STARRAWS YOU | The Cube by 26Fatiha_Rina
| A Dystopia Fiction Story |
"Mantan asisten editor yang kini lebih banyak menulis. Impiannya ingin punya naga seperti Daenerys Targaryen."- The Rising Star, 26Fatiha_Rina
***
Dear Miss Starlett Green,
Berdasarkan hasil pengamatan dan evaluasi yang dilakukan tim kami, Anda dinyatakan memenuhi syarat untuk mengikuti program The Cube. Sesuai dengan Dekrit Pemerintah Penderghast Nomor 007 Tahun 25 SP (Setelah Pemberontakan), The Cube adalah program yang diperuntukkan Bangsa Penderghast yang telah menginjak 17 tahun.
Selama mengikuti program The Cube, akun dan nomor identitas Penderghast Anda akan dikurasi atau dibekukan hingga Anda menyelesaikan program selama tiga bulan. Terlampir waktu, tempat, dan titik penjemputan. Jika terlambat, tim kami akan menjemput Anda. Semoga sukses!
Salam,
Tim The Cube
---
Star menggumam pelan dalam tidurnya karena kedinginan. Sontak tangannya turun menuju lutut. Ah, ini dia! Selagi selimut ia naikkan ke pinggang, gerakan gadis ini langsung terhenti di udara. Mengapa selimutnya terasa lembut daripada biasanya? Batin Star. Samar-samar ia mencium wangi vanili. Mungkinkah Mom baru mencuci selimut kesayangannya dengan deterjen vanili keluaran terbaru? Ah, mustahil! Mom tahu persis Star tak suka wangi vanili.
Bak dikejar trol Ferguso, bola mata Star langsung terbuka. Degup jantungnya bertalu-talu dua kali lipat saat apa yang dilihatnya hanya kegelapan pekat. Ini bukan selimutnya. Ini bukan kamarnya. Napasnya memburu karena panik.
Tenang, Star. Tenang. Kendalikan dirimu. Sekarang pikirkan mengapa kau bisa ada di tempat ini? Bisik suara kecilnya.
Star mengernyitkan dahi. Pelipis dan tengkuknya menggelenyar selagi ia memikirkan mengapa ia bisa diselimuti kegelapan. Ia, Mom, dan Dad merayakan Hari Penamaannya ke-17 di ruang makan. Minus Theon, kakaknya yang pulang terlambat dari pabrik. Semuanya berjalan lancar sebelum Dad menanyakan sekolahnya, lalu berlanjut ke Sando dan Myra. Kemudian, karena kesal, ia memutuskan naik ke kamarnya lebih awal tanpa menghabiskan makan malam atau mencicipi tart wortel buatan Mom. Di dasar tangga, sebuah hantaman membekukan sendi-sendinya. Dan terakhir yang ia lihat adalah pintu kamar sapu yang menggelap dan mengabur perlahan dari matanya.
Star menepuk jidatnya gusar. Ini pasti "hadiah" dari Si Jail Theon! PASTI. Ia pernah bergurau akan memindahkan Star ke tempat yang tak dikenalnya. Alih-alih membuatnya bahagia, hadiah Hari Penamaan dari Theon selalu membuat Star jengkel. Tahun lalu, Theon menghadiahi Star satu kantong penuh kecoak yang ia masukkan diam-diam di ransel Star. Akibatnya ia ditertawakan teman-teman sekelasnya karena kecoak berhamburan keluar di jam pelajaran Aljabar.
Star menggeleng! Tidak! Ini bukan waktu yang tepat mengenang kejailan Theon yang lalu-lalu. Yang paling terpenting adalah Star harus menemukan sumber cahaya sebelum menjitak puncak kepala Theon dengan gemas.
Star memberanikan diri meraba-raba sekitar, mencoba berkenalan dalam gelap atau setidaknya menemukan saklar lampu di sekitar tempat tidur. Nihil. Ia akhirnya memutuskan meluncur turun dari tempat tidur dan merangkak. Ya, pasti saklarnya berada di seberang ruangan. Awas, kau, Theon! Tunggu pembalasanku!
Baru seperempat tertatih-tatih merangkak, tangan kirinya menyentuh sesuatu. Star bertumpu pada lututnya, mengelus permukaanya pelan. Keras, kasar, dan hei, apa ini! Ia cepat-cepat menarik tangannya ketika menyentuh sesuatu yang basah. Star menelan gumpalan ludahnya. Ia tidak sendiri.
