STARRAWS YOU | Shackles by AyneKim

| A Romance Thriller Story |

"Penulis pemula yang cinta sama K-pop dan drakor. Penyuka cokelat sama ice cream." - The Rising Star, AyneKim

***

"Lo yakin nggak mau ditemani?" Star bersandar di pintu mobil Mochi, menyelipkan kedua tangannya di saku celana jeans model robek yang ia kenakan.

"Nggak usah. Gue cuma mau mengembalikan ponsel Monic. Nggak bakalan lama, kok." Mochi berucap sembari memamerkan senyum kotaknya.

Star mendengus kasar. "Aish ... Kenapa juga Nenek Lampir itu mesti ninggalin ponselnya? Kenapa juga Johana mesti nyuruh lo untuk mengembalikannya?" gerutu Star panjang lebar. "Johana 'kan tahu kalau lo sama Monic udah bubaran." tambah Star seraya mengerucutkan bibirnya beberapa centi. Mochi menoleh dan lagi-lagi tersenyum.

"Jangan lama! Jangan tergoda dengan rayuannya." Star kembali melanjutkan kalimatnya. Dan kali ini kalimat yang keluar berupa peringatan.

Mochi mengangguk. "Nggak akan. Dia hanya masa lalu dan lo masa depan."  tukas Mochi masih setia dengan senyum kotaknya.

"Oke, gue percaya." desis Star seraya membenarkan letak kacamata tanpa lensanya. Mochi gemas melihat tingkah kecemburuan kekasihnya itu. Mochi mengelus rambut ikal kemerahan Star dengan penuh sayang, lalu mengecup pipi mulus kemerahan itu.

"Tunggu." Mochi berlalu, meninggalkan Star di basement Apartemen menuju lantai 12 dimana Monic tinggal.

Setelah Mochi pergi, Star masih memutuskan untuk setia pada posisinya yang bersandar di mobil. Bedanya, kali ini ia menunduk, menatap ujung sepatunya yang terus mengetuk lantai memberi irama tak beraturan.

Posisinya itu bertahan cukup lama, hingga sebuah koin berguling lalu berhenti tepat di kakinya, membuat konsentrasi terpecahkan begitu saja. Star menatap dengan saksama, ia terpaku pada koin yang ia yakini terbuat dari emas murni itu. Segera ia membungkukkan badannya berniat mengambil koin itu. Sedikit lagi, ya tinggal sedikit lagi, namun tangannya tertahan oleh tangan lain.

Star menengadah kepalanya, menatap wajah orang yang berada di depannya itu.

"Maaf, itu milik gue." Suara bariton nan seksi terdengar di telinga Star. Star menganga memperhatikan wajah lelaki itu.

Ganteng! Itu yang terpikirkan di otaknya pertama kali.

"Hei, lo dengarkan?" lelaki itu menggerakkan tangannya di depan wajah Star yang sedang melamun.

Star tersadar. Ia berdehem sesaat. Rasa malu serta salah tingkah menimpa dirinya. Ia melilit ujung rambutnya lalu memasukkannya ke dalam mulut, kebiasaan buruk yang selalu ia lakukan saat berada dalam situasi tak menguntungkan dirinya.

"Ma ... maaf." gugup Star. Ia menegakkan tubuhnya dan atensinya masih kepada lelaki itu.

Ganteng tapi misterius!

Lelaki yang entah siapa namanya itu memakai pakaian serba hitam, topi hitam dan masker hitam yang ia tarik ke bawah dagu.

"It's oke." sahut lelaki itu. Ia terkikik geli pada Star.

Star mengernyit. "Ada yang lucu?" kesalnya.

Lelaki itu mengalihkan tatapannya pada ujung kaki Star. "Sepatumu." Tunjuk kemudian.

Star menepuk jidatnya. "Aish ..." senyum kikuk terpatri di bibirnya. Lagi-lagi ia mempermalukan dirinya sendiri. Meskipun sebenarnya itu kebiasaan yang ia lakukan, tapi bukan berarti ia tidak malu.

Lelaki itu menahan senyumnya. Ia tahu jika Star dalam ambang pintu malu. Tanpa permisi, ia berlalu begitu saja dari hadapan Star.

