STARRAWS YOU | Daze Days by Aya
| A Psychological Thriller Story |
"Aya ni Shite Ageru! Suka nge-joke, slengean, tapi ga bisa bikin genre humor karena hidupnya sendiri adalah sebuah 'candaan'."- The Rising Stars, applelikecaramel
***
STAR berada di sebuah ruang gelap, tempat yang ia tidak tahu di mana. Star berusaha mengembalikan fokus dan teringat bahwa tadi ia pingsan. Ketika sedang mencari jalan keluar, ia menemukan kotak hitam kotor, besar, menunggu untuk dibuka. Kotak itu terletak di sudut ruang.
Ternyata, di dalamnya ada benda kecil bersinar. Gemerling bak gemintang, pun berukir indah bak berlian. Perlahan, laki-laki ini mencoba meraih benda tersebut. Aneh, ternyata itu lonceng, atau lebih tepatnya ... bel kalung kucing?
"Apa ini? Aku di mana?"
Apa pun yang Star coba ingat, dia tidak menemukan satu titik cahaya.
Apa yang terjadi?
Benda apa ini?
Memutar otak, tetap tak ada jawaban bersua. Suara denting lonceng. Fonetik sang kucing jelaga. Si rambut ikal kemerahan ini terkejut. Dingin merambat cepat hingga melempar benda temuan.
Kucing hitam? Sejak kapan?
Ah, bagus, sekarang dia kehilangan benda yang mungkin bisa menuntunnya keluar. Dalam keadaan tak biasa ini, Star mudah sekali bertingkah aneh. Untung saja dia melempar benda itu, bukan menelannya—seperti biasa.
Si hewan berlari, sayup-sayup irama cakar mengarungi dalam kesamaran gelita, mengejar ke mana cahaya itu melayang. Tak kenal takut si laki-laki mencoba menyusul kucing hingga suara samar menghentikannya.
Pelan.
Lembut.
Nama panjang si rambut kemerahan terus bergema. Perlahan ... Star mulai terusik. Memanggil lagi. Resonan.
"Hey, Star, kamu baik-baik saja? Ah, melamun terus. Kebiasaan jelek!"
Eh?
Yang dituju mengerjap, sampai-sampai memperbaiki posisi kaca mata tak berlensanya. Menggeleng sesaat, mengumpulkan fokus.
"Ly-lyra? Kita di mana?" suara bariton Star bertanya dengan nada heran.
Lyra, perempuan yang berdiri di sampingnya tertawa kecil. "Kamu ini, pintar tapi kikuk. Kita mau menyeberang jalan! Berangkat sekolah. Tuh kan, kebiasaan kurang fokus, sepatu kamu sampai beda sebelah."
Refleks Star melihat ke bawah. Benar sepatunya berlainan, sungguh dia kurang memperhatikan penampilan. "Eh, jadi tadi aku melamun? Ehehehe, maaf," ucap Star gugup diikuti menggaruk tengkuk.
Si perempuan mendengkus sembari menggeleng. "Kebiasaan jelek harus diubah Star, harus. Menyeberang sambil melamun ... bagaimana?"
Ah, dimarahi lagi. "Iya-iya. Maaf."
"Iya-iya tapi tak dipahami!" gerutu Lyra dengan pipi menggembung, mengundang tawa renyah Star.
Entah kenapa rasanya tenang sekali. Matahari berkirana, menghantarkan hangat pada sela-sela jemari. Langit biru tanpa sempadan. Gumpalan putih pada kanvas. Cerah. Terlebih bisa berbicara dengan si perempuan. Berbicara dengan Lyra. Karena sebenarnya, ada satu lagi sahabatnya. Dia ...
"Eh, ada kucing!"
Suara gemerencing yang sama.
Titik cahaya melayang. Itu bel kalung kucing yang sebelumnya Star lempar. Tunggu, tapi kan ....
Ah. Hewan itu masih mengekor, dan Lyra mengejarnya. Seketika semua seolah berjalan lambat di hadapan bola mata abu-abu. Mencoba mengayunkan lengan. Lampu lalu lintas penyeberangan menyala. Si perempuan berlari ke tengah jalan. Kucing menangkap lonceng. Suara klakson truk memekakkan telinga. Meraih pergelangan tangan si kulit putih.
Gagal.
Dalam satu kedipan semua berakhir normal.
Normal? Begitu pikirmu?
