Part 10 - Once Upon an Open Secret

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Dana.

"Hasil dari penjualan kita naik pesat bulan lalu, dan kita masih memiliki banyak waktu untuk meningkatkannya di bulan ini," kata Dante.

"Ya, aku sudah membacanya di grup," ucap Dana.

"Soal masalah yang dihadapi di perkebunan apel," kata Dante.

"Bukankah kita akan membeli obatnya di kota? Aku juga sudah membacanya di grup," sahut Dana, membuat Dante berdeham keras.

"Sebaiknya kau mempersiapkan diri, karena kita akan membuka toko baru di ...," kata Dante.

"Di perbatasan Salatiga. Ya, aku sudah membacanya di grup kantor," Dana kembali menyela.

"Bisa tidak, kau tidak memotong kalimatku?" geram Dante sambil menatapnya jengkel.

"Semua, yang kau katakan, bukan hal baru. Semua sudah kau dan Pak Rio bahas di grup kantor. Memangnya, apa lagi ..." kata Dana, yang kemudian terpotong oleh Dante.

"Sudahlah! Kalau kau memang tidak mau mendengarkanku," ucap Dante kesal.

"Apa kau ingin mengatakan hal yang lain?" tanya Dana.

Keduanya terdiam selama tujuh detik.

"Apa ... kalian sering melakukan ini?" tanya Dante, mendadak mengubah topik, kemudian mengulurkan tangan ke tempat yang mereka tempati untuk acara bakar jagung tadi.

"Ya, lumayan," jawab Dana.

Dante mengangguk mengerti sambil tersenyum, seketika moodnya berubah.

"Kalau kau mau, kau harus ikut lagi lain kali," kata Dana, yang akhirnya mengikuti topik baru Dante.

"Dante, apakah kau marah padaku?" tanya Dana.

Dante menoleh cepat ke Dana, merasa aneh dengan pertanyaan gadis itu.

"Marah? Aku?" tanya Dante sambil mengarahkan telunjuknya sendiri ke dada.

"Terakhir kali kita bertemu dengan Mbak Mila dan Pak Andrew di Jogja, sepertinya moodmu jelek sekali. Dan besoknya, kau sama sekali tidak bicara padaku. Aku minta maaf, kalau aku membuatmu tidak nyaman. Aku memikirkan beberapa hal, yang mungkin membuatmu tidak ..... " Dana tidak menyelesaikan kalimatnya, karena Dante menyela.

"Aku tidak marah. Aku tidak pernah mar ....," Dante tidak bisa menyelesaikan kalimatnya sendiri. Bagaimana dia mengatakan dia tidak marah pada Dana? Jelas-jelas, beberapa hari ini, Dana benar-benar mengusik pikirannya. Tapi, apa yang dikatakan Dana jelas berbeda dengan apa yang dia rasakan.

"Sebaiknya kau pulang, sudah malam. Aku juga mau istirahat." Dante tiba-tiba berdiri dan menunduk, menatap Dana, yang masih duduk.

"Baiklah. Kalau tidak ada lagi yang mau kau bicarakan," ucap Dana, ikut beranjak dari duduknya.

Dante berjalan lebih dulu menuju rumahnya tanpa menoleh lagi ke Dana.

*

Di hari Sabtu dan Minggu, Dana tidak bertemu dengan Dante. Bahkan, saat dirinya lari pagi. Dua hari itu pula, Dana memiliki cukup banyak kegiatan. Di Sabtu siang, dia menjadi pagar ayu di pernikahan salah satu anak pekerja perkebunan. Malamnya, dia menemani Hira untuk mengantar cucunya Pak Soleh, pekerja perkebunan apel, ke stasiun.

Di hari Minggu, Dana lebih banyak menghabiskan waktu di perkebunan, mulai dari menemani para pekerja, hingga mengantarkan nenek Ningsih ke dokter. Dana terkenal tidak bisa diam di rumah. Hal ini karena Ibunya bekerja setiap hari di rumah utama, yang berarti Dana hampir selalu sendirian di rumah.

Dari grup kantor, Dana tahu bahwa Pak Rio dan Dante, bersama Pak Andrew, akan ke Jakarta untuk perjalanan bisnis selama satu minggu. Itu berarti, Dana harus bertanggung jawab tentang pembangunan penginapan yang dimulai minggu ini.

