Bab 6
Andrea
Aku memandang jam tanganku.
Pukul 21:59.
Satu menit lagi. Aku berdiri dan berjalan ke jendela. Tepat pukul sepuluh malam, bunyi itu terdengar. Bunyi samar-samar kerikil kecil yang dilemparkan ke jendelaku. Aku menarik tali vertical blind-ku sambil tersenyum. Tersenyum karena tahu siapa yang akan kulihat di bawah sana setelah vertical blind-ku terbuka. Dan, tersenyum karena tahu dia juga akan tersenyum padaku.
***
Milton
Itu sudah menjadi permainan kecil di antara kami untuk beberapa lama. Setiap beberapa hari sekali aku berdiri di luar asrama Andrea dan tepat pada jam sepuluh malam aku melempar jendelanya dengan kerikil kecil. Aku sengaja memilih kerikil terkecil yang dapat kutemukan, kerikil yang jauh lebih kecil dari yang pertama kali kulempar dulu. Jadi, jika dia tidak berdiri di dekat jendela, dia tidak akan mendengarnya karena Jess di kamar sebelah selalu memasang musik dengan keras.
Kami tidak melakukan ini setiap hari. Dan tidak ada pola tertentu. Aku pun mulai bertanya-tanya apa yang dilakukannya pada hari-hari di mana aku tidak datang. Apakah dia tetap berdiri di dekat jendelanya untuk mendengarkan baik-baik? Dan jika tidak ada kerikil yang dilemparkan ke jendelanya, apakah dia lalu akan mengintip ke luar untuk melihat apakah aku ada di sana? Membayangkan dirinya melakukan hal itu membuat hatiku begitu hangat.
***
Andrea
Milton sama sekali tidak seperti yang kukira. Mungkin ini maksud orang-orang yang mengatakan jangan menilai buku dari sampulnya. Kata orang, pemain bola itu kasar. Mereka terbiasa saling bertubrukan di lapangan. Tapi, Milton tidak kasar. Dia tidak pernah melempar atau menjatuhkan buku. Dia tidak pernah membuka atau menutup buku dengan kasar. Bahkan aku pernah melihat dirinya mencoba memperbaiki sebuah buku lama yang robek beberapa halamannya. Dengan jari-jarinya yang besar, dia menempelkan silotip pada bagian-bagian yang robek dengan hati-hati seolah sedang memperbaiki potongan-potongan kaca yang rapuh.
Kata orang, pemain bola itu ribut dan sering berteriak-teriak. Tapi Milton tidak ribut. Miss Sorrenson paling tidak suka bila ada orang yang bercakap-cakap di perpustakaannya. Jadi, setiap kali Milton berbicara padaku, dia mendekatiku dan berbisik. Suaranya dalam dan aku dapat merasakan napas lembutnya pada daun telingaku.
Hal yang dibicarakan Milton padaku tidak penting. Terkadang dia menceritakan cerita lucu padaku yang didapatnya dari internet atau grup WhatsApp, terkadang dia menceritakan apa yang dilakukannya atau dilakukan temannya hari itu. Hal remeh-temeh biasa. Tapi aku sekarang jadi menanti-nantikan cerita-ceritanya. Setiap kali dia menggeser kursi berodanya mendekatiku, jantungku akan berdetak keras karena tahu dia sedang akan membisikkan sesuatu di telingaku.
***
Milton
Kemarin lusa aku melempar kerikil ke jendela Andrea. Kemarin juga. Supaya permainan ini tetap seru dan mengandung unsur tidak disangka-sangka, sebaiknya hari ini aku tidak ke sana. Tapi aku sebenarnya ingin.
Akhir-akhir ini, jika aku membayangkan Andrea menungguku di dekat jendelanya dan tidak ada suara kerikil pada jendela karena aku tidak datang, aku malah jadi sedih. Aku tidak ingin mengecewakannya. Apakah sebaiknya aku ke sana saja? Aku memandang jam tanganku. Pukul 21:55.
Jika aku berlari, aku mungkin tidak akan terlambat tiba di depan asramanya. Aku segera menyambar jaket dan syal-ku. Angin di awal musim dingin ini tidak main-main dinginnya seolah berniat memperingatkan bahwa musim dingin yang akan datang ini bukan musim dingin basa-basi. Aku berlari keluar dari kamarku, berlari menuruni tangga dan keluar dari gedung asrama. Lalu aku kaget dan terpaksa mengerem mendadak. Hampir saja aku tergelincir.
