STARRAWS YOU | Dream Eater by Rifqa

|A Song Fiction Story |

"Textrovert yang bercita-cita jadi penulis. Malu kalau tulisannya dibaca orang, tapi sakit hati kalau gak ada yang baca tulisannya." - Mother of The Stars, rifqafaa

***

STAR berada di sebuah ruangan gelap, tempat yang ia tidak tahu di mana. Star berusaha mengembalikan fokusnya dan teringat bahwa tadi ia pingsan. Ketika sedang mencari jalan keluar, ia menemukan kotak hitam kotor, besar, dan menunggu untuk dibuka terletak di sudut ruangan. Ternyata...

...di dalamnya terbaring seekor induk kucing dengan bayi-bayinya di sekelilingnya. Tak kurang satu apapun dari mereka. Kecuali kepala.

Gadis itu membekap mulutnya, meredam pekikan. Hidungnya mulai mencium bau tak sedap. Jantungnya berpacu. Star buru-buru menjauh dari kotak itu. Di tengah keadaannya yang linglung, ia berhasil menemukan pintu. Namun begitu keluar, Star langsung disuguhi pemandangan yang membuat warna di wajahnya terkuras.

Beberapa maid-nya terkapar di lantai, bersimbah darah dengan anggota badan tak lengkap. Seluruh udara serasa terkuras dari dadanya. Lututnya lemas, tapi gadis itu tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain melangkah maju, sambil menahan gejolak di lambungnya saat melihat koki dan tukang kebunnya dalam keadaan isi perut terburai.

Akhirnya ia ambruk, kakinya seolah mati rasa setelah melihat tubuh ayah-ibunya yang membiru dengan jeratan tali yang menyatukan leher mereka berdua. Star kalut. Tak memikirkan apapun lagi kecuali mencari jalan keluar. Ambisinya untuk bertahan hidup memberi energi untuk menyeret tubuhnya maju.

Semua penghuni rumahnya—bahkan peliharaannya—tewas mengenaskan, hanya satu orang lagi yang belum ia lihat.

Lorong itu mengantarkan Star pada ruangan lain dengan pintu yang sedikit terbuka, menampilkan cahaya remang-remang dari celah pintu. Baru saja Star akan masuk jika ia tak mendengar suara jeritan yang mematikan seluruh saraf di tubuhnya.

Ia merapat ke dinding, tangannya gemetaran saat menjulurkan cermin kecil yang ia bawa untuk melihat kondisi di dalam. Detik berikutnya, ia berharap tak pernah melakukan itu.

Cermin itu memantulkan sosok saudara kembarnya dengan kulit wajah tersayat-sayat dan mata yang membeliak. Belum pulih dari keterkejutan, tiba-tiba seseorang membuka pintu itu dengan kasar. Star mendongkak, mendapati seseorang dengan sosok seperti siluet hitam, mengayunkan balok kayu berpaku padanya.

"TIDAK!"

Star tersentak, napasnya tidak beraturan. Ia terbaring di sebuah ranjang empuk yang kecil. Selimutnya teronggok di bawah lantai. Seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.

Mimpi ini lagi...

Gadis itu terduduk di kasurnya. Mengusap wajah untuk menenangkan diri, kemudian membodoh-bodohi dirinya sendiri yang takut pada bunga tidur. Ia satu-satunya saksi hidup dari insiden pembantaian di rumahnya itu dan ia yang paling tahu bahwa kenyataannya tidak sesadis seperti di mimpi.

Star mengusap keningnya, mengusir sejumput rambut ikal kemerahan yang menghalangi pandangannya. Bahkan setelah aku jauh beratus kilometer dari rumah itu pun, mimpi sialan itu masih menghantuiku...

"Kau bermimpi buruk, Nona?"

Sahutan lembut itu sontak membuat Star melemparkan bantal yang langusung ditangkap oleh si pemilik suara, seolah sudah menduganya.

Dilihatnya seorang pemuda yang mengenakan rompi kuning yang dirangkap tuxedo hitam sesiku duduk tegak di kursi belajar. Tangannya dibalut sarung tangan hitam sepergelangan, salah satunya menggenggam tongkat putih dengan pita kuning kecil dan tangan yang lain memegang bantal yang dilempar Star. Topi hitam menutupi kepalanya yang ditumbuhi rambut berwarna pirang.

