STARRAWS YOU | Gelap dan Kaca by Atalashka
| A Mystery - Supernatural Story |
"Seorang pemimpi yang tersesat dalam tumpukan tugas dan remah biskuit." - The Rising Star, atalashka
***
Sebungkus keripik kentang instan terlontar kala kendaraan-kendaraan berlaju lalu. Berbaur dengan debu-debu polutan yang menyesakkan dada, bungkusan itu pun kemudian ditato corak-corak ban motor. Warna hijau menyalanya kian meredup, isinya kempes kosong, hanya remah-remah keripik yang terbawa angin-angin. Tidak lama bungkus itu terjatuh di atas genangan kotor, di mana pada akhirnya bungkusan itu pun bersatu dengan teman-teman buangan bernama sampah.
Cukup lama bungkus keripik itu berlabuh di sana. Di depannya sebuah trotoar berundak dua puluh sentimeter terinjak-injak oleh sepatu-sepatu yang sibuk. Di atasnya angkasa merenung berat, suasana hatinya begitu muram. Mungkin sempat terpikirkan oleh bungkusan itu, jika pun dia bisa berpikir, pandangannya akan dunia menjadi lebih luas dan jauh.
"Aduh, jatuh."
Genangan yang didiami si bungkus mendapat sebuah gaya asing yang kuat, air kotornya terciprat ke mana-mana, sempat juga menodai sebuah sepatu hak. Si Bungkus keluar dari genangan, terlempar lagi terbawa motor. Penglihatannya (jika pun dia punya mata) menangkap sebuah kacamata berbingkai tanpa lensa menggantikan tempatnya tadi, sebelum ia tersangkut di roda motor yang sedang berkitar cepat.
"Aih, kotor, deh," gerutu seorang pemuda berpenampilan asal.
Sebuah motor yang sedang mengebut lantas tertarik inersia kuat. Pun motor yang tersangkut sebungkus keripik instan keluar dari jalur.
"Kenapa?"
"Ada motor jatuh!"
"Tiba-tiba ketabrak sendiri!"
"Cepat panggil ambulans!"
"Loh, kok di rodanya ada bungkus keripik?"
Di tengah porak-poranda pemuda yang tadi menggerutu itu tetap bersikukuh. Rasa penasarannya dengan sekitar benar-benar dihiraukan, tetap memandang kacamatanya yang jatuh dari saku bajunya.
Di lain pihak keberadaan pemuda itu tiba-tiba menjadi sebuah pengganggu, orang-orang di sekitar menurunkan kecepatan jalannya dengan kesal. Beberapa keluar dari trotoar, terus berjalan sambil mendelik ke pemuda berkaos oblong kusut.
"Permisi, Mbak," sahut si pemuda itu saat seorang wanita bercelemek berpapasan dengannya,
"Bisakah ambilkan kacamata itu untuk saya?"
"Hah?" Wanita itu pun berhenti dan menunjukkan muka dongkol pada pemuda itu. Wanita itu berlanjut jalan.
"Permisi, Dik."
Kali ini seorang bocah yang duduk di bangku kelas satu disapa oleh pemuda itu. Ia menghentikan langkahnya dengan ragu-ragu, menentang netra abu asap pabrik itu dari ekor matanya.
"Bisa ambil kacamataku?" pinta pemuda itu sembari mengulurkan tangannya.
"Kenapa enggak ambil sendiri?" tanya bocah itu.
"Ambilkan kacamataku."
Bocah itu terpaku beberapa saat, sedikit salah tingkah, sebelum menuruti perkataan pemuda itu. Ia menyentuh salah satu tangkai kacamata tanpa lensa itu dengan kedua jari pertamanya.
"Thanks, Dik. Memang sewaktu-waktu bocah itu lebih baik dari orang dewasa, mereka tidak sempat memikirkan prasangka yang dibuat sendiri," ujarnya seraya meraih kacamata kotor itu dari tangan si bocah.