"Mom..." ia merintih, meminta pertolongan Mom. Bersamaan dengan itu, pendar cahaya berebut memasuki retinanya. Star langsung menutup matanya dengan tangan kanan dan melompat menjauh hingga punggungnya membentur kaki tempat tidur.
"AW!" Raungan keras bergema di ruangan, memekakkan gendang telinga Star. Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk bagi mata Star beradaptasi dengan cahaya yang datang tiba-tiba. Setelah dirasa siap dengan apa yang akan dilihatnya, Star menyibak untaian ikal merahnya dan menurunkan tangan. Alih-alih tubuh seseorang, di hadapannya berdiri satu kotak besar hitam kotor dan berselimut lendir kehijauan. Star cepat-cepat mengibaskan tangan kirinya sambil berjengit jijik.
Ew, Kali ini ulah Theon benar-benar keterlaluan!
"Theon!" Star membentuk corong dengan kedua tangan di depan mulutnya. Menunggu Theon muncul dari tempat persembunyiannya dan terkekeh nyaring seraya mengibaskan poninya.
Semenit. Dua menit. Star mengigit bibirnya karena tak ada respons apa pun dari sudut manapun di ruangan yang asing, kelam, dingin, dan parahnya sempit. Dada Star langsung sesak, keringat dingin sebesar biji jagung meluncur turun di pelipis dan membasahi kerah kausnya. Star takut tempat sempit, apalagi jika tak berjendela sama sekali.
Supaya pikirannya tak hanya berpusat pada betapa sempitnya ruangan, Star memilih menguliti ruangan lebih cermat. Dalam ruangan berukuran sekitar 10x10, ada satu tempat tidur besar dan satu lemari kecil. Dinding dan pintunya terbuat dari besi tetapi Star tak perlu kerepotan mengipasi tubuhnya karena tersedia penyejuk ruangan. Di dekat tempat tidur, ada pintu berwarna putih terkuak. Perlahan Star berdiri, menegakkan tubuhnya agar bisa melihatnya lebih jelas. Dari luar terlihat satu pancuran dan satu wastafel dengan cermin buram. Di pojok wastafel handuk putih tertumpuk dan terlipat rapi.
"Theon!" Star berpegangan bingkai pintu untuk melongok lebih dalam. Kosong. Tak ada siapa pun.
Jadi ini di mana?
Selagi pikiran Star menerka-nerka di mana ia persisnya, pintu besi tiba-tiba bergeser terbuka.
---
Star meninju keras bahu lebar bersalut jaket merah sesaat setelah memasuki Kelas Sejarah. Sang empunya bahu sempat menengadah sebelum buru-buru menyembunyikan gulungan sketsa di balik punggungnya.
"Eh, apa yang kau sembunyikan?" Star pura-pura terkejut supaya tidak terlihat jemawa. Tangannya menggeret kursi di sebelahnya agar bisa duduk sejajar dengan sahabat karibnya. Ia merapikan rok merahnya sebelum mengempaskan bokongnya.
Pasti Sando sedang mempersiapkan hadiah Hari Penaamaan Star! Sebulan yang lalu, ia melempar kode ke Sando. Bilang kalau ia ingin sekali menambah hiasan di dinding kamarnya. Ya, mungkin saja kali ini Sando akan memberinya lukisan yang lebih bagus dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Mata Sando langsung menghadap langit-langit kelas seraya bergumam, "bukan apa-apa. Hanya pesanan dari Thora."
Star menaikkan sebelah alisnya. "Thora? Ia pesan gambar apa? Endesbrow? Cih!" Hingga saat ini Star masih tak mengerti mengapa orang-orang di sekitarnya―termasuk Sando―menggilai Endesbrow, naga bersisik jingga yang digadang-gadang peliharaan Jenderal Deus. Menurut kepercayaan Bangsa Penderghast, konon Endesbrow membantu Penderghast menang dalam Era Pemberontakan melawan Bangsa Void belasan tahun silam.
"Maksudku, Endesbrow, kan, hanya mitos. Kalau sampai saat ini tak pernah ada yang melihat Endesbrow, berarti sejarah yang dipelajari semua Bangsa Penderghast bohong dan bualan belaka," tukas Star cuek. Ia sudah tak peduli pada siapa pun yang menuduhnya tidak nasionalis atau patriotis. Teman-temannya boleh menelan bulat-bulat Sejarah Penderghast, tetapi tidak dengan dirinya.