Pemuda itu tersenyum teduh. Suaranya mengalir menyejukkan layaknya mata air pengunungan. "Apa kau ingin aku memakan mimpi buruk itu untukmu?"

***

Star lebih memilih tidak tidur semalaman daripada kembali melanjutkan mimpi buruknya. Maka pagi itu Star berangkat sekolah dengan mata panda dan wajah tanpa polesan make up sama sekali.

Ia hanya melihat cermin sekilas. Mata abu-abunya tidak betah menatap wajah yang bagai jiplakan mendiang kakak kembarnya itu. Rambut ikalnya diikat asal-asalan dan ia baru sadar mengenakan sepatu dengan terbalik saat berada di tengah perjalanan.

Di sekolah, ia menyimak pelajaran dengan terkantuk-kantuk. Sebenarnya ia bisa saja terlelap selama guru sedang menerangkan dan tetap menjawab pertanyaan dengan sempurna, tapi ia tidak ingin cari masalah di sekolah baru.

Waktu istirahat makan siang ia habiskan dengan tidur. Tidak ada waktu untuk berkenalan dengan teman baru, kondisi tubuhnya lebih penting. Namun tidurnya pun tidak sepenuhnya nyenyak. Mimpi buruk itu masih membuatnya tersentak tiap selang sepuluh menit dan menyebabkannya menjadi pusat perhatian di kelas, tapi ia tidak peduli.

Mengenai tawaran si pemuda aneh itu, Star adalah gadis yang logis. Ia tidak sepolos itu menerima tawaran pemuda nyentrik yang mendadak muncul di kamarnya,  yang mengaku bisa menghilangkan... tidak, memakan mimpinya itu. Bahkan dengan santainya ia mengenalkan diri dengan nama 'Trickster'.

Penipu macam apa yang menamai dirinya 'Penipu'?!

Tidak, Star bukan mencurigai pemuda itu sebagai seorang penipu biasa yang hanya ingin meraup harta dan hal-hal duniawi seperti yang diinginkan manusia pada umumnya. Ia sudah memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa pemuda itu bukan manusia. Ia menghilang, lenyap begitu saja begitu Star menolak tawarannya. Tapi sebelumnya, pemuda itu memberi tahu cara memanggilnya jika ia benar-benar dibutuhkan. Namun gadis itu bertekad tidak akan pernah memanggil makhluk itu.

Kemudian Star mencoba tidur ditemani mimpi-mimpi buruk yang semakin menggerogoti pikirannya. Setelah beberapa malam, hasilnya ia selalu terbangun, tidurnya tidak sampai satu jam permalam.

Setelah itu ia mencoba untuk tidak tidur sama sekali dan kondisi tubuhnya pun mulai memburuk. Rekor terlama dalam hidupnya, Star tidak tidur enam hari berturut-turut. Cara berjalannya sudah seperti zombi.

Di hari ketujuh, ia sudah tidak kuat namun tak berani terlelap. Tubuh-tubuh berdarah dengan anggota badan tak lengkap, terutama wajah dan tubuh berdarah kakak kembarnya itu semakin membayanginya. Ia tidak tahan lagi. Maka malam itu sembari berbaring di ranjangnya, dengan lirih ia memanggil pemuda itu dengan cara yang diberitahukan padanya.

"Trickster, Trickster, Trickster, datang, dan makanlah mimpi-mimpi burukku."

Tiba-tiba ia merasakan usapan tangan di atas dahinya dan suara menyejukkan bagai embusan angin pagi itu terdengar lagi.

"Keadaanmu mengkhawatirkan, Nona."

Setengah sadar, Star menepis tangan itu dan bangkit dari tidurnya. Mata abu-abunya bertatapan dengan mata Trickster yang memancarkan ekspresi khawatir yang kentara.

Tapi sedetik kemudian ekspresi itu kembali melembut. Senyumnya tipisnya terangkat. "Apa kau ingin aku memakan mimpi buruk itu untukmu, Nona?"

Punggung Star menegak. Sebisa mungkin tidak terlihat rapuh didepannya. "Aku hanya ingin memastikan, apa yang harus kuberikan untuk tawaranmu itu?"

