STARRAWSInAction | Presiden Buatan Manusia by Kim_Hakimi

Dibuat untuk meramaikan #STARRAWSInAction - dari peserta non-STARRAWS, Kim_hakimi

***

Gadis itu satu–satunya yang dapat aku lihat di dalam kegelapan yang pekat. Lamat–lamat terdengar suaranya merintih . Putih, putih, merah. Apakah ia sedang menggambarkan diri? Entahlah, mungkin benar mungkin salah. Aku sendiri baru kali ini melihatnya. Baju dan celana dengan warna putih senada.  Rambut merah yang tak indah. Mata yang awas penuh selidik yang setiap detik menyapu setiap penjuru. Gadis yang aneh. Walaupun demikian aku tetap harus menunggu ia menemukanku. Seperti biasa. Seperti yang lainnya.

Akhirnya ia menemukanku setelah bosan dengan rasa penasarannya. Pada saat ia menimangku, terlintas sebuah memori yang tumbuh liar seperti benalu. Tangannya lembut dan halus seperti milik ibu. Bau badannya juga mirip ibu. Namun tidak dengan bola matanya yang abu–abu.

"Selamat datang Star." 

Gadis itu terkejut. Sudut matanya berusaha mencari asal suara. Apa saja ia curigai dengan sikap awasnya. Aku? Dicampakkannya ke lantai.

"Apa kau sudah siap untuk bermain?" tanya suara itu.

Star ya? Jadi itukah nama gadis berambut merah itu? Aku tersinggung. Walaupun gadis ini terlihat tidak buruk, tetapi nama itu membuatku tidak nyaman. Apakah mereka sudah kehabisan akal?

"Tidak mau menjawab ya? Heh? Baiklah. Siap atau tidak sebentar lagi pintu akan terbuka. Lakukan apa yang kau inginkan. Ingat, setiap pilihan membawa konsekuensi."

Star meracau tidak jelas. Suaranya parau dan keras. Tatapannya beringas. Ia memungutku dengan sebuah gerakan bergas. Lalu dilemparkannya ke sudut atas. Tidak hanya sekali namun hingga berbelas–belas. Sampai ia berhenti dengan sendirinya setelah puas. Juga karena badannya yang mulai lemas.

Aku koreksi pernyataanku tadi. Ternyata di antara semua yang pernah singgah di sini, mungkin dia yang paling aneh. Dari ujung kaki ke ujung kepala memang  tidak terlihat ada yang salah dengannya, namun perilakunya ganjil. Tidak stabil. Seperti bayi yang baru lahir. Benar seperti bayi. Karena sedari tadi aku belum mendengar sepatah kata pun darinya. Ia lebih suka mengunyah kuku alih–alih mengajakku berbicara.

Menit berikutnya, pintu pun terbuka. Sebuah sinar yang temaram berbujukan. Aku penasaran. Pertunjukan apa lagi yang akan mereka mainkan.  Sedang gadis itu kini dihadapkan dengan sebuah ruangan dengan tiga orang yang duduk di atas kursi. Ketiganya mengenakan sarung tangan dan kaki sementara pergelangan tangan dan kaki mereka dikunci dengan pelat yang terbuat dari logam. Begitu mereka menyadari kehadiran orang lain di ruangan ini, ketiganya kompak menatap ke arah kami. Dua dari mereka mengirimkan permohonan ampun lewat sorot matanya.

Reaksi gadis itu tidak seperti yang kuharapkan. Star lebih tertarik dengan sebuah meja besi yang panjang. Di mana di atasnya tersusun berbagai macam perkakas dengan rapi. Ia menyentuh semua alat itu seperti seorang anak kecil memilih mainan. Aku nyaris terpekik. Tunggu. Tiba-tiba aku teringat suatu adegan sadis dalam sebuah film.

"Star..." suara itu datang lagi.

Reaksi gadis itu jauh lebih baik. Ia tidak kembali bersikap konyol. Sikapnya lebih tenang. Dipungutnya aku seolah–olah senjata yang bisa dilemparkan kapan saja saat ia merasakan bahaya.

