STARRAWS YOU | Ruangan Gelap dan Kenangan Tentang Kita by Aji-12N
| A Teenlit Mystery Story |
"Penulis multi-tasking yang cinta drama turki. Hope you like my story!" - The Rising Stars, Aji-12N
***
Aku terbangun. Ya Tuhan, Kepalaku terasa pusing sekali, aku tak berbohong. Sambil terhuyung, aku berjalan perlahan melewati ruangan gelap yang sama sekali asing bagiku. Insting mencari jalan keluar, menurutku.
Tapi setelah berjalan untuk beberapa lama, aku tak kunjung menemukan jalan keluar.
"Ya ampun, ruangan ini besar sekali!" seruku tertahan sambil mengayunkan kedua tanganku.
Krak!
"Tunggu, ini—konyolnya aku! Selama ini aku hanya berputar-putar!" selorohku lega sambil memungut koran tersebut.
Ya, aku terbangun di atas koran itu. Setidaknya aku bisa menduga ruangan ini tak sebesar yang aku kira, iya kan?
Aku kembali berjalan, kali ini aku benar-benar memastikan kalau aku berjalan lurus dan tidak memutar.
Bruk!
"Aw!" Aku tersandung dan jatuh dengan keras, "siapa yang menaruh kotak besar sembarangan di sini?!"
Aku sewot sekali. Ya, aku bisa melihat kotak besar setinggi lutut itu. Sebuah lubang di atap ruangan membiarkan cahaya matahari menyorot langsung kotak hitam itu.
Rasa penasaranku pun muncul. "Tapi, apa isi kotak itu?"
Aku perlahan membuka kotak itu. Sedikit demi sedikit, aku bisa melihat isinya. Sesuatu berkilau dari dalam kotak itu. Aku pun membuka lebar tutup kotak dan mengambil benda itu.
"AAAAAAH!" jeritku sambil melempar benda itu sejauh yang kubisa.
Praang!
Suara itu membuatku lega. Detak jantungku kembali meninggi. Agaknya wajahku sudah merah padam dibuatnya.
"Siapa yang menaruh cermin di dalam kotak yang membuatku tersandung seperti ini? Ini penghinaan!" bentakku entah pada siapa.
Aku memiliki fobia pada cermin. Jadi aku langsung melempar cermin itu pada detik pertama aku melihatnya. Kau tahu, lah. Siapa pula perempuan yang yang ingin kurus tapi tak bisa berhenti makan?
Haha, bukan seperti itu. Aku akan cerita tentang fobiaku lain kali.
"Benar-benar tak tahu diri!" rutukku. Ketika itu, mataku menangkap kilatan lain dari dalam kotak yang sama. Ternyata kertas ini yang menyebabkan kilauan itu. Aku mengeluarkan kertas kuning mengilap itu dari dalam kotak itu.
Aku mengernyit heran. "Hanya ini isinya? Harusnya siapa pun yang meletakkan benda-benda ini menggunakan kotak yang lebih kecil atau semacamnya."
Aku membalik kertas itu. Di belakangnya terpampang tulisan 'Selamat—Star!'
Selamat untuk apa, aku tak tahu. Aku memasukkan kertas itu ke dalam saku celanaku sambil berusaha mengingat alasan apa yang membuat orang mengucapkan selamat padaku saat ini.
Ulang tahunku?
Tapi ini keterlaluan kalau hanya sebatas untuk memberikanku kejutan. Saat aku keluar dari ruangan ini, aku akan minta penjelas—
Bruk! Aku terkesiap namun refleks berdiri. Sebuah suara dentuman terdengar pelan dari arahku datang. Kewaspadaanku meningkat tajam.
Aku berjalan mengendap-endap ke arah sumber suara itu. Tak sulit bagiku menemukan jalan kembali ke tempatku tersadar, karena aku merobek-robek koran yang tadi kutemukan sebagai penanda jalan.
Jejak koran berakhir. Pasti di sinilah tempatku siuman. Sekarang aku benar-benar harus mencari jalan sendiri.
Kenapa pula teman-temanku harus mengurungku dalam ruangan—atau bangunan—gelap ini. Maksudku—
Oh sial, aku kehabisan koran.
Aku menggumam, "Apa kupakai saja kertas ini?"
"Tapi, mungkin aku butuh kertas ini nanti."
Setelah beberapa lama berjalan tak tentu arah, kakiku seperti menendang sebuah papan.
"Benda apa ini?" gumamku sambil merendahkan badan. Kau tahu? Di ruangan itu tak benar-benar gelap tanpa cahaya. Ada beberapa lubang di atap ruangan itu, walaupun tak banyak. Jado aku sedikit banyak bisa melihat lukisan itu.
Ya, temanku. Itu sebuah lukisan. Lukisan yang sangaaaat cantik. Lukisan yang—
Seperti aku pernah melihatnya.
Aku berusaha keras mengingat lukisan itu. Kemudian, ingatanku kembali pada dua minggu yang lalu.
***
Siang itu, kami baru saja pulang sekolah. Aku dan Christine berjalan di trotoar daerah pertokoan dekat sekolah kami. Sambil makan es krim, aku memerhatikan etalase toko-toko yang kami lalui.
"AAAAH!" pekikku mengejutkan Christine.
"Lihat itu, Christine! Itu indah sekali," seruku sambil berjingkat-jingkat.
"Minggu lalu kau baru saja membelikan sebuket bunga untuk Edwin, ingat?"
