Part 12 - Once Upon a Room for Rent
"Apa kau ... pernah berpacaran?" tanya Dana, sengaja tidak melihat pria itu.
Dante mengerling ke arah Dana. "Percaya atau tidak, aku tidak pernah berpacaran. Seharusnya aku berpacaran 'kan? Mengingat kebebasan yang aku miliki selama di sana," ucapnya.
"Lantas, kenapa tidak?" tanya Dana.
"Entahlah. Aku memiliki banyak teman dengan sangat banyak kegiatan atau acara. Kami bertemu dengan banyak perempuan cantik. Tapi, entah kenapa, tidak pernah terlintas di benak untuk mengencani mereka," jelas Dante.
"Pasti Mila sangat istimewa. Dia yang berhasil membuatmu ingin mengencaninya," gumam Dana.
Dante mengalihkan kepalanya menatap Dana, dan sekali lagi, gadis itu masih menunduk ke baskom berisi sayuran tadi.
"Bagaimana denganmu? Kau pernah berpacaran saat aku sekolah di luar?" tanya Dante.
"Pernah. Sekali," ucap Dana singkat.
Dante membelalakkan matanya. Pria itu melipat kedua tangan di depan dada dan menegakkan tubuhnya.
"Ceritakan tentang dia," tuntut Dante.
"Bukannya kau ke sini mau bercerita? Kenapa malah menyuruhku bercerita?" keluh Dana.
"Ceritakan saja, setelah itu aku yang akan bicara," desak Dante.
Dana melirik Dante sebentar, sebelum, kemudian kembali fokus dengan persiapan memasaknya.
"Tidak ada yang spesial. Kami hanya berpacaran selama dua bulan. Dia saudara kembar teman sekelasku. Aku menerimanya karena temanku memintaku memberikan saudara laki-lakinya kesempatan," beber Dana.
"Temanmu itu, laki-laki?" tanya Dante, masih dengan posisi tegak yang sama.
"Kembar laki-laki dan perempuan," jawab Dana.
"Siapa yang memutuskan hubungan dulu?" tanya Dante lebih jauh.
"Dia."
"Kenapa?" korek Dante.
"Dia bilang aku terlalu mandiri," kekeh Dana. "Aku juga tidak terlalu paham dengan maksudnya, aku terlalu mandiri. Tapi, aku langsung setuju saja."
Dante menolehkan kepalanya, merasa tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Pria itu, siapa pun namanya, sudah pasti masih memiliki rasa untuk Dana. Gadis ini bodoh atau apa? Kalau seorang pria mengatakan kau terlalu mandiri, berarti dia menuntut gadis itu untuk lebih melibatkan dirinya. Dante dibuat kesal saat mendengarnya.
"Apa kalian .... pernah berciuman?" tanya Dante ragu-ragu. Kepalan tangannya mengeras saat menanyakan ini.
"Berikan aku privasi. Aku tidak mau menjawab itu!" seru Dana, yang kemudian berdiri dan membersihkan ikan di wastafel.
"Jadi, kalian pernah berciuman," Dante menyimpulkan.
"Siapa bilang?!" balas Dana setengah berteriak.
Senyuman miring terbit di bibir Dante. "Jadi, tidak pernah, ya?" Dante kembali menyimpulkan.
Dana menghembuskan napas dengan kasar. "Dia pernah .... hampir .... menciumku. Tapi, aku menghindar. Kemudian, dia tidak menghubungiku selama tiga hari, sebelum dia yang akhirnya menemuiku lagi dan meminta maaf ... karena," Dana berdeham. "Berniat menciumku."
Dante berdiri dan menghampiri Dana. Dante, kemudian, memutar tubuh Dana dan mencubit kedua pipi gadis itu dengan tangan kanan dan kirinya.
"Gadis pintar," kata Dante dengan senyum bahagia.
"Dante sakit! Lepas!" teriak Dana, yang tidak bisa berkutik karena tangannya masih kotor dan bau amis karena sedang mencuci ikan.
Dante, yang masih tersenyum, kemudian melepaskan cubitannya.
"Lain kali, kalau ada pria yang mau menciummu, kau harus bertanya dulu padaku. Aku lebih tua tiga tahun darimu. Jadi, anggap kau sedang meminta izin pada kakakmu," kata Dante.
"Konyol sekali. Kalau pun aku punya kakak laki-laki, aku sudah cukup dewasa untuk perlu bertanya padanya," sahut Dana yang kembali membelakangi Dante untuk mencuci ikan yang dia beli tadi.
