Bab 3
Andrea
Aku suka Carter. Aku jatuh cinta pada sekolah ini pada pandangan pertama. Aku mencintai Lembah Ojai yang hijau di mana sekolah ini berada. Udaranya yang sejuk dan segar membelai dan mencintai paru-parumu tanpa pamrih, juga pohon-pohonnya mengecup matamu dari kejauhan. Aku suka bagaimana bangunan-bangunannya berserakan seolah tidak beraturan. Tembok-tembok putih, krem, dan coklatnya terlihat seperti bagian dari sebuah lukisan bergaya abstrak.
Aku suka bagaimana setiap orang berjalan dari satu titik ke titik lainnya dengan tujuan yang jelas tapi di lain sisi, gelak tawa yang mengisi lorong-lorong dan suasana santai yang menghiasi sore-sore di akhir pekan menunjukkan bahwa hati setiap orang di sini dipenuhi kedamaian. Aku bahkan belum bercerita tentang guru-gurunya, tentang matahari terbenam, tentang kuda-kudanya, dan tentang buku teksnya. Ya, bahkan buku teksnya pun menakjubkan. Aku tahu buku teks itu hanya buku biasa yang juga digunakan di sekolah-sekolah lain. Tapi mungkin karena tempat yang ajaib ini, seonggok buku teks pun jadi punya keajaibannya sendiri.
Mungkin aku langsung jatuh cinta ketika pertama kali melangkahkan kaki di atas lapangan hijau ini karena tempat ini berarti kebebasanku. Dengan berada di Carter, aku tidak lagi harus tinggal di panti asuhan atau dengan keluarga asuh. Lembah secantik lukisan ini tentu saja membantu. Melihat alam yang luas di sekelilingmu, kau tidak bisa tidak merasa sebebas burung-burung di sana. Perasaan ini membuatku ingin terus tersenyum bahkan ketika aku sedang sikat gigi atau mengunyah makanan.
Tadinya kupikir perasaan ini akan mereda. Dengan berjalannya waktu, aku tentu akan terbiasa dengan semua keindahan di sekelilingku ini. Tapi setelah tinggal di sini tiga bulan, di awal semester musim gugur ini, setiap hal masih saja membuat mataku terbelalak takjub. Bahkan Jess, si gadis sombong yang kamar asramanya di sebelah kamarku, yang suara stereonya seolah akan menghancurkan dinding di antara kami, tidak dapat menghapus senyum ini dari wajahku.
***
Milton
Ingat ketika kukatakan bahwa waliku adalah lelaki paling lemah sedunia? Aku menarik kembali kata-kataku. Dia seorang jenius. Sewaktu kepala sekolahku memanggil kami untuk menyampaikan kabar bahwa walaupun nilaiku cukup baik, sekolah tidak bisa lagi mentolerir ketidakdisiplinanku, waliku menyuruhku menunggu di luar ruangan supaya dia bisa berbicara empat mata dengan kepala sekolahku.
Setengah jam kemudian, dia keluar dari ruangan kepala sekolah dan memberiku sorotan mata tajam yang selalu diberikannya setiap kali aku membuat masalah. Dia lalu menemaniku berjalan ke ruang dorm-ku dan kukira dia akan membantuku membereskan barang-barangku karena aku tidak akan kembali ke sini lagi untuk grade 10. Tapi dia hanya memberitahuku bahwa dia sudah mendaftarkanku untuk summer camp di suatu tempat dan aku tetap akan melanjutkan sekolah di sini karena dia telah berhasil membuat kepala sekolah berubah pikiran.
Aku tidak tahu apa yang dilakukannya. Mungkin dia menggunakan status yatim piatuku untuk menarik simpati. Atau mungkin dia menyumbang banyak sekali uang untuk sekolah. Apa pun yang dilakukannya, aku senang dia melakukannya. Karena pagi ini, saat aku melangkah masuk ke kelas English 2, aku melihatnya. Tidak, kali ini dia tidak sedang duduk berselonjor di lantai. Dia sedang duduk di salah satu bangku di baris depan, membaca buku teksnya.
Kelas itu baru setengah terisi. Rob dan Jack, sahabatku, sudah duduk di belakang kelas. Mereka melambai ke arahku. Mereka telah menandai sebuah bangku untukku. Aku memandang mereka, lalu memandang si gadis. Bangku di samping si gadis masih kosong dan tiba-tiba aku begitu ingin duduk di sana. Tapi jika aku melakukannya, aku tahu itu pasti akan menjadi bahan pembicaraan satu sekolah. Milton belum pernah sekali pun duduk di depan kelas. Aku tidak ingin guruku terkena serangan jantung karena aku duduk di depan kelas.
Dengan terpaksa, aku berjalan ke belakang. Aku melihat beberapa murid berbisik-bisik sambil melirik ke arah si gadis. Carter memang jarang menerima murid untuk kelas 10 atau 11 atau 12. Murid-murid Carter paling lambat masuk ke sekolah ini di kelas 9. Angka penerimaan sekolah ini hanya 13%. Banyak sekali yang melamar dan hanya sedikit murid yang diterima. Tapi memang ada satu teman kami yang meninggalkan sekolah semester lalu karena ayahnya yang diplomat ditempatkan di luar negeri. Jadi mungkin gadisku ini mendapatkan kursi kosong yang tersedia itu.