Tepatnya hari Selasa, orang-orang Pak Andrew dan Mila datang untuk mulai mengerjakan pekerjaan mereka. Mila yang hari itu datang ke perkebunan. Dana menemani Mila untuk menemui para pekerja dan menyampaikan beberapa hal yang tidak boleh dilanggar.

Dana menemani Mila di lokasi pembangunan, hingga menjelang jam dua siang.

"Kau tidak mau makan siang dulu?" tanya Mila sambil menyapu keringat di dahinya.

Dana tertawa kecil melihatnya. Sebenarnya, dia sama sekali tidak merasa lelah atau lapar. Namun, dia melupakan Mila, yang sepertinya sudah hampir pingsan karena berdiri di bawah terik matahari selama beberapa jam. Dana tentu sudah terbiasa seperti itu, tapi tidak dengan Mila. Dan, Dana paham akan hal itu.

"Ayo, kita makan di kantor," ajak Dana. Mila tersenyum lega mendengarnya.

Dana membawakan makanan yang disiapkan Ibunya dan membaginya dengan Mila.

"Terima kasih, ya," kata Mila sambil menerima nasi bungkus dari Dana.

"Maaf, ya, makan siangnya sederhana," kata Dana, kemudian duduk di samping Mila, di meja kayu besar yang berada tepat di tengah pendopo. Meja besar tersebut memang dibuat untuk rapat atau makan bersama.

"Tidak. Ini sangat istimewa. Maaf, malah merepotkan," ucap Mila sambil mengoleskan hand sanitizer di tangannya.

"Kalau keluar perkebunan, banyak warung yang jual makanan. Tapi, untuk pesan antar, agak susah. Driver biasanya kesulitan mencari lokasi kita. Kalau pun mau pesan antar, kau harus menunggu di depan gerbang perkebunan. Kau bisa minta Doni, yang tadi aku perkenalkan, untuk mengantarmu ke depan gerbang," kata Dana sambil membuka nasi bungkusnya sendiri.

"Baiklah," jawab Mila sambil mengangguk.

Maya dan Dita hanya menatap mereka sesekali sambil terus bekerja. Karena sudah jam dua lewat, Maya dan Dita sudah makan siang lebih dulu.

"Ayahku, Pak Rio, dan Dante akan berada di Jakarta selama seminggu ini. Mereka menemui sponsor untuk acara pembukaan penginapan nanti sebagai media promosi juga," kata Mila, setelah menelan makanan di mulutnya.

"Ya, Pak Rio sudah memberitahukannya pada kami. Apa kau akan ke sini setiap hari?" tanya Dana.

"Mungkin tidak setiap hari. Tapi, aku akan sering berada di sini. Aku berniat mencari tempat yang bisa aku sewa di sini. Jadi, aku tidak perlu menyetir jauh-jauh. Sementara ini, aku menginap di hotel," ucap Mila.

"Aku akan mencari tahu beberapa tempat yang bisa kau sewa di sini," kata Dana.

"Benarkah? Bagus sekali. Terima kasih Dana. Eh, boleh 'kan aku memanggil namamu langsung?" tanya Mila, khawatir dia sudah lancang.

"Tidak masalah. Sepertinya aku juga lebih muda darimu," ujar Dana.

"Aku dua puluh empat. Kau?" tanya Mila.

"Dua puluh dua," jawab Dana.

"Kau bisa memanggilku Mila tidak perlu menambahkan Mbak. Biar lebih akrab," pinta Mila.

"Oke," jawab Dana.

"Dana ... boleh aku mengatakan sesuatu?" tanya Mila hati-hati.

"Ada apa?" tanya Dana, kemudian memasukkan satu sendok nasi ke mulutnya.

"HHmmm ... aku tidak tahu kenapa Dante berbohong padaku, tentang dirinya," ringis Mila dan Dana langsung terbatuk-batuk mendengarnya. Mila pun buru-buru memberikan segelas air dan menepuk-nepuk punggung Dana.

"Maafkan aku," kata Dana dengan wajah memerah.

"Melihat reaksimu sepertinya kau juga tahu," kata Mila.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Dana.

"Aku pernah ke sini sebelumnya. Saat itu, Dante sedang tidak ada di perkebunan dan dia," kata Mila sambil menunjuk ke arah Maya, "Memanggil Dante dengan sebutan Tuan Muda. Karena penasaran, aku akhirnya mencari tahu tentangnya di internet."

"Kau sampai mencari tahu di internet?" ulang Dana tidak percaya.