Aku bersungut-sungut, "Oh Christine-Si-Asisten-Keuanganku, kali ini aku akan membeli bunga untuk diriku sendiri. Apa itu melanggar anggaran bulananku?"
Christine mendesah sambil memutar bola matanya.
"Terserah kau saja, lah."
Aku sumringah, dan menarik Christine masuk ke florist tersebut.
"Aku alergi serbuk sari, Star!"
Beberapa saat kemudian, kami keluar dari toko dengan sebuket bunga dan sebundel tisu.
"Maafkan aku, aku benar-benar lupa kalau kau alergi serbuk sari, Chrissie," ujarku sambil tertawa malu. Christine mendengus kesal, kemudian bersin kencang, yang membuatku terbahak keras.
Kemudian, aku melihat sebuah lukisan di dalam etalase toko. Aku langsung mendaratkan telapak tanganku di kaca etalase itu.
"Lukisan yang indah," ujarku. Christine mendeham, kemudian mengelap ingus di hidungnya dengan tisu yang ia bawa.
"Kita tak akan membeli lukisan itu, bukan?"
Aku menggeleng. "Sepertinya kau benar. Pengeluaranku sudah terlalu banyak hari ini."
***
Aku tersadar dari lamunanku. Sebuah kemungkinan muncul di benakku.
Apa Christine yang membelikannya untukku? Ah, tapi tak mungkin. Christine memang sahabatku sejak Sekolah Dasar, dan kami sering bergurau bersama. Tapi satu hal yang tak akan pernah ia bercandakan adalah keuangannya―dan teman-temannya.
Tapi tak apa, yang penting lukisan itu menjadi milikku sekarang!
Aku berpikir untuk membawa lukisan itu dengan kotak hitam tadi. Untuk berjaga-jaga jika aku menemukan benda lain selama aku mencari jalan keluar, benar kan?
Setelah kurang lebih sepuluh menit berjalan, aku tak kunjung menemukan jalan keluar. Itu membuatku frustasi.
"Apa ruangan ini bisa membesar? Aku bahkan belum menemukan jejak koran yang tadi kutinggalkan," sewotku sambil terus berjalan.
Aku yakin sekali berjalan lurus. Sungguh. Tapi sayangnya aku tak punya apa pun sebagai panduan arahku. Aku kembali berpikir untuk merobek kertas mengilap itu sebagai jejak, namun lagi-lagi aku mengurungkan niatku.
Seberkas cahaya muncul dari langit-langit ruangan.
Bukan di atasku, melainkan jauh di depan sana. Aku mempercepat langkahku, sebelum cahaya itu hilang. Namun sialnya aku. Cahaya itu hilang sebelum aku berhasil menjangkaunya.
Aku melanjutkan rutukan tentang nasibku yang terjebak di dalam ruangan gelap yang konyol ini. Aku kembali berjalan tanpa arah sampai cahaya itu kembali muncul sekitar lima menit kemudian.
Aku mengikutinya dan cahaya itu hilang. Terus begitu selama dua jam. Sebagai catatan, aku hanya memperkirakan waktu. Aku tak membawa jam tanganku bersamaku.
Kemudian, sebuah cahaya lain muncul. Kali ini posisinya lebih dekat denganku. Jadi aku berhasil mencapai sumber cahaya itu.
Kemudian, aku melihatnya.
Sebuah amplop coklat besar teronggok di bawah langit-langit ruangan yang berlubang, membiarkan cahaya matahari masuk dan menyinari amplop itu.
Aku mengambil dan membuka amplop itu. Amplop itu berisi foto-foto liburan musim panasku bersama teman-temanku. Sungguh momen yang indah.
***
"Lempar cakram itu padaku!" seru Jeff sambil melambaikan tangannya. Aku melempar cakram itu kuat-kuat.
Edwin berlari dan berusaha menangkap cakram yang kulemparkan, mendahului Jeff. Tapi tetap saja Jeff yang mendapatkan cakram itu.
"Chrissie!" seru Jeff sambil melempar cakram itu padanya. Namun kali ini, Edwin berhasil menangkap cakram terlebih dahulu. Itu berarti Jeff yang kali ini mendapat giliran jaga.
Lemparan berawal dari Jeff. Ia melempar cakram itu padaku, yang langsung kulemparkan kembali pada Edwin tanpa memberi aba-aba.
Itu benar-benar membuatnya terkejut, kau tahu? Untungnya ia memiliki refleks yang baik. Edwin langsung menangkap cakram itu dan mengambil ancang-ancang untuk melempar pada Christine.
"Chrissie!" serunya sambil melempar cakram itu.
Hup! Christine tak berhasil menangkap cakram itu, yang menjadikannya kesempatan bagus Jeff untuk merebut cakram itu. Christine tak tinggal diam. Ia merebut cakram itu lebih dulu dan melemparnya asal.
"Siapa saja, ambil cakram itu!" serunya. Cakram itu mendarat tepat di nampan yang dibawa ibu Christine. Tak ayal, sebuah piring beserta isinya terlontar ke udara.
Sebagian besar isi piring itu mendarat di nampan, untungnya. Sementara yang lain jatuh berserakan di rumput.
Nampaknya permainan kami akan berakhir karena kejadian itu. Ya Tuhan!
Christine buru-buru menghampiri ibunya. "Maafkan aku, bu!"
Ibunya tersenyum. Aku sedikit banyak bisa mendengar percakapan mereka berdua dari tempatku berdiri.
"Chrissie, suruh teman-temanmu kemari. Ibu baru saja membeli jus jeruk dan croissant untuk kalian semua."
