STARRAWS YOU | Little Spaceship by SalmaNaru7

| An Adventure-friendship Story |

"Punya selera unik. Pecinta komik yang bukan otaku, belakangan lagi suka shounen. Suka makanan manis tapi juga suka yang gurih. Perfeksionis tanggung, but she loves her life anyway." - The Rising Star, SalmaNaru7

***

Star terbangun di sebuah ruangan gelap. Dia sempat terpeleset akibat sepatunya lepas sebelah saat mencoba bangkit berdiri. Sebuah kotak hitam dan hesar di sudut ruangan begitu menarik perhatian, mengabaikan sebelah sepatu yang entah di mana, sambil berusaha mengingat kejadian terakhir sebelum pingsan dan terbangun di tempat misterius, Star mendekati kotak itu.

Bukannya pengait kotak, justru sebuah tangan lainlah yang tersentuh, mengakibatkan teriakan kaget dua remaja laki-laki menggema cukup keras.

"Tunggu, kau orang?"

"Itu pertanyaanku, tahu!"

Ternyata, Star tidak sendirian di tempat itu. Remaja yang tampak seusianya dengan rambut gelap tersebut ternyata bernasib sama dengan Star. Bedanya, dia sangat cerewet dan banyak ngomong.

"Aku Star Jones. Kau?"

"Planetarium. Panggil saja Planet." Tangan Star pun dijabatnya. "Tunggu, namamu Jones? Di negaraku, Jones berarti jomlo mengenaskan!" Pemuda itu tertawa keras sekali sambil memukul-mukul bahu Star, terdengar sumbang.

Entah kenapa Star tidak begitu kesal dengan Planet. Dengan cepat dia tahu bahwa Planet memang tipe orang ceplas-ceplos dan tidak pikir dua kali sebelum bicara. Setelah perkenalan singkat, akhirnya kotak hitam tadi pun dibuka.

Isinya adalah sobekan peta.

Star sudah meraba-raba setiap sudut kotak, mengguncang-guncangnya, bahkan memutar kotak itu sampai terbalik, tetapi tidak ada lagi yang bisa dia temukan. Star merebut peta itu dari tangan Planet dan memperhatikannya baik-baik. Kelihatannya peta ini memang dirobek sembarang, tetapi kenapa tidak ada sisa peta yang lain? Gambarnya juga aneh, jelek, tulisan tangan. Kalau tanda hitam di sudut peta ini adalah posisi sekarang, kemungkinan besar ...

"Star, itu jariku!"

Star tersentak, baru sadar kalau dia menyangkutkan jari telunjuk Planet di telinganya. "Maaf, kebiasaan."

Setelah yakin tidak ada lagi yang bisa ditemukan, mereka pun memutuskan untuk keluar dari ruangan gelap tersebut.

Ternyata, di luar jauh lebih terang. Sepertinya matahari baru saja terbit. Tidak ada yang aneh. Hanya sebuah jalan setapak dengan sedikit rumput dan pepohonan, tetapi tempat ini benar-benar asing.

"Pfft, lihatlah kau. Memakai sepatu yang berbeda ukuran dan tipe. Dan buat apa kau pakai kacamata jika tidak punya lensa, huh?" Planet melihat Star dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sepatu pantofel besar dan sepatu tali berwarna hijau menyala. Keduanya sama-sama sebelah kanan. "Norak."

"Planet, kau cerewet sekali." Star memilih mengabaikan, dia sedang mencoba berkonsentrasi. Menurut peta ini, mereka harus berjalan terus ke depan, belok kiri, lalu buntu. Mereka butuh sisa peta. "Kita tak punya pilihan lain. Ayo jalan."

Star tahu betul, lokasi mereka sekarang makin misterius. Dan sejak sadar bahwa ia terdampar bersama orang lain, dan dengan sobekan peta di dalam kotak hitam besar, Star tahu sekarang mereka bukan berada di tempat biasa. Planet sendiri juga merasa tempat ini aneh.

Benar saja. Setelah berjalan beberapa lama, mendadak area yang mereka lewati tidak lagi rumput semak dan beberapa pohon, tetapi menjadi lebih berwarna dengan bunga-bunga. Namun, ada satu bunga yang paling banyak jenisnya.

"Bunga kertas? Hei, Planet. Lihatlah--" Star berhenti saat sadar Planet tidak lagi berada sisinya.