Star memilih mencari tahu lebih banyak dari berbagai sisi, misalnya sejarah Penderghast versi Garda Liberasi—pasukan yang dilabeli pemberontak setelah memutuskan berpisah dari Jenderal Deus delapan tahun lalu. Ia tak akan pernah menemukan apa pun yang berkaitan dengan Garda Liberasi di internet atau perpustakaan karena semuanya telah diblokir pemerintah. Ya, kecuali menggunakan mesin telusur bernama Charon yang terpasang di komputer kakaknya.
"Er... anu... anu..." Sando mengancingkan kancing pertama jaketnya dengan gugup dan menatap Star lamat. "Janji jangan tertawa, ya!" pesannya singkat.
Star mengangguk dan meletakkan tangan kanan ke dadanya. "Terpujilah Ibu Pertiwi Penderghast!"
"Dan...." desak Theon.
Star memutar bola matanya. Ia enggan melanjutkannya.
"Terpujilah Jenderal Deus, Sang Penyelamat dan Pengayom Bangsa Penderghast." Kaku lidah Star meliuk, mengucapkan sumpah dan salam wajib Bangsa Penderghast yang tak pernah disukainya.
Sando menebar senyum selagi merogoh punggungnya dan langsung mengangsurkan ke Star. Sesaat ketika Star membuka gulungan sketsa, ia membelakakan matanya. Bukan karena terpukau melihat hasil guratan pensil Sando—yang ia pikir diperuntukkan baginya. Ia terpukau karena gadis yang digambar Sando adalah Myra—anggota Skuad Mawar Merah—salah satu geng populer di SMA Tricity.
Star menatap sketsa kemudian wajah Sando yang tersipu malu. Sejak kapan Sando rela menggambar Myra? Mereka berdua, kan, suka menertawakan anggota Skuad Mawar Merah karena hanya terdiri dari sekumpulan gadis cantik dengan otak bebal.
Star tersentak. Seketika ia ingat apa yang didengarnya diam-diam di kamar mandi perempuan. Jadi... apa yang didengarnya bukan kabar burung.
Star berdeham menyembunyikan kekecewaan yang menggerogoti hatinya. "Mengapa kau melukis Myra? Kau naksir padanya?"
"Iya. Ternyata dia gadis yang baik, Star. Lukisan ini hadiah untuknya."
"Kalian berkencan? Sejak kapan?"
Sando melirik Star yang tetap memasang wajah datar. "Er... sejak minggu lalu."
Apa? Minggu lalu? Bisa-bisanya Sando merahasiakan ini darinya? Mereka, kan, sahabat baik. Star menggulung sketsa dengan penuh gaya. Kemudian dengan sekuat tenaga, ia melemparnya melalui jendela yang terbuka.
"Star!" Lengkingan Sando merobek sunyinya pagi.
Ada bunyi debuk pelan dan gerutuan beberapa siswa setelah sketsa melayang keluar. Star dan Sando langsung melongok ke bawah jendela. Menyaksikan gulungan sketsa yang tergeletak pasrah di kaki gerombolan anak kelas 3. Salah satu anak memungut sebelum diikuti gelak tawa meremehkan dari bawah. Tentu semua tahu kalau sketsa itu dibuat Sando karena ia selalu membubuhkan namanya di sudut atas kertas.
"Kau selalu membuat segalanya kacau, Star," ujar Sando parau. Tubuhnya bergetar dan semburat merah naik ke hidungnya yang berbintik-bintik.
Star melipat lengan di dadanya dan memonyongkan bibirnya. "Kenapa aku yang salah? Kau yang salah!"
"Apa salahku, heh?"
"Apa kau lupa hari ini Hari Penamaanku?"
Sando menggeleng. Ia merogoh saku celana abu-abunya dan melemparkan sesuatu. Star gesit menghindar, tetapi tertegun saat melihat kalung emas berbandul batu mirah tergeletak di kakinya. Star berjongkok, memungutnya dengan perasaan bersalah. Pasti Sando diam-diam mengambil batu mirah dari toko perhiasan orangtuanya.
"Mulai sekarang, jangan panggil aku sahabatmu lagi," kata Sando dingin. "Selamat Hari Penamaan Ke-17. Aku harap di usiamu ini, kau tidak gegabah. Mereka tahu. Mereka melihat semuanya."