Bocah itu menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal, lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Pemuda itu menatap sekilas punggung si bocah, sedang ia masih mengabaikan sekelilingnya yang makin riuh.
"Nah."
Berkata penuh lega, si pemuda pun memasangkan kacamatanya. Ia sedikit menyisir rambut kemerahan yang menutupi kupingnya. Seusai itu, dia keluar dari trotoar yang sesak, melangkah pelan menjauhi situs kecelakaan yang baru lahir beberapa menit lalu.
Kakinya dibiarkan untuk menapak gang-gang kecil yang mengeluarkan bau keringat dan makanan busuk. Langkahnya sedikit goyah saat seekor tikus dekil melesat di depannya.
Ia menggaruk rambutnya yang gatal oleh tetesan air yang jatuh dari pipa bocor, sebelum kembali mendapatkan cukup sinar matahari di ujung gang. Di hadapannya sebuah jalan raya ramai oleh mesin motor dan klakson marah.
Beberapa pedagang asongan dengan lihai menyelip di antara motor dan mobil, namun segera meminggir saat lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.
Dan tepat di seberang si pemuda itu berdiri, terpampang sebuah toko kecil bertuliskan 'Konsultasi Bintang'.
Di bawah spanduk promosi yang menampakkan nama toko yang mencurigakan, pemuda itu membuka kenop pintu, lalu masuk ke dalam toko, tidak mengubah suasana jalan raya yang kumuh dan macet.
Gelegar bersuara menandakan tibanya kehadiran pemuda itu di toko, bersamaan dengan kilat hendak menelan benda-benda yang disambarnya. Setelahnya, hujan kembali mengguyur sebuah kota pinggiran.
Pemuda itu mengabaikan basa-basinya dan segera mengambil bangku kayu usang lalu mendudukinya. Kakinya berselonjor lemas, seakan-akan ia habis dari perjalanan jauh. Dipeluknya bantal yang sempat diambilnya tadi dengan erat.
"Habis dari mana kau, Star?"
Sapa seorang pria berkemeja lusuh sembari membawa segelas teh manis. Perawakannya yang tidak terlalu tinggi tampak tegap karena kegiatan tentara yang dahulu dikerjakannya. Biarpun wajahnya sudah berkeriput, mata yang senada dengan kacang tanah tetap menunjukkan bara semangat yang tidak habis-habis.
Diberikannya gelas itu pada Star, pemuda tadi, yang langsung menghabiskan isi gelas itu.
"Dari rumah," jawab pemuda itu dengan pendek.
"Sekolah?"
"Nuh, tidak ada yang menarik."
"Bukan berarti boleh bolos."
"Hasilku sudah pasti memuaskan guru, jadi harusnya tidak ada complain lagi," balas Star acuh tak acuh, "lagi tehnya, Pak Tua."
"Umurku masih empat puluh tahunan, Star," sahut Bhadra, memaklumi keangkuhan pemuda itu.
Diarahkan telunjuknya ke tempat dapur berada, menyuruh Star mengambil tehnya sendiri. Star mendengus, hilang minat. Tiba-tiba badannya menjadi lelah, ia menguap lebar-lebar. Bhadra duduk di seberang Star, membuka majalah bola dan mulai menekuninya.
Waktu berselang cukup lama. Di luar masih saja klakson sibuk dibunyikan, walaupun bagi dua orang di dalam 'Konsultasi Bintang' bunyi tersebut sama saja dengan vakum.
Masih dengan mata tertutup, Star merutuki dirinya yang mudah bosan namun enggan bergerak. Tenggorokannya sangat kering, detik-detik yang dilafalkan jam dinding menambah rasa kekeringannya itu.
"Bhadraaaaa..." panggil Star dengan suara serak.
"Apaaaaaaa..." balas Bhadra masih asyik dengan dunianya.
"Haus."
"Minum."
"Malas."
"Jarak dari dapur dan bangku cuma lima meter."
