Part 13 - Once Upon an Ice Cream

Dana berjalan gontai menuju rumah nenek Darmi dan kakek Parno.

'Apa memangnya yang kau harapkan Dana? Dari awal pun, kamu nggak pernah memiliki kesempatan. Sekarang, fokus dengan orang-orang yang sayang sama kamu,' Dana menekankan pada dirinya sendiri.

Waktu Dante berangkat untuk sekolah menengah atas di luar negeri, Dana menganggap keputusannya sangat keren, mengingat biasanya orang-orang akan melanjutkan studi di luar negeri saat mereka menempuh kuliah. Saat itu, Dana berharap dia pun tidak kalah dari Dante, walaupun dia hanya bisa sekolah di dalam negeri.

Karena itulah, dia belajar mati-matian untuk bisa diterima di IPB. Kepergian Dante, entah bagaimana, membuat dirinya menjadi lebih bersemangat untuk terus menjadi lebih baik. Dia selalu membayangkan dirinya akan cukup membanggakan saat Dante pulang nanti. Tapi, entahlah, semuanya berbeda sekarang. Semuanya tidak terlalu penting sekarang.

Dana sampai di rumah nenek Darmi sekitar pukul setengah sepuluh pagi.

"Dana? Ngapain ke sini?"

Saat Dana baru masuk ke rumah mereka, kakek Parnolah yang menyambutnya. Wajah pria itu terlihat sangat lelah.

"Nggak apa-apa Kek. Cuma mau main 'aja. Nenek Darmi, mana?" tanya Dana pada pria tua, yang masih belum mempersilahkannya masuk atau duduk itu.

"Darmi dari tadi malam muntah-muntah. Sekarang lagi tidur. Badannya panas," ujar Parno.

"Dana boleh lihat?" tanya Dana dan Parno mengangguk lemah. Sepertinya, pria tua itu semalaman tidak bisa tidur karena menunggu istrinya yang sedang sakit.

Karena ini bukan pertama kalinya Dana datang ke sana, Dana pun langsung masuk ke dalam rumah dan menuju kamar mereka. Nenek Darmi terlihat sedang berbaring di atas ranjang besi dan tertidur. Wanita tua itu terdengar merintih lemah dalam tidurnya. Dana pun mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahi Darmi dan hawa panas seketika menjalar ke telapak tangannya.

"Kek, Dana bawa Nenek Darmi ke dokter, ya?" pinta Dana meminta izin.

Kakek Parno memandangnya dengan bingung. Pria tua itu seakan tidak tahu apa yang harus diperbuat. Dana pun mengeluarkan ponselnya dan menelepon Doni. Setelah dua kali nada sambung, Doni mengangkat sambungan teleponnya.

"Don, kamu sekarang di mana?" tanya Dana.

"Lagi di rumah Mas Satria. Semalam nginep di sini. Kenapa?" tanya Doni di seberang sana.

Dana menghela napas berat. Dia tidak mungkin juga menelepon Hira, yang sekarang berada di Jogja. "Dana?" panggilan Doni di seberang sana membuyarkan lamunan Dana.

"Nggak apa-apa. Ya udah, aku tutup dulu," kata Dana, dan belum sempat Doni bertanya apa-apa lagi, Dana sudah menutup sambungan teleponnya. Dia pun memutuskan memesan mobil online untuk mengantar Darmi ke dokter.

"Kakek Parno istirahat dulu, ya, di rumah. Dana temenin Nenek Darmi ke dokter dulu," kata Dana kepada kakek Parno.

"Kakek ikut 'aja," kata Parno.

"Kakek istirahat dulu di rumah. Biar Nenek Darmi sama Dana. Kakek pasti butuh tidur," tekan Dana dan pria tua itu terdiam, namun tidak protes.

Dana kembali mengecek aplikasi mobil online yang sudah dia pesan. Salah satu kendala di perkebunan Pramudana adalah sering kali driver kesulitan jika harus menemukan lokasi secara akurat. Karenanya, kebanyakan dari mereka harus berjalan ke depan gerbang depan terlebih dahulu.

"Kakek, Dana ke depan dulu, ya. Kakek bangunin Nenek Darmi. Dana mau jemput mobilnya dulu," kata Dana.

Untunglah Parno mengerti dan langsung menganggukkan kepalanya. Dana pun berjalan – atau lebih tepatnya setengah berlari – menuju gerbang depan perkebunan.