Di belakang, Planet kelihatan takut, dan napasnya tidak teratur. Seakan keadaan belum cukup buruk, bunga-bunga kertas itu tiba-tiba bergerak, berkumpul, perlahan-lahan membuat sosok seperti monster setinggi tujuh kaki.

Monster itu bergerak mendekati mereka.

Star berusaha untuk tidak panik, memikirkan pelan-pelan apa yang harus dia lakukan.

Sementara Star berpikir, keadaan Planet makin kacau. Dia mulai meracau dan minta pulang. Seakan sosok sok tahu yang saat perjalanan tadi selalu berceloteh menjadi orang lain yang takut bunga kertas.

"Planet, tenanglah!" Merasa tak mungkin melarikan diri sendirian, Star terpaksa membopong Planet. Sepatu longgarnya hanya membuat Star makin kesulitan untuk bergerak cepat. Melempar mosnter itu dengan batu adalah hal sia-sia, karena bunga itu segera pulih.

Saat monster itu mendekat, Star terpaksa mendorong Planet ke samping dan bunyi dentuman tinju yang kuat menggema. Cekungan di tanah cukup membuat Star ngeri pada monster yang sekarang tampak mengincar Planet.

"Planet!" Star tidak mau rekan satu-satunya di sunia asing ini mati. Kalau mau mati, mati bersama saja. Jadi, dia nekat melompat, melindungi Planet yang kini meringkuk ketakutan sambil memejamkan mata.

Star sudah siap menerima pulukulan keras, tetapi monster itu mendadak mengerang, sebelum lenyap ditiup angin.

Belum selesai keterkejutannya, dua orang remaja laki-laki muncul. Seorang berambut pirang dan bermata sipit dengan sebilah pisau silet di tangan, dan di belakangnya berambut gelap dengan postur bungkuk. Jangan lupakan kantong hitam besar di bawah mata.

"Syukurlah kami datang tepat waktu! Ada akar yang bergerak-gerak mencurigakan, tanganku jadi gatal ingin memotong." Yang berambut pirang berbicara duluan. Ekspresinya seceria mentari pagi.

"Sun, kembalikan pisauku." Sedangkan rekan satunya lagi bisa dibilang kebalikannya. Suram dan tanpa semangat. Pergelangan tangannya penuh perban.

Star benar-benar bersyukur mereka datang.

Berkat harga dirinya yang tinggi, Planet pulih dengan cepat. Ternyata, dua orang ini juga bernasib sama dengan mereka. Terbangun di ruangan gelap hanya untuk menemukan sobekan peta di dalam kotak hitam.

Untungnya, sobekan peta mereka cocok.

"Namaku Sun! Nama asliku Sun Wei Long, tetapi aku lebih suka dipanggil Sun dengan pengucapan bahasa Inggris." Sun memperkenalkan diri, mata sipit itu nyaris hilang. "Dan ini Park Moon!"

Singkat kata, tim yang tadinya hanya dua orang, kini sudah berempat. Mereka mengikuti peta itu bersama-sama. Sepertinya, Planet tidak menyukai Moon. Star menganggap hal itu karena Moon jauh lebih tinggi dari Planet, dan mungkin juga karena sikapnya yang sedari tadi mengeluh.

"Apa kita berempat akan mati bersama di sini?"

"Oh, ayolah Moon! Bersemangat! Kita semua pasti akan pulang!"  Berbeda sekali dengan Sun yang berkata optimis dan selalu ceria. Dia juga yang paling pendek di antara semuanya.

Star jadi berpikir bahwa mereka sengaja dipasangkan karena saling melengkapi. Apa itu juga berlaku untuk kasusnya dan Planet, ya?

Kali ini, mereka mulai memasuki sebuah hutan.

Planet memaksa Moon untuk memimpin jalan. Dia memegangi bahu Moon dan berjalan tepat di belakangnya, sampai pada sebuah akar gantung pohon beringin yang cukup--tidak, sangat lebat. Saking lebatnya, mereka tak bisa melihat apa di sebalik akar gantung ini.

"Tunggu, ini bukan akar gantung." Planet mengintip dari balik punggung Moon. Dia mengulurkan tangan, menggapai satu helai. "Ini be--"

"BENANG!"

Tepat dengan teriakan Moon, tangan Planet nyaris dililit akar gantung benang itu.

"Jauhi makhluk itu!" seru Star tegas. Benang-benang itu hidup! Mereka bergerak dan menggeliat-geliat, berusaha menggapai-gapai mereka.