Christine berlari kecil menuju kami. "Teman-teman, ibuku membelikan jus jeruk dan croissant untuk kita semua. Ayo!"
Kami semua berjalan menuju meja bulat lengkap dengan lima kursi anyaman di dekat pintu menuju halaman belakang. Kami berlima duduk di kursi itu.
"Jangan mengeluh jika croissant-nya tak cukup untuk kita semua," celetuk ibu Christine sambil memandang anaknya.
"Baiklah, baiklah. Kalian bisa ambil jatahku," timpal Christine sambil tertawa malu. Kami pun tertawa bersama setelahnya.
"Tunggu!" sela Jeff. "Momen ini harus kita abadikan dulu."
Jeff mengeluarkan ponselnya. Kami berlima berpose sedemikian rupa. Setelah itu, Jeff menekan tombol rana.
***
Ya, momen yang sangat indah.
Aku kembali dari lamunanku, sadar kalau aku masih terjebak di ruangan gelap ini. Itu memberikanku petunjuk lain tentang siapa yang menjebakku di ruangan ini―dan mengapa.
Jeff?
Dia memang iseng, tapi aku tak yakin ia akan berbuat sejauh ini, apa lagi terhadap temannya sendiri. Lagi pula, untuk apa ia melakukannya?
Christine?
Aku tahu kami sedang bertengkar akhir-akhir ini, tapi aku tahu ia tak akan sebegitunya pada BFF-nya sejak Sekolah Dasar. Dan setahuku dia memang orang yang penyabar.
Aku lanjut berjalan, mencari kotak hitam itu.
Aku kembali berjalan tak tentu arah di dalam ruangan gelap itu. Yang aku bisa lakukan hanyalah memastikan kalau aku berjalan lurus dari tempatku berada.
Seberkas cahaya kembali muncul. Seperti tadi, cahaya itu muncul dan hilang untuk beberapa kali, seperti menuntunku pada sesuatu.
Bukan, cahaya yang kumaksud bukan cahaya mistis seperti di film-film itu. Tapi cahaya yang kulihat berasal dari langit-langit ruangan yang berlubang. Lubang itu membuka dan menutup dengan sendirinya. Seperti sebuah sistem mekanik yang dikendalikan seseorang.
Sudah pasti aku dijebak di dalam ruangan ini.
"Ke mana lagi cahaya ini akan membawaku?" gumamku pelan sambil terus mengikuti petunjuk cahaya itu.
Aku mendatangi sumber cahaya yang kesekian, kemudian lubang di atap itu kembali menutup. Aku menunggu lubang lain terbuka dan menuntunku.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Setengah jam.
Tak ada apa pun yang terjadi. Aku panik dan bingung, sungguh. Aku sudah sering mengalami hal-hal tak biasa namun aku tak pernah dijebak dalam ruangan seperti ini dan mengejar-ngejar cahaya seperti laron.
Drap! Drap!
Aku mewaspadakan diri. Suara langkah kaki. Ya ampun, terjebak di sini saja sudah cukup buruk. Bagaimana jika aku harus menghindari seorang pembunuh yang dikirimkan untukku atau semacamnya?
"Tidak, tidak. Ayolah, Star. Beranikan dirimu. Hadapi siapa pun itu di dalam kegelapan sana. Siapa tahu orang itu tidak membawa cermin atau pisau bersamanya. Siapa tahu dia juga terjebak dalam ruangan ini, sama sepertimu," aku memberi sugesti pada diriku sendiri.
Kemudian, aku memberanikan diri untuk berjalan menuju arah langkah kaki itu.
Drap! Drap!
Aku mendengar langkah kaki lain, tapi dari arah yang berbeda. Aku bergegas menuju arah langkah kaki tersebut.
Drap! Drap!
Sekarang, kami bertukar posisi. Langkah kaki itu berada di belakangku, menyusulku dengan kecepatan tinggi. Spontan kupercepat lariku.
Ya Tuhan, apa lagi yang akan kuhadapi setelah ini.
Bruk!
Aku terpeleset sesuatu. Aku hanya bisa merunduk ketika langkah kaki itu perlahan mendekatiku.
Makin dekat.
Makin dekat.
Kemudian, nihil.
Aku merinding menyadari hal tersebut. Maksudku, ayolah. Seseorang mengejarmu dalam kegelapan kemudian orang itu hilang begitu saja. Ya ampun, ini benar-benar gila!
Aku meraba-raba lantai di sekitarku.
Krask!
"Tunggu," aku mengambil benda itu dari lantai. "Ini seperti baju yang dibungkus dalam plastik. Tapi, baju apa ini?"
Kemudian, cahaya menyinariku. Aku mendongak ke atas, memastikan kalau itu benar-benar atap ruangan yang membuka.
Ya, sudah pasti itu petunjuk lain. Sekarang, aku bisa melihat baju itu dengan jelas.
"Tunggu, sepertinya aku kenal baju ini," gumamku sambil membuka kembali direktori pikiranku, mencari-cari ingatan tentang baju ini.
"Ah, aku ingat!" seruku tertahan. Siapa tahu orang itu masih ada di sekitarku. "Ini baju klub basket kesukaannya Edwin!
Aku tertawa lega. "Aku jadi ingat momen konyol itu."
***
"Ini akan jadi sangaaat seru!" seruku entah untuk yang keberapa kalinya.