*

Dante sedang duduk di depan rumah dengan bukunya, saat dia melihat Dana sedang berlari kecil di kejauhan.

"DANA!!!! DANA!!!!!"

Pria itu beberapa kali berteriak memanggil nama Dana. Sayangnya, gadis itu sepertinya tidak mendengarnya, hingga dia tidak lagi terlihat.

*

Dana menuntun nenek Darmi dengan sangat hati-hati saat keduanya turun dari mobil. Mereka kemudian berjalan perlahan menuju rumah sakit yang berada di perbatasan kota. Awalnya, Dana hendak memeriksakan nenek Darmi ke klinik umum yang berada tidak jauh dari perkebunan. Sayangnya, setelah tiba di sana, petugas klinik menginformasikan bahwa mereka harus menunggu dokter untuk datang.

Biasanya, butuh waktu lebih dari satu jam untuk menunggu seorang dokter untuk datang. Karena itu, Dana memutuskan langsung membawa nenek Darmi ke rumah sakit besar.

Setelah menemukan tempat duduk untuk nenek Darmi, Dana pun segera mengurus pendaftaran. Dan, tidak seberapa lama, seorang perawat memanggil nama nenek Darmi untuk diperiksa.

Selama dokter melakukan pemeriksaan, Dana setia menunggu di samping nenek Darmi. Beruntung, dokter memperbolehkan Darmi untuk rawat jalan, setelah menuliskan resep obat.

"Sebaiknya langsung ditebus di sini karena obat yang ini lumayan sulit tersedia di apotek lain," kata dokter tadi pada Dana.

"Baik, Dok. Terima kasih banyak," sahut Dana.

"Semoga lekas sembuh. Dan, Nenek," kata Dokter sambil menatap nenek Darmi. "Istirahat, ya. Jangan terlalu mikir yang berat-berat."

Dana langsung melirik ke nenek Darmi dan ikut tersenyum saat wanita tua itu tersenyum kecil. Ternyata benar, ya, kata orang. Tangan dokter itu menyembuhkan bahkan saat obat pun belum diberikan.

Dana pun mengajak nenek Darmi ke ruang tunggu yang berbeda karena Dana hendak menebus obat. "Nenek tunggu di sini dulu, ya. Dana mau ambil obatnya," kata Dana sambil berjongkok di depan wanita tua itu.

"Nanti uangnya Nenek ganti waktu di rumah, ya," kata nenek Darmi sambil mengelus rambut Dana lembut.

"Nenek nggak perlu bayar Dana. Nanti Dana minta ke Hira," ucap Dana dan nenek Darmi mengangguk mengerti. Terlihat kebanggaan di mata nenek Darmi saat mendengar Dana mengatakannya.

Dana pun bangkit dan berjalan menuju bagian administrasi untuk membayar obat yang akan dia ambil. Dan setelah menyelesaikan pembayaran, dia menuju bagian obat. Antrian di apotek sepertinya cukup lama karena beberapa orang terlihat duduk di sana.

Dana pun mencari tempat duduk kosong, di mana dia masih bisa mengawasi nenek Darmi dari kejauhan. Dana yang sedang menunggu, dikagetkan oleh suara ponselnya yang berbunyi. Dari Doni.

"Dana, kamu di mana?" sambar Doni di seberang sana.

"Di rumah sakit," kata Dana.

"Di rumah sakit? Siapa yang sakit? Rumah sakit mana?" tanya Doni.

"Rumah sakit perbatasan kota. Nganterin Nenek Darmi periksa. Semalaman muntah-muntah, katanya. Eh, jangan bilang Hira, ya. Nenek Darmi kayaknya juga sudah baikan, kok. Ini lagi nunggu obat," kata Dana.

"Tuan Muda barusan telepon aku. Katanya kamu nggak ada di rumah," kata Doni.

"Ngapain?" tanya Dana.

"Nggak tahu. Aku nggak berani tanya," ucap Doni.

"Ya sudah, biarin aja. Kalau ada perlu pasti telepon aku lagi nanti," jawab Dana.

*

"Ya sudah, biarin aja. Kalau ada perlu pasti telepon aku lagi nanti."

"Ya sudah," kata Doni kemudian menutup teleponnya. Baru saja dia menutup teleponnya, benda itu kembali berdering dan nama Tuan Muda muncul di sana.

