Interlude
Rodra
Jika saja bukan aku yang harus melakukannya. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku hanya ingat Putri Astrica samar-samar. Aku berusia tujuh tahun ketika dia lahir. Aku ingat karena istana seolah menjadi hidup suatu pagi, satu minggu sebelum ulang tahunku yang ke tujuh.
Yah, istana memang selalu ramai. Selalu ada hal-hal yang sedang berlangsung. Tapi hari itu, semua penghuninya seolah dua kali lebih sibuk dari biasanya. Kupikir itu karena ulang tahunku yang akan tiba. Bukankah aku memang anak dari sang perdana menteri? Tapi ternyata, bukan hanya penghuni istana yang sibuk, seluruh kerajaan sibuk bersiap-siap karena sang ratu akan segera melahirkan. Sore hari itu sang putri lahir. Tidak perlu dikatakan lagi, kejadian ini mengerdilkan pesta ulang tahunku yang datang satu minggu kemudian.
Aku jarang melihat sang putri. Sebagai seorang bayi pastinya dia memang tidak jauh-jauh dari kamarnya. Setelah dia mulai bisa berjalan, terkadang aku melihatnya. Tapi aku baru mulai sering melihatnya ketika serangan dimulai. Saat itu aku hanya anak ingusan. Jadi aku tidak dapat menceritakan terlalu banyak tentang kehidupan di sebuah kerajaan yang sedang diserang. Tapi satu hal yang pasti, itu tidak menyenangkan.
Dalam keadaan biasa, aku hampir tidak pernah bertemu ayahku karena kesibukannya. Ketika kami diserang, aku tidak pernah melihatnya sama sekali. Tapi aku melihat ibuku lebih sering. Itu karena para wanita dan anak-anak memang harus tinggal di tempat perlindungan bawah tanah sepanjang waktu. Itu sangat membosankan. Tidak ada buku atau mainan di tempat perlindungan itu. Mungkin makanan dan air memang lebih penting. Jadi itu sebenarnya waktu yang tepat bagiku untuk memikirkan semua angka yang ada di kepalaku.
Tapi setiap hari Ibu memintaku membantunya mengawasi sang putri. Sang ratu tidak berada di tempat perlindungan. Jadi sang Putri dititipkan pada ibuku dan seorang pelayan. Sang putri sebenarnya tidak terlalu perlu diawasi. Dia hanya duduk dan bermain dengan bonekanya. Ya, dia-lah satu-satunya yang punya mainan. Rupanya pelayannya ingat untuk membawanya.
Saat itu dia terlihat begitu bosan, jadi aku mencoba untuk menghiburnya. Lalu, ketika tanpa sengaja aku mematahkan lengan si boneka sewaktu mencoba mengajari si putri menghitung jari si boneka, si putri menangis. Setelah itu, Ibu menyuruhku untuk tidak dekat-dekat sang putri lagi. Jika aku tahu akan seperti itu, pasti aku sudah mematahkan lengan boneka itu lebih cepat.
Tak lama setelah serangan berakhir, Putri Astrica menghilang dan kami semua dilarang membicarakan dirinya seolah dirinya tidak pernah ada. Hal itu tidak menggangguku sama sekali. Seluruh kerajaan berkabung dalam waktu yang lama layaknya sebuah kerajaan yang baru kehilangan rajanya. Tapi kami berhasil melanjutkan hidup. Tidak mudah pada awalnya. Tapi keadaan akhirnya toh membaik juga. Kemudian, rasanya aku memang sudah lupa segalanya tentang Putri Astrica. Jika kau tidak pernah mendengar atau melihat seseorang selama empat belas tahun, kau akan lupa. Hingga akhirnya, Ayah memanggilku untuk menghadap.
Aku memang baru lulus perguruan tinggi dan aku yakin aku dipanggil untuk diberi pekerjaan di kerajaan. Entah di bagian bendahara atau departemen perdagangan. Bukankah aku memang lulus dengan nilai terbaik? Aku sudah bersiap-siap untuk menolak, tidak peduli pekerjaan apa yang ditawarkannya. Yang sesungguhnya, aku muak menjadi anak perdana menteri. Semuanya menunduk ketika bertemu denganku. Mereka berbicara padaku dengan ramah dan mereka menghormatiku dan segalanya. Tapi aku tahu itu semua dilakukan karena siapa ayahku dan bukan karena diriku sendiri.