Kami menonton pertandingan basket. Saat itu, klub basket kesayangan Edwin akan bertanding melawan sebuah klub asal Texas. Ya ampun, itu pertandingan yang ditunggu-tunggu semua orang. Setidaknya begitu menurutku.
"Kau bawa kudapan, Star?" tanya Edwin sambil mengeluarkan ponselnya.
Aku menggeleng. "Tidak. Apa kita diperbolehkan membawa kudapan?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu," balasnya santai sambil memotret kondisi sekitar. Aku membelalak.
"Kukira kau penggemar berat klub ini."
"Memang. Tapi aku tak pernah menontonnya secara langsung seperti ini."
"Apa?! Lalu untuk apa kau mengajakku?"
"Aku kira kau suka permainan basket."
Aku menepuk jidatku. Ya ampun, entah pria ini yang cari masalah atau akunya yang terlalu lugu, yang jelas tak ada satu pun dari kami yang tahu harus berbuat apa di tempat seperti ini. Sungguh menyebalkan.
Edwin tertawa kecil. "Yah, setidaknya kita sudah duduk di bangku penonton, dan bukan secara tidak sengaja menyusup ke ruang pemain."
"Kau ada benarnya juga, Eddie," timpalku.
Pertandingan dimulai. Semua berjalan baik-baik saja. Sebuah kejutan dari Edwin-Si-Pembuat-Masalah. Namun semua yang berkilau itu bukanlah emas.
Masalah benar-benar dimulai ketika peralihan babak―atau apa pun sebutannya, aku tak begitu mengerti.
"Star, jaga tempat ini untukku," lontarnya sambil beranjak dari kursinya.
"Kau mau ke mana?"
"Kamar mandi!" serunya, hampir-hampir mengalahkan keriuhan penonton.
"Baiklah, jangan lama-lama! Sekalian bawakan aku kudapan!" balasku.
Dia tak membalas. Semoga saja dia mendengar ucapanku.
Permainan segera dilanjutkan. Tapi Edwin masih belum menunjukkan batang hidungnya. Aku mulai khawatir dia melakukan sesuatu yang bisa membuatnya dikeluarkan dari stadion.
Aku menelepon nomornya.
"Edwin, kemana saja kau? Pertandingan akan dilanjutkan dan kau masih belum kembali!"
"Star, bisa kau bawakan dompetku?"
"Apa?"
"Aku membeli burger untuk kita dan lupa membawa dompetku."
"Sudah kuduga," geramku. "Kau ada di mana?"
"Um, entahlah. Aku hanya bertanya arah pada pengunjung yang lain."
Aku membuang napas. "Baiklah, baiklah. Apa nama tokonya?"
"Stanley's Burger."
"Tunggu aku di sana. Oke?"
"Sebaiknya kau cepat. Paman Stan tak suka menunggu." Bisa-bisanya dia bercanda di saat seperti ini.
"Baiklah, baiklah."
Akhirnya aku beranjak untuk mencari temanku itu.
Astaga, stadion ini begitu luas. Aku tak heran Edwin bisa tersesat lebih mudah dari biasanya. Aku bertanya pada pengunjung-pengunjung lain.
Akhirnya, aku sampai di Stanley's Burger. Tapi aku masih tak melihat Edwin. Aku kembali menelepon lelaki malang itu.
"Aku sudah di sini."
"Aku tak melihatmu."
"Ada berapa Stanley's Burger di stadion ini?"
"Penjaga tokonya mogok bicara."
"Kau kan bisa tanya pada pengunjung lain!" hardikku. Lengang sejenak.
"Sudah kau tanyakan?"
"Sudah. Ada lima Stanley's Burger di stadion ini."
Aku berusaha untuk tenang. "Um, oke. Apa saja yang ada di sekitarmu?"
"Banyak pengunjung, hidran, tulisan B3―"
"Tunggu, B3?"
"Ya. Sepertinya untuk seksi B lantai 3. Apa aku benar?"
Kali ini aku tak menampik ucapannya. Sifatnya yang impulsif ternyata ada gunanya juga. "Kau benar. Baiklah, tunggu aku."
"Cepatlah, suhu di sini makin memanas."
Lima belas menit kemudian, aku berhasil sampai ke seksi yang dimaksud. Dan, Ya Tuhan, itu benar-benar sebuah kekacauan.
"Edwin!" seruku sambil menyeruak dari dalam kerumunan yang marah. "Apa semua keributan ini karenamu?"
Edwin tergagap, "Aku tak memicu Revolusi Perancis di sini. Raja Stan kejam yang memutuskan untuk mogok sampai aku membayar dua roti lapis sialan itu!"
"Sudah berapa kali kukatakan, namaku BUKAN STAN!" hardik si penjaga toko.
Aku mengurut pangkal hidungku.
"Baiklah paman, berapa harga burger itu?"
"Empat Dolar," sebut si penjaga toko dengan penekanan di setiap kata.
"Baiklah, aku akan―"
"Setiapnya."
Aku tersedak ludahku sendiri. "APA?!"
Lima menit kemudian, kami berhasil keluar dari kerumunan pengunjung itu dengan masing-masing sekantung burger dan segelas soda.
"Kau tak sadar kau baru saja ditipu?" ujar Edwin.
"Apa?" aku menoleh padanya.
"Burger itu hanya seharga satu setengah Dolar di menu," sebutnya. Mataku membulat sempurna.
"Lain kali jangan lupa untuk selalu membawa dompetmu," tegasku, dengan penekanan di kata 'dompet'.