"Aku tidak akan membuang satu joule energi pun."
Bhadra menutup majalahnya, matanya menatap lurus kedua mata abu itu. Ia mengembuskan napas kuat-kuat. Diambilnya gelas Star, lalu dibawa ke dapur. Ditaruhnya gelas itu, laluberpaling ke Star.
"Bebanmu sudah berkurang. Sekarang, bawa dirimu ke sini dan tuang sendiri," titahnya.
Star menggerutu keras, sebelum akhirnya bangkit dengan loyo. Dengan gontai ia pergi ke dapur, menuangkan tehnya lagi penuh sungut. Melihat itu Bhadra mendengus geli, sebelum mengacak-acak rambut kusut pemuda itu. Kemudian ia berhenti, menyadari sesuatu yang dilupakannya sedari tadi.
"Star."
Star membalasnya dengan ketus, terus mengerutkan keningnya. Bhadra menatap pemuda itu dengan sendu.
"Bentar lagi kamu kena."
"Kena apa?"
Star menatapnya sangsi, menunggu pria itu melanjutkan perkataannya.
"Memang baru setahun kamu datang ke konsultasi ini, tapi kehadiranmu sudah membawa banyak perubahan. Kamu tak pernah gagal memuaskan permintaan klienmu, tapi tetap saja ada klien yang tidak suka dengan metodemu," kata si pria tua, sambil memberikan sebuah bingkisan berwarna cokelat.
"Dan ini, adalah bentuk kebenciannya."
"Jadi aku kena apa?"
"Karma, Star, karma."
Star mendengus keras menanggapi perkataan Bhadra. Tapi dia tetap menerima bingkisan itu. Dibolak-baliknya bingkisan itu, usaha mencari petunjuk yang bisa membawanya suatu dugaan. Bingkisan itu berbentuk persegi, dengan sisi kurang lebih tiga puluh senti, dibungkus kertas cokelat tipis. Pinggir bingkisan itu dilapisi selotip bening dengan rapi. Star mengguncang bingkisan. Tidak ada yang bergerak. Star membalik bingkisan lagi.
Tangannya merasa memegang sesuatu yang padat, keras, dan tipis. Kemungkinan permukaannya halus. Ada sebuah tempelan kertas. Berisi alamat tujuan, tapi tanpa identitas pengirim. Tulisan pada kertas itu cenderung miring ke kiri dan kaku. Tidak ada kode pos. Tidak ada logo pos manapun.
Star menaruh bingkisan lagi. Bhadra melihat tingkah pemuda itu dengan sabar.
"Kaca," cetus Star, "kaca gelap, tentunya. Mungkin sedikit buram, tapi bukan yang biasa dipakai di jendela atau kaca mobil."
"Kaca campuran?" tanya Bhadra.
"Tentu," sahut Star, "tentu bukan. Kaca murni, pastinya."
Bhadra menggigit bibir, mengangguk-angguk. Ia berdiam beberapa saat, memainkan jarinya. Ia melirik jam dinding. Bhadra tersentak pelan lalu berbalik, mendapati langit-langit di dekat lampu gantung bocor. Tetes menetes airnya, menyentuh lantai kayu lapuk. Dia berdiri, mengambil langkah pelan, berjalan menuju gudang belakang yang menyimpan alat-alat yang biasa menyelesaikan masalah air rembes. Dia sempat menuju ke dapur, di mana sebelahnya terdapat kamar mandi. Ia memanggil Star, sambil menenteng sebuah ember, untuk menampung air yang bocor.
Saat Star menaruh ember di atas lantai yang basah, tiba-tiba dari jendela terlihat kilat menyambar sebuah menara masjid, diikuti suara retakan keras berlanjut reruntuhan. Cipratan-cipratan di jalanan semakin sering dan keras, klakson terus dibunyikan, sekarang seruan caci maki mendengung di tengah derasnya hujan. Sekilas seorang wanita dengan payung bening melesat di seberang jendela, kemudian menghilang dalam hitungan detik.