Langit sontak berubah menjadi biru, polos tanpa gradasi. Awan menjadi putih, polos tanpa bayangan. Gedung, tiang listrik, trotoar; semua menjadi hampa. Hanya merah terang mencolok begitu mendominasi. Jalan, baju putih Star bahkan wajah ikut terciprat merah. Merah si dia yang hancur di depan mata abu-abu. Remuk raga tak berdaya. Truk itu membawa suara jeritan sedikit terlambat. Darah berceceran ke mana pun dan Star tercekik aroma vanilla rambut Lyra yang sudah ternoda merah.
Mencoba menghirup udara segar. Segar? Ini semua bohongkan? Tetapi, hari seolah mengejek.
Apa yang kamu lihat adalah apa yang akan kamu dapatkan!
Tak berapa selang semua gelap. Suara gemuruh dan kabut menutup indra. Tak ada pendar sang surya. Hanya gulita mengungkung bak kabut angkuh mendekap. Menarik kesadaran. Si laki-laki kembali jatuh dalam hitam.
Star berada di sebuah ruang gelap, tempat tidak tahu di mana. Si pemuda berusaha mengembalikan fokus dan teringat bahwa tadi ia pingsan. Ketika sedang mencari jalan keluar, dia menemukan kotak hitam kotor, besar, dan menunggu untuk dibuka terletak di sudut ruang. Mencoba meraih ... ternyata benda kecil bersinar. Bel kalung kucing.
"Seperti tak asing, tapi, ini di mana?"
Apa pun yang Star coba ingat, dia tidak menemukan satu titik cahaya. Apa yang terjadi? Benda apa ini? Memutar balik otak, tetap tak ada jawaban bersua. Gemerincing lonceng. Suara kucing hitam. Bola bak kelereng itu menatap lurus ke arah Star, mata hijau sang hewan begitu bercahaya. Seketika dingin merambat memancing seluruh bulu kuduk. Namun, Star tak gentar. Dia lebih teliti sekarang, lebih berhati-hati. Si laki-laki berambut kemerahan ini masih ingat perihal sebelumnya. Mimpi atau bukan, Star tidak menurunkan ke waspadaannya. Menggenggam erat lonceng, menatap sinis ....
"Hey, Star! Mukamu seram begitu, melamun lagi ya?"
Ha?
Yang dituju langsung menoleh tepat ke arah kirinya. Dalam satu kedipan, Star sudah berada di pinggir jalan. Tempat penyeberangan, persis seperti yang dahulu.
"Di mana?"
Lyra tertawa kecil. "Kamu ini, pintar tapi kikuk. Kita mau menyeberangi jalan! Berangkat sekolah. Tuhkan, kebiasaan kurang fokus, sepatu kamu sampai beda sebelah." Sontak Star melihat ke bawah dan ... benar.
"Sebentar." Seketika Star menggenggam erat tangan Lyra, begitu erat seolah-olah si gadis bisa saja hilang dalam hitungan detik.
"Ah sakit, jangan keras-keras! Kamu kenapa sih?"
"Dengar! Ada yang aneh, tadi aku--"
"Kamu yang aneh! Sudah, jangan bercanda, nanti telat!"
Kasar Lyra menarik tangan dari tautan hingga lonceng dalam genggaman Star terjatuh. Suara gemerencing yang sama, ketika bel menabrak bumi ... tepat di depan si kucing jelaga.
Semua kembali berjalan lambat, di hadapan mata abu-abu Star.
Ketika si perempuan melangkah keluar dari jalur orang-orang di sekitar. Manusia berteriak, menunjuk ke depan. Suara mereka stagnan. Begitu pula penglihatan Star yang menyemukan. Memburu. Seluruh keadaan sekitar bak televisi statis. Bunyi lonceng terbawa angin tua. Klakson truk riuh memecah telinga. Jeritan Lyra tersemat diantara pohon-pohon taman. Suara rem kendaraan melengking.
Merah, semua merah. Cairan amis kembali berceceran. Suara gemeretak dari tubuh semampai. Patahan tulang mencuat menyayat kulit. Genangan darah. Bola mata abu-abu melebar dengan kayu balsa melemas. Tubuh Star ambruk melihat itu semua ... lagi.
Bohong, kan? Ini semua bohong, kan? Namun, hari sedang mengejeknya.
Taruhan, kamu berharap kamu itu masih tidur ,'kan? Tapi, ini bukan mimpi!
Pandangan menyamar, merenggut kesadaran dari labuhan. Dalam tidak jelasnya penglihatan yang merusak, si laki-laki bersumpah melihat dia yang terus mengeluarkan senyum masam.
Semua kembali terulang.
Lagi.
Lagi.
Tanpa henti si laki-laki melihat kabut, dan tawa hari akan terus kembali. Apa pun yang Star lakukan, semua berakhir sama. Mati lagi. Mati. Dia kembali tiada.