"Aku akan melakukan hal yang sama!" tawar Dante. "Aku akan bertanya dulu padamu kalau aku mau mencium seseorang."
Dana tertawa pelan. "Aku tidak butuh. Kau bebas mencium siapa pun yang kau mau tanpa bertanya padaku. Kau ini aneh sekali," ledek Dana.
Merasa kesal, Dante mendorong belakang kepala Dana pelan, sehingga Dana yang sedang membelakanginya, langsung berputar dan mengarahkan ikan yang dia pegang tepat ke wajah Dante.
"Apa tidak ada yang mengajarimu kalau mendorong kepala itu tidak sopan?!" seru Dana.
"Sini, aku bantu masak. Kau lama sekali," kata Dante kemudian.
Dante, yang awalnya hanya terus bertanya pada Dana, pada akhirnya membantu gadis itu memasak ikan gurame goreng dan sayur bayam, lengkap dengan sambal terasi.
Dana, yang melihat Dante cukup cakap mengolah semua bahan, dibuat tercengang.
"Aku tidak menyangka kau bisa masak," ucap Dana, saat mereka menata masakan yang sudah jadi di atas meja.
"Lumayan. Aku tinggal di luar sendiri cukup lama, jadi beberapa kali aku mempersiapkan masakanku sendiri," ungkap Dante.
"Kalau tidak masak?" tanya Dana.
"Belilah," seru Dante. "Sudah siap. Ayo, makan."
Dana, yang masih memakai kaos spandex dan celana jogging, menunduk dan melihat pakaiannya.
"Dante hhmmm ... Kau, boleh makan duluan," kata Dana.
"Maksudnya? Ayo, makan bersama," kata Dante.
Dana sudah merasa gerah berkat keringat setelah berolahraga dan memasak.
"Aku .... mandi sebentar. Kau duluan 'aja," kata Dana cepat dan dia segera berlari menuju kamarnya. Tidak seberapa lama, gadis itu keluar lagi dari kamar dan berjalan cepat menuju kamar mandi.
Dante, yang melihatnya, bingung. "Cuma mandi, kenapa malu-malu begitu," ucapnya, kemudian memainkan ponsel.
Kurang dari sepuluh menit, Dana keluar dengan rambut masih setengah basah dan daster berbahan kaos longgar dengan gambar Garfield besar di tengahnya. Entah kenapa, Dante merasakan sengatan listrik yang aneh. Dia sampai mengedikkan kepala, supaya bisa berhenti menatap gadis itu.
"Kau belum makan?" tanya Dana.
Dante kembali terusik, saat bau harum gadis itu memenuhi ruangan. Dante, yang hanya diam sambil terus melihat ke ponselnya, membuat Dana seakan diabaikan. Dana pun mengambil piring kosong Dante dan mengisinya dengan nasi dari pemanas.
"Sebaiknya kita menghargai makanan di depan kita dengan tidak bermain ponsel saat makan," kata Dana sambil meletakkan kembali piring Dante, yang sudah diisi dengan nasi putih hangat.
Dante, yang mendengar peringatan Dana, langsung meletakkan ponselnya dan mengambil lauk yang ada di depannya.
"Aku lapar sekali," seru Dana dengan suara bersemangat.
"Hhmmm ... Aku juga," gumam Dante.
"Jadi, bagaimana Mila semalam?" tanya Dana yang duduk di seberang Dante.
Dante memasukkan makanan ke mulut dan mengunyahnya, sebelum menjawab pertanyaan Dana.
"Dia tidak marah. Dia malah minta maaf padaku. Dia pikir aku melakukannya karena aku tidak mempercayainya. Dia memang berbeda," kata Dante.
Dana menatap wajah Dante. Ada yang berbeda dari dirinya. Seperti ada yang salah. Mata Dante selalu berbinar saat menceritakan tentang Mila. Namun, saat ini, bukan itu yang dilihat Dana. Namun, Dana tidak berani menanyakan apa yang berbeda.
"Jadi? Sepertinya bagus 'kan? Kalian bisa menjalin hubungan tanpa ada yang harus ditutup-tutupi lagi," urai Dana.
"Ibu juga menawarinya tempat di rumah, untuk dirinya tinggal selama pembangunan berjalan," tutur Dante lagi.
Beruntung tidak ada makanan di mulut Dana atau mungkin saja dia bisa langsung tersedak. Dana meraih air putih di gelas dan menegaknya habis.