Air sudah tertampung setengah ember, jadi Star memutuskan untuk kembali ke bangkunya. Ia mencari-cari selimut yang asal ditaruh, mengambilnya, lalu menghangatkan diri. Terpikirkan olehnya untuk mengambil satu gelas teh manis panas, tapi seperti biasa, kantuk dan malas mendahului kenyamanannya.
Di luar hujan. Di dalam toko dingin, tapi selimut sudah cukup menghangatkan. Di luar macet dan kumuh, tapi di dalam suara tetesan air yang sekali kali diikuti detak jarum jam begitu menenangkan.
Air makin merembes, hampir mengisi penuh ember, tapi dia yakin, sebentar lagi Pak Tua akan---
"Star!"
---memanggilnya. Sudah mata berkantung, Star membalas panggil itu dengan igauan.
"Star! Buang isi embernya dan taruh lagi!"
Star semakin masuk ke dalam selimut.
Begitu nikmat dan hangat.
Sunyi.
"Star."
Star membelalak, langsung bangun. Mungkin niatnya menuju ember, tapi ia tersenggol kaca hitam itu.
Ujung kaca membuat kulit lengannya tergores, darah mencuar deras tanpa sebab. Star oleng, begitu pusing dan tahu tahu tidak sadarkan diri.
Star segera membuka mata. Dia bangkit, meraba lengannya. Luka goresnya masih tampak, kira-kira sampai sikunya. Tapi tidak ada tanda-tanda pendarahan besar. Peluh mengalir di pelipis Star. Dia menyugar, memikirkan kejadian yang barusan tidak disangka-sangkanya.
Tapi apa pun yang membangunkannya dari tidur ayamnya, adalah fakta bahwa ada sebuah suara yang asing.
Star termenung. Kaku. Menyadari sesuatu.
Kaca hitam.
Kaca itu seharusnya masih terbungkus rapi. Ujung bingkisannya masih tertutup. Bhadra tidak pernah penasaran dengan barang orang lain. Pun dia tidak sudi membuka bingkisan tanpa identitas.
Kaca itu keluar dengan sendirinya. Dari bingkisan murahan yang terbungkus. Star semakin mengacak rambut merahnya. Lama terdiam. Masih pening kepalanya. Terus linglung dia.
Dia menyebut nama Bhadra, tentu saja tidak dijawab. Mungkin dia keasyikan dengan gudang kecilnya, yang menyimpan bekas bekas perabotan yang gelarnya harta karun Bhadra. Sudah pasti berjam-jam lamanya pria itu mengurung diri di gudangnya. Kalau sudah begitu mustahil telinganya mendengar hal lain. Demikian pula seruan Star.
Star berusaha untuk berdiri, tapi jatuh. Dia mengerutkan kening, mungkin dia masih pening, tapi sebenarnya ia meninggalkan sesuatu yang janggal. Tidak sampai setelah dia jatuh. Gelap. Ruangan tempatnya gelap. Pekat, tanpa ujung.
Dia menaruh kacamatanya yang sedari tadi disematkan di saku bajunya ke telinga kirinya, dengan posisi yang dibuat sedemikian rupa. Kebiasaan aneh itu melahirkan kemampuan aneh berupa menempatkan benda benda pada posisi ganjil, bagaimanapun caranya.
Entah bagaimana caranya.
Kacamatanya masih terselip di telinga kirinya, Star segera mengupas keadaan sekarang dalam kegelapan. Pikirannya sudah tenang, pening kepalanya sudah dihilangkan.
Gelap.
Sekelilingnya masih gelap. Ia merogoh-rogoh kantung celananya, di mana kepalan tangannya memegang sebuah tali berukuran lima meter. Dia merogoh kantung satunya lagi, kali ini dua tiga uang logam keluar dari kantung. Star mengikat koin-koin dengan tali, kemudian melemparnya ke segala sisi. Bunyi bergemerincing dari segala arah, memantul, lalu kemudian sunyi.