Trickster mengangkat sebelah alis, "Kenapa kau berpikir aku akan meminta bayaran?"

"Karena itulah yang biasa terjadi." Suara Star menegas. "Makhluk sebangsa kalian bermanis-manis menawarkan bantuan pada manusia, kemudian akhirnya meminta imbalan yang menghancurkan hidup manusia itu. Aku hanya ingin tahu imbalan apa yang kau minta agar aku tidak menyesali keputusanku. Apa yang kau inginkan? Jiwaku?"

Trickster paham. Ia tersenyum geli. "Aku yang meminta izin disini. Kenapa aku harus meminta imbalan?"

Star mengerutkan kening. "Apa?"

"Ibaratnya, jika Nona meminta makanan pada paman dan bibi Nona dan mereka berdua memberikannya, apa Nona diberi imbalan karena telah meminta makanan? Tidak, kan?" Senyuman itu belum luntur dari wajahnya. "Ini hanya timbal balik yang menguntungkan kedua pihak. Nona bisa terbebas dari mimpi-mimpi buruk itu dan aku mendapat makanan. Hanya sampai situ."

Star mengerjap. "Kau tidak akan memakan jiwaku?"

Trickster melepas topinya dan mendekapnya di dada. "Aku adalah Pemakan Mimpi, Nona. Bukan Pemakan Jiwa."

Star bimbang, ini terlalu mudah, tapi dilihat dari manapun tawaran ini tidak merugikannya. Akhirnya gadis itu mengangguk.

Trickster mengulurkan kelingking kanannya.

"Untuk apa itu?"

"Kontrak. Tanda bahwa Nona sudah mengizinkanku memakan mimpi-mimpimu hingga bulan purnama."

Star menautkan kelingkingnya. Kemudian Trickster menangkupkan kedua tangannya di mata Star dan seketika itu juga, rasa cemas langsung menguap dari raganya dan gadis itu jatuh terlelap.

Akhirnya Star tertidur nyenyak seharian tanpa mimpi buruk, entah itu berkat sugesti, atau mimpi buruknya memang sudah dimakan Trickster. Untunglah hari itu ia libur sekolah. Bibinya tidak membangunkannya, senang akhirnya Star bisa tidur dengan nyenyak. Begitupun malam-malam berikutnya, ritme tidurnya kembali normal dan ia tidak mengantuk lagi di kelas.

Hanya saja, tidurnya kini begitu kosong tanpa mimpi. Seolah-olah di tiap malam, ia hanya melayang-layang dalam kegelapan tak berujung. Mengantarkan Star pada perasaan hampa yang malah semakin menyeretnya dalam rasa bersalah atas insiden itu. Mimpi buruknya sudah hilang, tapi ia membutuhkan sesuatu yang lain untuk menenangkan hatinya.

"Trickster, Trickster, Trickster, datanglah."

"Memanggilku, Nona?"

Star menoleh ke sumber suara. Trickster sudah berdiri di dalam kamarnya, di depan pintu yang terkunci. Gantungan kunci berbentuk bintang itu tak berayun, tak tersentuh.

Trickster bertanya lagi. Bibirnya menyunggingkan senyum sehangat mentari. "Apa Nona memerlukan sesuatu?"

Star mengangguk. "Sekarang tidurku terasa kosong. Memang tidak terasa mengerikan seperti dihinggapi mimpi buruk setiap malam, tapi rasanya tetap ada yang salah."

Trickster dengan cepat memahaminya. "Jadi sekarang, yang mengganggu Nona bukan mimpi buruk, tapi kenangan masa lalu? Kejadian nyata yang benar-benar terjadi."

Star membeku. "Kamu tahu masa laluku?"

Trickster menelengkan kepala. "Aku hanya tahu mimpi-mimpi buruk Nona berasal dari kenangan masa lalu. Penuh ketakutan, ketegangan, dan darah. Rasanya sangat nikmat."

Star merinding mendengarnya.

"Tidak seperti mimpi buruk, menghilangkan ingatan akan kenangan buruk yang nyata adalah di luar kemampuanku. Tapi aku bisa memberimu..." Trickster menggantung ucapannya sesaat. Senyum masih bermain di bibirnya. "semacam obat penawar."

"Dan obat penawar itu adalah...?"