Gadisku! Dengar saja caraku menyebutnya. Aku bahkan tidak tahu namanya dan aku sudah mengakuinya sebagai milikku.
Dia belum melihatku. Matanya masih melekat pada buku teks itu seolah buku itu adalah jendela ke sebuah dunia yang amat menakjubkan. Aku jadi penasaran. Bila dia melihatku nanti, apakah dia akan mengenaliku?
***
Andrea
Ketika aku sedang memasukkan buku ke dalam tas, sebuah jari mengetuk mejaku. Ketika aku mendongak, wajah Jess-lah yang kulihat. Ini mengejutkan karena dia tidak pernah mengajakku berbicara sejak kedatangannya, sejak dia menerobos masuk ke kamarku, menyebutkan namanya, lalu pergi ke kamarnya di sebelah dan menyiksaku dari sana. Apakah dia hendak meminta maaf karena stereonya yang berisik?
"Bawa ini ke kamarmu. Nanti kuambil," katanya sambil meletakkan setumpuk barang begitu saja di atas mejaku.
Dia lalu melenggang keluar kelas. Aku memandang tumpukan buku tulis, buku teks, tas kain, dan beberapa pernak-pernik lain. Apakah dia baru saja menyuruhku membawakan barang-barangnya seolah aku ini..., pembantunya? Apa yang harus kulakukan dengan benda-benda ini? Tasku sendiri sudah penuh. Mungkin benda-benda yang kecil masih bisa kumasukkan ke dalam tasku dan yang lainnya harus kubawa dengan tangan. Atau aku bisa saja meninggalkan semua ini di sini. Tapi jika aku melakukannya, pasti aku harus berhadapan dengannya nanti. Dan aku tidak suka konfrontasi. Tapi aku juga tidak suka digunakan, diremehkan. Apa yang membuatnya merasa dia berhak menyuruh-nyuruhku?
"Tinggalkan saja."
Sebuah suara mengagetkanku. Aku mendongak dan melihat salah satu teman sekelasku berdiri di dekat mejaku. Tubuh besarnya menjatuhkan bayangan di atas barang-barang yang berserakan di atas mejaku ini. Dia tipe pemain bola yang sering kau lihat berkeliaran di lorong-lorong sekolah sambil bercakap-cakap dengan suara keras. Tapi tadi dia berbicara dengan suara yang lembut padaku seolah dia takut aku akan lari setelah dia menyuarakan kata pertama. Suaranya sama sekali tidak serasi dengan tubuh besar dan rambut merah berantakannya.
Aku berdiri, membuka tasku, dan memasukkan pernak-pernik Jess ke dalamnya. Mungkin suatu hari nanti aku akan dapat meninggalkan barang-barang ini begitu saja seperti yang diusulkan anak lelaki ini. Tapi saat ini, aku tidak mau membuat masalah dengan siapa pun di sekolah ini. Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku di perpustakaan atau kehilangan beasiswaku. Aku menutup tasku.
Si anak lelaki ini dipanggil oleh temannya dari luar kelas. Dia pun berjalan untuk bergabung dengan mereka. Aku mulai menumpuk bukuku dan Jess. Masih ada dua puluh menit sebelum assembly. Yah, mungkin memang sebaiknya aku meletakkan sebagian barang-barang ini di dalam kamar dorm terlebih dahulu. Karena jika tidak, aku harus membawa semua bawaan berat ini ke assembly, makan siang, dan ke tiga kelas lagi.
"Kau benar-benar akan membawa semua barang-barang itu?" tanya suara yang sama begitu aku keluar dari ruang kelas. Anak lelaki yang tadi ternyata tengah berdiri di luar kelas, bersandar pada tembok. Teman-temannya sudah tidak kelihatan. Alih-alih menanggapinya, aku terus saja melangkah.
"Aku Milton," katanya seraya menyamai langkahku.
"Sini, kubantu," katanya dan ia lalu merebut semua benda yang sedang kupegang.
"Tidak usah," kataku sambil mencoba mempertahankan barang-barang itu. Tapi dia cepat. Dan kuat. Tentu saja dia memang punya banyak latihan merebut bola di lapangan. Jadi tidak sampai setengah detik kemudian, bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku, semua barang di tanganku telah berpindah ke tangannya. Dia meringis ke arahku seolah berkata bahwa dia tidak bermaksud membuat masalah.
"Silakan," katanya dengan sebuah bungkukan seolah aku ini seorang bangsawan kerajaan.
Aku tahu aku harusnya mencoba untuk merebut kembali barang-barang itu darinya. Tapi aku tidak dapat melakukan hal itu tanpa mengundang perhatian. Beberapa murid yang lewat sudah memandangi kami yang sedang berdiri di tengah lorong ini. Maka aku pun berjalan.
***
Milton
Tidak, dia tidak mengenaliku. Ya, aku kecewa. Tapi paling tidak dia membiarkanku berjalan dengannya ke gedung asramanya. Itu awal yang baik, bukan?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top