Lagi.
Lagi.
Ketika sang gadis pecah, dan hari kembali meledek. Jika Star mengulurkan tangan ke arah dia yang hancur, sesuatu akan kembali menatap bak cermin mengintimidasi. Sesuatu akan meluap. Naik ke permukaan, gemetar. Mengembus dan kembali rusak. Berkali-kali Star tenggelam, dalam hari yang mengerikan ini.
Terasa seperti sudah sekarat dalam puluhan tahun, dan si pemuda masih ingat itu semua. Mereka terjebak dalam siklus dengan akhir tak pernah jelas. Bila ini hanyalah sebuah kisah ... sekarang, seperti yang lainnya, pasti mempunyai akhir untuk diceritakan.
Star berada di sebuah ruang gelap, tempat tak tahu di mana. Berusaha mengembalikan fokus dan teringat bahwa tadi ia pingsan. Kali ini, sudah biasa. Tidak mencari jalan keluar. Tidak membatin penuh pertanyaan. Lagi pula, akan berakhir kembali seperti itu 'kan? Kalimat biru ini bergema, pun dia mengutuk nasib.
Kini Star berdiri di depan kotak hitam, kotor, besar. Hanya berdiri, tak melakukan gerakan berarti. Berapa lama dia akan di depan kotak itu? Tidak ada yang tahu. Wajah tanpa gurat emosi itu terus menunduk. Mata abu-abu kehilangan pendarnya. Pandangan dipenuhi kabut kelabu yang begitu mengusik. Sesuatu bergejolak dalam batin. Ketidak mampuannya dan hal tak biasa ini mengundang frustasi. Apa pun yang dilakukan ... berakhir sama.
Deru sang hewan jelaga.
Refleks mata abu-abu yang mulai menghitam itu melihat ke asal suara. Kucing ... lagi? Ta-tapi dia tidak, membuka kotak itukan? Kenapa-
"Hey, Star! Kusut sekali, melamun lagi ya?"
Kenapa? Kenapa berpindah ke sini? Kenapa tidak tetap di ruang gelap itu? Kenapa? Kenapa kenapa kenapa ....
"Lihat, aku menemukan bel! Punya siapa ya? Eh? Oooi, Staaar, apa ada orang di rumah?" Dengan gelagat lucu Lyra melambai telapak kanan ke depan wajah suram si laki-laki ikal.
Detik yang terjadi setelahnya adalah Star mendekap Lyra. Begitu cepat, hingga rambut cokelat panjang si perempuan tersibak. Begitu kuat, seolah kehancuran berada dipundaknya.
"S-star, hey, ada apa? I-ini di pinggir jalan, banyak orang, Star!"
Yang dituju tidak balas berucap. Tak mampu. Si rambut kemerahan mengeluarkan suara rendah dalam tenggorokan tercekik oleh rasa bersalah menggerogoti batin. Mungkin, dalam waktu singkat berubah merongrong. Lyra tidak memberontak, jikalau mau, pun tak bisa, karena ... sangat erat, sangat kuat.
"Aku tahu kamu aneh, sifatmu aneh, tapi tidak sebodoh ini. Apa yang terjadi?"
"Auuuh, a-aku ... akhhh," ucap Star terbata-bata berbaur dengan pilu. Mata, mulai mengalirkan tirta. Efek yang ditimbulkan sungguh luar biasa. Rasa kesal, kecewa bahkan putus asa berpadu di alam sadarnya. Denyut nyeri di balik tulang rusuk. Sesak, degup jantung tak lagi sama. Wajah pun memerah sebab luapan emosi.
Star jua yang tahu perihal ini, hanya dia.
"Tapi ini di pinggir jalan, malu dilihat orang." Si perempuan mulai mencoba mendorong raga bergetar yang menempel padanya. Namun, kekuatan kalah dengan Star yang enggan lepas dari dekapan itu. Meraung-raung, mengais-ngais tubuh semampai di depan. Menenggelamkan wajah. Dekapnya makin erat. "Hey, Star, kenapa?"
Sayup-sayup, samar, Lyra dapat mendengar suara yang berguncang dari Star diiringi tangisan tertahan, "Jangan ... pergi. Jangan pergi, jangan pergi."
"Ummmh, pergi ke mana? Kita mau ke sekolah." Lembut, telapak putih bak pualam Lyra membelai kepala Star. Pelan, seolah enggan menyakiti walau sekedar menekan. Karena amat memilukan, menyedihkan, melihat dia sebegitu bermandikan duka. Menatap saja membuat leher tercekat. Sebenarnya, apa yang terjadi pada pemuda ini?