"Mimpi indah."

Tawaran itu seperti oase di tengah gurun. Sejak insiden itu, Star tak tahu kapan terakhir kali dirinya bermimpi indah. Dan kini seseorang menawarkan hal itu dengan mudahnya.

Star semringah. Ia mengangguk.

"Mimpi apa yang Nona inginkan?" Trickster menghampiri Star dan duduk di pinggir ranjangnya. "Gadis seusia Nona biasanya bermimpi bertemu dengan artis idola, atau berkencan dengan laki-laki yang disukai. Nona bisa meminta mimpi apapun."

Star memeluk bantal, matanya menerawang. "Aku ingin... mengulang memori saat kakak kembarku masih hidup."

"Hmm... mengulang memori masa lalu, ya." Trickster menyentuh dagunya. "Memangnya kakak kembar Nona orang seperti apa?"

"Dia sangat... sangat baik. Bahkan baik saja tidak cukup untuk menggambarkannya." Star membenamkan wajahnya di bantal. "Dia sangat disayang oleh Ayah dan Ibu. Orang-orang pun menyenanginya. Meskipun sedikit lugu dan terlalu menurut pada perasaan, ia belajar keras untuk meneruskan perusahaan Ayah. Dan dia... menyayangiku."

Ada sesuatu yang berderak, pecah di dada Star saat ia mengucapkan kalimat terakhir.

Trickster mengangguk, bersimpati. "Pasti berat ditinggalkan oleh saudara kembar yang sudah membersamai selama lebih dari enam belas tahun."

Kemudian Trickster merengkuhnya. Tangan kukuhnya mendekap Star dalam pelukan hangat. Star tertegun. Kehangatan pelukan pemuda itu nyaris serupa seperti yang ia rasakan dalam pelukan kakak kembarnya. Membuatnya aman dan nyaman.

"Kau akan mendapatkan mimpi itu, Nona." Trickster mengecup dahi Star agak lama dan sedikit demi sedikit, gadis itu terseret dalam mimpi.

Star tidak ingat tanggalnya, tapi ia yakin interaksi ini terjadi tiga bulan sebelum insiden pembantaian itu. Kakak kembarnya baru pulang dari kunjungan selama dua minggu ke negara paman dan bibi mereka, membuatnya harus mengejar pelajaran sekolah. Star membantunya, meski sedikit gemas karena kakaknya itu lambat memahami beberapa subjek.

"Kamu lagi gak fokus, Sky," keluh Star di kamar mereka setelah setengah jam mati-matian menjelaskan salah satu bab di pelajaran Fisika yang masih juga tidak Sky pahami.

"Aku fokus, kok! Cuma perlu banyak waktu. Aku kan gak sejenius kamu yang sekali denger langsung ngerti semuanya," bantah Sky sambil cemberut seperti anak kecil, membuat Star menyadari bahwa yang orang-orang bilang itu benar. Dengan ekspresi jelek pun Sky bisa terlihat imut. Berbeda jauh dengan Star yang lebih terkesan serius. Tidak aneh jika orang-orang lebih menyukai Sky.

"Istirahat saja dulu. Nanti otakmu berasap," tukas Star sambil tertawa. "Lagipula kamu belum cerita tentang kunjunganmu kemarin."

"Cuma perjalanan biasa. Bosenin." Sky menghempaskan tubuhnya ke kasurnya. "Mengekori Ayah kemana-mana, mendengarkan obrolan yang tidak jauh dari bisnis, perusahaan, dan uang. Kamu gak akan suka."

"Wah, sia-sia dong, belajar fisika. Gak akan kepake di pekerjaanmu nanti," seloroh Star. "Masa cuma itu? Pasti ada sesuatu yang menarik."

"Apa dong? Kita juga sudah gak asing sama negara itu. Tempat wisata? Sudah gak ada yang aneh."

"Hal yang berbeda... mungkin orang yang kamu temui disana?"

Dilihatnya Sky tertegun menatap atap. Beberapa saat kemudian tersenyum-senyum sendiri. "Ada sih... Tapi aku lupa tanya namanya." Sky terbahak. "Tapi dia ramah, enak diajak ngobrol, suaranya bagus, dan selalu punya cerita seru yang mengusir suntuk."