Planet tidak perlu disoraki dua kali agar mengerti. Anehnya, Moon justru terpaku. Pemuda itu gemetaran hebat, sampai-sampai kakinya tak bisa bergerak. Jika Sun terlambat menarik tangannya sedetik saja, mungkin bukan hanya kaki Moon yang tertangkap, tetapi seluruh tubuhnya.

Melihat sebelah kakinya dililit benang, Moon pingsan seketika.

"Moon!"

Untung saja mereka berhasil menarik Moon lepas, dengan merelakan sebelah sepatu Moon dililit oleh akar gantung hidup tadi.

Star dan Sun sempat berniat untuk membunuh pohon beringin ini, tetapi akar gantung ini berasal dari benang. Lagipula, pisau silet kecil milik Moon tak akan bisa membunuh sebuah pohon besar ratusan tahun.

Star menyangkutkan sehelai daun ke telinga, sebelum menoleh pada Planet. "Hei! Kau punya pemantik api?"

"Kau pikir aku perokok seperti teman-temanku?"

"Kau punya atau tidak?"

"Tidak." Planet cengar-cengir.

Akhirnya, mereka menemukan sebuah pemantik api di salah satu kantong Moon.

Sebelum Star sempat membakar, sesuatu terciprat ke muka Sun. Warnanya putih, agak kental, dan berasal dari juntaian akar benang itu. Ternyata itu susu. Meski kurang jelas, samar-samar akan terlihat sebuah kotak susu yang sedang dililit benang.

"Ada orang lain di balik akar ini?"

Detik berikutnya, Sun buru-buru merebut pemantik api dan segera membakar benang akar gantung. Api menyebar dengan cepat, dan dalam waktu singkat, semua akar gantung benang tebakar, menyisakan pohon beringin besar dan sesosok pemuda berdiri di seberang.

"Kau!" Planet tiba-tiba berdiri. "Kau pasti pelaku dari semua ini, bukan? Pulangkan kami!"

Jika Sun tidak melerai, mungkin keadaan akan makin kacau. Star hanya mengangkat alis melihat secarik peta di tangan orang baru itu.

Sepuluh menit kemudian, keadaan baru bisa stabil. Moon sudah siuman, dan mereka juga sudah keluar dari hutan.

"Galaxy Albertovich Ivanov. Jadi, kau juga terbangun di sebuah ruangan gelap dan mengikuti sobekan peta?" Sun mendongak setelah membaca nama yang terbordir di seragam SMP itu. Galaxy, dia tinggi sekali. Irisnya biru dengan rambut kecokelatan.

Galaxy hanya mengangguk. Ternyata, dia tidak berbicara. Dia juga tidak memakai bahasa isyarat. Malas, tebakan Star yang Galaxy angguki. Galaxy juga kelihatan selalu meminum susu kotak.

Star jadi mengerti kenapa ada susu kotak dililit akar gantung benang tadi.

"Astaga, apa kita akan bertemu satu orang lagi nanti?" Planet mendelik pada Galaxy. Menunjukkan ketidaksukaan dengan terang-terangan.

Dengan adanya sobekan peta lain dari Galaxy, maka peta mereka hampir lengkap. Mereka menghabiskan waktu sejenak untuk beristirahat di bawah pohon, menatap lamat-lamat peta yang direkatkan dengan lem milik Galaxy.

"Aku masih tak mengerti apa maksud dari dunia ini, dan apa yang akan kita dapat jika mengikuti peta." Star melihat empat rekannya dengan serius. "Apa cara untuk pulang?"

Perjalanan kali ini lebih terasa ramai dari sebelumnya, terlepas dari fakta bahwa Galaxy sama sekali tidak bersuara. Planet menggumamkan lagu, Moon makin banyak mengeluh dan bersumpah tidak akan pernah ke hutan lagi, Sun mengajak Galaxy mengobrol meskipun hanya satu sisi. Star berjalan paling belakang, berlagak malas meskipun dia sibuk memperhatikan.

Sesuatu tiba-tiba jatuh dari langit, tepat di depan kaki Planet.

"Huh? Cecak?"

Star sadar, bahwa kemunculan cecak dari langit adalah pertanda buruk. Namun, dia tak tahu apa yang lebih buruk dari hujan cecak yang membuat rumput hijau di hadapan mereka menjadi berwarna cokelat muda, dan Galaxy yang beringsut bersembunyi di belakang Moon.