"Ya ampun, orang ini," gumam Doni pada diri sendiri.

"Ya, Tuan Muda," jawab Doni sopan.

"Jadi, Dana di mana?" tanya Dante tanpa basa-basi.

"Di rumah sakit perbatasan kota Tuan Muda," ucap Doni.

"Rumah sakit? Dia sakit apa?" tanya Dante cepat.

"Bukan Dana yang sakit. Dana nganterin Nenek Darmi yang sakit," jawab Doni.

Doni bisa mendengar suara Tuan Mudanya menghela napas lega. "Ok. Thanks Don." Dan, Dante langsung menutup sambungan teleponnya.

"Kenapa nggak telepon Dana sendiri, ya?" Doni bicara sendiri.

*

Dana sudah berdiri selama hampir tujuh belas menit untuk mengambil obatnya. Dia bersyukur, semua obat yang diresepkan ada. Gadis itu berbalik untuk menghampiri nenek Darmi ketika dia melihat ...

"Dante?" ucap Dana terpaku di tempatnya.

"Apa sudah selesai?" tanya Dante yang berdiri hanya lima langkah dari tempatnya, dengan senyum hangatnya. Bagaimana Dana bisa tegas pada dirinya sendiri kalau Dante terus muncul seperti ini?

"Mmm ..," guman Dana mengiyakan.

"Ayo," kata Dante dan Dana memutuskan tidak bertanya dulu bagaimana Dante tahu dia ada di sana. Mereka menghampiri nenek Darmi, kemudian membawanya ke mobil Dante.

Dana merasa tidak enak harus duduk di belakang bersama nenek Darmi. Namun, Dante sama sekali tidak protes. Selama perjalanan, Dante sama sekali tidak menanyakan satu pun pertanyaan pada Dana dan begitu pun dengan Dana. Gadis itu tidak bertanya apa-apa.

*

Setelah sampai di rumah nenek Darmi, Dana mengetuk pintu dan, tidak seberapa lama, Kakek Parno keluar, sepertinya baru bangun tidur.

"Nggak apa-apa Buk?" tanya Parno pada istrinya.

Laki-laki tua itu kemudian memapah istrinya menuju kamar. Dana mengikuti, sedangkan Dante menunggu di ruang tamu mereka. Dana yang melihat ada pisang di meja makan mereka, mengupasnya dan menyuapi nenek Darmi perlahan.

"Dana, terima kasih, ya," ucap nenek Darmi sambil mengunyah pisang yang disuapkan oleh Dana.

"Sama-sama 'Nek Darmi. Jangan sakit lagi, ya. Kasihan Hira, nanti sedih," celetuk Dana dan kedua suami istri itu tertawa kecil mendengarnya.

"Sudah. Kamu pulang 'aja. Kamu pasti juga capek," ucap Darmi lagi.

"Dana pulang setelah Nenek minum obatnya, ya," tegas Dana dan wanita itu mengangguk dengan patuh.

*

"Dante aku jalan 'aja. Makasih, sudah nemenin tadi," ucap Dana, setelah keduanya berpamitan.

"Makan ice cream, yuk," ajak Dante tiba-tiba.

"Hah?" ujar Dana bingung.

"Yuk," kata Dante yang langsung menarik tangan Dana dan membawanya ke samping mobilnya, kemudian membukakan pintu mobil untuk Dana.

Dana, yang tidak langsung masuk dan malah menatap Dante tidak setuju, membuat Dante mendengus, "Sudah cepetan masuk."

Selama perjalanan, keduanya tidak saling bicara. Hanya lantunan lagu terbaru dari radio yang mengisi kesunyian di antara keduanya.

"Tahu dari mana, aku tadi di rumah sakit?" tanya Dana yang sudah duduk di samping Dante. Saat ini keduanya sudah berada di kedai ice cream yang lebih banyak dikunjungi anak sekolahan siang hari itu. Tubuh Dante, yang tinggi, tampak tidak cocok dengan kursi pink pastel yang sedang didudukinya. Hal itu tentu membuat Dana tertawa.

"Kenapa tertawa?" keluh Dante.

"Kau terlihat lucu duduk di kursi itu. Pasti kakimu sakit," ledek Dana.

"Ya. Aku tidak nyaman," sesal Dante.

