(Not) a Savior

Pernahkah kau mengira, sudah berapa juta deraian hujan yang turun ke bumi sejak sepuluh tahun lalu?

Kalaupun kau tak pernah menghitungnya, pernahkah kau memikirkan sudah berapa kali aku terisak dalam tangis sebelum tidurku di malam-malam yang muram semenjak hari itu?

*

(Not) a Savior

GUSLEY SONGFICTION
Lee Hi-Savior ft. B.I

MLBB © Moonton

Enjoy Reading

*

"Sudah mau pulang, Ley? Tidak ikut ke SushiTea? Pak Tigreal yang traktir." Miya menepuk bahu Lesley yang masih sibuk membereskan berkas di meja, memberi klip di sudut atas satu persatu.

"Aku tidak ikut, Mi. Tolong sampaikan ke Pak Tigreal."

"Oh, baiklah. Kau terlihat pucat. Apa kau sakit?"

Miya menempelkan punggung tangan di dahi Lesley, tetapi ditepis pelan.

"Tidak, tak apa, hanya sedikit lelah. Kau tahu kan kemarin aku ... "

"Huum Ley. Ambil waktu istirahatmu, terlalu banyak lembur nanti sakit."

"Terima kasih, Mi." Lesley tersenyum tipis. Ponsel dengan case burgundy yang tertelungkup di meja ia masukkan dalam tas beserta earpods. Setelahnya, memasukkan berkas yang sudah diberi klip ke folder besar dan beranjak, "Aku pulang, Mi."

"Hati-hati di jalan!" Miya melambai pelan, Lesley mengangguk sebelum berpaling berjalan lurus. Sudah hampir pintu, ia meletakkan berkas di atas meja dengan papan nama Mr. Tigreal. Meninggalkan kantor dengan hati sedikit tak enak.

Sudah sering ia menolak tawaran dari teman-temannya untuk makan bersama, ataupun berkumpul minum-minum di luar pembicaraan mengenai pekerjaan. Entah mengapa, akhir-akhir ini ia ingin menarik diri sehabis melakukan kewajiban di bidang profesional. Menyendiri di apartemen tanpa menyalakan lampu, duduk bersandar di tepi ranjang, merenung melihat langit malam yang segala bintangnya akhir-akhir ini jarang terlihat karena awan tebal, dan hujan turun, gerimis ataupun deras. Tanpa permisi.

Meski demikian, ia tak pernah menyalahkan tangis langit yang menghujam bumi. Segalanya terjadi karena suatu alasan, prinsip itulah yang membuatnya sadar ia tak perlu protes dengan absennya gemintang di langit di penglihatan karena hujan. Begitupun ketika si pemilik sapu tangan di genggamannya ini menghilang tanpa menyertakan alasan kepergiannya dengan jelas.

"Mungkin kita akan bertemu lagi, suatu hari nanti. Kalaupun aku tak terlihat lagi olehmu, tak apa-apa bila kau melupakanku."

Kata-kata itu, hal terakhir yang ia dengar dari lelaki yang pernah membersamainya, sepuluh tahun lampau. Lalu, mereka berdua berpisah tepat ketika bunyi klakson mobil mewah hitam berbunyi dari belakang, lelaki itu berbalik dan masuk ke mobil. Tanpa menoleh padanya lagi. Tanpa mendengar balasan dari Lesley dari pernyataannya.

Lelaki itu pergi, tak hanya meninggalkan sapu tangan di genggaman, juga kenangan pahit-manis dalam ingatan.

Tak lama gerimis turun, rerintik membasahi seragam sekolahnya. Sapu tangan itu ia genggam kuat-kuat. Bahu gemetar, seiring butiran hujan mulai membesar, tangis dan isakan pun tersamar. Tak kuasa ia menahan sesak. Ia menutupi wajah, mengalir air mata tanpa suara. Kenangan masa SMA ditutup dengan rasa sakit perpisahan.

Berbagai persimpangan jalan telah ia lalui, berbagai pendar lampu di pinggir trotoar telah dilewati, angka-angka lift telah ia tekan menuju kediaman. Kedua kakinya yang gontai, membawa ke depan pintu apartemen nomor 204. Menempelkan sidik jari di kunci depan, pintu pun berbunyi dan terbuka. Melepaskan alas kaki, memasukkan ke rak. Tak ada satupun penerangan yang ia hidupkan. Ia hanya membiarkan sumber cahaya dari jendela besar, dari selipan tirai. Meletakkan tas di meja, bersandar di bawah sofa. Merenung, menatap kosong pada sebuah sapu tangan putih. Tak ada yang istimewa dari itu, hanya berbordir huruf G di sudut kanan. Memang tak ada yang istimewa, hanyalah pemiliknyalah yang membuat ia terdiam seperti ini.

"Pakai ini." Ia masih teringat suara lelaki itu ketika masih anak-anak, saat melihat hidungnya mimisan. Ia tahan sebentar di hidung, berharap darah yang keluar cepat berhenti dan tak meninggalkan noda lebih banyak lagi.