Star berdiri.
Menghadap kegelapan tiada ujung. Sesuatu mengenai pucuk kepalanya saat berjinjit. Keras dan dingin. Star meraba, merasakan langit-langit yang rendah dan dingin. Bahannya sama dengan lantai yang dipijakinya. Dengan langkah hati-hati, Star berusaha mencari ujung kegelapan.
Dapat.
Sebuah sudut dinding yang dingin dan keras, sama seperti bahan lantai dan langit-langit. Gerakan Star terhenti sejenak setelah berjalan kurang lebih tiga puluh langkah.
Star terduduk.
Membenamkan mukanya di balik lutut, dia mendengarkan sekelilingnya yang sunyi. Setelah berdiam, kakinya dibawa lagi ke dinding kanannya. Jemarinya tidak pernah lepas dari sentuhan dinding saat dia berputar mengelilingi ruangan gelap itu. Sekali-kali tangan satunya lagi menyentuh langit-langit, takut-takut kalau roboh.
Saat sedang di belokan ketiga, atau Star menyebutnya dinding keempat, jemarinya merasakan undakan-undakan tidak rata. Mata Star sudah terbiasa dengan gelap, jadi dia mencoba melihat keanehan dinding itu. Apa yang didapatnya tetaplah gelap, dengan sedikit bagian yang lebih hitam dari yang lain. Itu pasti undakan yang menonjol. Star segera meneliti undakan-undakan. Dua tiga kali dia mengulangi hal itu, setelahnya dia termenung.
"Aku pernah melihatnya, aku pernah melihatnya," gumam Star pada dirinya, "dalam bentuk dua dimensi. Tidak persis, tapi sering aku lihat. Di mana--"
Dia memeriksa undakan itu, menggigit koin yang dibawanya. Terus begitu, sampai dia menelan koin tiba-tiba.
"Bungkus keripik," kata Star langsung menyengir, "pulpen Bhadra, itu juga. Identitas!"
Dia memunculkan pola undakan-undakan dinding tadi dalam pikirannya, membaca pesan tersembunyi dari itu. Dia sempat ragu, tapi kemudian mendorong salah satu bagian dinding yang menonjol.
"Ha!"
Setelah mengetahui dugaannya tepat, hati-hati dia mendorong bagian bagian yang menonjol. Saat semua bagian itu merata, bunyi roda mesin menyapa telinga Star. Ruangan sedikit bergetar. Sebuah penerang kecil muncul di tengah-tengah ruangan.
Alih-alih senang karena netra abunya menerima cahaya redup, muka Star langsung memucat. Badannya lemas seketika.
Star mengigau. Terus mengeluarkan suara-suara tidak jelas. Tangannya menahan pening kepala yang menusuk. Matanya membesar, muncul garis-garis urat merah. Sejenak geraman mirip hewan liar memenuhi ruangan.
"Uuhh... Uuhhh..."
Star memunggungi arah datangnya cahaya guna menenangkan diri. Fobianya kambuh, traumanya kembali menggerogoti. Keringat dingin mencuar. Tubuhnya bergetar tidak karuan.
Star menyumpah.
Mengelap air liurnya yang sempat keluar. Keringat masih bercucuran. Badan tidak mau menghadap pantulan kaca. Fobianya terhadap cermin, terutama pantulannya telah menyulitkan diri sendiri. Kunci keluar dari ruangan ini ada di dekat penerangan, tapi berkat adanya cahaya itu bayangan dirinya memantul di semua sisi ruangan yang terbuat dari kaca.
Dia kerasukan teror.
Penglihatannya terus kabur, pantulan dirinya terus bertambah, dia di ujung asa. Kepala semakin berat, bersamaan dengan melemahnya tubuh. Dia menggapai apa-apa yang tidak pernah pasti, sedang mual terus mencekik perut.