Lebih gila lagi, gerombolan cecak itu mengejar mereka!

"Hujan cecak?" Star mendecakkan lidah, merogoh sakunya. Dia mengeluarkan sekantong serbuk cokelat gelap.

Sementara itu, Planet sudah mengajak Moon dan Galaxy untuk menjauh. Hanya Sun yang tetap tinggal di belakang Star.

"Apa rencanamu, Star?"

"Kau lihat saja." Star merobek plastik itu, kemudian menyebarkannya ke arah gerombolan cecak. "Ugh, menjijikkan."

Bau kopi yang menyengat memenuhi area, mengakibatkan para cecak itu mundur, sebelum benar-benar musnah seperti yang terjadi pada dua makhluk sebelumnya.

"Tak kusangka ini bekerja."

Ini benar-benar aneh. Namun, berkat itu, Star jadi paham bagaimana dunia ini bekerja.

Apa selanjutnya giliranku?

Galaxy cukup pandai dalam mengendalikan rasa takut, dan tentu saja olokan Planet dia abaikan. Sun masih ceria, memuji betapa cemerlangnya ide menebar serbuk kopi. Dan Moon tidak seberisik tadi soal keluhannya.

"Kau bilang mungkin pelaku terjebaknya kita di sini adalah salah satu dari kita?"

Sejak Galaxy mengatakan itu, Star jadi berpikir lebih keras. Meskipun Planet mulai heboh menuduh Moon dan Sun sibuk melerai, jika dipikir-pikir lagi, semua memang masuk akal. Tapi, siapa?

Belum selesai Star berpikir, mereka sudah didatangi masalah baru. Petanya habis di depan sebuah pertigaan, entah harus pergi ke kanan atau ke kiri.

Planet dengan semangat mengajukan kanan, sayangnya Moon dan Galaxy punya opini lain. Star juga berpikir kiri adalah arah yang tepat, tetapi dia tak bisa meninggalkan Planet sendirian.

"Kita pergi mencari sobekan peta, dan kembali lagi ke sini paling lama satu jam."

Akhirnya, Star dan Planet pergi ke kanan, dan tiga lainnya pergi ke kiri.

Makanya, Star begitu terkejut saat menemukan kotak hitam besar di bawah pohon palem. Persis seperti yang ada di ruangan itu. Planet pun bangga sekali, sebelum bergegas membuka kotak tersebut.

"Aku benar, bukan? Seharusnya kau saja yang pegang peta, Star. Bukan merek--huh?"

Star rasa bulu kuduknya merinding, jantungnya berdegup lebih cepat seperti sedang berlari. Kotak itu bukan berisi peta.

Namun, sebuah cermin.

"Planet, lari!"

Dunia ini gila! Setidaknya itu yang ingin Star teriakkan menemukan bahwa cermin itu memiliki sepasang tangan dan kaki, dan kini mengejar mereka.

Star makin paham, tiap fobia muncul dalam bentuk mimpi buruk yang paling buruk.

"Star? Kau kenapa?" Planet sepertinya bingung karena mengira Star akan punya akal untuk menghadapi cermin hidup itu, tetapi menemukan reaksi Star seperti ini, Planet tak sebodoh itu untuk tak paham.

Saat mereka sudah dekat dengan pertigaan, kelihatan Sun, Moon, dan Galaxy sudah menunggu. Sun melambai-lambaikan peta yang kelihatan lengkap. Star ingin sekali menyuruh mereka lari, tetapi tenggorokannya tercekat.

Terima kasih kepada sepatu pantofel longgar punya saudara sepupunya, Star sukses terjungkal, disusul dengan Planet yang ikut terjatuh.

"Kalian baik-baik saja?"

Sun mendekat dengan panik, sedangkan Moon justru melihat ke arah lain dengan ekspresi ngeri. Meski wajah Galaxy sama datarnya, kilat terkejut juga tampak di sana.

"Cermin berjalan!"

Star bahkan tak sadar saat tangannya bergerak cepat merampas peta di tangan Sun, sebelum menelannya.

"Star! Apa yang kau--"

Planet bersiap menyerang, ada dua buah batu sekepalan tangan. Moon sibuk memunguti batu terdekat. Saat cermin itu mendekat, Planet melontarkan batu, sayangnya meleset.

"Sial! Lincah sekali!"

