Bab 35
Astrica
Hatiku melompat seperti kuda yang dikagetkan ketika mendengar langkah kakinya di luar istal. Dia selalu punya efek seperti itu atas diriku. Pandanganku menyapu bagian dalam istal sekali lagi untuk memastikan semuanya pada tempatnya. Kotak dari papan kayu sudah ditutupi seprai putih. Dua lilin, walaupun ini siang hari, berdiri di atasnya dan sepiring ayam panggang, semangkuk salad dan sekaleng dotch—itu seperti bir di bumi—untuknya dan segelas air untukku.
***
Matlinko
Dari jendela istal aku langsung melihatnya. Dia duduk di atas seprai putih, kedua kaki diluruskan ke depan, persis seperti saat pertama kali aku melihatnya di bangunan kayu di belakang panti asuhan. Dia melihatku dan tersenyum.
Hatiku meledak seperti kembang api. Dia selalu punya efek seperti itu atas diriku. Aku mengangguk pada Litu untuk menyuruhnya pergi. Aku membuka pintu istal dan masuk. Dia berdiri dan berjalan ke arahku. Aku menariknya ke dalam pelukanku.
"Aku kehilangan dirimu," kataku.
"Tapi kita baru bertemu kemarin," katanya.
Suaranya tidak jelas karena bibirnya menempel pada dadaku. Kemarin terasa begitu jauh. Tapi esok hari terasa lebih jauh lagi hanya karena aku masih juga tidak tahu bagaimana caranya membuat gadis ini menjadi bagian dari semua esok-esokku. Aku melepaskan dirinya hanya supaya aku dapat melihat wajahnya. Ketika dia memandangku, aku menciumnya.
"Aku sayang kau, Astrica," kataku.
"Aku juga sayang kau, Milton. Ratlas, maksudku," katanya.
Dan kata-kata itu menghantamku, mengingatkanku akan kebohongan di antara kami. Dusta yang lebih besar dari kuda mana pun juga, dari istal mana pun juga. Gadis yang kucintai bahkan tidak tahu namaku yang sesungguhnya.
"Aku bawa makanan," katanya sambil menunjuk ke arah meja.
Aku tersenyum. Dia sedang mencoba mengulang makan siang kami di Istal Carter dulu itu. Kami duduk untuk makan. Aku yakin bila situasinya berbeda, ayam panggang ini pasti terasa lezat. Tapi saat itu, rasanya seperti makan kertas karton. Begitu banyak pikiran membebaniku.
Apakah aku harus membuatnya menikahiku secepat mungkin seperti yang diinginkan Ayah? Bagaimana caranya? Apakah aku bisa minta salah satu pemuka agama di sini untuk menikahkan kami? Tapi pastinya Ratu Istran tidak akan memperbolehkan itu. Paling tidak dia pasti mengharapkan untuk lebih dulu menerima lamaran resmi dari ayah dan ibuku. Atau lebih buruk lagi, dia tidak akan menyetujui pernikahan kami. Perasaanku mengatakan Ratu Istran tidak terlalu menyukai diriku.
Cara lainnya adalah dengan menikah di Amladistia. Tapi jika aku mengajak Astrica pulang, dia akan langsung tahu bahwa aku berasal dari Amladistia dan bukan Ronaco.
"Apakah kau tidak lapar?" tanya Astrica.
Aku memang hanya makan sedikit.
"Oh, aku sebenarnya lapar," jawabku, "tapi bukan untuk makanan."
Aku menariknya ke dalam pelukanku dan menciumnya. Dia membalas ciumanku sebentar, tapi lalu mendorongku menjauh.
"Nanti ada orang lewat," bisiknya sambil melirik ke arah jendela besar istal. Itu sebenarnya bukan jendela, lebih ke setengah dinding yang memang tidak ada. Dan dinding yang tidak ada itu mengingatkanku pada tidak adanya rencanaku. Aku mendesah.
"Tidak adakah sebuah tempat pun di istana ini di mana kita bisa berdua saja?" tanyaku.
Mata Astrica melebar. "Sebenarnya ada!"
Dia langsung berdiri, menyapu jerami dari roknya dan memandangku.
"Ayo!" ajaknya.
Aku tidak perlu disuruh dua kali. Aku melompat berdiri dan mengikutinya.