"Hei tunggu dulu, Sando." Star meraih lengan Sando hanya untuk ditepis keras. "Dengarkan aku―"
Star tak sempat melanjutkan kalimatnya karena sudut matanya menangkap bayangan Profesor Nero masuk ke dalam kelas dengan menenteng setumpuk buku. Star langsung mengambil langkah seribu menuju mejanya. Enggan dihukum Profesor Nero hanya karena masih berdiri. Detensi membersihkan lapangan basket dua hari lalu cukup membuat Star tak ingin berurusan lagi dengan profesor berkacamata bulan separo ini.
Untunglah Profesor Nero sedang batuk keras sehingga Star luput dari sasaran menjawab pertanyaannya. Hal ini tentunya dimanfaatkan Star untuk melempar gulungan permintaan maaf pada Sando yang tak digubrisnya sama sekali. Saat Profesor Nero berbalik dan menuliskan sesuatu, Sando mengembalikan lima gulung kertas melalui Kiara yang posisisnya duduk di tengah-tengah mereka berdua.
Sial! Rutuk Star.
Ini Hari Penamaan paling terburuk yang pernah dialaminya.
---
"Halo, Miss Starlett Green," sapa pria berambut panjang dan berjenggot keperakan. Mulut Star berusaha keras menahan ledakan tawa. Tentu saja penampilan pria di depannya menggelikan. Sang pria mengenakan mantel oranye sebatas lutut dan celana lateks dan sepatu bot dengan warna senada. Wajahnya dipupur bedak beraroma lavendel dan mengenakan gincu ungu. Star melirik lengannya yang tersingkap. Ada satu tato besar bergambar matahari dengan lidah api berwarna jingga saat ia mengulurkan tangannya.
"Kau siapa?" tanya Star tanpa basi-basi. Bahkan ia sama sekali tak menyambut uluran tangan sang pria. Menurutnya tak perlu repot-repot beramah tamah dengan orang yang tak dikenal.
"Perkenalkan, namaku Nar," ujarnya ramah seakan-akan Star bersikap sopan dan manis padanya.
"Nar?" Star menyipitkan matanya. "Teman Theon tidak ada yang bernama Nar."
"Aku bukan teman kakakmu. Aku Anggota Pasukan Oranye." Nar mengaitkan jarinya di depan dada. "Sebagai Bangsa Penderghast yang baik, pasti kau tahu Pasukan Oranye bukan?"
"Tidak. Apa itu?"
Bibir Nar melengkung membentuk sebuah cibiran. Ada kilat penghinaan di matanya. "Oh, kau harusnya lebih memperhatikan pelajaran Profesor Nero, Star. "
Star naik pitam karena langsung disudutkan. Semua teori yang dikeluarkan Profesor Nero hanya sepintas masuk telinga kanan kemudian keluar dari telinga kiri. Karena ia tahu, semuanya bualan, jadi tak pernah ia simak baik-baik. Ia lebih memilih merencanakan hidup jauh-jauh dari Penderghast.
"Hei, kau tidak tahu apa-apa tentangku. Jangan langsung menghakimi, ya!"
"Kami tahu semuanya karena kami selalu mengawasi." Nar menunjuk kedua matanya dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Tak ada yang bisa disembunyikan Bangsa Penderghast dari kami."
"Apa buktinya?" Star menantang Nar. Jari telunjuk Star mengarah ke lubang hidungnya. Ya, jika ia menghadapi situasi yang membuatnya gelisah, Star langsung mengorek-ngorek lubang hidungnya. Terlepas di dalam hidungnya ada kotoran atau tidak.
Nar mengelus dagunya yang berjenggot dan pura-pura berpikir, yang sebenarnya mengulur waktu agar terlihat dramatis. "Makanan favoritmu? Roti lapis tuna dengan sedikit cengkih di lapisan atasnya. Cinta pertamamu? Oh, siapa yang tidak tergila-gila dengan Kei yang sekarang hanya bisa kau pandangi diam-diam di kelas Biologi dan Kimia? Atau siapa pengkhianat paling terbesar dalam hidupmu?"
Jari telunjuk Star tertancap dalam di lubang hidungnya. Perih hingga matanya berair. Berharap Nar tak perlu menjelaskan siapa yang paling ia benci saat ini.
"Ah, tentu saja sang pengkhianat itu Sando dan Myra. Tidak baik, lho, bersungut-sungut saat sahabatmu berbahagia." Nar mengakhiri kalimatnya dengan nada menggurui.
