Bab 39

Matlinko

Ada yang tidak dikatakan Astrica padaku. Walaupun Kerajaan Chitrasca sudah menerima lamaranku secara formal, dalam beberapa bulan ini aku merasakan Astrica menjauh. Dia punya banyak alasan untuk tidak menghabiskan lebih banyak waktu denganku. Ada rapat, ada kunjungan kerajaan, ada acara resmi yang harus dihadiri, dan sebagainya.

Aturan bodoh yang mengatakan bahwa kami tidak boleh hanya berduaan saja itu tidak membantu. Setiap kali aku minum teh dengan Astrica, seorang pengawal berdiri di dekat kami. Terkadang malah dua penjaga. Satu penjaganya dan satu penjagaku. Setiap kali aku dan Astrica berjalan-jalan di antara pepohonan, pelayannya berjalan lima langkah di belakang kami, dan setiap kali aku mencoba memegang tangan Astrica, si pelayan sengaja batuk-batuk.

Aku tak tahu apa yang akan dilakukannya jika aku menarik Astrica ke dalam pelukanku dan tidak berhenti menciumnya. Mungkin si pelayan akan menyemburkan api untuk membakarku hidup-hidup. Aku benar-benar kehilangan saat-saat di Carter dulu. Saat itu kami bukan siapa-siapa, tapi kami adalah orang terpenting untuk satu sama lain. Itu sudah cukup.

Aku ingin melihatnya memandangku seolah aku lebih indah dari pemandangan mana pun. Aku ingin melihatnya tertawa tanpa tertahan. Sekarang ini dia jarang tertawa. Dan jika dia tertawa, itu hanya tawaan kecil seorang putri yang sopan. Aku harus mencari cara untuk dapat berdua saja dengan Astrica. Mungkin jika demikian, aku baru bisa mendekatkan Astrica padaku lagi.

***

Astrica

Seorang penyair Chitrasca pernah berkata, "Waktu selalu relatif dan tidak pernah absolut".* Harus kuakui, tahun ini merambat seperti ulat. Cepat atau lambat, semua acara minum teh yang diawasi dan acara jalan-jalan yang diawasi dan makan malam yang diawasi ini akan membuatku gila. Setiap kali dirinya begitu dekat tapi ada jarak yang tak terjembatani di antara kami yang terus melebar.

Hari ini aku sudah dijadwalkan untuk pergi piknik dengan Matlinko. Tentu saja piknik ini akan diawasi juga. Lokasinya di tepi Hutan Trusa—sebuah hutan kecil di perbatasan Chitrasca dan Amladistia. Kami pergi dengan dua mobil. Riri, diriku, dan sopir di satu mobil dan dua penjaga di mobil satunya. Perlu lima orang untuk pergi ke acara kencan piknik.

Rombongan Matlinko mungkin sama jumlah orangnya. Di awal pertunangan kami, rombongan lebih besar dari ini. Untung saja sekarang tidak lagi seperti itu dan semoga bisa berkurang lagi. Aku tidak tahu apakah akan ada saatnya aku dapat berdua dengannya saja?

Aku melihat ke luar jendela dan melihat padang rumput yang besar. Langsung aku teringat akan Carter dan Lembah Ojai yang mengelilinginya. Aku sangat kehilangan Carter. Aku kehilangan apa yang kami miliki di sana. Dan untuk sesaat, hatiku menghangat mengingat aku akan bertemu dirinya sebentar lagi.

Ya, setiap kali aku tidak bersama-sama dirinya, aku merasa kehilangan. Tapi setiap kali aku melihat seragam pangerannya, setiap kali aku melihat simbol kerajaan yang tersulam pada kantung di dadanya, aku langsung diingatkan bahwa dia bukan satu di antara kami. Aku hanya melakukan ini demi keluargaku, rakyatku, kerajaanku. Aku harus siap menghadapi kemungkinan kehilangan dirinya. Karena jika aku tidak dapat membuatnya menyeberang ke sisi Chitrasca, aku tidak akan pernah mau menyeberang ke sisi Amladistia.

Bahkan jika dia memang bersedia menanggalkan mahkotanya untuk mengikutiku ke sini, apakah itu berarti dia memang mencintaiku atau itu hanya karena dia menginginkan mahkotaku? Kenapa aku tidak punya problema-problema yang selayaknya dimiliki seorang gadis berusia delapan belas tahun saja? Kenapa aku tidak bisa hanya memikirkan baju apa yang harus kupakai atau lipstik warna apa yang cocok untukku?

Persoalan yang lebih sulit pun tidak apa. Misalnya, bagaimana caranya belajar untuk tes Matematika dan tes mata pelajaran Politik yang ada di hari yang sama. Atau persoalan yang lebih sulit lagi pun tidak masalah. Misalnya, bagaimana cara mengatasi kekeringan di selatan. Apa saja, asal bukan persoalanku yang sekarang ini.