Setelah gagal berkali-kali, akhirnya cermin itu pecah juga berkat lemparan Galaxy. Suara pecahannya membuat Star mengerang keras.

Cermin itu masih hidup! Dia berjalan gontai mendekati Star, dan Galaxy segera memberi tendangan terakhir sampai cermin itu serius hancur. Kemudian, amgin berembus memusnahkan cermin berjalan tadi.

Keadaan selanjutnya sangat hening. Star yang akhirnya tenang menunduk dalam-dalam, bahkan dia hanya diam saat Planet menyodorkan kacamata tak berlensa. Yang lain berdiri mengelilingi Star. Wajah Galaxy tetap datar. Moon kelihatan ketakutan dan panik. Planet melihat ke arah lain, seperti merutuk. Dan Sun kehilangan senyum cerianya.

"Maafkan aku." Mereka sudah menghadapi rentetan kejadian luar biasa hanya demi mendapat peta utuh agar bisa pulang. Dan sekarang peta satu-satunya sudah hilang ditelan Star. Banyak jalan berliku di sini, tanpa peta mereka pasti akan tersesat. "Aku benar-benar--"

"Tidak apa, Star. Bukan salahmu!" Planet duluan berbicara, menepuk punggung Star keras-keras. "Sekarang kita hanya butuh mengandalkan insting! Pasti bisa!"

"Y-ya! Planet benar!" Sun bahkan tersenyum paksa. "Oh, bahkan Galaxy juga percaya ini bukan salahmu, Star."

Lagi-lagi keadaan hening. Coba saja Star sempat melihat potongan terakhir tadi, mungkin dia bisa ingat.

"A-anu, teman-teman." Moon tiba-tiba mengangkat tangan. "Aku tidak yakin, tapi kurasa aku bisa menggambar ulang petanya."

Ingatan fotografis. Kemampuan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang, siapa sangka Moon yang suram termasuk salah satunya. Moon adalah orang yang merekatkan semua sobekan peta, makanya dia ingat betul bentuk dan lekukannya. Dengan pena Galaxy dan kertas di saku Sun, mereka mendapatkan kembali peta seperti semula.

"Yes! Sebentar lagi kita bisa pulang!"

Akhirnya, senyum kembali terbit di bibir masing-masing. Sun memuji Moon habis-habisan, bahkan Galaxy sampai menawarkan persediaan susu kotaknya. Star tahu merasa bersalah tak akan membuahkan apa-apa. Hanya Planet yang jadi semakin diam.

"Aku tak tahu bagaimana jadinya jika kau tidak ada, Moon!"

"Jangan berlebihan, Sun."

Jika memang dugaan Galaxy benar, mungkin yang patut dicurigai di sini adalah Moon atau Sun. Tapi, kenapa? Moon sejak awal begitu pesimis. Atau Sun? Benar juga! Sampai sekarang hanya ketakutan Sun yang belum muncul. Atau dia tak punya?

"Star, berhentilah menggunakan jariku untuk berpikir."

Star terkejut. "Maafkan aku, Planet." Dia cengar-cengir, sesaat. Kalau dilihat-lihat pun, mana mungkin Planet pelakunya. Atau Galaxy? Dia mencetuskan ide ini agar tak dicurigai.

Siapa sebenarnya yang sedang berpura-pura?

Saat Star sedang sibuk berpikir, suara letisan balon membuatnya kaget. Detik berikutnya, jeritan Sun menggema keras. Semua orang terlonjak terkejut ketika Sun meringkuk sambil menutup telinga dengan telapak tangan.

Ada sebuah balon besar menghalangi jalan, parahnya lagi ukurannya semakin besar tiap detik. Dari belakang, tampak balon itu memunculkan balon-balon kecil yang terbang ke udara, dan meletus di ketinggian sepuluh meter.

Sun takut balon?

Saat erangan Sun makin terdengar memilukan, Star membantu menyumbat telinga Sun. "Hancurkan balon itu!" Atau ukurannya akan semakin besar dan tetap memproduksi balon kecil yang akan meletus tiap saat.

Planet mencoba melempar balon itu dengan batu, tetapi batunya justru memantul dan nyaris melukai Moon. Mereka sadar, tak ada cara lain selain meletuskannya dengan benda tajam.

"Pisau silet."

Galaxy meletakkan tangannya di atas tangan Star, mencoba agar Sun hanya bisa mendengar sekecil mungkin suara. Namun yang mengejutkan, Moon merebut pisaunya dari tangan Planet.