"Terima kasih, Gusion," ucap Lesley sambil tetap menahan sapu tangan. Anak lelaki itu memandangnya khawatir. Tak hanya sekali ia lihat Lesley mimisan. Ia sering mendapati perempuan itu duduk di bangku halte dengan sealir darah di hidung, tanpa disadari. Ketika ditanya mengapa hidungnya sering mengeluarkan darah, Lesley mengangkat bahu. Ia juga tak tahu mengapa karena saat itu ia tak mencari tahu.

"Lama-lama darahmu bisa habis karena sering mimisan!" seru Gusion. Lesley remaja hanya tertawa, sebelum menjawab, "tidak mungkin, ini hanya sedikit."

"Sedikit tapi sangat sering, Lesley!" sanggahnya dengan nada sedikit meninggi, menatap serius pada Lesley yang mencebikkan bibir, lalu mengangkat bahu.

"Entahlah."

Gusion membuang napas berat, ia merogoh saku dan menguarkan lolipop berbentuk mawar warna merah.

"Ini untukmu."

"Untukku?"

"Ya, makan saja. Lolipop ini terlalu cantik untuk kumakan, jadi kuberikan saja padamu."

"Terima kasih, kau sangat baik."

"Tentu saja, bukankah kita teman?"

Saat itu, Lesley mengangguk setuju. Setelah mengeluarkan sapu tangan yang menyumpal hidung, ia melipatnya sampai tak terlihat bekas darah. Gusion yang awalnya berjongkok di depannya duduk di samping. Mengamati Lesley membuka bungkus lolipop di tangan. Lolipop berbentuk mawar merah itu tanpa corak, bening sampai Lesley bisa mengintip jalanan dengan lalu lalang kendaraan di badannya. Ia tersenyum senang dan mulai memakan lolipop itu, tanpa memperhatikan Gusion yang menatapnya antusias.

Lesley tertawa getir saat sekelebat kenangan tiba-tiba melintas. Selain sapu tangan, anak lelaki itu juga sering membawakan payung hitam saat kehujanan tertinggal bus terakhir. Berakhir dengan Gusion yang mengantarkan ke rumah. Keluarga Vance yang melihatnya tentu menyuruh Gusion masuk--sekalian bermalam, tetapi ditolak dengan halus. ia memilih pulang sendiri di tengah hujan bersama payung di tangan.

Masuk di sekolah menengah bersama, bertahun-tahun pertemanan terjalin. Ada perasaan aneh yang ia rasakan ketika bersama lelaki itu yang juga mulai tumbuh dewasa. Perasaan manis, membuat jantung berdebar lebih kencang dari biasa, yang justru membuatnya sedikit menjaga jarak dari Gusion. Tak pernah terungkapkan, meski tiap kali lelaki itu bertanya perubahan sikap Lesley yang menjadi sedikit dingin dan menjauh.

"Kudengar Gusion ditembak adik kelas yang rambutnya kriwil jeruk itu, loh! Si adeknya Lancelot!"

"Eh?! Siapa tuh namanya, si Gwembel? Katanya sih mereka berdua sudah dijodohkan sebelum dia nembak?"

"Hush! Namanya Guinevere! Keluarga Lance kan konglomerat, menurutku sih cocok-cocok saja sesama orang kaya!"

"Tapi Gusion lebih sering bersama Lesley!"

"Jangan keras-keras, nanti terdengar Lesley!"

Nyatanya, setelah mendengar desas-desus itu, Lesley semakin tidak nyaman berada di dekat Gusion. Ia ingin bertanya apakah yang didengarnya adalah kenyataan? Namun, sampai mereka telah selesai ujian, mulutnya terkunci untuk bertanya perihal itu.

Terlalu lama merenungi masa lalu, sampai tak terasa ada aliran merah kental di bawah hidung. Ketika ia sentuh, cairan itu kehitaman di penerangan minim. Darah lagi. Sejenak dipandanginya sapu tangan di genggaman, lalu menyumpalkan di hidung pelan. Beralih memandangi langit--lagi.

Langit terlalu sering menangis, ia mengeluh dalam hati.

"Aku juga sering menangis." Lesley tersenyum getir karena kenyataan yang terjadi setelah sepuluh tahun ini. Semenjak tak ada lagi sosok Gusion di depan mata. Ia benar-benar merasa sendirian, meski di tempat ramai sekalipun. Di tengah gelak tawa rekan sekantor, di tengah keramaian jalanan di rush hour, ia merasa sepi.

Dulu ia ingat, ia bukanlah anak cengeng. Ia sering menahan tangis saat jatuh dari sepeda, ia selalu terlihat berani di hadapan adiknya, Harley yang sering memeluknya karena takut petir menyambar di tengah badai. Ia juga tak pernah menangis saat dimarahi atasan ketika melakukan kesalahan. Ia selalu tegar di pandangan orang lain.