Mobil kami berhenti mendadak, membuyarkan pikiranku.

"Ada apa ini?" tanya Riri pada sopir kami.

Aku melihat seorang gadis cilik berdiri di depan mobil. Seperti kata peraturan, sopirku, Riri, dan diriku tetap diam di dalam mobil. Pengawal kami yang berhenti di belakang kami-lah yang keluar untuk berbicara dengan si gadis cilik.

Sesaat kemudian, seorang pengawal melapor pada kami. Ternyata ibu si gadis cilik terjatuh tak jauh dari sana dan mereka butuh tumpangan ke dusun terdekat. Aku lalu menyuruh salah satu pengawal untuk mengantarkan mereka dengan mobil. Dan karena sang ibu tidak dapat berdiri tanpa dibantu, aku juga meminta Riri untuk mengantar mereka.

Sebenarnya aku hendak meminta pengawal yang satu lagi, tapi aku tahu bahwa peraturan mengatakan bahwa aku tidak boleh berada di luar istana tanpa pengawal sama sekali. Setelah mobil yang satu itu pergi, pengawal yang satunya pun masuk ke mobilku dan kami melanjutkan perjalanan. Tapi tidak terlalu lama karena sesaat kemudian sopirku mengumumkan bahwa ban kami kempes.

Saat dia keluar untuk memeriksa, ternyata dua ban belakang yang kempes. Karena kami hanya membawa satu ban serep, hanya satu yang dapat langsung diganti, dan kami harus menunggu mobil yang satu lagi kembali sebelum mengganti yang satunya.

Sopir dan si pengawal mulai mengganti ban. Aku berpikir sebaiknya mungkin aku mengirimkan pesan pada Matlinko untuk memberitahunya bahwa aku akan terlambat. Aku mengeluarkan transelku tapi lalu aku ragu-ragu. Walaupun Matlinko sering mengirimiku pesan, aku jarang membalasnya. Tidak tahu kenapa. Mungkin alasannya sama dengan kenapa aku berusaha untuk tidak terlalu sering bertemu dengannya. Tapi mengabari bahwa aku akan datang terlambat rasanya adalah etika umum. Jadi aku pun menyalakan transelku. Namun, sebelum aku sempat mengetikkan pesan, malah ada pesan yang masuk. Dan pesan itu dari dia.

Buka pintu mobil pelan-pelan, lalu berjalanlah ke pohon terbesar di bagian kanan depan mobil.

Hatiku melompat. Aku melihat keluar dari jendela dan mencari pohon yang dimaksud. Aku menemukannya dan aku melihatnya. Dia hanya muncul satu detik saja sebelum kembali bersembunyi di balik pohon. Mataku melebar. Jantungku berdebum-debum. Aku tahu peraturan mengatakan bahwa aku harus diam di dalam mobil dan mengunci mobil. Tapi dia ada di sini. Walaupun dia hanya muncul selama satu detik, aku melihat bahwa alih-alih baju pangerannya, dia mengenakan kaus dengan lambang Carter.

Aku berdiam sejenak untuk melihat situasi. Sopir dan pengawalku masih sibuk mengganti ban. Tapi tidak akan lama lagi. Dan, mobil yang satu lagi juga bisa tiba kapan saja. Apa yang harus kulakukan sekarang? Transelku bergetar. Sebuah pesan lagi masuk.

Kumohon, Andrea. Aku sangat kehilangan dirimu. M.

Aku memasukkan transelku ke dalam tas tapi lalu berubah pikiran. Aku mengeluarkannya lagi, menghapus dua pesan terakhir dan meletakkannya pada dudukan mobil. Aku membuka pintu mobil dengan sepelan mungkin. Aku keluar dan menutup pintu tapi tidak sampai tertutup supaya tidak berbunyi. Sambil membungkuk supaya tidak terlihat, aku berjalan ke depan mobil, lalu melesat ke pohon besar itu.

***

Matlinko

Dia melakukannya! Dia benar-benar melakukannya!

Tadinya kukira dia tidak akan melakukannya. Tapi ternyata rencanaku benar-benar bekerja. Hatiku sudah hampir terlontar keluar dari dadaku saat aku melihatnya bergerak semakin dekat denganku. Musim panas belum benar-benar tiba tapi keringatku mengalir pada leher dan punggungku.

Aku begitu gugup. Aku ingin sekali menariknya ke dalam pelukanku tapi aku tahu kita harus bergerak lebih jauh dari jalanan lebih dulu. Aku mengulurkan tanganku, dia mengambilnya, dan berdua kami berlari masuk hutan. Untuk sesaat, aku benar-benar merasa sama sekali tidak ada hal buruk di dunia ini.

***

*Time is always relative and is never absolute, Puri Ruasi, penyair Chitrasca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top