Star melongo. "Selalu? Berarti kamu berkali-kali bertemu dengannya, tapi tidak tahu namanya?"

Sky tidak menjawab keheranan Star. Senyum semakin mengembang di bibirnya. "Di malam terakhir sebelum aku pulang, kami bertemu dan dia memberiku setangkai mawar. Kemudian dia bilang gini," Sky berdeham, lalu menirukan suara rendah yang mendayu. "Mawar ini dapat layu, tapi hatimu tak akan pernah layu."

"Gombaaal!" pekik Star, terlonjak dari duduknya. Di kasurnya, Sky berguling-guling sambil tertawa-tawa seperti orang gila. "Masa kamu luluh sama gombalan murahan seperti itu?"

"Kamu gak denger langsung, sih!" Sky bangkit dengan bibir mengerucut.

"Aku serius!" seru Star gemas. "Harusnya kamu jual mahal! Gimana kalau dia mendekatimu gara-gara mau merebut perusahaan Ayah?"

"Drama banget!" Sky tersedak oleh tawanya. "Gak akan. Dia bukan orang seperti itu. Aku jamin!"

***

Beberapa malam berikutnya, mimpi-mimpi Star selalu berisi dengan hari-hari yang pernah ia lalui bersama Sky. Seperti saat Star curhat tentang dia yang ditembak kakak kelas karena dikira Sky, atau Sky yang curhat karena dimintai sontekan karena dikira Star, atau tentang Star yang tak sengaja membasahi novel kesayangan Sky, atau tentang Star yang tidak sengaja membuang kupon-kupon yang telah Sky kumpulkan berminggu-minggu. Memori-memori bersama kakak kembarnya yang terputar ulang di mimpi itu membuat Star merasa lebih baik.

Ia tak lagi merasa sendiri. Rasa bersalahnya karena berhasil selamat dari pembantaian itu seorang diri terkikis sedikit demi sedikit. Meskipun rasa ngeri masih ada ketika Star memperhatikan wajahnya yang terpantul di cermin, bayangan Sky yang menyalahkannya karena berhasil selamat tanpa dirinya mulai mengabur. Star yakin gadis sehalus Sky tidak akan berpikiran seperti itu. Sebaliknya, kakaknya itu akan senang mengetahui Star berhasil selamat dan menggantikan posisinya.

Bagaimanapun ia harus tetap hidup dan melakukan yang terbaik. Maka kematian Sky tidak sia-sia.

"Sedang memikirkan kakak kembarmu, Nona?"

Star mengalihkan pandangan dari jendela kamar yang menampilkan langit malam dan bulan purnama. Seperti biasa, Trickster berdiri di depan pintu, bertumpu pada tongkatnya.

Star hanya mengangguk pelan. "Biasanya kamu hanya datang saat kupanggil. Ada apa, Trickster?"

Pemuda itu mendekat perlahan, seolah mengulur waktu. "Hanya ingin mengucap salam perpisahan sebelum kontrak kita berakhir dan..." Trickster tersenyum tipis. "meminta bayaranku."

"Apa?" Star refleks berjalan menjauh, memutari tempat tidur sementara pemuda itu mendekati dari arah sebaliknya. "Bukannya kau bilang tidak akan meminta apapun dariku?"

"Itu untuk memakan mimpi burukmu, Nona." Trickster berhenti di depan jendela, tempat Star berdiri tadi. Sedangkan Star berdiri di seberangnya, terpisah oleh ranjang. "Yang kuminta adalah bayaran sebagai ganti memutar kembali memori-memori bersama kakakmu."

Star tercekat. "Kamu tidak bilang!"

Trickster tertawa. Terselip nada mengejek dari suaranya. "Kenapa tidak tanya?"

Meskipun bukan jiwa, bayaran apapun yang diminta pemuda itu pastilah akan membahayakan hidupnya. Star menjauh, berbalik menuju pintu. Tapi buru-buru mengerem langkahnya saat melihat Trickster sudah menghalangi satu-satunya jalan keluar itu.

Star kalut, ia menyambar gunting di meja belajar dan menerjang pemuda itu. Berharap bisa menikam ulu hati Trickster dengan ujungnya yang tajam. Tapi ujung guntingnya hanya menusuk udara kosong sebelum tangannya dipelintir ke belakang punggungnya. Star memekik dan jatuh terduduk.