***

Helaan napas kasar terus terdengar dari bibir merah cherry Star. Mungkin lebih dari 5 kali! Sebentar yang dijanjikan Mochi berubah menjadi 20 menit lewat 15 detik. Star sudah terlalu lama menunggu.

Otaknya kini dipenuhi pikiran buruk tentang kekasihnya itu. Ia mulai berpikir, jika Mochi tergoda akan rayuan Monic.

"Awas saja kalau sampai itu cewek menggoda Mochi." Star melipat kedua tangannya di dada. "Gue sumpahin jadi perawan tua." gerutunya lagi seraya menghentakkan kaki ke lantai.

Jarum jam terus berjalan melewati angka demi angka. Star semakin bosan menunggu. Ditambah rasa khawatir karena kecemburuannya. Ia benar-benar takut Mochi terperdaya akan rayuan Nenek Lampir itu, lalu ....

Star sungguh tak mampu membayangkannya!

Setelah berdebat dengan pemikirannya sendiri, Star memutuskan menghubungi nomor ponsel Mochi. Tangannya begitu lihai mengotak-atik ponselnya, dan setelah menemukan nomor Mochi, ia segera menghubunginya.

Terhubung? Tentu saja. Tapi sayangnya Mochi tak menjawab panggilan itu. Star benar-benar khawatir. Ia khawatir akan kisah cintanya yang baru berjalan seumur jagung itu berakhir karena pengkhianatan.

Ia tidak akan membiarkan pelakor semakin merajalela!

Star memutuskan menyusul Mochi. Ia berlari menuju lobi apartemen, mencari lift untuk menuju lantai 12. Di dalam lift, ia terus menghubungi nomor ponsel Mochi, namun lagi-lagi tidak ada jawaban. Star benar-benar kesal. Ia bersumpah akan memberi pelajaran pada kedua manusia itu jika terbukti melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.

Hanya butuh beberapa menit menuju lantai 12. Pintu lift terbuka. Star segera keluar, berlari menuju apartemen Monic. Ia sungguh bersyukur karena Mochi pernah mengajaknya berkunjung ke apartemen Monic dulu sebelum mereka pacaran, jadi ia tidak perlu menanyakan pada satpam penjaga. Walau cuma sekali, tapi Star tidak akan lupa. Star itu jenius walau terkadang malas, ia mudah mengingat apa pun meskipun hanya sekali lihat dan dalam waktu yang singkat.

Star mendengus kasar, emosinya benar-benar berada ditingkat peringatan, seolah kesabarannya telah tenggelam di dasar lautan.

Tapi ia berusaha meredakannya walau terasa sulit. Ia mencoba membuang pikiran buruk yang menari di otaknya dengan tempo cepat.

Ia mendekat, tangannya memegang kenop pintu, namun ia tak menggerakkan pintu sama sekali. Ia memicingkan matanya saat menyadari pintu itu tak tertutup rapat, siapa pun yang berada di luar bisa mengintip isi dalam apartemen.

Pikiran buruk kembali Star hilangkan dari otaknya. Ia mendorong pintu itu agar semakin terbuka lebar.

"Mochi ...." suaranya menggema saat masuk ke dalam. Hening tanpa sambutan.

"Mo ...."

Bugg

Teriakan tertahan, ucapan menggantung, rasa sakit mendera bagian belakang kepala. Star limbung, jatuh bagai nangka busuk.

Matanya memberat, nafasnya tersendat, samar-samar ia melihat seseorang berpakaian kemeja biru kotak, celana hitam dan sepatuh putih menyeringai padanya.

Setelahnya, netra abu-abu itu tertutup rapat!

***

"Aaa ...." Star meringis kesakitan saat terbangun dari posisinya, memegangi bagian kepala yang terasa sangat sakit.

Gelap! Star mencoba menajamkan penglihatannya, memaksakan pupil matanya bekerja lebih ekstra.

Saat ini ia berada di ruangan gelap yang ia sama sekali tidak tahu di mana. Star berusaha mengembalikan fokusnya dan teringat bahwa tadi ia pingsan. Ya, ia ingat bahwa seseorang dengan sengaja memukul bagian belakang kepalanya.

"Mochi ...." desisnya mengingat nama kekasihnya itu.