"Aku memang takut, tapi aku ingin melakukan sesuatu untuk Sun."

Dengan tangan bergetar, Moon menancapkan pisau pada balon yang sudah setinggi tiga meter. Suara ledakannya keras, anginnya mengibarkan rambut semuanya, bahkan juga dedaunan pohon.

Empat orang itu ambruk ke tanah. Setelah hening beberapa lama, mereka tertawa-tawa, termasuk Sun. Sungguh, mereka berharap itu adalah monster terakhir hari ini.

"Tinggal satu belokan lagi dan kita sampai di lokasi." Star memperbaiki posisi kacamata.

Matahari sudah mulai turun, menandakan hari sudah sore. Meskipun lapar dan letih, lima pemuda itu justru tampak masih bersemangat. Apalagi setelah mendengar bahwa lokasi tujuan sudah dekat.

"Jika makhluk aneh lain muncul, aku mau kabur saja." Planet mengusap rambut hitam pendeknya kasar.

"Kurasa itu yang terakhir!" Sun tertawa lebar. "Bukan begitu, Moon?" Ia merangkul Moon yang lebih tinggi dengan susah payah.

Star hanya tersenyum, tetapi hanya sesaat. Saat monster balon itu muncul, dia sempat dengar bisikan lirih.

"Seharusnya tidak begini."

Apa pun itu, jawabannya akan terkuak juga nanti. Jadi, ayo lihat apa yang akan mereka dapat di sini.

"Seharusnya di sini ada kotak." Star menatap empat teman-temannya yang berdiri melingkar. "Peta ini bilang begitu."

"Kalau begitu, ayo kita cari ko--"

Angin kencang tiba-tiba berembus, kelimanya dipaksa untuk menyipitkan mata.

"Angin apa ini?"

Saat anginnya sudah usai, mereka dikejutkan dengan suara cecak yang keras.

"Itu apa?"

Kelimanya menatap ngeri pemandangan di hadapan mereka. Ada sebuah--bukan, seekor--tidak, sesosok monster terseram!

Kepala dan kakinya adalah cecak raksasa. Tangan kanannya terbuat dari gumpalan balon-balon dan tangan kirinya memantulkan cahaya, itu cermin! Badannya terbuat dari untaian benang kusut, dan terakhir beberapa pucuk bunga kertas di tengah-tengah dadanya. Tingginya sekitar tiga meter.

"Ka-kau pasti bercanda ...." Star menggeleng tak percaya, bisa merasakan tangannya mulai bergetar.

Keadaan yang lain tak jauh beda. Planet mulai gemetaran dan sesak napas, Moon terpaku seperti melihat hantu, Galaxy meremas kotak susunya dengan tangan bergoncang, dan Sun sudah sibuk menutup telinganya.

Yang benar saja! Mereka sudah menghadapi lima makhluk aneh, dan sekarang ini?

"Bi-biar aku yang hadapi."

Semua melihat ke arah Planet yang maju sambil mengeluarkan beberapa batu dari saku celana. "Lihat, hanya ada secuil bunga kertas di sana. Aku tak akan masalah menghadapi ini. Dari tadi aku belum melakukan apa-apa. Jadi, maksudku, aku bisa mengalihkan perhatian sambil kalian mencari kotak itu."

"Ide bagus." Star duluan menanggapi. "Ayo teman-teman, siapa tahu mosnter itu akan hilang jika kita temukan kotaknya."

Star berbalik, memunggungi monster itu dan Planet, diikuti oleh tiga orang lain yang kelihatan ragu. Star menyeringai pada Sun yang terlihat bingung, tetapi melihat otu Sun tampak mengerti dan mulai berjalan mantap.

Baru beberapa langkah berjalan, Moon berhenti. "Aku tidak mau." Suaranya terdengar agak bergetar. "Tidak mungkin aku meninggalkan Planet seorang diri, aku juga akan menghadapi monster itu. Aku ingin melawan ketakutanku." Dia berbalik dan berlari ke samping Planet.

Galaxy juga berbalik, tanpa bicara juga berjalan tenang ke sisi lain Planet. Dia tersenyum kecil.

"Teman-teman ...."

Star dan Sun saling bertatapan, kemudian tersenyum.

"Yak! Kalian tahu apa? Kurasa bunga kertas itu adalah kelemahannya!" Sun berbalik dan menyeringai lebar. "Star, katakan rencanamu."