"... permainan yang akan kau mainkan adalah cublak cublek suweng.  Aturannya sederhana. Kau hanya menebak siapa pembawa benda yang tepat. Setelah kau mendapatkannya, kau bisa mengaktifkan lift menuju pintu keluar. Lihatlah sebelah kirimu!"

Aku tidak menyadarinya jika saja cahaya di dalam lift itu tidak menyala secara tiba–tiba. Sebuah pintu otomatis yang berlubang di bagian depan. Aku menebak itu adalah bagian tombol yang hilang.

"Semua yang ada di ruangan ini adalah kriminal. Daftar kejahatan mereka ada di dalam map di atas meja. Waktumu terbatas. Jika kau mendengar lagu cublak cublek suweng diputar, maka itu adalah batas akhir mereka sebelum aku memberikan eksekusi mati ..."

Harus ada yang terbunuh? Wow! Ini adalah hal yang baru.

"... Kau akan berperan sebagai Pak Empo, sebagai hakim, dan mungkin juga sebagai polisi. Ada beberapa alat yang dapat kau gunakan. Kau tinggal memilih apa yang ada di atas meja ..."

Menurutku barang–barang seperti tali tambang, kapak, gergaji, tang, jarum suntik, palu, bor, dan sebagainya itu bukan peralatan yang biasa digunakan oleh hakim dan polisi. Ini semakin menguatkan kesan akan film sadis yang tadi sempat terlintas d kepalaku.

"... Petunjuk terakhir. Benda yang kau inginkan. Kunci untuk menjalankan lift tersebut ada pada kriminal dengan kejahatan paling ringan. Kau menemukannya. Kau juga akan mengampuninya ..."

Aku mulai paham. Bagiku ini mudah. Namun aku tidak yakin dengan Star. Ia terlihat bodoh.

"... Terakhir,  agar permainan lebih menarik, aku telah menyiapkan sebuah kunci khusus yang hanya dapat digunakan sekali. Bebaskan kriminal dengan kejahatan paling ringan. Pilihlah dengan bijak!"

Sumber suara menghilang. Sunyi menerjang. Gadis pemarah berambut merah itu harus berbuat sesuatu.  Sebelum satu–satunya kesempatan keluar dari sini ditentukan secara konyol oleh sebuah lagu.

Pemerkosa anak. Itu adalah kejahatan pria yang duduk paling kanan. Buron di lima belas kota. Jumlah korbannya lebih dari seratus. Tepatnya seratus tiga puluh lima. Sebagian besar korban mengalami trauma, sebagian sisanya mati hingga sulit dikenali.  Selanjutnya, perempuan yang duduk di tengah, adalah pembuat berita palsu. Kasus yang paling terkenal adalah fitnah terhadap pemimpin negara. Tidak tanggung–tanggung, kasus itu menimbulkan kerusuhan. Massa terpolarisasi. Konflik tidak bisa dihindari.Korban jiwa berjatuhan meskipun tidak banyak. Terakhir, pria yang duduk sebelah kiri, otak bom bunuh diri. Belasan warga negara asing turut menjadi korban dalam aksinya yang sangat terkenal. Bom legendaris di sebuah kota pariwisata yang eksotis.

Menurutku, mereka semua layak dihukum mati. Namun entah apa yang ada di dalam otak Star aku tak tahu. Gadis itu malah asyik meneliti setiap perkakas seperti seorang ahli emas. Aku bukan prioritasnya lagi. Diletakkannya aku di sebelah gergaji.

Aku sedang berpikir keras ketika tiba-tiba saja Star mendekati Si Pembuat Berita Palsu. Tanpa pikir panjang ia membebaskannya. Si Pembuat Berita Palsu senang bukan kepalang. Tak henti–hentinya ia menjura. Dieserahkannya sebuah logam berbentuk prisma dari sarung tangannya. Star segera memasukkannya pada lubang pintu. Cahaya berkilap, pintu terbuka. Mereka berdua masuk tanpa membawaku. Namun pintu lift tetap terbuka sekalipun tombol tujuan sudah ditekan. Tidak ada pergerakan. Justru bunyi bel yang bertimbalan.