***
Aku mengulum senyum di bibirku. Benar-benar momen yang lucu jika sudah menjadi kenangan, sungguh.
Aku turut membawa baju tim basket itu bersama lukisan dan foto tadi. Sebuah lubang kembali muncul di atap ruangan, tak jauh dariku. Aku kembali mengikuti cahaya itu.
Namun lubang itu tiba-tiba menutup.
Brak!
"Aduh!" itu bukan suaraku. Aku baru saja menabrak seseorang.
"AAAH!" aku langsung lari terbirit-birit. Ya ampun, aku benar-benar terkejut tadi.
Setelah merasa aman, aku berhenti berlari. Astaga, sekarang aku kembali tersesat. Parahnya, tak ada lagi lubang di atap-atap seperti tadi.
Benar-benar gelap gulita.
Setelah menenangkan diri, aku berjalan tanpa arah. Sepertinya aku akan memeluk kotak hitam besar itu jika aku berhasil menemukannya lagi. Jika aku berhasil.
"AH!" aku terjerembap seutas tali.
"Tali apa ini?" tanyaku sambil meraba-raba tali tersebut.
Tali tersebut ternyata lebih panjang dari yang kuduga. Aku berjalan menyusuri tali tersebut sambil menyiagakan telingaku, untuk berjaga-jaga jika orang itu kembali mengejarku.
"Ini bukan jebakan, kan?" gumamku sambil terus berjalan. Jujur saja, semua hal yang kualami akhir-akhir ini membuatku sedikit paranoid. Terutama bagian dimana aku dikejar oleh orang yang bahkan aku tak yakin kalau ia benar-benar ada.
Sembari berjalan, aku kembali memikirkan tentang siapa yang paling mungkin menyekapku di tempat seperti ini.
Orang yang menjebakku pasti tahu banyak mengenai diriku dan teman-temanku. Dan mungkin dia berusaha membangkitkan kembali kenanganku bersama mereka dengan benda-benda yang ia tinggalkan.
Dia pasti juga tahu banyak mengenai sistem robotik atau mekanik lainnya. Tak mungkin orang itu membuka tutup lubang di atap dalam waktu yang sebegitu cepatnya.
Orang itu punya akses ke kamera termal atau penglihatan malam atau sistem pelacak lainnya. Tak mungkin dia bisa melacak pergerakanku tanpa itu. Itu artinya, dia punya banyak uang untuk membeli alat-alat itu.
Dia juga cerdas. Tak mungkin dia merencanakan semua ini dengan spontan. Rencananya benar-benar rapi, seakan tanpa celah. Si "hantu" tadi, dia juga seperti menggiringku ke tempat benda selanjutnya.
Hanya satu orang yang memenuhi kriteria itu.
Christine.
Tapi, tak mungkin Christine. Dia tahu banyak tentangku dan teman-temanku. Dia juga anak dari keluarga kaya. Tapi dia tidak mungkin membuat rencana sedetail ini. Christine juga sensitif, karena itu ia tak mungkin menjebakku seperti ini.
"KYA!" aku menarik tali itu sekeras mungkin agar aku tidak terpeleset genangan air. Tapi tetap saja aku terpeleset. Aku mendengar suara badanku membentur lantai dan sesuatu yang pecah.
Tidak, kepalaku masih baik-baik saja. Suara itu sepertinya berasal dari ujung tali ini.
"Bagaimana sebuah genangan air bisa ada di tempat seperti ini?" sewotku sembari bangkit dan mengumpulkan barang-barang yang kujatuhkan.
"Oh, sekarang bajuku basah. Bagus sekali," ujarku sarkastik. Setelah itu, aku kembali berjalan menyusuri tali itu.
Krak! Aku langsung berjingkat mendengar bunyi itu. Aku seperti menginjak tulang rawan atau semacamnya. Dan semoga tebakanku salah.
"Ini seperti..." aku menjejakkan kaki kananku beberapa inci dari tempatnya berada sebelumnya.
"Beling."
Tak ada sedetik kemudian, sebuah lubang membuka di atap ruangan. Sinar matahari menyorot langsung sebuah bola kaca yang pecah, serta beberapa atribut musim dingin.
Aku berjongkok di depan benda-benda itu.
"Sekop, jaket ungu, syal kuning, sepatu bot abu-abu. Ini kan setelan musim dingin favoritku." cerocosku. "Tunggu, apa ini?"
Aku menyibak jaket itu. Di bawahnya, ada sebuah foto yang sepertinya diambil ketika badai salju melanda. Di latarnya, terdapat sebuah rumah yang terlihat seperti ... rumah Edwin?
Aku membalik foto itu. Di baliknya terdapat sebuah kalimat:
Ingat badai salju itu?
Badai salju, rumah Edwin, setelan musim dinginku, sekop, bola kaca. Aku berusaha keras mencari hubungan semua ini.
Kemudian aku ingat sesuatu.
***
"Kau yakin ingin pulang sekarang, Star? Badainya masih berat," tanya Mr. Juan, pemilik toko kelontong di dekat rumahku.
"Semua pengunjung lain juga menunggu di sini," lanjutnya. Aku menggeleng sopan.
"Aku tak bawa ponsel, Mr. Juan. Ibuku akan mengawatirkanku," tolakku.
"Kau bisa gunakan teleponku jika kau mau. Atau aku bisa mengantarmu pulang," tawarnya. Lagi-lagi aku menolak.
"Tak perlu repot-repot, aku bisa pulang sendiri."
Akhirnya Mr. Juan mengalah. "Baiklah jika itu maumu."