Jadi, aku sudah membereskan tasku. Saat Ayah menawarkan sebuah posisi nanti—aku yakin dia akan menempatkanku di departemen keuangan atau perdagangan—aku akan langsung menolaknya. Lalu aku akan pergi membangun perusahaan konsultasiku sendiri. Pasti aku akan bisa mencari uang sendiri sehingga tidak butuh uang dari Ayah lagi. Mungkin jika Ibu masih ada, aku tidak sesemangat ini untuk pergi. Tapi Ibu sudah tidak ada. Tidak ada lagi yang menahanku di sini.
Aku mengetuk pintu kantornya sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku melihat Ayah. Rasanya, tiga minggu yang lalu. Waktu itu dia pulang ke rumah di siang hari untuk mengambil sesuatu dan aku sedang bersiap-siap keluar. Kami saling mengangguk dan aku mengucapkan selamat siang. Dia menjawab sama dan tidak ada apa-apa lagi yang kami percakapkan. Bahkan sebenarnya, aku tidak ingat lagi kapan terakhir kali aku dan Ayah benar-benar saling bercakap. Tapi memang kerajaan selalu lebih penting baginya daripada keluarganya sendiri.
Aku baru menyadari sesuatu, dia terlihat begitu tua. Lebih tua dari yang kuingat. Pundaknya turun seolah lelah karena harus menopang beban berat dalam waktu yang lama. Lalu dia mengangkat wajahnya, memandangku dan tersenyum. Aku tidak bisa mengartikan senyuman itu. Aku melihat kebanggaan di sana. Senyum seorang ayah yang melihat anaknya dengan senang. Tapi aku juga melihat keraguan seolah yang berdiri di hadapannya hanyalah seorang asing yang tidak dikenalnya. Aku berjalan ke arah mejanya dan berdiri, menunggu izin untuk duduk.
"Duduk," katanya.
Aku pun duduk.
Tidak, dia tidak berniat menempatkanku di departemen perdagangan. Tidak, dia juga tidak punya tawaran pekerjaan untukku di pemerintahan. Alih-alih menawariku pekerjaan, dia akan mengirimku pergi. Aku bahkan harus pergi lebih jauh dari yang kukira akan kutempuh. Aku ditugaskan untuk mencari Putri Astrica, dan membawanya pulang. Tentu saja aku menolak.
"Kenapa aku?" tanyaku.
"Siapa lagi yang punya kemampuan itu?"
"Kurasa salah satu dari penjaga istana lebih tepat untuk melakukan hal itu," kataku.
"Yang akan dibawa pulang ini adalah seorang putri, bukan seorang penjahat."
"Aku sudah punya rencana lain."
"Yah, berarti rencanamu harus ditunda," ucapnya. "Dan lagi, kau yang paling lancar berbicara dengan bahasa itu."
Tiba-tiba aku sadar inilah alasan kenapa aku harus mempelajari bahasa aneh itu. Aku tidak ingat kapan aku mulai belajar bahasa itu tapi jika kupikir-pikir lagi, pelajaran bahasa itu dimulai tidak lama setelah putri menghilang. Aku bukan satu-satunya yang mempelajarinya. Ada sekitar dua puluh anak di dalam kelas, semuanya seumuran diriku. Tapi, seraya waktu berjalan, jumlah muridnya terus berkurang. Aku sendiri sudah hampir berhenti, tapi Ayah melarang. Saat aku di sekolah tinggi, hanya tinggal aku dan Borsi—anak Menteri Kesehatan—yang masih bertahan.
"Borsi dapat melakukannya! Bahasanya lancar!"
Ayah memandangku dengan pandangan jijik seolah baru saja menangkap basah diriku dengan sebelah tangan di dalam dompet seorang wanita.
"Kau, Rodra, akan melakukan hal ini. Tentu saja kau tidak melakukan ini untuk dirimu sendiri, tidak juga untukku. Kau melakukan ini untuk Chitrasca," ucapnya.
Dan, jika seseorang harus melakukan sesuatu demi kerajaannya, dia memang tidak punya pilihan lain.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top