"Aku ... a-aku, sudah lama. Sudah lama aku menyukaimu, Lyra. Aku ... senang bisa tertawa, bersama-akkh, jangan pergi. Jangan ke sana. Aku sayang ... aaah, kamu, mati. Haah, aku sayang--" Napasnya memburu.
Rapal terputus dalam lekum kausa debup jantung menghalangi. Sengatan nyeri yang terlalu besar menyerang, seperti jantung diremas kuat hingga terasa tercekik. Menyedihkan. Memilukan. Menyakitkan. Remang bersimbah peluh.
"Kamu ... apa?" Cepat Lyra menghempas raga Star yang terhuyung lemas karena gejolak emosi. Sedikit melangkah mundur. Badan ikut gemetar, karena takut. "A-aku ...."
Kembali melangkah mundur.
"Aku tak paham ... Star, apa? Mati?"
Kembali mengayun tungkai, mundur.
Suara denting bel. Bola bercahaya itu kembali jatuh ... di depan kucing hitam, karena Lyra bergegas pergi.
Lengan tak kuasa mencoba meraih dia yang tak mampu lagi ia jamah. "Tunggu, LYRAAAA!"
Tak lama berselang, debum heboh menyapa pendengaran.
Mimik seolah tak percaya dengan apa yang dilihat. Pemuda ini ambruk laksana kaki sudah tak kuat menyanggah. Di sana, darah mengalir, mengotori aspal panas dan wajah truk putih. Bau karat mulai mendominasi. Tubuh itu kembali remuk. Mata abu-abu terbuka lebar sementara kornea sarat akan awan kelabu tak henti menangis di balik wajah nahas tersebut. Batinnya bergejolak, menahan ... menahan-
"Rhaaaghhh!"
Dalam adegan tak wajar ini, hari kembali tertawa.
Ini hal yang nyata!
Hari akan berakhir. Hari yang tak mengenal esok atau kemarin ... akan sampai pada titiknya.
Star berdiri di tengah ruang gelap. Mata amat kelam. Tak berpendar bak orang mati, pun raut tanpa ekspresi. Pandangannya juga entah kemana, seperti boneka. Boneka ... lagi pula untuk apa melawan? Lanjutkan saja permainan ini. Karena dia memang boneka, dan semua berakhir sama. Apa pun itu.
Langkahnya pelan. Dentum sol dalam ruang sepi ini menggema, seperti irama pembawa peristirahatan abadi. Hingga nada kematian itu berhenti, tepat di depan kotak hitam. Ternyata, bel kalung kucing. Apa lagi? Karena memang itu isinya. Hanya itu di dalamnya, sampai kapan pun. Kendatipun ini terulang, semua sama. Mengambilnya ... lalu kembali ke tempat itu, 'kan?
Dengkur kucing jelaga manja mengusap wajah pada kaki Star yang menjejak kaku.
"Hey, Star! Hem? Kamu melamun ya?" sambut riang si gadis berambut cokelat panjang, menepuk pelan pundak si pemuda. Wajah lugunya, juga masih sama.
Namun, lawan bicara tidak merespons.
"Benar ya, melamun. Star! Kita mau menyeberang, kalau melamun ... bagaimana? Kebiasaan kurang fokus, sepatu kamu sampai beda sebelah."
Bibir membungkam rapat bak tuna wicara. Ia menunduk, mungkin melihat sepatunya yang berbeda sebelah? Karena wajah sudah setengah tertutup temaram, bahkan Lyra di sampingnya tak dapat mengetahui ekspresi si pemuda.
"Hah ... Star, Star. Kamu kenapa? Tumben diam. Padahal, hari ini cerah," ucap lembut si gadis, selembut mentari yang bersinar menghangatkan tubuh. Iya, cerah. Langit biru tanpa batas. Gumpalan putih pada kertas bumantara. Bisa kembali berbicara dengan- dengan Lyra, di sampingnya. Apa yang lebih baik?
"Star, ayo, selagi lampu penyeberangan masih hijau."
Dan dia berjalan.
Seketika semua kembali melambat, di hadapan bola mata abu-abu.
Orang yang berdesakan menghentikan ancang. Si perempuan masih melangkah. Awan tak melambai. Panas membakar. Star bergeming. Suara gema lonceng begitu mengganggu. Lampu lalu lintas penyeberangan berwarna merah menyala. Lyra di tengah jalan. Kucing hitam di seberang sana. Klakson truk begitu memekakkan.
Jauh dan jauh di luar hari terik itu ....