"Myra tak betul-betul jatuh cinta dengan Sando! Dia hanya memanfaatkan Sando." Star mencabut jarinya kasar dan mengusapnya ke dinding besi. Hatinya kebat-kebit saat bibirnya menyebut nama mereka berdua. Sando yang notabene sehabat terbaiknya dan Myra―mantan sahabat baiknya yang meninggalkannya dan memilih bergabung dengan Skuad Mawar Merah.
"Myra hanya ingin dirinya selamat," lanjut Star getir.
"Selamat? Semuanya ingin selamat Star Manis. Meskipun dengan cara kotor seperti itu. Misalnya berkencan hanya sepanjang Hari Penamaan ke-17 atau kontrak selama satu tahun. Tak ada yang ingin diasingkan dan menjadi Kaum Hermit. Semua ingin menjadi Yang Terpilih. Hanya Yang Terpilih yang berhak tinggal di Penderghast."
Star mundur selangkah. Rahangnya terkatup keras. "Tak ada yang berhak menentukan siapa yang tinggal di Penderghast hanya karena punya pasangan atau tidak. Itu urusan pribadi!"
"Oh, itu bukan urusan pribadi lagi, Star Manis. Jika tak mau diduduki Bangsa Void, Bangsa Penderghast harus memiliki pasangan dan wajib bereproduksi untuk mempertahankan kemurniannya. Tak ada yang namanya melajang seumur hidup atau bersumpah tidak akan menikah. Ya... kecuali jika kau memutuskan seperti kami. Pasukan Oranye yang tak boleh menikah, tak boleh punya anak, dan selalu setia mengabdi pada Jenderal Deus."
"Jenderal Deus diktator pembohong. Aku harap rezimnya membusuk di neraka. Keluarkan aku dari sini!" Dinding besi berkelontang karena beradu dengan kepalan tangan Star.
Nar menempelkan jari telunjuknya kurusnya di bibirnya. "Tarik ucapanmu atau kau akan menyesal, Star." Kemudian tangannya yang seputih susu, mengeluarkan jam berantai emas dari saku mantelnya. "Sudah waktunya pergi. Aku harus menyapa peserta The Cube yang lain."
"T—the Cube?" Star tergagap. Rupanya semuanya ada. Pasukan Oranye. The Cube. Semua kasak-kusuk dan desas desus itu nyata.
Nar mengangguk. "The Cube. Tidakkah kau menerima semua detailnya di surat elektronik?"
Star memicingkan matanya. Mengingat semua isi kotak masuk surelnya.
"The Cube. Program rahasia yang diperuntukkan bagi Bangsa Penderghast yang tak punya pasangan di Hari Penamaan ke-17. Ya, Jenderal Deus berbaik hati memberikan toleransi bagi warga berumur 17 tahun dan belum pernah berkencan. Jika kau melajang di usia 17 tahun padahal sebelumnya pernah berkencan, kau akan langsung dibuang ke Pulau Tartarus dan menjadi Kaum Hermit yang tak boleh menginjakkan kaki lagi di Penderghast," cerocos Nar tak sabar.
Mata abu-abu Star melotot. "Omong kosong."
Nar mendelik dan memilih mengabaikan tuduhan Star. "Oh, ya, omong-omong kami punya hadiah kecil di Hari Penamaaanmu. Semuanya ada di kotak itu." Nar mengedikkan matanya ke kotak menjijikan di sudut ruangan.
"Apa isinya? Aku tak takut!"
"Bergegaslah membukanya. Lampu akan dimatikan lima menit lagi supaya para peserta bisa tidur selelap bayi. Ingat! Besok adalah hari pertamamu di The Cube. Bergembiralah sedikit, Star! Kau pasti mendapatkan pasangan di sini asal wajahmu tak kurang tidur. Oh, ya, ada beberapa potong pakaian dalam lemari, jadi kau tak usah tampil dengan baju yang itu-itu saja."
"Aku tak butuh pasangan. Aku punya Mom, Dad, dan Theon yang selalu menyayangiku tanpa syarat." Star meremas jinsnya.
Bibir Nar menyunggingkan senyum ganjil. "Sepertinya kau harus meralatnya setelah kau melihat kotak itu."
BUM! BUM! BUM! PROK! PROK!