Star memutuskan untuk keluar dari ruangan gelap itu. Ketika sedang mencari jalan keluar, ia menemukan sebuah kotak hitam kotor, besar, dan menunggu untuk dibuka terletak di sudut ruangan. Dengan waswas, Star membuka kotak itu dan ternyata ....

Star mendengus kesal. Kotak besar itu berisi kotak yang lebih kecil, ukurannya satu kali lipat di bawah ukuran kotak pertama. Star meraihnya dan membuka, dan lagi rasa kesal menggerogotinya. Kotak kedua itu isinya juga sebuah kotak yang jauh lebih kecil. Star memutuskan kembali membuka, namun belum sempat matanya menangkap isi dalam kotak itu, seseorang segera merebut kotak itu dari tangannya.

"Sudah sadar?" suara bariton menggema. Star memfokuskan atensinya pada lelaki yang memilih duduk di kursi kayu. Star mengernyitkan dahinya, ia seperti pernah bertemu dengan lelaki itu sebelum berakhir di ruangan gelap ini. Star yakin lelaki itu adalah pemilik koin di basement apartemen.

Tunggu! Gelap? Oh tidak. Sekarang ruangan yang tadinya gelap kini diterangi cahaya lampu yang temaram. Star mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Kecil, berdinding gelap atau lebih tepatnya cat dinding itu gelap, hanya diisi dua kursi dan satu meja. Jangan lupakan jendela kaca, tapi Star tidak yakin apakah itu sebuah jendela, karena pada dasarnya, ia tidak bisa melihat apa pun di luar sana, yang ia saksikan hanya pantulan dirinya yang nyata. Dan satu lagi, ruangan itu dilengkapi CCTV.

Otak jeniusnya langsung bekerja.

"Duduk." perintah lelaki itu. Star sedikit ragu, namun ia tetap memutuskan untuk duduk.

"ini ...." ucap Star ambigu. Lelaki itu menyeringai. "Ini ... kantor polisi?" Star menyerukan pemikirannya.

"Yapp. Tepatnya di ruang interogasi!" sahut lelaki itu lagi.

"Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa di sini?" Star mencoba mengingat apa yang terjadi padanya, namun tak satu pun tertangkap di otaknya selain pemukulan secara tiba-tiba.

Lelaki itu mengeluarkan dua lembar foto dari saku jaket hitamnya, menyodorkan kepada Star. "Kamu mengenal mereka?"

Star mengangguk. "Mochi dan Monic." jawabnya cepat. Jelas saja ia mengenal dua orang di foto itu. Bagaimana mungkin ia tak mengenali kekasihnya dan juga mantan dari kekasihnya.

"Kamu di sini karena mereka."

Dahi Star berkerut. Ia tak mengerti!

"Sebenarnya apa yang terjadi?" pertanyaan yang sama keluar lagi dari bibir Star. Dia masih tak memahami alasan akan dirinya berada di ruang interogasi itu. Mochi dan Monic? Mengapa Dua orang itu menjadi landasan dirinya mendekap di ruangan kecil yang penuh penekan itu?

"Kamu tidak ingat sama sekali?" tanya Biru. Star menggelengkan kepalanya. Demi apa pun ia sama sekali tak ingat apa yang terjadi.

"Mereka ditemukan tewas di apartemen milik Monic."

Spontan Star terkejut. Ia sungguh tak mengerti. Tewas? Apa-apaan ini? Apa ia sedang ikut acara kejutan April mop? Tapi bulan April masih terlalu jauh.

"Perkenalkan saya Biru Angkasa, kita pernah bertemu beberapa jam sebelumnya di basement apartemen. Dan saya yang menangani kasus ini."

Polisi bernama Biru kembali mengeluarkan dua lembar foto dan langsung meletakkannya di depan Star. Star menggeleng, membungkam mulutnya yang hampir menjerit. Foto pertama adalah foto Mochi yang terluka di bagian perut dan bersimbah darah. Foto kedua adalah foto Monic yang terluka di bagian kepala, darah merembes ke mana-mana.

Cairan sebening kristal meluncur bebas dari netra abu-abu itu, Star tidak menyangka lelaki yang sangat ia cintai itu tewas dibunuh. Apa mungkin kecupan terakhir yang dilayangkan Mochi di keningnya sebagai salam perpisahan?