Star terkejut. Begitu pula Si Pembuat Berita Palsu. Mereka menyadari ada sesuatu yang salah. Aku menyadari apa kesalahan gadis itu. Ia salah memilih orang. Si Pembuat Berita Palsu bukan kriminal dengan kejahatan paling ringan. Star panik. Ia kembali menggigiti kuku tangannya. Aku menggoncangkan diri sekencang mungkin. Menarik perhatian Star dengan suara. Berharap gadis itu menerima sinyalku. Berhasil. Ia memungutku kembali. Namun di luar dugaan, dihantamkannya aku ke belakang kepala Si Pembuat Berita Palsu. Tak pelak perempuan itu tersungkur tak sadarkan diri. Ia mengulangi hal yang sama tiga kali. Memastikan korbannya benar–benar tidak bisa bangun lagi.

Di saat aku  berusaha memulihkan diri. Star mendekati Si Pemerkosa Anak. Ia berusaha melepaskan sarung tangan dari pria itu namun gagal. Terjepit pelat logam yang kuat. Ia mencoba menggunakan kunci yang  sama untuk membebaskan orang pertama. Setelah beberapa kali percobaan dan hasilnya nihil, ia pun mengambil salah satu perkakas di meja. Gergaji. Bunyi  gergaji yang bergesekan dengan logam terdengar memilukan. Si Pemerkosa Anak pun terlihat tak nyaman. Matanya naik turun tak karuan. Sementara logam tak menunjukkan tanda–tanda kekalahan. Di sisi lain, Si Otak Bom Bunuh Diri terlihat tenang. Di antara yang lainnya, dia lah yang sepertinya paling siap menjemput kematian.

Star tahu tahu ia telah salah pilih. Ia pun beralih. Dari logam ke pergelangan tangan. Suasana berubah. Gergaji yang bertemu daging memang cenderung hening, namun suara tulang yang digergaji lebih lembut daripada logam.Tidak ada decit. Tidak ada suara yang menyayat. Jelas Si Pemerkosa Anak menjerit kesakitan namun suaranya tak mampu menembus rapatnya logam.  Ia akan kehilangan pergelangan tangan kanan. Apalagi telah putus semua pembuluh arteri.  Tak lama lagi tentu ia juga akan mati.

Tidak ada apa–apa di sarung tangan kanannya. Tanpa pikir panjang Star melakukan hal yang sama ke pergelangan tangan sebelah kiri. Si Pemerkosa Anak resmi buntung. Aku tahu. Star salah. Ia mencari kunci prisma yang lain. Dasar gadis sinting dan bodoh. Harusnya dia mencari cara untuk melepaskan ikatan mereka bukan malah bermain–main dengan sarung tangan.

Kembali aku menggoyangkan badan dengan kuat. Mencoba menarik perhatian Star. Ia bergeming. Asyik mengoret – ngoret  potongan tangan di lantai. Masih mencari potongan prisma yang lain. Dia harusnya berpikir bagaimana caranya menyelamatkan Si Otak Bom Bunuh Diri. Hanya pria itu satu – satunya harapan kami agar keluar dari tempat ini. Seolah–olah mendengarkanku, Star pun bangkit. Dengan sigap ia mengambil kapak yang ada di atas meja. Bagus. Hancurkan pelat logam itu. Selamatkan yang tersisa.

Suara logam beradu nyaring. Darah di lantai mulai mengering. Sekering bumi di musim kemarau. Di mana air hujan bersembunyi di atap surau. Di masa lampau, aku mungkin seorang kriminal seperti mereka. Bahkan lebih ngeri. Aku berfragmentasi. Menyebarkan benih–benih kejahatan. Star, hanyalah salah satunya. Gadis berambut merah yang saat ini sedang asyik bermain kapak itu adalah bagian kecil dari gelembung–gelembung kotor yang sejak belasan tahun lalu aku tiupkan. Sebuah tekanan yang melahirkan kepribadian. Kejahatan murni yang gagal aku tahan. Kegelisahan yang dimanipulasi oleh senyuman. Yang mudah aku tebar sedangkan semua itu palsu. Untuk menutupi ledakan hawa nafsu. Yang tidak wajar. Yang membakar.