Aku merapatkan jaket dan syalku, kemudian berjalan keluar toko. Aku berusaha menembus angin kencang yang menerpaku.
Perlahan tapi pasti, aku berjalan menjauh dari toko itu. Tapi astaga! Aku tak tahu aku berjalan ke mana. Pria tua itu ada benarnya juga. Harusnya aku menunggu di dalam.
Aku berjalan asal, tak acuh kemana aku mengarah.
"Tidak, tidak!" aku jatuh tertiup angin, begitu pun belanjaan yang kubeli. Ibu pasti akan memarahiku sepanjang malam.
Aku meraih belanjaanku, dan berusaha bangkit. Aku berbalik arah, hendak kembali ke toko kelontong tadi.
"Di mana toko itu?" gumamku sambil terus berjalan menembus badai.
Aku meraba-raba, berusaha mencari tiang lampu atau apa pun yang bisa digunakan sebagai pegangan. Namun jangankan tiang lampu. Aku bahkan tak melihat cahaya apa pun.
"Di mana aku?" sepertinya aku sudah tidak berada di jalan raya lagi.
Aku terus berjalan sambil berusaha memecah angin menggunakan tangan kananku, sementara tanganku yang lain menggamit plastik belanjaan.
Lima belas menit aku terus berjalan. Tubuhku mulai goyah karena kedinginan. Ya Tuhan, sebentar lagi tanganku akan mati rasa.
Namun aku memaksakan diri untuk terus berjalan. Aku tak ingin mati dengan cara seperti ini. Lagi pula, posisiku serbasalah, kau tahu?
Lalu, aku melihat cahaya. Aku berjalan dengan susah payah menuju sumber cahaya itu. Itu ... sebuah rumah.
Aku baru hendak mengetuk pintu rumah itu ketika badanku ambruk membenturnya. Kemudian, semuanya hitam.
Sebuah suara memanggilku lembut. "Star..."
"Apa kau sudah siuman?"
"Star..."
Aku perlahan membuka mataku. Ugh, silau sekali. Apa aku sudah di Surga?
"Syukurlah kau sudah sadar," ujar Christine lega.
"Di-di mana aku?" tanyaku.
"Rumahku, Star." Edwin berjalan keluar dari dapur sambil membawa segelas cokelat panas. "Minumlah, Star. Kau pasti kedinginan."
"Terimakasih," balasku sambil mengambil gelas itu darinya. "Bagaimana ... aku bisa berada di sini?"
"Kau pingsan, dan untungnya membentur pintu depan. Kalau tidak, mungkin kami tak akan bisa menemukanmu," seloroh Edwin. Aku bisa saja menjitaknya, jika situasinya bukan seperti ini.
"Mana orang tuamu?" tanyaku lirih.
"Mereka terjebak di Chicago, Star. Badainya lebat sekali. Semua penerbangan dibatalkan. Kau tahu soal Polar Vortex itu kan?" papar Edwin.
Aku mengangguk paham. Polar Vortex yang sedang menghantam AS benar-benar mengacaukan aktivitas keseharian kami.
"Dan, bagaimana kau bisa berada di sini, Christine?" tanyaku lagi.
"Kurang lebih dengan cara yang sama sepertimu," balasnya singkat.
Aku mengeluarkan ponselku, berniat menghubungi ibuku. Bisa jadi ia sedang mengawatirkanku.
"Sial, ponselku membeku," umpatku.
"Gunakan ponselku," ucapnya sambil menyodorkan ponselnya padaku. Aku mengambilnya dengan canggung.
"Terimakasih." Aku langsung menghubungi nomor ibuku dan memberitahukan keadaanku padanya.
"Tidak, bu. Badainya masih lebat," tolakku ketika ibuku mengatakan hendak menjemputku.
"Baiklah. Jika badainya sudah mereda ibu akan menjemputmu segera. Jangan kemana-mana, oke?" cerocosnya.
"Baik, bu." Aku mengakhiri panggilan dan mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya yang sah. Edwin meletakkan ponselnya dan mengeluarkan sebuah permainan papan.
"Jadi, siapa yang mau main?"
***
Ya, badai salju itu.
Tapi, apa yang membuatnya mengingatkanku pada badai salju itu? Dari mana ia bisa tahu tentang insiden itu? Kecuali...
Ada yang menyadap rumah Edwin. Tapi, siapa yang hendak berbuat seperti itu?
Aku mengambil jaket ungu itu. Lubang di atasku tertutup, dan sebuah lubang lain membuka. Seperti tadi, aku mengikuti kemana lubang di langit-langit ruangan itu membawaku. Satu lubang menutup, lubang lain membuka. Yang harus kulakukan hanya mengikutinya saja.
Namun, lubang yang sedang kutuju tiba-tiba menutup. Pertanda buruk.
Dua detik berikutnya, seseorang membekapku. Aku menjatuhkan barang-barang yang kubawa, sambil meronta-ronta dan berusaha teriak minta tolong. Namun nihil.
Aku ... tak bisa ... hmm.
Ugh, kepalaku terasa sakit sekali. Di mana aku?
Masih gelap. Sepertinya aku masih berada di ruangan itu. Ya ampun, kapan semua kegilaan ini akan berakhir?
Aku duduk di lantai. Samar-samar, aku bisa melihat kotak hitam besar itu berada di sampingku. Tunggu, kotak hitam itu?
