Bab 23

Astrica

Seorang penyair Chitrasca ada yang pernah menulis bahwa hidup punya kemampuan menyajikan kejutan raksasa untukmu di saat yang tidak disangka-sangka.*

Itu benar. Hidup memang aneh. Satu hari kau adalah seorang anak yatim piatu dan hari berikutnya kau bisa saja menjadi seorang putri raja. Sebagian dari diriku masih merasa ini hanyalah sebuah mimpi belaka, sebuah mimpi panjang yang sulit dibedakan dari kenyataan. Tapi seminggu berlalu dan aku masih di sini, mengenakan gaun putri panjang dan sebuah mahkota.

Terkadang aku sampai perlu menyentuh mahkotaku hanya untuk memastikan benda itu benar ada. Aku belum pernah dengar ada mimpi yang lebih panjang dari beberapa jam saja apalagi satu minggu. Jadi mungkin ini memang bukan mimpi.

Sering sekali aku menangkap diriku memandangi orang-orang di sekelilingku. Aku memandangi Riri, dayang mudaku. Aku memandangi Ibu. Aku memandangi Mr. Lee, maksudku Rodra, dan ayahnya. Aku memandangi Morga, kepala prajurit yang pendiam. Aku memandangi Charni, tukang masak istana yang terus berbicara. Aku memandangi semua orang. Ketika aku sendirian di kamarku, aku memandangi bayangan diriku sendiri pada cermin, mencoba membuat diriku mengerti segalanya ini.

Aku mendengar ketukan pada pintu. Satu ketukan, diikuti dua ketukan pendek. Itu adalah gaya ketukan Riri. Benar saja, wajahnya lalu muncul, lesung pipinya membingkai senyumnya. Riri selalu tersenyum. Mungkin itu sebabnya dia yang ditugasi melayaniku. Ibu pasti telah memilih dayang paling ceria seantero istana untuk membuatku ceria.

"Selamat siaaaaang, Yang Mulia," katanya sambil membungkuk memberi hormat.

Seperti itu memang gaya bicara Riri. Itu bagian dari keceriaannya. Entah, mungkin dia bahkan tidak pernah menangis sewaktu bayi dulu.

"Sir Rodra bertanya apakah dia dapat bertemu dengan Yang Mulia di perpustakaan," tambahnya.

Ini bukan pertama kali Rodra meminta bertemu dan aku memang sedang menghindar darinya. Aku tahu dia ingin menjelaskan segalanya dan aku memang ingin tahu. Harusnya aku yang memintanya bertemu secepat mungkin. Tapi karena hidupku yang terdiri dari rentetan kejutan ini terasa seperti membuka kotak demi kotak tanpa mengetahui apakah yang berikutnya berisi seekor anak anjing yang lucu, atau monster bergigi tajam yang menakutkan, aku belum siap untuk mendengar kejutan-kejutan lagi.

Tapi, aku tahu, aku tidak bisa menunda ini selamanya. Lebih cepat aku tahu segalanya, lebih cepat aku dapat menjalankan peranku sebagai Putri Mahkota.

"Yang Muliaaaa, ini sudah ketiga kalinya Sir Rodra minta izin bertemu. Dan dia..., kau tahu, dia cukup tampan, bukan!" kata Riri sambil menyembunyikan cekikikannya.

Aku memutar bola mataku. Akhir-akhir ini Rodra memang menjadi buah bibir di seantero kerajaan karena telah berhasil membawaku pulang. Riri bukan satu-satunya wanita yang kulihat sering melirik ke arah Rodra dengan pandangan memuja. Rasanya saat ini, seluruh wanita di kerajaan ini sedang jatuh cinta pada Rodra.

"Apa yang harus kukatakan padanya, Yang Mulia?" tanya Riri.

Aku mengembuskan napas. "Katakan, aku akan ke sana lima belas menit lagi."

Senyum Riri melebar dan dia menghilang di balik pintu.

***

Rodra

Sejak Riri memberitahukan bahwa Astrica akan menemuiku dalam waktu lima belas menit, jantungku belum berhenti berlompat-lompatan. Ini akan jadi kali pertama aku melihatnya sejak dia terbangun minggu lalu. Jika ini terserahku, menurutku sebaiknya Yang Maha Mulia Sang Ratu atau ayahku saja yang menjelaskan segalanya pada sang putri. Tapi karena Bahasa Corix sang putri belum terlalu baik, sang ratu dan Ayah merasa aku orang yang lebih tepat untuk menjelaskannya. Sebab, yang akan kuceritakan padanya memang sudah cukup membingungkan tanpa kesulitan bahasa.