Di depan gedung asramaku, beberapa meter ke arah kanan, tepat di bawah jendela kamarku, aku melihatnya. Andrea tidak melihatku. Dia sedang memperhatikan jam tangannya dengan saksama. Dan aku langsung tahu apa yang sedang dilakukannya. Dia sedang menanti pukul tepat sepuluh malam. Hatiku membuncah. Aku diam di tempat karena aku ingin menyaksikan dia melakukannya.
Tepat pukul 22:00, Andrea melemparkan kerikil yang selama ini sudah berada di genggamannya ke jendela kamarku. Oke, ini memang bukan sebuah pernyataan cinta atau apa. Aku tahu ini bukan berarti dia juga punya perasaan yang kurasakan untuknya. Tapi yang jelas, dia sedang melakukan sesuatu untukku. Dia sedang membalas apa yang sudah kulakukan untuknya. Dia tidak menganggapku sepi.
Andrea sedang memandangi jendelaku, pasti berharap aku akan menaikkan vertical blind-nya dan tersenyum padanya. Jika aku tidak muncul, mungkin dia akan mencari kerikil yang sedikit lebih besar dan akan melemparkannya lagi.
"Andrea," panggilku.
Perlahan saja. Tapi dia mendengarnya. Dia menoleh. Dan ketika melihatku, senyumnya mengembang. Oh, Tuhan, bila aku diharuskan memilih satu hal untuk kulihat selama sisa hidupku, senyum Andrea, saat itulah yang akan kupilih.
***
Andrea
Aku tidak menyangka dia ada di sana. Tapi ketika aku melihatnya berdiri di sana dan bukannya di atas, aku tidak bisa tidak tersenyum.
"Hai, bukankah kau seharusnya ada di dalam kamar?" tanyaku.
Dia berjalan mendekat. Jantungku melompat. Aku tahu itu bukan kali pertama aku berada di dekatnya. Bukankah di perpustakaan kami sering sekali duduk dalam jarak yang lebih dekat dari ini?
"Aku bisa kembali ke atas sana jika itu yang kau inginkan," katanya.
"Apakah itu yang kau inginkan?" tanyanya lagi ketika aku diam saja.
Aku menggeleng.
"Ayo, kuantar kembali ke asramamu. Aku tadi memang sedang hendak ke sana," katanya.
"Oh, untuk apa kau tadi mau ke sana?" tanyaku—walaupun sebenarnya aku tahu kenapa.
Dia hanya memperlebar senyumnya.
Akhirnya, kami berputar-putar dulu sebelum kembali ke asramaku. Kami melewati kandang kuda. Kami mengelilingi perpustakaan. Kami mampir di kafetaria dan walaupun kami berjalan selama hampir satu jam, rasanya tidak selama itu.
Milton bercerita tentang walinya. Dan entahlah, mungkin karena aku terlalu terpaku pada situasi kehidupanku sendiri, mungkin aku terlalu sibuk mengasihani diri dan merasa bahwa karena aku yatim piatu, masalahku pasti lebih besar di banding semua orang di sekolah ini, mungkin seperti itu sampai-sampai saat itulah kali pertama aku menyadari bahwa Milton juga yatim piatu.
Bagaimana aku sampai bisa melewatkan hal sepenting itu?
Selama ini dia tahu aku yatim piatu dan aku tidak tahu dia pun demikian. Sekarang, karena aku sudah tahu, perasaanku jadi tercampur aduk. Di satu sisi, setiap aku memandang dirinya, aku merasa mengerti dirinya. Aku merasa, dia juga memahami diriku lebih dari orang lain. Tapi di lain sisi, aku jadi bertanya-tanya, apakah dia mendekatiku karena memang tertarik padaku atau hanya karena dia menginginkan teman yang senasib dengannya? Teman yang akan lebih mengerti dirinya dibanding orang lain.
Jika seperti itu, apakah aku harus merasa tersanjung atau kecewa? Tapi kenapa harus kecewa? Bukankah aku memang tidak memerlukan hal-hal yang dapat mengganggu waktu belajarku?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top