"Ya ampun, akhirnya aku menemukanmu!" ucapku setengah memekik sambil memeluk kotak hitam besar itu. Aku sangat bahagia menemukan kotak itu kembali, kau tahu? Bisa dibilang itu satu-satunya temanku di ruangan gelap ini. Tapi sayang, aku kehilangan barang-barang yang kubawa.
Aku terkejut ketika kotak itu tiba-tiba membuka dengan sendirinya. Bukan, bukan hantu yang menyebabkannya. Tapi sebuah sistem hidrolik yang menjadi mekanisme kotak itu.
Aku mengeluarkan sebuah handycam dari dalam kotak itu, dan menyalakannya.
Ada sebuah video. Video saat festival olahraga tiga minggu yang lalu.
"Lihat ke sini, Jeff!" itu suaraku. Aku yang memfilmkan itu.
"Ayolah, aku sedang berusaha untuk melakukan pemanasan di sini!" protesnya.
Yah, kurang lebih vlog itu berisi persiapan kami sebelum pertandingan perdana festival olahraga, yaitu triatlon.
Festival itu diadakan seminggu penuh. Siswa masing-masing tahun membentuk empat kelompok yang akan bertanding dalam setiap cabang olahraga untuk menjadi Juara Festival. Dan beruntungnya, kelompok kami mendapatkan juara kedua. Benar-benar menyenangkan!
Kemudian, lampu menyala. Akhirnya, aku bisa melihat ruangan itu seutuhnya setelah selama ini terperangkap di dalamnya. Aku membalikkan badanku dan mengira semuanya akan baik-baik saja.
Namun ternyata, masih ada hal lain yang membuatku terkejut.
Kotak itu terletak di dekat tembok ruangan itu. di tembok itu tertempel catatan-catatan yang isinya hampir membuatku terkena serangan jantung.
Apa kau sudah bahagia sekarang?
Apa kau lupa persahabatan kita?
Kau tak pantas bersama Edwin!
Aku lebih mengenalnya darimu!
Dan masih banyak lagi umpatan-umpatan lain untukku yang terpampang di tembok itu. Sungguh tega!
Tunggu, sepertinya aku tak asing dengan tulisan tangan itu.
Itu ... itu tulisan tangan Christine!
Aku ... aku tak percaya ini. Bagaimana bisa orang sepertinya menjebak dan mempermainkanku seperti ini?
Bagaimana bisa orang sebaik dan semanis dirinya melakukan hal yang seperti ini pada sahabatnya sendiri?
Bagaimana bisa orang yang paling sabar di antara kami sampai berbuat sejauh ini? Padaku, Star McCawthon, sahabat terbaiknya sejak Sekolah Dasar?
Aku harus menemukan jawabannya.
Aku bersandar pada tembok itu, berusaha untuk merenungi dan mencerna kebenaran menohok tersebut.
Dan dia melakukan semua ini ... karena cinta?
Sungguh, aku ... aku sendiri tak tahu apa yang harus kukatakan padanya begitu bertemu dengannya. Aku ... aku tak tahu harus berbuat apa.
Jika aku bertemu dengannya setelah ini, itu akan menjadi sangat canggung.
Sikutku mengetuk tembok itu. "Tunggu, ini bukan tembok," lontarku sambil mengetuk tembok itu lagi. "Ini seperti ... gerbang sebuah gudang!"
Aku mencari cara untuk membuka gerbang itu.
"Harusnya ada tuas di sekitar sini," ujarku sambil berjalan di sekitar gerbang itu. Lalu, aku melihat sebuah tuas. Aku berlari menuju tuas itu, dan menariknya.
"Semoga ini berhasil!"
Kraaak! Kriit!
Bunyi berdecit keluar dari sistem penggerak gerbang itu, yang perlahan menggeser gerbang raksasa tersebut. Akhirnya, aku bebas!
Tapi kejutan belum berakhir.
"Chrissie!" seruku begitu melihatnya.
Christine berlari tunggang langgang, dan aku menyusul di belakangnya.
"AW!" pekikku tertahan saat tersandung kabel-kabel panjang yang tersambung ke laptop yang tersampir dekat tempat gadis itu duduk tadi. Di sebelahnya, seorang pria memerhatikan kejar-kejaran kami, namun tak bisa berbuat apa-apa.
Aku kembali bangkit dan berlari mengejar Christine masuk ke dalam hutan.
"Chrissie!" seruku.
"Pergilah! Pergilah! Pergilah!"
"Chrissie! Aku hanya ingin mengajakmu bicara!"
"Jangan dekati aku!" balasnya terisak.
Dak!
Ia jatuh tersungkur ke tanah. Akar pohon menghentikan pelarian gadis 17 tahun tersebut. Christine tak bisa berbuat apa-apa ketika aku mendekatinya dan duduk di sampingnya.
Wajah gadis itu masih tersungkur ke tanah. Aku bisa mendengar tangisannya menggema di seluruh hutan.
"Chrissie," panggilku lirih. "Duduklah. Mari kita bicara."
Christine mengubah posisinya. Kali ini dia duduk, berhadapan denganku.
"Aku ... aku ..." ia tergagap.
"Tak apa, Chrissie. Aku tahu."
Ia kembali menangis, lebih kencang dari sebelumnya.
Beberapa jam kemudian, polisi beserta teman-teman dan orangtuaku datang ke gudang bekas itu. Christine sendiri yang menghubungi mereka. Aku sudah bertemu dengan orangtua dan teman-temanku. Aku pun dimintai keterangan tentang kejadian itu.