Star. Gadis itu masih asyik dengan mainan barunya. Sesekali ayunannya meleset. Menancap di lengan. Si Otak Bom Bunuh Diri rupanya orang yang kuat. Ia sangat tenang. Alih–alih meronta, memejamkan mata pun tidak. Star gatal. Ia kembali gagal. Dan kuku–kuku jari pun terlihat menenangkan.

Cublak–cublak suweng

Suwenge ting gelenter

Ironi. Lagu ini diciptakan oleh seorang saleh untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Namun saat ini justru sang makhluk yang bersikap melebihiNya. Menimbang dosa, menghabisi sesama manusia.

Mambu ketundhung gudel

Pak Empo lera lere

Sopo ngguyu ndelikkake

Star tahu waktunya akan habis. Ia ubah arah ayunannya. PLUK! Kepala Si Otak Bunuh Diri menggelinding.

Sir sir pong dhele kopong

Sir sir pong dhele kopong

Tepat sebelum lagu berakhir, Star berhasil masuk ke dalam lift. Dengan menenteng aku tentunya. Ajaib. Lift bergerak. Tapi tunggu, bagaimana dengan aturan mainnya? Bukankah kuncinya ada di kriminal yang dosanya paliing ringan? Lalu Star membunuh semua kriminalnya bukan? Ah! Aku mengerti. Sangat jelas. Sangat jelas. Begitu ternyata alasannya. Sekarang semua keputusan ada pada Star. Apakah ia akan berhasil keluar atau tertahan disini.

Lift bergerak dengan cepat dan senyap. Minim suara dan getaran. Star mulai bingung. Ia meraba-raba seluruh dinding lift. Ia pencet semua tombol yang ada. Nihil. Entah disengaja atau karena ulah Star yang ceroboh, lampu lift padam. Dan Star baru menyadari bahwa dalam kegelapan total maka tubuhku akan bersinar. Ia menyusuri setiap jengkal tubuhku. Mencari–cari sumber cahaya.

Apa pun yang kau lakukan Star, jangan pernah buka tubuhku. Tetaplah disini.

Seperti yang telah lalu. Star membukaku. Menatap dirinya dalam sebuah cermin di dasar kotak. Seperti Pandora yang tidak percaya dengan perkataan Epimetheus. Star berjumpa dengan wujud asliku.

***

"Sekali lagi kita berikan tepuk tangan yang meriah pada calon presiden nomor urut 3, Star D. Wars."

Riuh tepuk tangan ribuan penonton mengalahkan deru hujan yang turun sedari sore. Bintang malam itu tidak lain tidak bukan adalah Star. Salah satu calon presiden yang belakangan ini menjadi sangat terkenal. Popularitasnya melonjak drastis. Semua yang dilakukannya menarik simpati rakyat. Star, yang seorang biasa mampu menyaingi kandidat lain termasuk petahana.

"Apakah benar dia adalah suamiku?" tanya salah seorang wanita di kursi terdepan.

"Saya juga nyaris tidak mengenalnya," balas pria yang duduk di dekatnya.

"Bagaimana mungkin dia menjadi karakter yang sempurna? Aku mengenalnya. Aku mengenal mereka semua. Tapi Star yang ini, entah mengapa terasa asing."

"Apakah mungkin ..."

"Apa yang mungkin? Apa yang kau sembunyikan dariku?"

"Maaf Nyonya bukan bermaksud lancang."

"Katakan!"

Pria itu tampak sedikit ragu.

"Saya pernah memergoki Tuan berbicara sendiri di depan cermin."

"Bukankah itu hal yang biasa. Dengan siapa ia berbicara?"

"Saya belum pernah melihat yang ini sebelumnya."

"Kau yakin? Bukan salah satu dari yang kita kenal?"

"Sangat yakin Nyonya. Dari suaranya ia seperti gadis muda."

Wanita yang berwibawa dan berkuasa itu tersenyum puas.

"Kumpulkan tim pemenangan! Sepertinya langit sedang berpihak pada kita."

***

Terima kasih sudah membuat cerita ini dan selamat atas terpilihnya cerita Presiden Buatan Manusia di proyek antologi Once Upon a Time in STARRAWS.

Apa pendapatmu terhadap cerita Presiden Buatan Manusia?

Yuk, follow penulis non-STARRAWS, Kim_Hakimi

***

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon a Time in STARRAWS

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top