Hanya lelaki itu—kepergiannya, yang membuat Lesley terisak dalam sunyi.

Seperti takdir, mereka berdua bersama. Seperti takdir, Lesley merasa ia diperlakukan begitu special. Segala yang indah adalah refleksi dari kebahagiaan yang dimiliki bersama si lelaki.

Namun, kini baru ia sadari bahwa separuhnya yang tak pernah ia bagi ke siapapun, hilang dicuri oleh Gusion.

Seandainya di waktu terakhir bertemu ia mengungkapkan perasaan, apakah semuanya akan menjadi hal yang berbeda?

Berulang kali ia menyesali kebungkamannya, berulang kali ia menyesali diri sendiri. Mengapa ia hanya diam saja dan menangis?

Ketika ia menggelengkan kepala untuk mengusir segala pikiran mengenai masa lalu, ia baru sadar masih memakai sapu tangan menyumpal hidung. Ia lepas sapu tangan itu, lebih banyak darah dari biasa. Lesley membuang napas pelan. Kali ini mungkin kelelahan ekstrim. Ia pernah memeriksa ke dokter penyebab ia selalu mimisan, hanya mendapatkan jawaban karena kelelahan dan diberikan resep obat. Barangkali ada penyakit serius, tetapi setelah menjalani berbagai pemeriksaan, tetap nihil. Lagi, semua hal terjadi karena suatu alasan.

Ia memutuskan untuk bangkit membawa sapu tangan kotor menuju kamar mandi. Membersihkan noda darah dengan sabun sampai bersih, sebelum dimasukkan dalam mesin cuci, bersamaan pakaian kotor lainnya. Menekan tombol mencuci, sekitar 30 menit. Seperti terbiasa dengan gelap, ia kembali ke ruang tamu. Mengambil tas dan mantel yang sedari tadi teronggok di meja, untuk dibawa ke kamar.

*

"Breaking News. Dini hari malam tadi sebanyak puluhan pengungsi dan pemberontak dari South Flake melewati perbatasan bagian barat daya. Sebagian besar berhasil ditangkap dan dipulangkan ke South Flake. Pasukan tentara telah dikerahkan di setiap sudut kota dan patroli kepolisian rutin sampai sebulan ke depan. Tetap waspada dan hati-hati apabila ada pergerakan yang mencurigakan. Selanjutnya, Perdana Menteri North Flake akan mengadakan konferensi pers mengenai masuknya pemberontak dan pengungsi dari South Flake."

Lesley tertegun melihat siaran berita sela, sampai ia tak jadi mengangkat kopi bercangkir kertas di meja. Pemberontak dan pengungsi masuk negara ini? Bagaimana bisa mereka lolos?

"Ley, kau harus hati-hati, malam ini jangan pulang sendirian. Katanya pemberontak itu bisa menculik orang kita ke negara tetangga untuk dijual!" Miya memperingatkan Lesley setelah menyimak berita tadi.

Lesley meneguk ludah mendengar rumor itu. Dengan siapa ia pulang hari ini? Ia tak punya teman kantor searah ke apartemennya yang agak di pinggiran. Haruskah ia menghubungi orang tuanya di kota sebelah? Namun, bagaimana bila mereka sibuk?

Hal ini membuat Lesley menggigit bibir bawahnya, cukup cemas.

"Memangnya ada kejadian apa di South?"

"Heh, kau tidak tahu? Di sana sedang krisis karena perdana menteri dikudeta pemimpin militer! Tidak ada yang bisa menjamin keamanan di sana! Temanku seminggu lalu sudah berangkat ke Wales Frank, dia berkata hampir saja tidak bisa naik pesawat karena penerbangan ke luar negeri tiba-tiba membludak!"

"Ah, sudah separah itu ..." tanggap temannya yang lain.

"Terakhir katanya pertokoan mulai diintai untuk dijarah. Perempuan juga banyak diculik dan dijual karena kehilangan pekerjaan."

"Aku merinding... "

"Syukurnya temanku berhasil keluar. Yang berbahaya kalau mereka sudah masuk ke daerah ini dan membaur di masyarakat sekitar."

Lesley pikir ia harus naik transportasi dengan penumpang yang banyak. Bus kota hanya sampai jam 9 malam, mau tak mau pekerjaannya yang belum selesai dikerjakan di rumah saja. Memang halte cukup jauh dari rumahnya. Ia harus berjalan beberapa ratus meter lagi. Kalau naik taksi, bagaimana jika supir taksinya adalah pemberontak itu sendiri?

Situasi ini tak ada yang menguntungkan sama sekali.

Apakah ia harus menyiapkan alat perlindungan diri juga? Ia ingat-ingat, ia tak pernah membawa hal semacam itu. Tergolong nekat karena ia juga tidak menguasai ilmu bela diri apapun. Kalaupun begitu, ia harus membelinya di minimarket malam ini.