***
Astrica
Mengapa aku tidak terpikir ini sebelumnya? Ruang tersembunyi di atas ruang tahta! Tidak ada yang tahu ruang itu. Yah, Rodra tahu karena sebenarnya itu ruangannya. Tapi itu risiko yang harus kuambil.
Hari ini tidak ada jadwal pertemuan, jadi Rodra tidak akan menggunakan ruangan itu untuk mengintip. Dan lagi, setiap kali Rodra akan mengintai pertemuan, dia selalu mengajakku. Secercah rasa bersalah menyelinap masuk. Aku tahu akhir-akhir ini aku tidak punya banyak waktu untuknya. Tapi semoga dia bisa mengerti. Bukankah dia satu-satunya orang di sini yang tahu tentang aku dan Milton.
"Kita pergi ke gedung istana?" tanya Milton.
Ada keraguan pada suaranya. Dia tahu di istana selalu ada orang yang lalu-lalang.
"Percayalah padaku," kataku.
Aku mengajaknya naik dan berjalan menuju patung besar yang menutupi pintu ruang kecil itu. Setelah memastikan tidak ada orang yang sedang lewat, aku membuka pintu itu dan menariknya ke dalam.
***
Matlinko
Ruangan ini sempurna! Ruangnya kecil tapi punya empat dinding, lantai, langit-langit, dan tidak ada jendela. Di atas lantai terletak beberapa botol dan kaleng minuman. Ada dua kaleng dotch di antaranya padahal dia tidak minum dotch.
"Jadi ini tempat persembunyianmu?" tanyaku.
Dia mengangguk. Untuk sejenak dia terlihat seperti hendak menjelaskan sesuatu. Tapi tidak. Dia duduk dan menepuk lantai kayu di sampingnya. Aku duduk di sampingnya.
"Apakah orang-orang akan sadar kau tidak ada?" tanyaku.
"Tentu nanti mereka akan sadar," katanya.
"Nanti itu kapan?" tanyaku, mencoba mengira-ngira berapa banyak waktu yang kami miliki.
"Mungkin beberapa jam lagi. Jika kita tidak muncul saat makan malam, tentu mereka akan mencari kita," katanya.
Aku mengangguk. Hanya beberapa jam saja yang kupunya. Jika saja aku punya cara untuk mengubah beberapa jam itu menjadi selamanya. Aku mendesah dan menutup mata. Bukan karena aku tidak ingin memandang wajah Astrica. Tapi untuk sesaat, sesaat saja, aku ingin berpura-pura kami masih ada di bumi. Hanya dua orang yatim piatu yang saling jatuh cinta duduk bersisian di lantai, dan bukan seorang pangeran juga putri dari dua kerajaan yang berseteru.
Aku meraih tangannya. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Tapi, apa?
"Astrica?" panggilku.
"Ya," jawabnya.
"Kau sayang aku?" tanyaku.
"Kau tahu aku menyayangimu."
"Apakah kau menyayangiku sebesar aku menyayangimu?" tanyaku.
Dia mengangguk.
"Apakah kau cukup menyayangiku sampai mau menghabiskan seluruh sisa hidupmu bersamaku?" tanyaku.
"Apakah..., apakah kau sedang melamarku?" tanyanya.
Aku mengubah posisiku untuk berlutut di hadapannya.
"Astrica, aku berjanji untuk mencintaimu dengan segenap hatiku dan untuk selalu melindungimu dengan semua kemampuanku. Apakah kau bersedia menikah denganku?" tanyaku.
"Ya! Tentu saja!" katanya.
Aku meraih wajahnya dan menciumnya. Reaksinya mengagetkanku. Astrica tidak pernah menciumku dengan begitu dalam. Aku memperdalam ciumanku, memeluknya lebih erat. Aku menghirupnya. Dan tiba-tiba ruangan yang tersisa di antara kami tidak dapat lagi kutolerir. Atau mungkin yang kurasakan itu adalah bongkah-bongkah kebohongan yang mengganjal di antara kami. Aku memindahkan tubuhnya ke atas pangkuanku.
"Astrica, aku perlu memberitahumu sesuatu," kataku. Dan untuk sesaat aku hampir memberitahukan segalanya padanya. Tapi lalu aku takut. Aku tidak ingin kehilangan dirinya begitu saja setelah dia baru saja menerima lamaranku. Dia memandangku.