"Paman dan bibimu tidak akan mendengar teriakanmu, Nona,"  cemooh Trickster sambil mengencangkan cengkeramannya di kedua pergelangan Star yang kecil, lalu tertawa rendah. "Pembunuh amatir."

"Apa maksudmu?!" teriak Star. Ia meronta, tapi tak ada tanda-tanda Trickster akan melepas tangannya.

"Kenapa sebelum ini, kau selalu tidak nyaman saat bercermin?" tanya Trickster sambil berbisik di telinganya. Tapi Star tidak diberi kesempatan untuk menjawab. "Serasa ditatap oleh orang yang kau bunuh, ya?"

Jantung gadis itu serasa melesak ke dalam perut.

"Kau tidak bisa menyembunyikannya dariku, Nona." Trickster menghela napas, suaranya kembali melembut. "Aku masih bisa mengingat rasa dari mimpi burukmu yang eksotis itu. Di luarnya, ketegangan dan ketakutan yang dilumuri darah menyatu dengan sempurna. Tapi di intinya, aku dikejutkan oleh suatu rasa asing yang tak semestinya ada di mimpi buruk semacam itu."

Star terdiam, tak mengharapkan kelanjutannya.

Tapi Trickster tetap melanjutkannya. "Aku merasakan kelegaanmu, Nona. Tak peduli di beberapa mimpi si pembunuh itu 'membunuhmu', saat kau menemukan kakakmu dalam kondisi tak bernyawa, hatimu seolah berkata, 'Akhirnya aku jadi satu-satunya'."

Star menjerit. "Mimpi-mimpi itu tidak benar!"

"Memang. Di mimpimu, kakakmu terbunuh oleh pembunuh itu, seperti apa yang kau ingin orang-orang yakini. Nyatanya tidak." Trickster tersenyum miring. Lalu apa yang meluncur dari mulutnya kemudian menikam Star berkali-kali. "Karena iri atas semua yang diperolehnya, kau membunuh kakakmu. Menjadikannya seolah-olah perbuatan si pembunuh. Berhasil jadi satu-satunya yang selamat. Menerima semua ungkapan duka dan simpati. Menerima cinta dan perhatian yang tadinya ditujukan pada kakakmu. Menerima perusahaan yang di kemudian hari harusnya dikelola oleh kakakmu."

"Diam!"

Pemuda itu tidak berhenti. "Tapi seperti yang kubilang, kamu pembunuh amatir. Kamu masih dihantui rasa bersalah. Kamu butuh mimpi kilas balik bersama kakakmu itu untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kakakmu bukanlah pendendam, bahwa kakakmu tidak akan marah atas apapun yang kau lakukan padanya, termasuk membunuhnya."

Udara dingin malam hari tak membuat panas di dada Star padam. Gadis itu mendesis. "Lalu apa yang akan kau lakukan setelah mengetahuinya? Melaporkan kebenarannya pada semua orang yang kukenal? Membawaku ke polisi? Atau langsung membunuhku di sini?"

"Aku tidak ada urusan mengenai hal-hal seperti itu. Aku adalah Pemakan Mimpi. Bukan eksekutor atau malaikat pencabut nyawa." Tawa Trickster yang ringan malah terasa menusuk-nusuk di telinga Star. "Sudah kubilang, aku ke sini untuk mengambil bayaran. Setelah itu kau tidak akan mengingatku dan bisa lanjut menjaga rahasia itu seorang diri."

"Penipu! Aku tidak akan memberikan apapun padamu!"

"Tak masalah. Tidak kau berikan pun, aku bisa mengambilnya sendiri." Trickster menggigit sarung tangannya, membebaskan sebelah telapak tangannya dari kain tipis itu. "Nona sendiri yang mengizinkanku. Ingat kontrak kita? Tentang aku yang memakan mimpi-mimpi Nona hingga bulan purnama."

Star gemetaran. "A-Apa? Aku hanya mengizinkanmu memakan mimpi buruk—"

"Tidak," potongnya. "Apa aku kurang jelas? Kubilang kau mengizinkanku memakan mimpi-mimpimu. Maksudnya adalah semua mimpimu. Termasuk harapan, impian dan ambisimu yang menggebu-gebu itu."