Aku mendengar langkah kakinya di luar perpustakaan. Jantungku melompat lebih kencang. Aku berdiri. Pintu perpustakaan terbuka dan aku melihatnya. Selama ini aku sudah tahu bahwa biar pun Astrica selalu mengenakan baju dan dandanan yang biasa-biasa saja, wajahnya bukan biasa-biasa saja. Dan kukira aku dapat membayangkan dirinya dalam pakaian putri. Tapi, yang kulihat ternyata lebih dari yang kubayangkan. Dia terlihat jauh lebih cantik dari yang pernah kubayangkan. Aku memajukan sebelah kakiku dan jatuh berlutut.

"Pelayanmu, Rodra, Yang Mulia," kataku.

Hanya sebuah kalimat pendek saja. Tapi aku mendapati diriku hampir kehabisan napas. Dan saat itu juga, aku bersumpah untuk melakukan apa saja demi kebahagiaan gadis ini.

***

Astrica

Aku benar-benar tidak biasa ketika semua orang berlutut dan menunduk-nunduk di hadapanku. Itu lebih susah lagi ketika orang yang berlutut di hadapanmu belum lama ini adalah gurumu.

"Berdiri," ucapku.

Mr. Lee, maksudku, Rodra berdiri dengan perlahan. Aku berjalan ke salah satu kursi berlengan dan duduk. Aku menunggu sampai Rodra duduk tapi dia tetap berdiri. Lalu aku ingat salah satu peraturan yang kutahu dari Riri. Orang yang tidak berdarah kerajaan hanya boleh duduk bersama orang yang berdarah kerajaan bila sudah diberi izin. Menurutku itu peraturan yang bodoh.

"Oh, silahkan duduk," kataku.

Rodra duduk di salah satu kursi berlengan di hadapanku. Selama itu dia terus memandangiku. Tapi begitu aku memandangnya, dengan cepat dia menurunkan pandangannya. Entah apakah ada peraturan yang mengatakan seseorang tanpa darah kerajaan tidak boleh memandang mata seseorang dengan darah kerajaan?

Tapi, Riri memandang mataku jika berbicara padaku.

"Bagaimana kesehatan Yang Mulia akhir-akhir ini?" tanya Rodra.

Matanya masih memandang permadani seolah dia menemukan motif yang menarik di sana. Itu satu lagi yang membingungkanku. Semua orang begitu memusingkan kesehatanku seolah aku ini makhluk paling rentan di dunia—di mana pun dunia yang satu ini.

Apakah mereka tidak melihat bahwa aku bukan orang yang lemah atau sakit? Aku hanya seseorang yang telah dicekoki pil tidur seminggu lalu dan efek pil itu sudah lama hilang seluruhnya. Selain itu, aku hanya gadis muda yang sehat yang sebentar lagi akan berusia delapan belas tahun. Aku bukan orang yang baru sembuh dari penyakit kanker atau yang sejenisnya.

"Kesehatanku baik-baik saja, terima kasih. Jadi apakah kita bisa mulai? Aku tahu kau ditugaskan untuk menjelaskan sejarah padaku. Dan juga menjelaskan bagaimana bisa aku dipindahkan ke planet lain yang jauhnya dua belas tahun cahaya dan lalu dikembalikan ke sini lagi tanpa harus menghabiskan dua puluh empat tahun di atas roket atau apa pun juga," kataku.

Rodra mengangkat pandangannya. Mungkin dia kaget karena nada bicaraku yang keras. Mungkin seorang putri harus berbicara dengan nada yang lebih lembut. Tapi aku bukan Putri biasa. Sepanjang ingatanku, aku hanya seorang anak yatim piatu. Jadi, maaf saja bila aku belum bersikap seperti layaknya seorang tuan putri.

"Kami minta maaf atas semua kebingungan yang kami sebabkan, Yang Mulia," katanya. Dia lalu memandang ke permadani lagi. "Aku akan mencoba menjelaskan segalanya. Jadi begini—"

"Dengan satu syarat," aku memotong. "Aku akan mendengarkan penjelasanmu hanya jika kau memandangku, dan bukan permadani, saat kau menjelaskannya."

***

*Life has the ability to give you a huge surprise when you least expect it. Suran Irisa, penyair Chitrasca

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top