"Aku..., aku harus pulang esok. Kau tahu, untuk memberi tahu orangtuaku. Lalu aku akan datang lagi untukmu," kataku.
Astrica mengangguk perlahan sambil mencerna yang kukatakan.
"Apakah kita harus memberitahu Ibu?" tanyanya.
"Tidak!" jawabku. Sedikit terlalu cepat, sedikit terlalu keras. Dia memandangku dengan sorotan tanda tanya. "Maksudku..., cara yang benar adalah orangtuaku yang harus menghubungi ibumu terlebih dahulu. Resminya harus seperti itu."
"Oh," katanya.
"Perasaanku mengatakan ibumu tidak terlalu menyukaiku. Mungkin karena Ronaco hanya sebuah kerajaan kecil."
"Tidak. Ibu tidak akan menilai seorang pangeran dari kerajaannya," katanya. Aku tidak yakin akan hal itu. Apalagi setelah dia tahu dari kerajaan mana sebenarnya aku ini. Tapi aku mengangguk.
"Tetap saja, izinkan aku melakukan ini dengan cara yang sesuai aturan kerajaan. Apakah kau bersedia untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun sampai aku kembali?" tanyaku.
Astrica berpikir sejenak lalu mengangguk. Aku memegang wajahnya dan mulai menciumnya lagi. Aku dapat menciumnya dengan lebih leluasa dengan dirinya berada di atas pangkuanku seperti ini. Salah satu kakinya menyenggol persediaan minuman. Botol dan kalengnya berkelontang. Kami berhenti berciuman untuk sesaat. Tapi ketika dia tidak mendengar suara apa pun di luar, dia mulai menciumku lagi. Dan aku, tentu saja aku tidak punya pilihan lain selain membalas ciuman itu.
***
Rodra
Aku kehilangan dirinya. Amat sangat.
Ketika aku mendengar dari salah satu penjaga yang mendengar dari salah satu pekerja istal bahwa Astrica sedang bersama-sama dengan Ratlas di istal, aku merasa lebih kehilangan lagi. Jika saja aku bisa mengeluarkan otakku dan membuang semua bagian yang mengingat dirinya. Tapi mungkin itu mencakup sembilan puluh sembilan persen dari seluruh otakku. Jadi bagaimana aku dapat hidup dengan sisa otak yang hanya satu persen saja?
Aku menaiki tangga, dua sekaligus. Aku perlu menyendiri. Sudah lama aku tidak bersembunyi di ruang rahasiaku. Itu karena di benakku, ruang itu sekarang sudah jadi milik kami berdua, aku dan Astrica. Akhir-akhir ini setiap kali aku ke sana, Astrica ada bersamaku. Aku tahu berdiam di ruangan itu sekarang tidak akan membantu. Itu hanya akan membuatku memikirkan dirinya. Tapi mungkin memang itu yang kubutuhkan saat ini. Mungkin aku bisa duduk di sana sambil menutup mata dan berpura-pura dirinya ada di sisiku.
Aku menyelinap ke belakang patung dan sudah hampir membuka pintu itu ketika aku mendengarnya. Suara botol bertemu kaleng. Aku mematung. Ada orang di dalam. Hatiku melompat. Karena pastinya itu Astrica, bukan? Hanya dia yang tahu ruangan ini selain diriku. Tapi lalu samar-samar aku mendengar suara lelaki di dalam. Dan aku langsung tahu bahwa Astrica tidak sendirian. Dia telah mengajak Ratlas ke dalam sana.
Kemarahanku memuncak. Aku ingin sekali menerobos ke dalam. Aku ingin memukulnya, membunuhnya karena sudah mengambil ruanganku tanpa izinku, karena sudah merampas gadisku. Aku meremas pegangan pintu itu seolah ingin menghancurkannya. Lalu aku mendengar suara lembut Astrica.
Bukankah aku sudah bersumpah pada diriku sendiri untuk melakukan apa saja demi kebahagiaan gadis ini? Dan, bukankah itu harusnya termasuk membiarkannya dengan orang yang dicintainya? Pegangan pintu itulah yang kuremas sekuat tenagaku, tapi hatiku yang berteriak kesakitan.
Aku melepaskan pegangan pintu itu dan pergi dari sana secepat yang kubisa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top