Pemahaman merasuki Star. Harapanlah yang membuatnya percaya bahwa ia dapat keluar dari kejadian mengerikan itu. Impiannya untuk membuktikan bahwa ia lebih layak daripada kakaknyalah yang memberikan Star tujuan untuk terus hidup. Dan ambisilah yang menjadi tenaganya untuk menjalani semua itu.

Apa yang tersisa jika ketiga hal itu direnggut darinya?

"Kamu tidak bisa!" Star kembali memberontak, tapi cengkeraman Trickster masih belum melonggar sedikitpun dari pergelangan tangannya. Trickster menangkupkan tangannya yang bebas pada kedua mata Star. Rontaannya mereda. Gadis itu merasakan tubuhnya melemas sedikit demi sedikit.

"Ambisimu untuk menjadi yang terbaik itu membahayakan, Nona. Jika dibiarkan, ambisi itu akan memakan lebih banyak korban." Trickster masih mengajaknya bicara saat seluruh tubuh Star sudah mati rasa. "Hidup tanpa harapan, impian, dan ambisi... Pasti dunia pun terasa hambar dan tak berwarna."

Lidah Star kelu, tak bisa menjawab perkataannya. Star hanya merasakan tubuhnya dibaringkan ke ranjang dan Trickster menyelimutinya. Kemudian setelah kembali mengenakan sarung tangannya, pemuda itu masih sempat memungut gunting tadi dan menyimpannya ke tempat semula.

Dalam pandangannya yang semakin buram, dilihatnya Trickster membungkuk formal. Tangannya menggenggam sekuntum mawar yang entah dari mana.

"Masih banyak mimpi dan ambisi yang harus kupetik. Selamat tinggal, dan..." Trickster tersenyum sebelum kedua mata Star tertutup sempurna. "Selamat datang di dunia monokrom ini."

***

Di suatu tempat yang tak diketahui oleh siapapun, seorang pemuda berpakaian hitam berlutut di samping sebuah peti terbuka yang bertabur mawar. Seorang gadis berambut ikal kemerahan terbaring di dalamnya, tampak tertidur. Atau mati.

Wajah gadis itu pucat, namun bersih dan bersinar lembut layaknya rembulan. Damai dalam tidur panjangnya. Mata abu-abu yang dulunya memancarkan ambisi murni yang tak pernah mati itu kini tersembunyi dibalik kelopak mata. Hanya kegelapan yang dilihatnya. Kegelapan yang perlahan meredupkan jiwanya.

Tidak boleh.

Pemuda itu menunduk, mengecup lembut kening sang gadis. Setelah kepalanya terangkat, ia menggenggam tangan pucat itu untuk waktu yang sangat lama, seolah mengalirkan energinya pada tubuh kaku sang gadis sembari bersenandung lirih.

Kukumpulkan mimpi dari penjuru dunia untukmu

Sehingga hatimu itu takkan pernah layu

Kelingking yang bertautan menjadi janji kita

Sampai hari di mana kelopak matamu terbuka.

***END OF DREAM EATER***

Catatan Kaki:
Songfic dari dua lagu vocaloid berjudul Dream-Eating Monochrome Baku (dinyanyikan oleh Kagamine Len) dan The Sleeping Princess (dinyanyikan oleh Kagamine Len dan GUMI). Musik dan lirik ditulis oleh Nem. Karakter Trickster didesain oleh Tama.

***
K O L O M    N U T R I S I

1. Apakah saat ini kamu sering mengalami mimpi buruk? Coba ceritakan mimpimu, mungkin dukun STARRAWS bisa bertindak.

2. Percayakah kamu pada Trickster?

3. Apa pendapatmu terhadap cerita Dream Eater?

***

Jika tertarik berpartisipasi dalam antologi ini, silakan publikasikan karyamu di Wattpad pribadi, sertakan tagar #STARRAWSInAction, satu cerita terbaik akan dipublikasikan ulang di work ini (lihat keterangan lebih jelas di bab "WATTPAD TODAY: STARRAWS ZONE").

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga  bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan  pendapat, seperti yang terdapat dalam aturan dasar RAWS Community. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote cerita dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon A Time in STARRAWS

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top