"Jangan bercanda." seru Star disela isakan tangisnya. "Mochi tidak mungkin ...." ia menghentikan kalimatnya, sungguh ia tak sanggup mengeluarkan kata itu dari mulutnya. Ada bagian hatinya yang terasa perih seperti ditusuk duri.

"Saya tidak bercanda Nona manis."

Star masih terisak. Ia menatap lekat pada lembaran foto mayat kekasihnya. Star masih ingat senyum kotak nan hangat yang selalu terpatri indah di bibir penuh itu. Star masih ingat elusan lembut di rambut ikal kemerahannya yang selalu Mochi lakukan. Ia juga ingat betul bagaimana lelaki yang sangat ia cintai itu mengucapkan Selamat pagi setiap hari padanya. Lalu sekarang? Mengapa seolah semua hanya mimpi buruk baginya?

"Ini mimpi." seru Star.  Sejenius apa pun otaknya namun ia tak  mampu mengingat apa yang terjadi selain kepingan ingatan tentang pemukulan dirinya yang mendadak.

Biru membuka agenda catatan yang ia bawa sejak tadi. "Sebaiknya hubungi pengacaramu, jika punya. Tapi saya rasa ... percuma."

Star menatap Biru tidak percaya. Pengacara? Apalagi ini? Kenapa semua kalimat-kalimat yang Biru ucapkan mendadak membuat otaknya tertekan?

"Maksudnya?" Star mengharapkan jawaban yang lebih jelas.

Biru menyeringai. "Kamu ditahan atas tuduhan pembunuhan kepada dua korban."

Star mendadak beku. Aliran darah seolah berhenti. Napasnya tak mampu ia atur lagi. Apa dunia sedang mempermainkannya? Ia berada di ruangan itu bukan sebagai saksi, bukan seseorang yang dicurigai melainkan seorang terdakwa! Atas dasar apa Polisi di depannya ini mengklaimnya sebagai Pembunuh.

Bukankah seharusnya ia yang menjadi korban? Seseorang dengan sengaja menghantamkan benda keras di bagian belakang kepalanya saat memasuki apartemen Monic?

Tapi tunggu, bukankah tadi ia pingsan di apartemen Monica? Kenapa tiba-tiba ia berakhir di ruang interogasi?

Pertanyaan demi pertanyaan terus menghantui otak Star.

"Aku tidak mengerti. Anda menuduhku tanpa bukti." Star menghapus air matanya secara kasar.

"Menuduh tanpa Bukti? Apa saya terlihat seperti seorang polisi korup?" Biru meninggikan suaranya. "Kamu meragukan kemampuan seorang penyidik?" Biru melempar beberapa foto di depan Star. "Itu bukti. Foto-foto itu diambil dari CCTV apartemen."

Star meraih foto-foto itu. Dalam foto itu tampak dirinya yang memasuki apartemen Monic. Star menggelengkan kepalanya, lagi-lagi ia tidak percaya dengan semua yang terjadi.

"Aku tidak membunuh mereka." Sanggah Star. Ia menggeleng kepalanya berkali-kali. "Aku tidak mungkin melakukan hal sekeji itu. Bagaimana mungkin aku membunuh orang yang sangat aku cintai?" Star mencoba membuktikan kalau ia tak melakukan apa pun yang dituduhkan.

"Lalu, mengapa kamu memasuki apartemen korban?"

"Aku ke sana menyusul Mochi yang terlalu lama. Padahal ia hanya ingin mengembalikan ponsel Monic yang tertinggal. Dan ia ... Ia berjanji tidak lama, tapi ... ia sangat lama."

Biru mendengus kasar, seolah ia tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Star. "Monic dan Mochi memiliki hubungan masa lalu, bukan?

Star mengangguk. "Mereka pernah menjalin hubungan."

"Apa kamu melakukan ini karena motif cemburu?" Biru menyeringai disela pertanyaannya.

"A ... aku tidak melakukan apa pun. Aku mohon, percayalah. Aku memang cemburu, tapi aku tidak membunuh mereka. Aku sangat mencintai Mochi. Bagaimana mungkin aku tega mengakhiri nyawanya?"

Biru mengacak rambutnya frustasi. "Apa salahnya mengatakan alasan kamu membunuh mereka. Jujur itu lebih baik dari pada terus mengelak!" nada suara Biru meninggi. "Lagian zaman sekarang, cinta itu mampu menggelapkan matamu. Ya ... semacam cinta buta." Tambah Biru lagi.