"Tapi, ... dia tidak langsung berkata, 'Ya'. Mila masih harus menanyakan kepada Ayahnya," lanjut Dante.
"Hubungan kalian akan berkembang pesat kalau itu terjadi. Kau pasti senang," celetuk Dana, berusaha ikut bahagia untuk Dante.
"Yeah ...," jawab Dante terdengar tidak yakin. Dante bahkan tidak menatap Dana saat menjawabnya.
"Bu Sinta pasti sangat menyukai Mila, jika dia memberikan tawaran seperti itu. Dante, makan yang benar. Jangan memainkan makananmu," tegur Dana tegas, saat melihat Dante hanya memutar-mutar sendoknya di atas piring.
"Bagaimana, kalau aku, jadian sama Mila?" Dante menghiraukan peringatan Dana dan malah mengajukan pertanyaan sambil menatap gadis itu.
"Bagus sekali, 'kan?! Bukankah itu memang tujuanmu dari awal?" Dana mengingatkan sambil tersenyum kecil.
Dante tidak menjawab. Dia hanya menatap Dana selama tiga detik, sebelum kembali menyelesaikan makanannya.
"Oh, ya, karena kau sudah kembali, besok Senin kau bisa mulai menemani Mila di lokasi pembangunan. Kau pasti ingin menemaninya," ucap Dana.
"Bagaimana denganmu?" tanya Dante.
"Bagaimana denganku? Tentu saja aku akan mengerjakan pekerjaanku yang lain," jawab Dana santai.
Setelah itu, keduanya makan dalam diam. Tidak ada lagi obrolan mengenai Mila atau yang lain. Setelah menyelesaikan makanannya, Dana menyuruh Dante langsung pulang, walaupun pria itu menawarkan diri untuk membantunya mencuci piring kotor.
*
Di hari Minggu, Dana tidak lari pagi seperti biasa. Dia memutuskan berolahraga di rumah. Kenyataan bahwa hubungan Dante dan Mila berkembang pesat membuat Dana ingin menarik garis jelas untuk dirinya. Dante mungkin saja menganggap kedekatan mereka biasa saja, tapi Dana tidak yakin dia bisa untuk tidak melibatkan hatinya.
Saat bangun tidur, Ibunya sudah berangkat ke rumah utama. Hari ini, Dana berencana ke rumah nenek Parmi dan kakek Parno karena seminggu ini dan seminggu ke depan Hira belum bisa pulang.
*
"Anak gantengnya Ibu rajin banget kalau lari pagi," ucap Sinta penuh kebanggaan, saat Dante baru masuk ke area dapur, di mana Sinta dan beberapa pekerja lain mempersiapkan makan pagi.
"Dante mandi dulu Bu," ucap Dante.
Tepat setelah sarapan pagi, suara bel pintu berbunyi dan budhe Sari bergegas menuju pintu depan. Tidak seberapa lama, wanita separuh baya itu kembali masuk dan berkata, "Tuan muda, ada yang nyariin. Namanya Mbak Mila."
"Mila?!" Sinta yang menyahut lebih dulu. "Sana cepetan keluar. Jangan biarin gadis cantik nunggu lama," sembur Sinta penuh semangat sambil setengah mendorong bahu Dante.
Dante, yang baru saja menyelesaikan sarapannya, langsung berdiri dan menuju ruang tamu.
"Hai," sapa Mila dalam balutan dress cantik berwarna pink pucat. Seperti biasa, Mila membiarkan rambut indahnya tergerai.
"Apa aku datang terlalu pagi?" katanya lagi dan Dante mempersilahkan Mila duduk sebelum dirinya sendiri duduk di sofa yang menghadap sofa yang sedang diduduki Mila.
"Nggak apa-apa. Orang-orang di sini terbiasa bangun pagi semua," ucap Dante.
"Ya, aku juga berpikir begitu," ucap gadis itu sambil tersenyum.
"Ada apa?" tanya Dante. Dante menatap Mila yang sedang menatapnya sambil tersenyum.
Dante terdiam sambil berpikir. Kenapa rasanya berbeda dengan saat pertama kali dia berkenalan dengan gadis ini? Dante baru saja tiba, saat Mila muncul di perkebunan mereka. Mereka berkenalan dan menghabiskan waktu mengobrol lama. Saat itu, Dante merasa sangat klik dengan Mila. Dia juga terpesona dengan kecantikan gadis ini.