"Ya. Hanya untuk memastikan. Aku memikirkan beberapa alasan. Mungkin dia tidak ingin aku berharap lebih padanya tentang rencana penginapan ini, mengingat kami berkenalan lebih dulu, sebelum ini semua. Aku juga berpikir, mungkin dia memang tidak mau orang-orang tahu siapa dia. Tapi, Ayahku, yang memiliki gagasan paling gila. Dia bilang, dia menyukaiku," kata Mila malu-malu. Dia bahkan menutup matanya, saat mengatakan kalimat yang terakhir.

Mila kemudian menatap Dana serius. "Apa kau tahu kira-kira apa alasannya tidak mengatakan padaku?" tanya Mila.

Dana kembali meneguk air putihnya. "Aku tidak memiliki hak untuk menjawabnya. Sebaiknya, kau bertanya langsung padanya," ucap Dana. Entah kenapa, Dana merasa sedikit takut. Kini, dia tahu Mila sudah mengetahui siapa Dante. Dan, kenyataan bahwa Mila sama sekali tidak marah tentang itu, membuat Dana cukup yakin tidak lama lagi keduanya akan mulai menjalin hubungan.

'Apa yang aku sesalkan?' ringis Dana dalam hati.

"Kau benar. Sebaiknya, aku langsung bertanya pada Dante. Dia tidak akan marah 'kan?" kata Mila menerawang.

Dana langsung menatapnya tidak percaya. "Tentu saja dia tidak akan marah," kata Dana yakin, merasa aneh dengan pemikiran Mila barusan.

*

"Maafkan saya sudah menyembunyikan masalah ini sama Bapak," kata Dante kepada Andrew. Keduanya berdiri di dekat pintu kaca tinggi di lobby sebuah hotel bintang lima di Jakarta.

"Tidak masalah. Kau bekerja dengan baik. Aku mungkin bersikap berbeda padamu jika tahu lebih awal," kata Andrew sambil menepuk punggung Dante dua kali.

"Terima kasih atas pengertiannya," ucap Dante, yang berdiri di samping Andrew dengan dua tangan dia masukkan ke dalam saku.

"Sebenarnya aku sudah mengetahuinya beberapa hari yang lalu, dari Mila," kata Andrew.

"Mila tahu?" tanya Dante dengan mata melebar.

Andrew tertawa melihat reaksi Dante. "Sepertinya tebakanku benar," gumam Andrew.

"Maaf?" tanya Dante tidak mengerti.

"Beberapa hari yang lalu, Mila datang ke perkebunan, tapi kau tidak ada. Dan, saat itu, dia secara tidak sengaja tahu," terang Andrew.

Dante hanya bisa diam, seketika merasa dia bodoh sekali.

"Dante, aku sangat menyukaimu. Kurasa kau perlu tahu itu," ucap Andrew, kembali menepuk punggung Dante kemudian pergi.

*

Selama enam hari ini, Mila setiap hari datang ke perkebunan untuk mengecek secara langsung pembangunan penginapan di area perkebunan Pramudana. Dana juga sering kali menemaninya. Dengan menemani Mila, Dana juga bisa langsung menyapa temen-teman pekerjanya yang bekerja di dekat lokasi pembangunan. Beberapa kali, mereka berdua makan bersama para pekerja perkebunan.

"Menyenangkan sekali, ya, menghabiskan waktu bersama mereka," kata Mila, saat keduanya berjalan berdampingan menuju kantor pendopo.

"Ya. Kami sudah seperti keluarga. Aku lahir dan tumbuh di sini. Hampir semua orang di sini juga. Jadi, ya, memang menyenangkan menghabiskan waktu bersama keluarga," senyum Dana.

"Kau pasti tidak pernah kesepian," lanjut Mila.

"Ibuku bekerja di rumah orang tua Dante hampir seharian di sana. Jadi, aku lebih banyak meluangkan waktu bersama orang-orang di perkebunan. Mereka pikir aku banyak membantu mereka. Sebenarnya, aku lebih membutuhkan mereka. Aku tidak suka sendirian dan dengan bersama mereka, aku tidak pernah merasa sendirian. Tapi, aku tidak boleh sering-sering menganggu mereka," urai Dana.

"Sepertinya, orang-orang tadi benar-benar menyayangimu. Tidak mungkin mereka berpikir kau mengganggu mereka," ucap Mila.