"Aku berkata jujur. Aku tidak melakukan apa pun yang Anda tuduhkan."

Biru mendengus kasar lagi. "Katakan itu di pengadilan. Karena semua bukti mengarah ke kamu."

Star terbelalak mendengarnya. Ia meremas jarinya yang saling bertautan. Mengapa dalam beberapa jam hidupnya yang bahagia tiba-tiba jadi Neraka? Seandainya saja ia bisa memutar kembali waktu, ia ingin mencegah niatan Mochi untuk mengembalikan ponsel Monic. Tapi ... Waktu tak akan pernah kembali, waktu akan terus berjalan beriringan dengan jarum jam yang terus berdetak.

"Bagaimana bisa perempuan secantik kamu melakukan hal yang bertentangan dengan hukum? Emm ... Tolong beberkan sedikit saja bagaimana kamu mengakhiri hidup keduanya?" ekspresi Biru sedikit jenaka. "Menikam dengan pisau dapur atau melayangkan benda keras ke kepala?" Biru menyilang kaki kanannya ke atas kaki kiri.

Tekanan semakin meremas sisi hati Star.

Star bergeming. Ia hanya mampu mengeluarkan isakan dari bibir memerah  cherrynya. Tatapannya pias. Mungkinkah hidupnya akan berakhir sia-sia di penjara? Membusuk bersama penghuni lainnya.

"Di TKP, sidik jarimu di temukan. Di tongkat baseball, kenop pintu, semua sidik jarimu ditemukan. Dan juga di jasad kedua korban!" jelas Biru. "Apa masih mau mengelak?"

"Itu tidak mungkin. Aku tidak mengelak tentang kenop pintu, tapi tongkat baseball, dan jasad korban ... sungguh aku tidak tahu. Aku bersumpah." kembali Star membela diri. "mungkinkah seseorang yang tengah pingsan bisa melakukan hal itu? Seseorang pasti telah menjebakku." cairan bening itu semakin meluncur indah dari netra abu-abunya.

"Pingsan? Menjebak? O ... kegilaan macam apa itu?"

"Demi Tuhan, bukan aku pelakunya. Aku bahkan tidak tahu jika keduanya tewas. Saat aku memasuki apartemen itu, pintunya sudah terbuka, lalu seseorang menghantamku dengan tongkat kayu di bagian belakang kepalaku. Dan kemudian ... aku pingsan." Star mencoba membela diri lagi. Ia mengatakan apa yang ia ingat. Hatinya terasa sangat ngilu saat tuduhan yang tidak berdasar jatuh ke pundaknya.

"Apa kamu seorang penulis?" Star menggeleng. "Narasimu begitu sempurna. Jika polisi lain, mungkin sudah tertipu dengan alibimu, tapi saya ... jangan harap." Biru menegaskan kalimatnya. Aura Biru dominan terpancar di ruang interogasi itu.

"Aku bersumpah. Aku tidak membunuh mereka. Mengapa Anda tidak percaya?" isak Star.

"Hentikan aktingmu itu. Aku terlalu bosan melihatnya."

Star mengutuk dirinya karena pernah mengagumi lelaki di depannya itu saat pertama kali bertemu di basement apartemen. Lelaki di depannya ini tidak lebih dari seseorang yang suka menekan seseorang dengan aura misteriusnya.

"Aku mohon, percaya padaku."

Biru lagi-lagi menyeringai. Ia menatap tajam Star yang memohon untuk dipercayai. "Oke, aku bisa saja percaya jika alibimu masuk akal. Tapi masalahnya, alibimu sama sekali tidak masuk dalam otakku." Biru menjeda. "Kamu bilang apa tadi? Pingsan di apartemen korban?" Star mengangguk.

"Kamu bodoh atau apa? Kami tidak menemukanmu di sana saat tiba di lokasi kejadian. Kami menemukanmu di rumahmu dalam keadaan tertidur lelap bersama botol-botol alkohol." jelas Biru panjang lebar. "Aku terpaksa menyeretmu dalam keadaan mabuk."

Apa lagi ini? Kisah baru apa lagi yang penyidik itu umbarkan? Star membekap mulutnya untuk tidak menjerit. Ia ingin sekali meneriaki polisi yang menambahkan berbagai kisah tragis di dalam bagian-bagian ceritanya, seolah menyudutkannya yang tidak tahu apa-apa.