Mereka mulai bergerak.

Dimulai dengan Moon yang menusuk kaki cecak membuat keseimbangan monster itu goyah. Ukurannya yang besar membuatnya lambat, menjadi keuntungan tersendiri bagi mereka. Setelah itu, Planet segera melemparkan serbuk kopi ke arah muka monster.

Monster itu panik dan kebingungan. Sun melemparkan batu dan memecahkan lengan cermin, sementara Galaxy menaikkan Star di bahunya agar dapat memanjat badan monster lewat tangan balon. Kemudian, dia melompat dan menyambar bunga kertas sebelum mendarat di tanah.

Angin kencang sekali lagi berembus, membawa pergi tubuh monster itu.

Mereka hampir tak percaya dengan mata mereka sendiri, padahal tangan masing-masing masih gemetaran.

"BERHASIL!"

Moon dan Planet saling berpelukan. Sun berteriak girang. Galaxy tersenyum, tangan kanannya terkepal. Star meninju udara sambil mengerang.

Mereka berhasil!

"Lihat!"

Di tempat monster tadi hilang, ada sebuah kotak hitam besar, lebih besar dari kotak hitam yang menyimpan sobekan peta.

Ketika dibuka, semuanya melongo. Moon terperangah, Planet berkedip-kedip bingung, Sun melebarkan mata, dan Galaxy juga Star mengerutkan kening.

"Gelang?"

Ada lima buah gelang di sana. Gelang karet berwarna hitam, di pinggirnya terdapat hiasan benda-benda langit dari matahari, bintang, planet, bulan, dan bahkan galaksi.

Planet awalnya berang, merasa ini semua hanya main-main. Mereka nyaris mengorbankan nyawa hanya untuk sebuah gelang? Namun, Moon justru merasa ini tak begitu buruk, karena dia bisa bertemu dengan teman-teman baru.

"Sahabat." Galaxy tersenyum, mengejutkan semua orang dengan suara seraknya

"Maafkan aku teman-teman." Tiba-tiba, Sun angkat bicara. "Ini semua salahku. Akulah yang penyebab kalian terjebak di sini."

Yang lain menoleh bersamaan.

"Sebenarnya, aku kesepian." Setetes air mata jatuh.

Sun mengaku bahwa dia adalah anak ketiga, karena dia kembar. Karena regulasi di Cina, Sun tidak diizinkan untuk keluar rumah. Dia dianggap tidak ada, disembunyikan, diabaikan, sendirian. Semua itu karena Sun berasal dari keluarga terpandang.

Suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor cerdas, dan meminta untuk dibuatkan sebuah dunia, di mana ia bisa merasakan bagaimana punya teman.

"Aku ingin punya teman dari seluruh angkasa!"

Begitulah permohonan Sun, sebelum dia menekan tombol ke dunia ini.

"Kalian boleh marah padaku, pukul aku juga boleh. Sungguh." Sun mengusap air matanya.

Galaxy menepuk kepala Sun pelan, tersenyum. Detik berikutnya, Planet memeluk Sun, disusul oleh Moon. Mereka menangis dan mengatakan betapa kuatnya Sun. Star hanya menepuk-nepuk bahu Sun sambil terkekeh, diam-diam air matanya juga berlinang.

Setelah memakai gelang itu, kelimanya berjanji untuk bertemu lagi suatu saat nanti ketika sudah dewasa.

"Gelang ini akan menjadi bukti persahabatan kita."

***END OF LITTE SPACESHIP***

Jangan lupa cek work versi panjangnya di akun penulis!

***

K O L O M N U T R I S I

1. Apa kamu pernah membentuk kelompok bersama sahabat-sahabatmu? Bagaimana sejarahnya?

2. Jika belum pernah, apakah kamu bermimpi untuk memiliki kelompok bersama banyak teman? Akan kamu namai apa kelompokmu nanti?

3. Apa pendapatmu terhadap cerita Little Spaceship?

***

Jika tertarik berpartisipasi dalam antologi ini, silakan publikasikan karyamu di Wattpad pribadi, sertakan tagar #STARRAWSInAction, satu cerita terbaik akan dipublikasikan ulang di work ini (lihat keterangan lebih jelas di bab "WATTPAD TODAY: STARRAWS ZONE").

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat, seperti yang terdapat dalam aturan dasar RAWS Community. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote cerita dang follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon A Time in STARRAWS

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top