*

Melirik ke luar, ia mengernyit saat jalanan terlihat gelap dari biasanya. Apa yang terjadi? Apakah ada pemadaman listrik?

Ini adalah halte terakhir yang mengarah ke apartemennya. Ketika turun dari bus, ia mengamati sekitar apabila ada yang mencurigakan. Sudah siap siaga dengan sekaleng spray dan pisau lipat.

Ia rasa perjalanan kali ini lebih lama dari biasanya. Ditambah gelap, ia menyalakan senter dari ponsel. Tidak terlalu terang, tetapi cukup efektif.

Tinggal beberapa meter lagi ia tiba di apartemen. Berbelok satu blok, lampu di sana tak menyala sama sekali. Ia membuang napas, menetralkan detak jantung. Tenang, aku pasti bisa pulang dengan selamat, ujarnya dalam hati.

Namun, malang tak dapat dihindari, untung tak dapat diraih. Tepat saat ia berbelok ke persimpangan terakhir, ia rasakan hawa kehadiran dan langsung menyergapnya. Ponsel dan pisau lipatnya jatuh. Dengan gerak refleks ia berontak dengan menggenggam kaleng spray kuat-kuat, menghantam sembarang, mengenai wajah orang di belakangnya.

"Tolong!" Ia berlari, berteriak sekencang yang ia bisa, sampai hak sepatunya terlepas, begitupun tali yang melintangi, sudah tak ia pedulikan. Ia kembali berteriak, keadaan sungguh minim cahaya. Tubuhnya gemetar, ketakutan setengah mati. Matanya menyalang mencari jalan mana yang bisa ia lewati lagi, ia memilih jalur kiri. Berlari sampai ia tak merasa lelah, berteriak sampai kerongkongannya terasa sangat kering.

Namun, ia terjatuh saat tersandung sesuatu. Tepatnya, kaki seseorang. Ia menjerit saat perih tiba-tiba menyerang kakinya, ia melihat kilatan pisau. Napasnya tertahan, tubuhnya mematung. Ia tak bisa bangkit lagi, tepat saat ada dua orang berpakaian serba hitam.

"Ja-jangan! Pergi, kalian!" Namun, gertakan itu tak membuat mereka tak beraksi. Rambut panjangnya dijambak, tetapi ia sudah kehabisan tenaga untuk menjerit. Ia memejamkan mata, hanya bisa mengatakan "Tolong, Tuhan" dengan nada lirih.

Kepalanya terasa sangat pening. Kakinya pun semakin perih saja. Tak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah. Ia tak mampu melawan.

Namun, ada derap kaki mendekat tersamar ia dengar. Ia tak tahu bagaimana kejadian pastinya, ia hanya merasakan jambakan rambutnya tak lagi terasa. Tubuhnya terjatuh ke tanah, juga ada bunyi jerit kesakitan dan pukulan.

Di menit terakhir, kedua matanya menyipit saat cahaya senter mengarah ke wajahnya. Sekilas ada beberapa orang berseragam loreng hijau-cokelat muda, memakai helm warna senada mendekati. Kemudian, ia merasa tubuhnya menaik dengan ringan, seperti diangkat seseorang.

Ada yang memanggil namanya.

"Lesley?!"

Lalu, tak ada yang bisa ia lihat lagi karena kesadaran tak berpihak padanya saat ini.

*

Hal yang pertama, yang ia sadari adalah ia sudah ada di sebuah ruangan, berseprai putih, berdinding putih dan beberapa orang tertidur di kasur.

"Lesley, kau sudah bangun?"

Perlu mengerjapkan mata beberapa kali setelah ia menyadari siapa seseorang di depannya.

Seorang lelaki, berpotongan rambut rapi dan masih berpakaian seragam, menatap khawatir padanya. Ia berpikir sebentar mengingat siapa yang di depannya ini, kemudian napasnya seakan terhenti saat ia ingat.

"Apakah kau Gusion?" tanyanya, masih dengan keraguan.

"Ini aku, Ley. Kuharap kau tak melupakanku."

"Kau benar-benar Gusion?" Bertanya sekali lagi, ia masih ragu-ragu.

"Iya, ini aku. Gusion. Temanmu."

Saat ia memberanikan diri untuk melihat Gusion secara keseluruhan, ia tertegun. Gusion menjadi sepenuhnya pria dewasa. Ada bekas cukuran di rahangnya yang tegas. Sedikit bekas luka di bawah dagu kiri. Warna mata birunya, tak berubah sejak dulu.

"Kau benar Gusion." Dan dia juga yang meninggalkannya waktu dulu.

Ia menunduk melihat kaki Gusion yang berlapis celana loreng hijau army dengan boots hitam besar. Lesley tertegun, mengingat dirinya sendiri yang hanya staf kelasi di kantor biasa. Ia sedikit merasa canggung. Gusion sudah jauh meninggalkannya—di atasnya, pikir Lesley.

