Bu. Berdua."
"Ya sudah," jawab Sinta sambil lalu.
Selama sarapan pagi itu, Dante lebih banyak diam karena selama Mila di sana, Sinta lebih tertarik pada gadis itu. Entah kenapa, Dante merasakan Ibunya mulai berharap Mila bisa menjadi menantunya karena pertanyaan yang diajukan Sinta mulai sedikit personal, seperti 'Apakah kamu sudah punya pacar?', 'Apakah sudah memikirkan untuk menikah?' Dan hal-hal lain seperti itu.
Setelah menyelesaikan makanannya, Mila berpamitan terlebih dahulu pada semuanya.
"Kamu mau bicara soal apa?" tanya Sinta pada Dante begitu Mila pergi.
***
Dana berhak marah tapi kan? Marah ke siapa? Mila atau Sinta?
Semoga kalian suka part ini ya. Jangan lupa vote dan komennya biar aku semangat terus terus dan terusss nulisnya ❤️❤️❤️ D.D love you!!!
Published on Thursday, July 14, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top