"Bagaimana aku mempercayaimu? Apa orang pingsan bisa berjalan?"

Star hanya mampu menatap nelangsa polisi yang terus menekannya.

"Alibi macam apa itu? Oke, aku mungkin bisa menerima sedikit alibimu. Tapi sayangnya, saksi mata melihatmu keluar terburu-buru dari apartemen dan pakaian yang kamu kenakan penuh percikan darah." Biru menunjuk pakaian Star. Star mengikuti arah telunjuk Biru, dan ya ... pakaiannya di lumuri darah. Entah darah siapa yang jelas Star yakin dia tidak melakukan tindakan apa pun yang menghasilkan cairan kental berwarna merah itu.

"Sayangnya, CCTV rusak saat itu." Biru terlihat kesal. "Atau jangan-jangan kamu yang merusaknya? Bukankah kamu Mahasiswi teknik? Saya yakin kamu ahli dalam hal seperti itu." tambahnya lagi.

"Kenapa Anda terus menuduhku? Aku yakin, pelaku sesungguhnya sedang berkeliaran di luar sana." Star terus menerus membela dirinya dan sialnya Biru terus menerus melabelkan tuduhan padanya.

Biru terkekeh geli. "Hei, aku tidak menuduh sembarangan. Bukti jelas mengarah padamu!"

"Tapi aku tidak melakukannya." protes Star.

"Jika maling mengaku, penjara penuh. Tugas pengacara dan hakim menjadi ringan, dan polisi akan memakan gaji buta." tukas Biru.

"O ... kamu bicara soal pemukulan yang kamu alami? Saya rasa itu narasi terburuk. Karena kepalamu sama sekali tidak memiliki luka. Jika kamu mengeluh sakit, itu mungkin akibat dari alkohol yang kamu minum."

Star memegang bagian kepalanya. Ia sangat yakin, benda keras telah menghantam kepalanya. Lalu sekarang, alasan apa itu? Seumur hidup, Star tidak pernah menyentuh barang haram itu. Bagaimana mungkin ia mabuk jika tidak pernah menyentuhnya?

"Apa kamu masih mau menyangkal?" Biru membuka kotak kecil yang sempat ia rebut dari Star saat memasuki ruang interogasi itu. "Itu ...." Biru melempar kacamata tanpa lensa yang ia ambil dalam kotak itu. Kacamata itu sedikit di lumuri darah.

Star lagi-lagi terbelalak. Ia menyentuh wajahnya, ia baru sadar jika sedari tadi, ia tak mengenakan kacamatanya.

"Dan ini ...." Biru mengangkat sebuah pisau yang ia ambil dalam kotak itu lagi. "Ini ditemukan di rumahmu, hasil autopsinya, darah kedua korban menempel di pisau itu dan sidik jarimu di temukan di sana. Aish ... pantas saja anak buahku tak menemukan benda ini di TKP." Biru memainkan pisau itu layaknya sebuah mainan anak kecil.

Star terkulai jatuh dari kursi yang ia duduki. Air matanya benar-benar tak dapat dibendung. Isakannya terdengar pilu, yang mampu memecahkan cakrawala malam. Semua bukti mengarah padanya, meskipun ia tidak tahu apa yang terjadi. Jebakan yang mengenainya begitu sempurna!

Biru bergerak pelan. Tidak berniat menolong Star sama sekali. Lelaki itu memilih berjongkok di depan Star yang tersungkur lemah di lantai.

"Apa bukti itu masih kurang menurutmu?" tanya Biru dengan berbisik. Star membeku, lidahnya kelu. Bahkan nafasnya seolah semakin menipis!

Kreekk

Suara pintu terbuka. Menampakkan sesosok lelaki lain masuki ruang interogasi.

"Bagaimana?" lelaki itu bertanya dengan datar pada Biru. Mungkin sedatar lantai yang mereka pijak kini.

"Memuaskan." sahut Biru santai. Ia menyelipkan sebatang rokok ke bibirnya dan seketika asap mengepul memenuhi ruangan itu.