Sebersit memori melesat dirinya. Tentangnya pada bangku sekolah. Tentang dirinya dan pecahan cermin. Tentang teman-teman sekelas dan gurunya. Tentang sebuah cermin.
Darah dan kenangan orang tuanya.
"AAAAAARGH"
Jantung berpacu melewati batas wajar, akalnya tidak dapat mengikuti ketakutan menggila. Star oleng, badannya basah, tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan.
"Bhadra..." sebutnya.
Memori itu belum hilang, masih menghantui. Dia terus menepis, yang didapat memorinya semakin jelas. Jadi dia semakin menyebut nama pria tua itu, setidaknya dia menyebutnya, jika tidak trauma kelamnya semakin merajai akal sehatnya.
"Bhadra..."
Akhirnya Star melakukan satu gerakan.
Menggigit lidah.
Menahan erangan, Star berusaha bangkit lagi. Masih memunggungi penerangan, Star mengatur napas. Keringat masih bercucuran, dan dia masih enggan mengangkat muka. Darah dari luka lidah terus menetes. Tapi dia bertekad.
"Tak mungkin aku kalah," gumam Star melawan teror, "tidak mungkin."
Perlahan keringat dingin berhenti. Ruangan itu masih sama seperti beberapa menit lalu, sekitarnya masih redup oleh penerangan itu.
Star mengembuskan napas kuat-kuat. Akal sehat kembali menguasainya, saat itu juga Star terkekeh sedih.
"Masih takut, huh..." ledeknya pelan.
Dia terdiam cukup lama.
"Gimana, ya..." tanyanya dengan mata terpejam.
Kiranya dia sudah mengetahui mekanisme ruangan itu. Jauh, jauh sebelum trauma menguasai dirinya. Dia memecahkan kodenya, dia tahu ke mana dia harus pergi. Kunci dan letak gembok sudah dapat. Apa yang belum, apa yang menghalanginya, adalah pantulan dinding-dinding kaca.
"Bukan," kata Star pada dirinya sendiri lagi, "tapi karena ketidakmampuan diriku sendiri."
Star memasang wajah sedih tanpa disadarinya.
Star menutup mukanya. Dia menyesali dirinya tanpa bantuan Bhadra. Dia menyesali fobianya. Dia--
"Udah, ah," dengusnya seraya bangkit.
"Emonya sampai sini aja," ujarnya pada bukan siapa-siapa.
Star memutuskan untuk menatap penerangan, hanya penerangan itu. Star menemukan deretan kata terukir di lantai kaca. Terlihat ukiran itu masih baru. Jari Star menelusuri ukiran itu.
"Petunjuk Kode... Bintang..."
Star mengerutkan kening. Entah kenapa dia merasa dibodohi.
Star kembali ke dinding yang semula tidak rata, kemudian menekan beberapa bagian. Star membuat pola pada dinding itu, yang merupakan jawaban dari petunjuk tadi. Sembari menyusun pola Star bergumam kesal. Satu dua sumpah serapah dibunyikan. Beberapa saat kemudian dinding tetap berdiri tanpa perubahan.
Pola dinding yang disusun Star
Penerangan itu tanpa sebab menerangkan intensitasnya. Star berjalan ke sana, dengan mata terpejam, sekali-kali mengintip sedikit untuk memeriksa apakah dia keluar jalur. Akhirnya dia sampai pada penerangan itu tanpa harus membangunkan fobianya.
Tentu saja dia tidak sempat berkeringat dingin.
Sinar itu semakin terang, pelan-pelan membentuk sebuah pintu. Star sempat ragu dengan penglihatannya, tetapi dia memutuskan bahwa tidak ada sesuatu yang mirip jalan keluar selain pintu cahaya di depannya. Jadi dia memutuskan untuk melangkah masuk.
"Tunggu."