Gusion mengambil sebotol air minum yang disediakan perawat, membuka tutupnya sekali putaran.

"Minum?"

"Terima kasih." Lesley menyambut botol air dari Gusion, menenggaknya sekali-dua tegukan dan berhenti. Masih saja menunduk, menaruh botol ke nakas di sebelah kirinya.

"Mengapa kau sampai di kota ini, Ley?" Gusion memperhatikan bagaimana Lesley yang mulanya diam, tampak berpikir. Lesley tak banyak berubah, terutama pandangan matanya yang kosong.

"Awalnya di kantor lama, ditransfer ke sini karena pengurangan karyawan. Akhirnya aku meninggalkan keluarga, orang tuaku pun tidak keberatan."

"Ah, jadi begitu." Gusion mengusap tengkuknya. Ia merasakan kecanggungan itu, tepat saat Lesley sedari tadi menjawab tanpa menoleh.

"Kupikir kau sudah tahu berita tentang ini, Ley. Melihatmu diserang membuat jantungku hampir lepas, kau tahu. Mengapa kau pulang sendirian?"

"Aku tak punya teman pulang, tak ada yang searah dengan apartemenku. Akses terdekat sampai apartemenku hanya bus, dan aku lebih takut naik taksi."

"Jadi begitu." Gusion mengembuskan napas. Ia lihat lagi kaki kanan Lesley yang berbalut perban. Mengingat bagaimana penyelundup itu sengaja melukai kaki Lesley agar ia tak bisa berjalan membuat tangannya mengepal kuat. Andai tak diamankan oleh polisi, orang itu bisa saja sudah tak bernyawa ia habisi.

"Kau tidak mau menanyaiku?"

"Mengapa kau pergi?"

Singkat dan tepat sasaran.

Gusion tersentak. Pertanyaan itu benar-benar menusuk. Ia memang memprediksi Lesley akan bertanya seperti itu, tetapi tak sekarang.

Ia tertegun sebentar, lalu berdeham menghilangkan kegugupan. Membicarakan hal ini, ia harus berhati-hati kalau Lesley merasa terluka karena alasannya.

"Begini, Lesley." Ia memberanikan diri menatap Lesley dalam-dalam, meski perempuan itu tak melihatnya sama sekali, masih saja menunduk.

"Aku sama sekali tak bermaksud meninggalkanmu. Waktu itu aku kabur dari rumah, yang menjemputku adalah paman Rudy. Paman menjadi waliku sampai aku berhasil masuk akademi militer. Aku tak mau menjadi penerus perusahaan keluarga, bagiku bekerja duduk di belakang meja sangat menjengkelkan, dan keluargaku terlalu pemaksa. Aku tak bisa hidup dalam kekangan mereka lagi."

"Lalu, bagaimana dengan Guin?" Tiba-tiba Lesley berpaling, menatapnya dengan wajah serius.

"Guin? Apanya?"

"M-maksudku, kau sudah menikah dengannya?"

"Aku? Dengan Guin?"

Meledaklah tawa Gusion di ruangan itu, terpingkal-pingkal memegangi perutnya. Lesley sedikit terkejut dengan tawa Gusion yang tidak pada tempatnya—di ruang perawatan dengan banyak pasien kesakitan dan tertidur. Lesley menepuk pundaknya karena merasa tak nyaman dengan pandangan orang sekitar pada Gusion. Setelah lelaki di sampingnya mulai tenang, ia menyambung, "Tidak, Ley. Dia menikah dengan kakakku. Hal itu juga menjadi alasanku masuk militer. Tak kubiarkan mereka mengatur dengan siapa aku menikah."

"Begitu." Lesley mengangguk. Tak ia rasakan ada aliran darah di hidungnya, sampai Gusion yang menyadari itu.

"Hidungmu berdarah lagi?!"

Sigap Gusion mengambil tisu di atas meja, membersihkan sendiri ke hidung Lesley dengan lembut. Awalnya Lesley sedikit terkejut dan menjauh, tetapi akhirnya pasrah saja.

"Mengapa mimisanmu tak sembuh-sembuh juga?!" Gusion panik. Ia menoleh kanan-kiri mencari perawat mana yang memberikan pertolongan lanjutan pada Lesley. Namun, sentuhan di tangannya, dengan Lesley yang menggeleng lemah membuat Gusion mengurungkan diri, seakan mengatakan "tidak apa-apa".

"Mengenai penyebabnya, aku ... tidak tahu. Mungkin sudah takdir."

"Ya tuhan. Sudah pernah ke dokter, kan?"

"Dokter juga tidak tahu aku sakit apa," jawab Lesley.

"Sepertinya kau tak bisa ditinggalkan lama-lama, yah."

"Kau sudah tahu itu, tetapi kau memilih pergi."

"Maaf."

"Tidak apa-apa bila jalannya harus begitu. Lagipula, aku bukan siapa-siapamu, hanya seorang teman sekolah." Lesley tersenyum dipaksakan.

