Prolog
Istran
Aku ingin seseorang membelah dadaku, mengeluarkan hatiku, dan menghancurkannya berkeping-keping agar sakitnya tidak terasa lagi. Aku sudah menerima banyak sekali pelajaran sebelum dinobatkan menjadi ratu. Dari hal-hal paling sederhana seperti cara berjalan dan cara memandang. Dan, hal-hal yang lebih rumit seperti menjadi pendamai terselubung untuk hubungan diplomasi dua negara yang sedang tegang. Tapi, di antara semua pelajaran itu, tidak ada yang mengajariku cara menghadapi kehilangan suami dan anak pada saat yang sama.
Aku berdiri dan menarik napas panjang untuk menghentikan air mataku. Namun, tidak ada gunanya. Mungkin jika aku berhenti minum, air mataku akan kering pada akhirnya. Tapi, lalu aku pasti akan menangis darah. Aku menyeka air mataku dengan punggung tanganku. Aku tahu itu bukan hal yang pantas untuk dilakukan seorang ratu. Aku harusnya mengambil salah satu saputangan sutra itu, lalu memegangnya dengan cara anggun kemudian dengan posisi tertentu, menggunakan ujungnya untuk menyeka mataku dengan gerakan gemulai.
Aku menyedot ingusku dengan suara keras. Tentu saja ini juga bukan hal yang pantas dilakukan seorang ratu. Tapi kehilangan seorang suami pada usia yang semuda ini juga bukan suatu hal yang pantas. Melihat rambutnya yang gelap dan pundaknya yang bidang saja masih membuat hatiku bergetar seperti sayap kupu-kupu. Jadi, kalaupun aku ingin menggunakan jari-jariku untuk membersihkan hidungku, lalu menggunakan jari-jari lengketku itu untuk memegang emblem kerajaan, tidak akan ada yang berani protes. Apalagi pada saat ini, tidak ada lagi yang yakin bahwa kerajaan ini masih berdiri. Kerajaan Chitrasca mungkin saja hanya tinggal sebuah emblem dan sebuah nama di bibir rakyatnya.
"Ibu?" sebuah suara lembut memanggilku.
Aku berpaling. Astrica, putriku yang berusia tiga tahun ada di sana, berdiri di ambang pintu kamarku. Rambut hitamnya yang lebat telah diikat rapi menjadi dua ekor kuda, gaya rambut yang selalu digunakannya sebelum bepergian jauh. Dia memiliki sepasang mata coklat gelap seperti ayahnya, dan mata itu memandangku dengan banyak pertanyaan. Andai saja aku punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Nistra, pengasuhnya, berdiri di belakangnya. Aku berlari ke arah Astrica dan berlutut untuk memeluknya. Aku merapatkan tubuhnya pada tubuhku sekuat tenaga untuk menghirup aroma tubuhnya, aroma rambutnya. Karena aku tahu aku tidak akan dapat melakukannya lagi selama lima belas tahun ke depan. Jika umurku tidak sepanjang itu—percayalah, besar kemungkinannya bahwa aku memang tidak akan hidup selama itu—ini akan jadi kali terakhir aku bertemu dengan putriku. Ini akan jadi kali terakhir aku menghirup aroma tubuhnya yang masih menyisakan aroma khas bayi. Sepertinya baru kemarin aku mengandungnya.
Bagaimana caraku tidur tanpa merasakan kulitnya pada kulitku? Aku memejamkan mataku. Tapi, itu hanya membuat air mataku mengalir lebih deras. Aku mendengar ketukan lembut pada daun pintu yang terbuka. Tanpa mendongak, aku tahu siapa yang mengetuk.
"Sudah waktunya, Yang Maha Mulia," katanya.
Sorba. Selama lima tahun aku menjabat sebagai Ratu Chitrasca, aku masih belum dapat memutuskan apa yang kurasakan terhadap dirinya. Ya, dia memang perdana menteri Chitrasca. Ya, dia memang penasihat dan teman terdekat suamiku, atau harus kukatakan dia pernah menjadi penasihat dan teman terdekat suamiku karena Grecar tersayangku sudah tidak ada lagi. Pemikiran itu kembali menghantam ulu hatiku, membuatku susah bernapas.
Sorba selalu menjaga jarak di antara kami seolah dia ingin aku tahu bahwa walaupun aku tidur di atas tempat tidur yang sama dengan sang Raja, akan selalu ada hal-hal yang hanya diketahui oleh dirinya dan sang Raja, dan bahwa selamanya aku tidak akan dapat masuk ke dalam lingkaran yang ditempatinya bersama Grecar. Tapi, hari ini aku sudah melihat bagaimana dia berjuang di sisi Grecar. Aku sudah berjanji pada suamiku yang sekarat bahwa aku akan mendengarkan Sorba dan akan melakukan apa yang dikatakannya karena dia tahu apa yang harus dilakukan dan dia tahu persis cara melindungi Astrica.
Aku menghirup napas panjang dan mengisi paru-paruku penuh-penuh dengan aroma gadis cilikku. Aku mendekapnya sekuat tenaga seolah dengan melakukan hal itu gambar dirinya akan tertinggal pada dadaku.
"Su... sudah waktunya, Yang Maha Mulia," kata Sorba lagi.
Kali ini dengan suara yang lebih perlahan seolah dia tahu bahwa jika dia berbicara dengan sedikit saja lebih keras, aku akan pecah berkeping-keping seperti semua jendela istana pada hari itu. Tapi apa yang diketahuinya? Karena sepengetahuanku, hatiku sudah tertumbuk menjadi serbuk saat Grecar meninggal.
Aku melepaskan Astrica dari pelukanku. Rasa sakit itu menyerang seperti sebilah panah yang menembus hatiku meninggalkan luka menganga. Nistra mengulurkan tangannya. Astrica menyambutnya. Berdua mereka berbalik dan mulai berjalan meninggalkanku.
"Tidaaaak!"
Aku berteriak walaupun aku tidak lagi mengenali suaraku sendiri seolah suaraku telah diubah menjadi suara seseorang yang tidak kukenal. Aku bergerak maju dan kembali menarik Astrica ke dalam pelukanku. Dia oleng tapi tidak jatuh.
Kali ini Sorba membiarkanku memeluk Astrica selama yang kuinginkan tanpa mengingatkanku lagi bahwa kami sudah kehabisan waktu. Tapi, pada akhirnya, aku tahu aku harus melepaskannya. Walaupun aku juga tahu bahwa dengan melepaskannya, itu sama saja dengan membunuhku.
Seraya gadis kecilku dituntun menjauh dariku, aku mulai yakin bahwa mungkin akan lebih baik bila ada pedang yang menusuk hatiku. Hanya ada satu hal yang membuatku tidak melakukannya; menyadari bahwa lima belas tahun tidak sama dengan selamanya. Walaupun aku tahu rasanya pasti akan sama.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top