Dan setelah kondisi Christine stabil, aku memutuskan untuk berbicara dengannya.
"Hai, Chrissie."
"Um, hai."
Lengang sejenak.
"M-maafkan aku. Untuk semuanya," sambungnya.
"Tak apa, Chrissie. Aku memaafkanmu. Tapi aku ingin tahu, mengapa kau melakukan semua ini? Maksudku, kita bisa bicarakan ini bersama sambil minum kopi, iya kan?"
Christine menarik napas.
"Semua berawal liburan musim panas lalu ketika aku mulai jatuh cinta pada Edwin. Ketika kau menyelamatkan harga diri Edwin saat pertandingan basket itu, Edwin terus membahas hal itu di depan Christine. Edwin menyebut Star penyelamat hidupnya. Sejujurnya saat itu, aku mulai cemburu padamu." Aku membelalak.
Christine melanjutkan penjelasannya. "Tapi aku merahasiakannya darimu, Star. Aku takut melukai perasaanmu.
"Lalu saat badai salju itu, ingat? Edwin sangat memedulikanmu, Star. Kalian bahkan terlihat serasi saat bermain permainan papan. Dan festival olahraga itu. Omong-omong, kau meninggalkan handycam-mu di kelas Mrs. Gwen, Star. Jadi aku menyimpan handycam-mu."
"Setelah kejadian di rekaman itu, Edwin mengatakan padaku kalau ia suka padamu." Lagi-lagi, aku diberi kejutan olehnya. Aku bisa menebak pipiku sudah merona merah saat ini.
Christine menarik napas. "Jujur, aku patah hati karena itu. Tapi aku rela mengalami semua itu, asal sahabatku bahagia. Semua berpuncak saat kau mengungkapkan perasaanmu pada Edwin, dua minggu lalu. Saat itu, aku kehilangan pikiranku, Star. Aku benar-benar lepas kendali. Apa kau tak sadar sikapku berubah saat kau mengajakku membeli bunga?"
"Aku ... aku marah padamu, hanya karena seorang pria. Star, aku ... aku benar-benar bodoh," lanjutnya. Aku tak tahu harus berkata apa.
Perasaanku campur aduk. Antara kecewa, dan terharu. Antara marah dan sedih. antara—
"Ingat lukisan yang hampir kau beli itu?"
Aku mengangguk.
"Itu melambangkan harapan, juga kebahagiaan. Aku berharap kalian berdua bisa bahagia bersama, Star." Ia menggenggam tanganku.
Mataku berkaca-kaca. Kemudian, aku memeluknya erat. Astaga, aku bingung harus marah, iba, atau berterimakasih padanya.
Aku melepas pelukan, tapi masih menggenggam tangannya.
"Jangan pernah membiarkan cinta menghancurkan persahabatan kita lagi. Janji?" ujarku.
"Janji," balasnya. "Jadi, kau akan berpacaran dengan Edwin?"
Aku menggeleng. "Aku memang mengungkapkan perasaanku padanya. Tapi aku belum mau berpacaran. Aku masih punya studi untuk dilanjutkan, dan seekor kucing untuk diurus. Kau tahu, aku masih ingin fokus pada hal-hal yang sudah lebih dulu kumulai."
"Hei, kalian sudah berbaikan?" Edwin yang tiba-tiba muncul mengejutkan kami berdua. Astaga, semoga dia tak mendengar percakapan kami.
"Ya, seperti yang kau lihat." Christine memberikan senyum simpul padaku dan Edwin.
"Omong-omong, mana Jeff?" tanyaku mengalihkan topik.
"Entah—oh Ya Tuhan, APA ITU?!" Aku menoleh. Sesosok hitam tinggi besar berdiri tepat di belakang Christine. Spontan aku ikut memekik.
Ya ampun, itu Jeff! Dia baru saja mengisengi kami dengan menyamar sebagai monster menggunakan semak-semak.
"Hei, ayolah! Kau merusak suasana!" hardik Christine. Jeff tertawa iseng.
"Maaf, maaf."
Jeff mendekatkan kepalanya ke telingaku.
"Rahasia kalian aman bersamaku," bisiknya. Benar-benar iseng!
"Jadi anak-anak," ucap ayahku. "Berhubung kalian semua sudah kembali akrab dan kami tak ingin menghabiskan puluhan ribu dolar untuk menyewa pengacara, kami memutuskan untuk melupakan semua ini. Oke?"
"Ayo kita pulang, anak-anak. Hari sudah malam," ajak ibuku.
Setelah ayahku menyelesaikan urusannya dengan polisi, kami beranjak masuk ke dalam mobil keluargaku, kemudian ayahku menyetir pulang.
***END OF RUANGAN GELAP DAN KENANGAN TENTANG KITA***
K O L O M N U T R I S I
1. Ingat-ingat masa remajamu, kenakalan apa sih yang paling membekas di memorimu?
2. Jika STAR memiliki fobia pada ruang gelap, apa ketakutan terbesarmu?
3. Apa pendapatmu terhadap cerita Ruangan Gelap dan Kenangan Tentang Kita?
***
Buatlah ilustrasi karakter STAR menurut imajinasimu (boleh anime/kartun, intinya buatan sendiri) untuk mendapatkan paket buku gratis dan pulsa dari STARRAWS (Lihat keterangan lebih jelas di bab "WATTPAD TODAY: STARRAWS ZONE")
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat, seperti yang terdapat dalam aturan dasar RAWS Community. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote cerita dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon A Time in STARRAWS
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top