Star terhenti, berbalik dan tidak menemukan siapapun. Dia menggaruk kepalanya, alisnya bertautan. Sungguh dia tidak senang dengan hal-hal yang di luar logika. Mau hantu yang menyerangnya, tuyul yang menjebaknya, dia tidak mau tahu. Tapi di sini lah, berada di situasi yang seperti itu.
Ah, dia ingin minum teh manis panas.
"Bagaimana..."
Pemuda itu semakin mengerutkan kening mendengar suara itu, suara yang sama sebelum dia terjebak dalam ruangan gelap.
"He, kau yang, siapapun itu. Aku tak mengerti kenapa kau menjebakku dalam ruangan kaca sialan ini, tapi kau cukup membuatku kesal," seru Star sekencang-kencangnya.
"Bagaimana Engk---"
"Dengar, aku tidak tahu kalau kau terlalu bodoh atau otakmu tidak pernah berkembang sejak bayi tapi trikmu, atau apa aku harus bilang pikiran terhebatmu? Itu ternyata sama saja dengan uban Bhadra! Itu juga yang terlepas dari akarnya. Lain kali kalau kau mau menantangku bawa sesuatu yang lebih sulit!"
"Uh, anu, boleh--"
"Sekarang aku harus pergi. Kurasa aku harus masak air lagi," sahut Star acuh tak acuh kemudian berbalik.
"Tunggu! Kumohon tunggu!" seru suara itu, yang sekarang terdengar menggelikan, "bagaimana kau bisa mengatasi ketakutanmu?"
Star menggaruk kepalanya, lalu melangkah masuk. Sudah tidak berniat menjawab pertanyaan suara itu.
"Aku tak perlu menjawabnya, kan?"
.
.
.
"Selamat datang kembali, Star."
Star segera duduk di atas sofa dengan kesal. Melihat itu Bhadra tersenyum riang, menaruh satu cangkir teh manis panas dekat pemuda itu.
"Bagaimana perjalananmu tadi?"
"Terburuk," sahut Star, "sama sekali tidak menyenangkan."
"Menurutku terperangkap dalam ruangan kaca gelap adalah sesuatu yang mendebarkan. Hm? Sepertinya aku pernah mendengar kata-kata itu," ujar Bhadra ikut duduk.
Star enggan bertatap muka, "Well, tapi mudah sekali memecahkan misteri itu. Mu. Dah. Se. Ka. Li."
"Aku tak terpikirkan satu metode apapun," balas Bhadra, "ceritakan, bagaimana kau bisa keluar dari ruangan itu."
Star mengeluh kesal, "Salah satu dinding itu tidak rata, ada bagian yang menonjol dan ada yang tidak. Pertama kita buat rata. Lalu keluar petunjuk. Awalnya kukira dinding itu bekerja seperti pada tuts-tuts piano, tapi nyatanya bukan. Saat kau menekan salah satu bagiannya, bagian itu akan masuk ke dalam, seakan-akan menghilang. Kalau diperhatikan dinding itu membentuk seperti sesuatu yang sering kita lihat, tapi kau mungkin tidak memperhatikannya. Mudah, kan?"
"Apa itu?"
"Barcode, Bhadra, Barcode," sahut Star, "apa lagi?"
"Barcode?"
"Barcode itu bisa menyusun sebuah kata sesuai dengan yang diinginkan. Tebal tipisnya batang bisa menandakan sebuah huruf. Tinggal kau masukkan jawaban dari petunjuk itu," jelas Star.
"Hmm... petunjuknya bintang, berarti namamu? Star?"
"Tidak segampang itu," balas Star, "nama aslinya."
"Nama aslimu?"
"Kaki." kata Star enggan, "kaki adalah arti namaku. Petunjuk itu tepat, namaku masih ada hubungannya dengan bintang. Harus aku akui dia masih punya akal mengetahui nama asliku."