Dante sangat yakin, saat itu, dia ingin membuat gadis ini jatuh hati padanya. Tapi, semua itu sebelum dia ....
"Soal tawaran tante Sinta. Soal tempat yang bisa kupakai selama aku di sini," kata Mila.
"Ya?" tanya Dante.
"Aku sudah membicarakan dengan Ayahku. Awalnya aku pikir dia mungkin saja keberatan. Tapi, setelah aku bilang, ternyata dia sangat mendukung aku tinggal di sini. Ayahku pikir ini tawaran yang jauh lebih baik dibandingkan aku menyewa tempat sendiri. Dia bisa merasa lebih tenang," terang Mila.
Di luar dugaan, jawaban 'Ya' dari Mila sama sekali tidak membuatnya girang seperti yang dikatakan Dana kemarin.
"Sebaiknya, aku panggil Ibu dulu," ucap Dante dan Mila mengangguk. Dante pun masuk ke bagian lebih dalam rumah utama. Tidak seberapa lama, Dante muncul kembali bersama Sinta.
"Tante ...," sahut Mila saat Dante datang bersama Sinta dan gadis itu berdiri dari duduknya.
"Tante sudah dengar dari Dante. Tante senang sekali dengernya. Ayo ... Ayoo .... tante mau tunjukin kamarnya. Ada satu kamar yang dekat sama kamar Dante," ucap Sinta penuh semangat sambil menarik tangan Mila.
"Kapan kamu mulai pindah," tanya Sinta pada Mila, saat ketiganya berjalan masuk ke bagian lebih dalam rumah. Dante hanya mengekor dua perempuan itu tanpa berkata apa-apa. Entah kenapa pikirannya tidak sedang di sana.
Sesuai rekomendasi Ibunya, Mila akan menginap di kamar yang berada lumayan dekat dengan kamarnya. Kenyataan bahwa Dante tidak terlalu bersemangat tentang ini membuatnya tertegun. Apa dia salah menilai perasaannya sendiri?
"Besok, kamu langsung bawa barang kamu. Jadi, besok sudah bisa langsung menginap di sini. Hari ini, tante suruh orang bersihkan lagi kamar yang tadi," ucap Sinta sembari mengantarkan Mila ke depan pintu ditemani Dante.
"Terima kasih, Tante. Kamarnya sudah bersih, kok. Mila balik dulu. Besok Mila mulai bawa baju Mila. Makasih banyak, ya, tante Sinta sudah kasih Mila tempat dekat kalian," kata Mila sebelum berpamitan pulang.
*
"Dana!!! Dana!!!!"
Dana, yang sedang berjalan hendak ke rumah nenek Parmi dan kakek Parno, berhenti dan menoleh. Dia melihat Mila sedang melambaikan tangannya dari dalam mobil.
Saat mobil Mila berhenti, Dana pun mendekat.
"Hari Minggu, kok, ke sini? Para pekerja libur 'kan?" tanya Dana, yang sudah berdiri di samping mobil Mila.
"Aku baru dari rumah Dante. Oh, iya, Dana, soal aku cari tempat dekat sini. Kamu nggak perlu nyariin buat aku lagi. Tante Sinta nawarin salah satu kamar di rumahnya. Dan, setelah tanya ke Ayahku, dia nggak keberatan. Papi malah seneng aku ada yang jagain selama di sini. Makasih, ya, sebelumnya," jelas Mila.
Dana sudah mendengarnya dari Dante kemarin. Namun, kenapa saat dia mendengarnya sekarang, rasanya semakin nyata. Dana mengangguk pelan. "Syukurlah," ucap Dana.
"Aku mulai pindah besok," ucap Mila dengan senyum cerahnya. "Kau mau ke mana?" tanya Mila lagi.
"Ke rumah nenek Parmi," jawab Dana.
"Mau aku antar?" Mila menawarkan.
"Tidak. Tidak perlu. Makasih."
"Ya sudah, aku balik dulu, ya," ucap Mila dan keduanya saling melambaikan tangan. Dana terdiam sambil menatap mobil Mila yang berjalan menjauh.
***
Pagiiii ..... semoga kalian suka part ini. Jangan lupa kasih vote dan komen yaaa. Jangan lupa follow juga yg belum follow :D. Oiya, jaga kesehatan ya. Semoga kita semua sehat-sehat selalu. Aammiiinn ...
Published on Tuesday, July 12, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top