Dana mengangguk. "Aku sangat beruntung. Hanya saja, mereka juga memiliki keluarga sendiri. Aku tidak mau terus-terusan muncul. Karena itu, tiap kali mereka meminta bantuan, aku akan langsung datang dengan cepat," tawa Dana.

"Ayahku bilang sore ini mereka kembali dari Jakarta. Jadi, mungkin sebelum malam mereka sudah sampai. Aku akan kembali ke hotel lebih awal. Dia mau mengajakku pulang dulu besok. Besok, para pekerja akan tetap bekerja. Mereka hanya akan libur di hari Minggu," kata Mila.

"Baiklah."

"Dan ..." Mila melanjutkan kata-katanya. "Nanti malam, aku akan menemui Dante dan menanyakan dengan benar tentang alasannya," ucap Mila dengan senyum lebar.

Dana bisa saja tidak menyukai Mila karena gadis ini memiliki potensi besar bisa bersama Dante. Sesuatu, yang pastinya akan membuat Dana sangat kecewa. Namun, Dana tidak bisa melakukannya. Mila terlalu baik untuk menjadi seseorang yang harus kau benci. Dana mengerti sekarang kenapa Dante sangat menyukai Mila. Selain cantik, tentu saja, Mila adalah orang yang sangat baik.

Dana hanya tersenyum menatap Mila. Di sini, dia hanya orang luar di antara mereka.

*

"Dana, Mas Satria mau traktir kamu di cafenya. Dateng ya. Aku jemput jam setengah lima. Gimana?"

Dana mendengarkan Doni melalui telepon.

"Boleh. Aku tidak ada acara nanti malam," kata Dana mantap.

Sebenarnya, sejak Mila mengutarakan rencananya untuk berbicara dengan Dante nanti malam, Dana tidak bisa berhenti memikirkan tentang mereka. Ibunya pasti pulang malam lagi dan dia tidak mau sendirian di rumah. Usulan Doni menjadi penyelamat baginya.

"Aku sudah pamit ke budhe Sari. Dia di sini sama aku," kata Doni di seberang sana.

"Baiklah. Makasih Don," ucap Dana.

*

Dante dan Rio sampai di rumah utama jam setengah delapan malam. Setelah memarkirkan mobilnya, Dante kaget saat melihat Mila sedang duduk di ruang tamu bersama Ibunya, Sinta.

"Kalian sudah datang," kata Sinta dengan raut wajah bahagia. Sinta dan Mila bangkit dari duduknya.

Dante pun langsung mencium tangan Ibunya.

"Mila?" tanya Rio, sama herannya kenapa malam-malam begini Mila di rumah mereka.

"Mila barusan datang. Katanya ada yang mau dibicarakan dengan Dante," ucap Sinta. "Kalian bicara dulu. Nanti kalau sudah selesai, ikut makan malam sama-sama ya. Tante siapian dulu makanannya," kata Sinta sambil menarik tangan Rio pelan.

Dante meletakkan tasnya di sofa dan meminta Mila duduk lagi.

"Maaf, ya, aku datang malam-malam padahal kau baru sampai," kata Mila.

Dante menggeleng. "Tidak masalah. Aku ... "

"Aku ...." ucap Mila dan Dante bersamaan.

"Maaf, aku sudah berbohong padamu," ucap Dante cepat.

"Aku juga minta maaf. Sepertinya aku tahu alasanmu. Kau pasti tidak percaya padaku. Mungkin kau menganggap aku akan memanfaatkan kedekatan kita untuk memaksamu menerima usulan Ayahku. Aku mengerti. Aku sepenuhnya mengerti," sambung Mila.

Dante terdiam. Bukan itu alasannya menyembunyikan identitasnya. Dia sangat ingin Mila menyukainya, karena dirinya, bukan karena latar belakang keluarganya. Namun, selama enam hari perjalanan di Jakarta, Dante sudah tidak terlalu memikirkan hal itu lagi.

Dante tidak bisa mengatakan alasan yang sebenarnya kepada Mila saat ini, karena dia juga tidak yakin apakah dia benar-benar menyukai Mila sebegitu besar, sehingga dia menuntut Mila untuk mencintainya dengan tulus.

"Aku benar-benar minta maaf," kata Dante.

***

Aku rajin kan update tiap hari 😋😋 kasih vote dan komennya dong. Semakin banyak vote, semakin aku semangat buat update terussss ❤️❤️

Published on Sunday, July 10, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top