Bhadra mengangguk sedikit. Dia mengambil bingkisan itu, yang masih tersegel dengan rapi, lalu mengangkatnya. Di dalam bingkis itu terdapat kaca yang mungkin saja tempat Star menghilang tiba-tiba. Sekembalinya dari gudang, dia menemukan selimut Star tidak menghangatkan siapa-siapa. Ember yang menampung air juga melebihi kapasitas. Sempat khawatir si pria tua itu, dia sudah mengambil jaket dan payung untuk jaga-jaga. Tapi kemudian dia berhenti, mengetahui di luar cuacanya badai dan tidak ada tanda-tanda seseorang membuka pintu toko.
Pria tua itu tentulah lebih memercayai sesuatu yang gaib daripada si pemuda yang hilang, lantas Bhadra menengok ke arah bingkisan itu. Apa yang ditemukannya membuatnya sedikit terperangah.
Kaca itu keluar dengan sendirinya. Bhadra hati-hati mendekati benda itu, warna hitamnya begitu memikat hati. Di salah satu ujung kaca itu terdapat goresan darah yang masih baru. Bhadra yang terbiasa mendengar cerita-cerita supernatural langsung tahu, Star terseret dalam kaca magis itu.
"Dengan darah kamu masuk dalam ruangan itu," kata Bhadra, "apakah dengan darah jua kau berhasil keluar?"
"Mungkin saja," balas Star, "tapi aku punya sesuatu yang lebih kuat."
"Dan sesuatu itu?"
"Akal," jawab Star, "sekarang beritahu aku, Bhadra. Kira-kira siapa yang berani mengirimkan mainan kadaluarsa kepadaku?"
Bhadra memegang dagu, alis tebalnya bergerak naik-turun.
"Oh!" serunya, "mungkin klien yang dendam?"
"Kalau begitu dia akan datang sebentar lagi," sahut Star menyesap teh manis panas.
Mendengar itu Bhadra mengulum senyum, "Jadi, apa yang kau dapatkan dari perjalananmu? Karma?"
"Hush, tidak pernah," balas Star, "tapi aku tidak akan pernah mau ke sana lagi. Itu membuatku merasa sangat, sangat... kau tahu, tidak berdaya."
Bhadra memandang teman mudanya dengan hangat. Pemuda perawakan tingginya setara dengan Walt Disney itu masih meringkuk dalam selimut, terlihat kecil. Sekilas tapi jelas, tubuh pemuda itu masih berkeringat dingin dan bergetar.
"Tidak, tentu tidak," kata Bhadra, menentang netra abu pemuda itu dengan lembut, "kau tidak lemah."
Star memalingkan muka, semakin meringkuk dalam selimutnya.
Pintu toko terbuka. Seorang wanita berhak rendah menenteng sebuah payung bening yang basah. Dia membawa kantong hitam yang berisi celemek bernoda. Raut wajahnya begitu gugup dan berusaha menyembunyikan perasaan bersalah.
"Dia datang," bisik Star tersenyum.
Bhadra berdiri, melayani wanita itu, "Anda pasti klien. Silahkan, silahkan."
"Selamat datang di 'Konsultasi Bintang'."
Di luar, hujan masih mengguyur kota.
***END OF GELAP DAN KACA***
K O L O M N U T R I S I
1. Apa kamu percaya ada benda yang memiliki kekuatan gaib? Coba ceritakan bagaimana benda itu memiliki kekuatan!
2. Jika kamu tidak percaya kekuatan gaib yang terdapat dalam sebuah benda, apakah kamu memiliki alasan atau persepsi tertentu? Apa itu?
3. Apa pendapatmu terhadap cerita Gelap dan Kaca?
***
Jika tertarik berpartisipasi dalam antologi ini, silakan publikasikan karyamu di Wattpad pribadi, sertakan tagar #STARRAWSInAction, satu cerita terbaik akan dipublikasikan ulang di work ini (lihat keterangan lebih jelas di bab "WATTPAD TODAY: STARRAWS ZONE").
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat, seperti yang terdapat dalam aturan dasar RAWS Community. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote cerita dang follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon A Time in STARRAWS
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top