"Jangan berikan celah sedikit pun." lelaki itu kembali berucap. Star hanya mampu mendengar. Ia tak memiliki niat untuk melihat siapa lawan bicara Biru. Ia sudah terlanjur hancur karena tuduhan palsu.

"Aku atasanmu, Dj. Jangan mencoba mengguruiku." Biru menepuk pelan pundak lelaki bernama Dj itu. "Bawa dia ke tahanan." perintah Biru dengan tegas.

Dj mengangguk. Ia berjalan ke arah Star yang masih menangisi nasibnya. Mengangkat dagu Star menggunakan telunjuknya agar wajah sembab itu melihat ke arahnya, spontan wajah Star mengikuti jari telunjuk itu. Dj tersenyum, tepatnya menyeringai, dan seringai itu lebih menakutkan dari pada seringai seorang Biru.

Star mengerjap. Otaknya kembali bekerja dengan sempurna. Ia ingat akan seringai itu! Seringai yang ia lihat sebelum menutup mata di apartemen Monic. Star yakin bahkan sangat yakin, jika lelaki di depannya itu yang memukul bagian belakang kepalanya. Keyakinannya semakin diperkuat setelah melihat warna sepatu yang dikenakan lelaki itu, putih.

"Kamu ..." Star menggantungkan kalimatnya. Bukan karena ia tak sanggup mengatakan apa yang ada di otaknya, hanya saja ia tak percaya jika semua yang ia alami ini telah terencana begitu apik.

Lelaki itu terkekeh. "Ah ....  ternyata kamu melihatku saat itu."

Star hendak memukul wajah Dj namun tangannya dicekal kuat. Dipaksa untuk berdiri dan di seret keluar dari ruangan itu menuju tahanan.

"Kalian pembohong! Kalian menjebakku. Lepas! Aku bukan pelakunya." Star memberontak, mencoba melepaskan diri dari Dj yang terus menyeretnya secara paksa menuju tahanan.

Tapi semua percuma, perlawanan akan selalu berakhir sia-sia. Air mata hanya akan menjadi pelengkap kepedihan. Penguasa akan tetap menjadi penguasa. Berdiri di atas ketinggian yang tak mudah untuk diraih oleh jelata.

Hukum telah termakan oleh silau harta!

***

"Halo ...." Biru mengangkat kakinya ke atas meja kerjanya, bersandar santai pada punggung kursi. Ponsel mewahnya terselip antara leher dan telinganya. Sedang tangan kanannya sibuk memegangi sebatang rokok dan tangan kirinya sibuk mengetuk meja.

"Bagaimana? Apa sudah beres?"

Seseorang di ujung telepon berbicara. Biru memutar bola matanya jengah. Pertanyaan itu sangat mengganggu otaknya.

"Anda tenang saja Tuan. Semua beres! Kami melakukannya dengan sangat rapi. Putri Anda yang bernama Johana itu tidak akan mencium dinginnya lantai penjara. Seseorang telah menjadi kambing hitam dalam cerita cinta putri Anda yang tragis."

"Saya senang mendengarnya. Sesuai kesepakatan, saya akan segera mentransfer ke rekening Anda, secepatnya."

Biru mematikan sambungan telepon secara sepihak. Ia memejam mata, menikmati setiap isapannya pada rokok yang berbahan dasar tembakau. Mengepulkan asap dalam ruangannya yang temaram. Dalam beberapa jam, jalan hidup beberapa orang telah berubah karena dirinya! Salah satu adalah Star.

***END OF SHACKLES***

K O L O M   N U T R I S I

1. Apa kamu pernah jadi saksi tindak kejahatan seperti yang dialami Star? Mungkin pencurian, copet, dll? Bagaimana kisahmu?

2. Apa kamu mengizinkan pacarmu ketemu mantannya, seperti Star membiarkan Mochi ketemu Monic?

3. Apa pendapatmu terhadap cerita Shackles?

***

Jika tertarik berpartisipasi dalam antologi ini, silakan publikasikan karyamu di Wattpad pribadi, sertakan tagar #STARRAWSInAction, satu cerita terbaik akan dipublikasikan ulang di work ini (lihat keterangan lebih jelas di bab "WATTPAD TODAY: STARRAWS ZONE").

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta  menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat, seperti  yang terdapat dalam aturan dasar RAWS Community. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote cerita dang follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon A Time in STARRAWS

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top