Nar menginjak lantai tiga kali sembari bertepuk tangan riuh. Pintu geser berderit terbuka dan ujung mantelnya Nar bergerak anggun saat ia berteriak, "jangan coba-coba melarikan diri, Star." Pintu besi kemudian tertutup sekejap kedipan mata.
Star tersentak. Ia tergesa melintasi ruangan dan berjongkok di depan kotak. Mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk membukanya. Tenggorokan Star tersekat. Perutnya menggelinjang saat matanya bersirobok dengan enam pasang mata abu-abu bernaungkan sepasang alis merah. Tak ada kebahagiaan dalam keenam mata itu. Hanya ada penderitaan dan kesakitan. Dadanya meletup-letup.
"AAARGGGHH!" Star menjerit dan menggedor pintu membabi buta. Semakin keras gedorannya, semakin legam lebam deretan buku-buku jarinya. Namun, Star sudah benar-benar tak peduli. Yang ia inginkan hanya keluar dan membalaskan dendamnya pada Jenderal Deus. Bersamaan dengan lolongan tangisnya, cahaya lampu meredup kemudian mati. Star kembali bernapas dalam pekatnya ruangan. Kali ini bersimbah peluh dan air mata.
---
"Dad, sungguh. Kau tak perlu khawatir denganku." Star mengacak-acak kentang tumbuknya tak beraturan.
"Tentu aku khawatir denganmu, Star. Kau sudah 17 tahun dan tak ada yang pernah mengajakmu keluar." Dad menghaluskan nada bicaranya. Berharap Star paham risiko yang ditanggung.
Gerakan sendok Star terhenti saat Dad menukas, "kupikir kau dan Sando selama ini lebih dari teman."
Star menggeleng. Dari sudut matanya ia melempar tatapan memelas agar Mom membelanya. Sayangnya kali ini Mom sepakat dengan Dad. Ia lebih memilih menikmati tart wortel dan membiarkan Dad menasihatinya.
"Dad. Aku tak suka kehidupan pribadiku direcoki. Lagipula apa salahnya tak punya pasangan saat masih muda? Aku masih 17 tahun. Mungkin saja aku akan menemukan orang yang tulus mencintaiku di usia 18 tahun, 19 tahun, atau―"
Garpu Mom meluncur jatuh ke lantai. Sementara itu, Dad terbatuk keras. Tangan gemuknya cepat-cepat menyambar gelas dan menenggak air putih habis.
"Star! Sebaiknya kau cepat-cepat mendapat pasangan atau hal terburuk akan menimpamu." Kali ini Mom angkat bicara. "Mungkin kau bisa memperhitungkan berkencan dengan Sando? Ia anak yang baik dan sopan."
Star termenung memandangi makan malamnya.
Mom berujar lirih. "Apa kau tidak tahu?"
"Apa?"
Star mengembuskan napas dongkol. Bosan mendengar pertanyaan ini berulang kali dari mulut Sando tiga tahun lalu atau dari bibir Profesor Nero. Dan kini ia harus mendengarnya dari Mom. Ya Tuhan! Mimpi apa Star semalam?
Star menggeleng. "Aku tak percaya pada kabar burung dan hoaks."
Dad membanting sendoknya hingga menghantam sepen di ujung ruangan. "Jangan bertingkah konyol, Star! Kau akan membahayakan dirimu dan keluargamu."
Star mencampakkan serbetnya ke piring dan mendorong kursinya kasar. "Aku sudah kenyang!"
"Star!" Teriakan penuh perhitungan Mom tak digubris Star. Star melintas cepat keluar dari ruang makan yang penuh penghakiman—tanpa menyadari bahwa hari ini adalah terakhir kalinya melihat Mom, Dad, dan Theon.
***END OF THE CUBE***
K O L O M N U T R I S I
1. Apakah kamu punya target umur tertentu untuk mendapatkan pacar pertamamu? Kalau iya, umur berapa?
2. Apakah kamu termasuk orang yang selow, tidak terburu-buru dalam urusan percintaan?
3. Apa pendapatmu terhadap cerita The Cube?
***
Buatlah ilustrasi karakter STAR menurut imajinasimu (boleh anime/kartun, intinya buatan sendiri) untuk mendapatkan paket buku gratis dan pulsa dari STARRAWS (Lihat keterangan lebih jelas di bab "WATTPAD TODAY: STARRAWS ZONE")
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat, seperti yang terdapat dalam aturan dasar RAWS Community. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote cerita dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon A Time in STARRAWS
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top