"Ley."

"Selama kau tak ada, aku baik-baik saja. Percayalah."

"Sayangnya, tatap matamu mengatakan sebaliknya." Gusion meraih tangan Lesley yang kurus, menggenggamnya hingga tangan dingin itu mulai terasa hangat.

"Aku akan menebus rasa sakit yang kutinggalkan. Aku berjanji, Ley."

"Tak perlu berjanji bila kau tak bisa menepatinya." Lesley menarik tangannya, mengepalkan dengan lemah. Gusion membuang napas berat. Baginya, keadaan Lesley saat ini adalah kesalahan besar yang harus ia tebus seumur hidupnya.

"Baiklah, mungkin saat ini kau tak bisa percaya perkataanku. Namun, ingatlah saat ini. Aku tidak mengingkari apa yang kukatakan." Gusion beranjak dari ranjang. Meninggalkan ruangan, tertahan sebentar saat berbicara pada seorang perawat perempuan, memandangnya sebentar, lalu pergi setelah perawat itu mengangguk.

Lalu, perawat itu mengulas senyum setelah mendekat, kemudian berkata, "Pasien bernama Lesley Vance?"

"Ya, benar."

"Mari, ikut saya." Dibantu dua perawat lain, ia duduk di kursi roda.
Kakinya masih terasa perih sekaligus nyeri. Ia meringis karena pedih ketika kakinya terkena kaki kursi roda.

Ketika kursi rodanya didorong, ia hanya pasrah saja tak ingin mempertanyakan ke mana ia kan di bawa.

*

You make me want to live

Is there a such thing as love without despair?

Where will you be taking me?

Will you be able to be by my side

As long as I want you to?


*

Ketika ia membuka mata dengan pelan, sinar matahari menyusup dari celah tirai yang sedikit berkibar. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sampai pandangan terlihat jelas, ada buket bunga tulip putih berlapis kertas cellophane ungu di atas meja dan sekeranjang buah, juga sebuah lolipop berbentuk mawar merah dibalut sapu tangan putih di sampingnya.

Lesley mengingat-ingat lagi apa yang terjadi malam tadi, sehingga ia berada di kamar asing ini beserta hadiah.

Malam tadi ia pulang sendirian, sehabis turun dari bus, di persimpangan jalan …

"Aduh!" Perih ia rasakan ketika tak sengaja kakinya yang diperban mengenai kaki ranjang saat hendak turun. Denyut nyeri masih terasa beberapa detik, ia menggigit bibir bawah menahan sakit. Ia ingat seorang lelaki berpakaian hitam seluruhnya menyayat kakinya dengan pisau, lalu luka itu ditambah memar saat ia mencoba melarikan diri dan jatuh mengilas aspal.

Beralih pada lolipop dan sapu tangan, Lesley mengambil dengan tangan kiri. Menyibakkan helaian rambut yang menghalangi pandangan. Ia amati permen gula itu dengan saksama, berbentuk mawar merah. Senyum tipis pun terulas di wajah.

Lelaki itu kembali. Lelaki yang selama ini ia tangiskan setiap malam, datang menyelamatkannya malam tadi. Lelaki itu yang menjadi penyelamatnya di saat genting dan pasrah akan masa depan, di detik-detik terakhir.

"Gusion." Ia mengucapkan nama itu lirih. Ia mengingat-ingat pertemuan mereka yang tak terduga, sampai ia diantar untuk beristirahat di ruangan ini.

Ketika ia mengamati sekitar, hanya ia sendirian di sini. Sebuah televisi besar yang menampilkan berita pagi, sebuah kulkas di pojok ruangan samping meja putih. Ada sofa besar berwarna hijau lumut dengan meja kopi berbahan kayu berpelitur. Ini ruangan VIP?

Lesley tak bisa membayangkan, berapa tagihan yang harus ia bayar untuk bermalam di sini perharinya? Ia ingin cepat pulang. Bisa-bisa ia tak bisa bayar sewa apartmen untuk membayar kamar ini beberapa hari.

Ia bisa bernapas lega saat melihat ada sepasang kruk di samping kepala ranjang. Ia pernah melihat orang lain memakai alat bantu berjalan ini, kelihatannya cukup mudah.

Namun, baru hendak berdiri untuk bertumpu, ia kehilangan keseimbangan dan kembali terduduk di ranjang, sebuah kruk jatuh ke lantai. Lesley mengeluh, bahunya mengendur. Ia menjerit dalam hati, ia pastikan tidur di kantor selama uangnya habis untuk membayar biaya kamar dan perawatan.

Bersamaan itu, terdengar pintu digeser, menampakkan seorang lelaki memakai seragam hijau loreng tentara. Kedua matanya membulat tepat saat ia melihat sebuah kruk teronggok di lantai.

"Lesley?! Kau mau ke mana?" Ia menghampiri Lesley dengan raut wajah khawatir, kembali bertanya, "Apakah kau memerlukan sesuatu? Harusnya sedari bangun tadi tekan saja bel untuk memanggil perawat."

