Bab 38
Istran
Semuanya seperti berulang karena kami mengambil posisi yang sama seperti pada hari Astrica pulang. Astrica terbaring di atas tempat tidurnya. Diriku di sisi sini memandanginya, memohon supaya dia cepat siuman. Sorba berada di dekat kaki ranjang. Tapi alih-alih mondar-mandir, dia berdiri dengan kedua tangan dilipat di dada. Rodra duduk di kursi di sisi lain tempat tidur.
Kali ini sebenarnya Sorba sudah menyuruh Rodra untuk menunggu di luar tapi Rodra menolak. Aku tak dapat berhenti memikirkan apa yang baru dikatakan Rodra. Katanya Astrica sudah mengenal Matlinko sejak mereka di bumi. Mereka satu sekolah dan sudah berpacaran selama beberapa lama.
Tidak heran mereka begitu cepat dekat di sini. Tidak heran Matlinko memutuskan untuk tinggal sementara di Chitrasca setelah pesta. Sorba telah menegur Rodra. Walaupun Astrica melarang, harusnya dia memberitahu kami lebih cepat tentang ini. Tapi Rodra bilang dia tidak tahu bahwa lelaki itu ternyata Putra Mahkota Amladistia.
***
Sorba
Akhirnya aku berhasil meyakinkan Raja Timlad bahwa kami akan membahas lamarannya secepat mungkin setelah keadaan Astrica memungkinkan. Dan sambil menunggu, dia sebaiknya kembali ke Amladistia lebih dulu.
Awalnya, putranya tidak mau ikut pulang tapi Raja Timlad memaksa. Mungkin karena sekarang kita semua tahu identitas Matlinko yang sesungguhnya, Raja Timlad khawatir putra mahkotanya akan kami tawan dan jadikan sandera bila dia tinggal di sini.
Di satu sisi, terlihat dari air muka Matlinko bahwa dia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Astrica. Tapi di sisi lain, tentu saja dia khawatir karena, bukankah Astrica yang memegang kunci kepemilikan atas kerajaan terbesar di Cori?
***
Rodra
Harus ada cara keluar dari persoalan ini. Kata Ayah, Raja Timlad benar waktu dia mengatakan bahwa pertunangan ini mengikat karena Astrica sudah mengiyakan lamaran Matlinko. Perkataan bangsawan punya bobot yang sama dengan dokumen legal. Tapi....
"Ayah?" bisikku.
Ayah menengok ke arahku.
"Saat Astrica setuju untuk menikahi... nya, dia bukan setuju untuk menikahi Matlinko. Diaa setuju untuk menikahi Ratlas. Dan karena Ratlas tidak benar-benar ada, bukankah itu berarti kesepakatan ini tidak sempurna dan karena itu mungkin jadi tidak sah?" tanyaku.
"Yah, bisa saja kita coba. Tapi karena Ratlas dan Matlinko adalah orang yang sama, mereka akan menekankan bahwa Astrica telah setuju untuk menikahi seseorang, tidak peduli namanya. Hukum perkawinan di sini mengatakan bahwa ketika ada suami atau istri yang mengganti nama karena alasan agama atau kewarganegaraan, perkawinan itu tetap sah," jawab ayah.
***
Astrica
Aku bangun sambil teringat akan mimpiku. Di dalam mimpiku, Milton datang dengan Raja Timlad—Raja Amladistia yang membunuh Ayah. Dan Milton ternyata adalah putra mahkota dari Kerajaan Amladistia. Lalu aku teringat bahwa itu bukan mimpi.
"Astrica, apakah kau baik-baik saja?" Aku melihat wajah Ibu di hadapanku. Aku mencoba mengangguk.
"A..., apa yang terjadi?" tanyaku.
"Kau..., kau pingsan." Kali ini Rodra yang menjawab. Aku menutup mataku. Aku ingin bisa kembali tidur. Tidak, yang sebenarnya, aku ingin kembali ke masa di mana Milton bukan Matlinko.
"Jangan khawatir, Yang Mulia. Kami akan mengusahakan segalanya supaya Yang Mulia tidak terpaksa melakukan hal yang tidak Yang Mulia inginkan."
Kali ini Sorba yang berbicara. Masalahnya, aku bahkan tidak tahu lagi apa yang ingin atau tidak ingin kulakukan. Aku membuka mata dan Ibu membantuku pindah ke posisi duduk.