Lalu Star mendorong dia ke tepi untuk menghindari truk, dan menabrakkan diri. Matanya, dan tubuh memutar terlihat kabur dari biram mengerikan. Menerjang dan memukul si pemuda sebagai gantinya. Darah menetes di mana-mana. Udara tercekik aroma rambut ikal kemerahan yang sudah ternodai amis.
Di trotoar, Lyra menghirup udara dalam ekspresi menunjukkan suatu tidak keterimaan. Terguncang dengan pemandangan dalam mata bak arang pagu. Kebohongan, itu semua bohongkan? Dan hari terlihat menyesal.
Apa yang kamu lihat adalah apa yang akan kamu dapatkan.
Mungkin telah usai.
Semua berakhir sekarang.
Dunia yang terputus ini dipenuhi dengan kegelapan.
Meninggalkan Star.
Setidaknya dia tersenyum. Senyum puas di balik air mata tak henti mengalir.
Emosi yang selama ini ia coba tekan dan sembunyikan dalam hati mulai runtuh, bersama dengan perasaan yang tidak ada jalan keluarnya. Rasa sakit tak bisa dijelaskan oleh kata turun dalam ketaksaan. Segala macam emosi larut di momen itu ... ketika ia merasa, seolah hidup sama sekali tidak berarti.
Ini, akhirnya? Apa ini akhirnya?
Jika kamu berada di sana, di sampingku, betapa bahagianya hal itu untukku.
Jika tangan ini bisa menggapaimu, berapa banyak hal itu akan menebusku.
Ah. Tangan sang messiah dengan lembut mengayunku, seolah-olah berada dalam buaian.
Ah. Kesadaranku memudar. Aku mohon, cabut ... dengan sentuhan ringan di ujung jari.
Seseorang menepuk pundaknya. "Sehat? Kamu ... menangis?"
Skizofrenia.*
Si pemuda berdiri. Ini berbeda. Di pinggir jalan, di samping laki-laki lebih pendek darinya. Salah satu sahabat dia, dulu. Menyadari perkataan dari kawannya, Star mengusap pipi. Benar, basah. Namun perasaan ini ... Star meremas baju putih di bagian dada. Erat, kuat sekali hingga seluruh kain ikut tertarik pada inti.
"Sejak mengambil bel itu ... jadi aneh. kenapa? Apa- tak bisa lupa?"
Kata-kata yang terucap dari temannya memancing si pemuda. Gontai ia mengangkat tangan kanan, membuka genggaman. Lonceng kalung kucing yang sama. Perlahan Star menoleh ke arah dia, dengan wajah sama pula. Sama, tertutup bayangan dengan air mata tak henti mengalir.
"Jangan terus menyalahkan diri. Tempat ini dan bel ... mungkin mengingatkanmu perihal dulu, waktu kita bertiga, tapi itu kecelakaan. Tak bisa kamu menghukum diri sendiri seperti ini. Lyra tidak akan kembali."
"Lyra ...." ucap Star samar lebih-lebih tenggelam.
Ayo, kita menyeberang!
Seketika tubuhnya lemas, bak kehilangan asa. Gema lonceng yang jatuh dari genggaman si pemuda, begitu pula tas di punggungnya. Limbung ia melangkah.
"Oi! Ke mana?! Tunggu! Jalan masih ram--"
Gesit temannya mencoba meraih Star yang berlari, tapi ... gagal.
Seperti ini akhirnya, 'kan?
CRASH!
***END OF DAZE DAYS***
Catatan Kaki:
*Skizofrenia adalah gangguan mental kronis dan parah yang memengaruhi bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Orang dengan skizofrenia mungkin tampak seperti telah kehilangan kontak dengan realitas. Mereka akan sulit membedakan mana dunia nyata dengan dunia khayalan. Ini karena gejala penyakit skizofrenia sering mencakup pengalaman psikotik, seperti mendengar suara-suara tak berwujud, halusinasi, atau delusi.
***
K O L O M N U T R I S I
1. Pernahkah kamu mengalami halusinasi?
2. Jika pernah, coba ceritakan pengalamanmu!
3. Apa pendapatmu terhadap cerita Daze Days?
***
Buatlah ilustrasi karakter STAR menurut imajinasimu (boleh anime/kartun, intinya buatan sendiri) untuk mendapatkan paket buku gratis dan pulsa dari STARRAWS (Lihat keterangan lebih jelas di bab "WATTPAD TODAY: STARRAWS ZONE")
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat, seperti yang terdapat dalam aturan dasar RAWS Community. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote cerita dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon A Time in STARRAWS
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top