"Maaf, aku tak tahu ada bel."

Lesley berpaling pada bel yang dimaksud--di samping kepala ranjang, berbentuk tombol bulat putih, hampir tak terlihat karena sewarna dengan dinding.

"Maaf aku baru datang sekarang. Tadi briefing sehabis pergantian shift. Aku akan menjaga perbatasan malam ini. Masih ada penyusup-penyusup yang berkeliaran."

Lesley mengangguk.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?"

"Kakiku masih sakit, tetapi tidak apa-apa. Terima kasih sudah membawaku ke sini."

"Kau mau ke mana dengan keadaanmu seperti ini?"

"Aku ... aku tak akan sanggup membayar perawatan ini apabila tinggal lebih lama. Aku ingin pulang."

"Tidak, tidak Ley. Jangan khawatirkan soal itu. Aku sudah membereskannya."

Lesley terdiam sebentar, "Aku berutang padamu, kalau begitu."

"Aku tidak membebani utang padamu. Ini tulus dariku, Lesley. Kau tak perlu membayar apapun."

"Ta-tapi ini terlalu mahal ..."

"Ssshh, jangan katakan apa-apa lagi mengenai hal ini."

Lesley mengangguk, meski ia masih ingin menawarkan cicilan membayar semua ini.

"Tunggu, ada telepon." Gusion bangkit mengambil ponselnya dari saku celana, keluar kamar.

Bangun tanpa meminum apapun membuat kerongongannya terasa kering. Lesley meraih cangkir dengan jug tinggi berisi air bening--yang ia tak tahu siapa yang menyediakannya di nakas sebelah kanan.

Gusion kembali dari luar, melihat ia yang  kesulitan meraih jug karena cukup jauh dari jangkauan, juga berat. Sigap Gusion mengambil wadah air itu, menuangkan ke gelas untuk Lesley.

"Terima kasih."

"Kau terlalu banyak berterima kasih, Ley." Gusion menyerahkan minuman pada Lesley.

"Aku harus membayar semua kebaikanmu," ujar Lesley.

Gusion menggeleng. "Sudah kubilang, jangan pikirkan hal itu."

*

My savior

Did the one above send you to me?

I had a sad dream with you in my arms

I could tell from the moment I met you

That you are the savior that has come to ruin me

*

"Kepadamu, Tuhan. Jikalau dia adalah seorang penyelamat yang akhirnya kau datangkan untuk menghancurkanku, jauhkanlah ia. Namun, apabila kau utus dia untuk menjagaku, tetapkanlah ia di sisiku. Jangan kau tarik lagi garis takdir yang menghubungkan kami berdua. Amin."

"Aku menemukanmu."

Ketika ia menoleh pada sumber suara, seorang lelaki tersenyum lebar, kemudian mengambil napas—sedikit terengah. Lesley mengernyit dengan memiringkan kepala. Apa dia sehabis berlari?

"Aku mencarimu ke mana-mana. Sekilas aku melihatmu di persimpangan. Kau sangat cepat." Gusion memastikan keadaan Lesley, khawatir karena perempuan itu yang berjalan harus memakai kruk. "Apa kau baik-baik saja? Dengan benda itu terus menerus, apa kau tak merasa pegal atau sakit?"

"Lumayan." Lesley menjawab sekenanya.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Hanya berdoa."

"Kuharap kau juga mendoakanku."

"Aku melakukannya," jawab Lesley dengan senyum samar.

"Apa? Apa isi doamu untukku?"

"Tanyalah Dia." Lesley mengedikkan bahu. "Itu rahasia."

"Baiklah. Malam ini aku akan berpatroli lagi. Aku berjanji malam ini malam terakhir."

"Lalu?"

"Aku meminta cuti, karena situasi sudah mulai kondusif."

"Begitu." Jawaban-jawaban singkat Lesley membuat Gusion gemas.

"Besok libur, kan? Kau harus pulang ke keluargamu, mereka mungkin khawatir."

Lesley teringat ibunya yang memohon agar ia mengambil cuti dan tinggal di rumah.

"Um, kau benar."

"Aku akan mengantarkanmu," tawar Gusion. Sedang Lesley hanya mengangguk, tak ingin menolak.

Gusion duduk di sampingnya, membuka suara.

"Uh, kupikir ... ada satu hal yang ingin kuminta bantuan darimu."

"Ya? Ada yang bisa kubantu?" tanya Lesley.

"Bisakah kau membantuku mengisi, uhm ... ada suatu hal yang kosong di sini," pinta Gusion dengan mengelus belakang lehernya, membuat Lesley bingung.

"Mengisi apa?"

"Seperti ada yang kosong di sini, kau tahu ... sepuluh tahun ini, aku menunggu waktu di mana kau bisa mengisinya." Perlahan Gusion meraih tangan Lesley, meletakkannya di dadanya sebelah kiri. Lesley terkejut saat tangannya menempel ke bagian tubuh Gusion yang ia rasakan debar jantung sangat terasa.