Dana masih saja berusaha menahan tawanya. "Bukan aku yang mengajak ke tempat ini," Dana mengingatkan sambil menjilat ice cone di tangannya.

"Saat aku lewat kapan hari, tempat ini tampaknya menarik. Aku langsung teringat padamu. Aku cukup yakin kau pasti suka," ujar Dante yang memilih banana split saat itu.

"Kau ... memikirkanku saat melihat tempat ini?" lontar Dana sambil memiringkan badannya sehingga menghadap Dante.

"Ya," jawab Dante mantap.

"Kenapa teringat aku? Bukannya Mila?" tanya Dana lagi.

"Itu ... itu ... karena tempat ini sangat imut dan kecil, mirip denganmu. Kalau aku melewati restoran mahal dan elegan, aku pasti langsung teringat Mila," pungkas Dante.

Dana kembali menjilat ice creamnya dan menggeleng lemah. "Aku tidak tahu, apa itu pujian atau cacian," gumam gadis itu pelan.

"Apa kau capek?" tanya Dante.

"Capek? Capek kenapa?" tanya Dana yang hendak memutar kursinya hingga tidak lagi menghadap ke Dante. Namun, Dante menahan kursi putar Dana dengan kakinya, sehingga Dana tetap duduk miring menghadap Dante. Dante ikut memiringkan badannya sehingga keduanya duduk berhadapan, tanpa penghalang di depan mereka.

"Kau sudah menemani nenek Darmi tadi," Dante mengingatkan.

"Nggak, lah. Nggak capek sama sekali," ucap Dana sambil memakan ice creamnya dengan lahap.

"Sepertinya kau sangat suka," kekeh Dante yang melihat Dana menikmati ice creamnya.

"Iya, suka. Karena gratis. Cepat habiskan punyamu. Punyaku sudah mau habis," ucap Dana.

"Aku tadi melihatmu berlari ke depan gerbang utama. Aku berteriak memanggil namamu, tapi kau tidak dengar. Kau terlihat sangat cemas saat itu," tutur Dante.

"Oh," gumam Dana yang tidak tahu harus merespon bagaimana.

"Apa kau sangat menyayangi orang-orang di perkebunan?" tanya Dante tiba-tiba.

"Hmmm," gumam Dana sambil mengulum senyumnya.

"Bagaimana denganku?" tanya Dante menatap Dana dalam.

"Tentu saja aku juga sangat menyayangimu," jawab Dana langsung.

*

"Tentu saja aku juga sangat menyayangimu."

Dante menginginkan jawaban ini dari Dana. Tapi, bukan. Bukan jawaban seperti ini yang dia ingin dengar.

"Kau tidak akan pernah meninggalkan perkebunan apapun yang terjadi, 'kan?" tanya Dante lagi.

"Tidak. Kecuali aku diusir dari sana," canda Dana dan Dante langsung menyentil dahi gadis itu.

"Tidak akan ada yang mengusirmu dari sana," tekan Dante.

"Kalau begitu, aku tidak akan pernah meninggalkan perkebunan," ringis Dana.

*

Dana yang sudah menghabiskan ice conenya hingga melahap habis wafer conenya, menatap Dante yang masih menyelesaikan banana split miliknya. Dante masih menahan kursi putar Dana dengan kakinya, sehingga, mau tidak mau, Dana menghadap ke arahnya.

"Ayo, pulang, keburu hujan," desak Dana.

"Sabar. Ice creamku belum habis. Lagipula kita bawa mobil kenapa khawatir hujan," sahut Dante santai.

Dana hanya tersenyum kecil dan senyum Dana membuat Dante ikut tersenyum padanya. Namun, wajah Mila tadi pagi tiba-tiba muncul dan Dana berdeham.

"Aku bertemu Mila tadi pagi," ucap gadis itu.

"Benarkah?" sahut Dante dan Dana bisa melihat ekspresi pria itu berubah. Kenapa? Apakah Dante tidak suka kalau dia membahas tentang Mila? Apakah dia pikir Dana akan ikut campur hubungan mereka? Hanya hal itu yang memenuhi kepala Dana saat melihat ekspresi Dante.

***

Siang!! Enak nih hujan. Suasana yang mendukung buat nulis :D Makasih buat yang masih setia di sini. Semoga kalian suka sama part ini. Jangan lupa vote dan komennya as always ya. Cinta kalian!!!

Published on Wednesday, July 13, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top