"Di mana..., di mana Milton?" tanyaku. Dan aku sendiri kaget akan pertanyaan yang kulontarkan seolah bibirku menanyakannya tanpa disuruh oleh otakku. Aku melihat Ibu dan Sorba berpandangan dengan khawatir.
"Dia sudah kembali ke Amladistia," jawab Rodra.
Dia sengaja memberi tekanan khusus pada kata Amladistia seolah ingin mengingatkanku siapa Milton sesungguhnya. Tentu saja aku tidak perlu diingatkan.
"Apakah kau..., baik-baik saja?" tanya Ibu. Dan aku tahu dia bukan sedang menanyakan keadaan tubuhku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku terluka. Aku kecewa. Kecewa pada Milton. Pada diriku sendiri. Bagaimana aku sampai tidak tahu? Semudah itukah aku dikelabui?
"Dia pasti disuruh ayahnya," kata Ibu seolah dia bisa membaca pikiranku.
Bagian mananya yang disuruh ayahnya? Bagian di mana dia berpura-pura jadi Ratlas? Atau menyayangiku juga hanya hasil suruhan ayahnya?
"Aku tidak tahu," kataku.
Masalahnya, setelah semua yang dia lakukan, aku tidak bisa menghilangkan cintaku padanya. Aku pernah membaca seorang penyair di bumi yang mengatakan, "Aku menginginkan sesuatu yang kelak akan menghancurkanku."*
Mungkin inilah hal yang akan menghancurkanku. "Aku tidak mau bertemu dengannya lagi. Selamanya," kataku.
"Sebaiknya kita tidak terburu-buru memutuskan sesuatu," kata Sorba.
"Tapi bukankah itu yang kau dan Ibu inginkan?" tanyaku.
"Masalahnya..., kita tidak tahu apa yang akan dilakukan Timlad jika kau melakukan itu," kata Ibu.
"Maksudmu..., dia akan menyerang?"
"Aku juga hanya dapat menebak-nebak," jawab Ibu.
"Jadi jika aku tidak menikah dengan Mil..., Matlinko, rakyat akan menderita? Tapi jika aku menikah dengannya, kita akan kehilangan kerajaan ini?" tanyaku.
"Karena itu kita harus menyusun strategi dulu sebelum memutuskan apa-apa," kata Sorba.
"Apa maksudmu?"
"Sudah terlihat bahwa hubungan di antara Matlinko dan ayahnya tidak benar-benar bagus," jawab Sorba.
"Jadi, jika kau dapat membawanya menyebrang ke sisi kita—"
"Jadi sekarang aku yang harus merayunya?" Aku memotong ucapan Ibu.
"Bukan. Bukan seperti itu. Kalian berdua masih terlalu muda untuk menikah. Semoga Timlad juga melihat hal itu. Jadi kita bisa mengulur waktu. Kita dapat menerima lamaran itu untuk sekarang ini. Hal itu tidak akan mengubah apa pun. Kau akan ada di sini. Matlinko ada di sana. Pertemuan bisa diatur," ujar Ibu.
"Itu bukan rencana yang bagus. Terlalu berisiko untuk Tuan Putri," potong Rodra.
"Lalu apa idemu?" tanya Sorba.
Rodra hanya diam. Dia mengalihkan perhatiannya pada lantai. Dia tidak punya ide.
"Jika Timlad pikir kita menerima lamaran ini, semoga dia tidak akan melakukan apa-apa. Dan kita punya waktu untuk memperkuat pertahanan lagi," kata Sorba.
"Jika aku dapat meyakinkan Matlinko untuk tinggal di sini setelah...." Aku tak dapat menyelesaikan kalimatku sendiri. Karena walaupun aku masih ingin bersama-sama dirinya, aku tak dapat membayangkan diriku menikah dengannya.
"Itu mungkin yang terbaik! Bukankah mereka masih punya Malinka di sana?" kata Ibu.
"Dan Raja Timlad toh tidak akan hidup selamanya," kata Sorba.
Aku bahkan tidak berani mengira-ngira apa maksud perkataannya itu. Memang benar semua orang akan meninggal juga cepat atau lambat. Tapi faktanya, ayahku telah meninggal lebih cepat, bukan lebih lambat.
***
*I desire the things that will destroy me in the end. Sylvia Plath, penyair Bumi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top