"Ma-maksudmu bagaimana?" Ia menjadi gelagapan.

"It's you, Ley. I need you to fill it. I need your love to fill my empty heart. Will ya?"

Ada jeda, kediaman meliputi mereka berdua. Pikiran Lesley masih memproses maksud dari permintaan Gusion yang tiba-tiba. Namun, saat kesadarannya kembali dan debaran jantung itu masih terasa di tangannya, Lesley menunduk menyembunyikan wajah karena malu. Gusion tertawa karena melihat bagaimana perempuan di depannya berusaha menahan tak menengadah karena tersipu. Masih menggenggam tangan Lesley, ia mengecup punggung tangan dengan lembut.

"Ley, kau belum menjawab permintaanku."

Ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi rasanya tercekat di tenggorokan. ia  perlahan menengadah, mencari kesungguhan dari perkataan Gusion. Wajah lelaki di depannya ini penuh harap, dengan kedua mata memerah dan berkaca-kaca.

"Kalau begitu, kau harus mengatakannya langsung pada orang tuaku."

"Be-berarti, kau menerimaku?"

Tanpa mengucapkan kata, Lesley hanya mengangguk pelan. Hanya satu anggukan itu yang membuat Gusion tak mampu menahan kebahagiaannya.

"Terima kasih, terima kasih. Aku tidak bisa ... tidak bisa menahan perasaanku lebih lama." Gusion menghambur pelukan padanya, begitu erat. Sampai rasanya ia sulit bernapas. Namun, ada yang lebih sulit dari itu, adalah saat ia menahan air mata agar tak terjatuh. Ia terharu. Ia bahagia. Dan sederet perasaan lain yang memenuhi hatinya, kalbunya. Gusion segera melepas pelukan, menatap wajahnya saat ia mendengar perempuannya ini terisak.

"Ma-af aku telah membuatmu menangis. Apakah kau terkejut karena ini terlalu mendadak? Atau sebenarnya kau tidak mau menerimaku?"

Dalam menahan sesenggukan untuk bicara, Lesley membalas, "Bukan begitu." Mengambil napas panjang, ia menatap Gusion, "Aku-aku hanya terlalu bahagia. Kau tahu, seberapa lama aku memendam perasaan ini."

Gusion terbelalak. Ia menangkup wajah Lesley, tampak terkejut. "Kau menyukaiku juga, Ley? Mengapa kau tak pernah mengatakannya?!"

Lesley menggigit bibir bawahnya, menjawab, "Aku merasa tidak cukup untukmu. Aku hanya seorang perempuan biasa, dan sering mimisan. Aku takut akan membebanimu."

Gusion tak mau melepaskan pandangan dari perempuan di depannya ini. "Tak pernah aku merasakan beban saat bersamamu, Ley. Saat hidungmu berdarah, saat kau tersenyum, saat kau terdiam sekalipun. Melihatmu saja bagiku hadiah yang dititipkan Tuhan untukku. Aku tak akan bosan melihatmu, merawatmu, dan meminta maaf atas apa yang kulakukan."

Tangis kecil kembali terdengar dari perempuan di depannya, ia sedikit tersengal. Kata-kata lelaki ini begitu menghangatkan hatinya yang sempat membeku. Gusion tak tahan melihat Lesley yang serapuh ini. Ia kembali memeluknya, membisikkan, "Aku selalu mencintaimu, bagaimanapun keadaanmu. Selain karena tugasku, aku tak ingin meninggalkanmu lagi."

Lesley mengangguk, ia rasakan kehangatan pelukan lelaki yang dicintainya ini. Ia pikir, ia tak lagi menangisinya setiap malam bersama sapu tangan berbordir huruf G dan darah minisan. Lelaki ini sudah bersamanya.

"I dont want to be your savior only. I want to be your lover."

Dengan kata-kata itu, rasanya ia sudah tahu bagaimana jawaban Tuhan atas doa-doanya.

END(?)

embuhlah gais akhirnya otor bisa kembali nulis songfic kapal tercinta kita😭maaf ya kalo gaje, enggresnya grammarnya salah dan lele nya ooc, semata-mata untuk kebutuhan fanfic. aslinya kan lele kita tegar dan wanita tangguh (eaak)

songfic ini terinspirasi dari mv lee hi-savior, coba deh tonton aja hehee

maaf kebanyakan bacot ini otor sebenarnya dh lama bet mau selesein ini, ketunda mulu krn otor nulis di pf sebelah dan buku otor yg kedua ditolak hiks😭 semoga pas reapply bs diterima, kalo gabisa jg yasuda otor mau nulis cerita drama rumah tangga (heleh)

sudah dulu ya gais terima kasih sudah bersama otor

(liat jam) wah ga kerasa ini hr ultahnya otor hiks berasa tua saya😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top