Bab 2

Milton

Perpustakaan sekolah tentu saja tidak memiliki buku Trigonometri kelas sembilan yang harus kucari itu. Itu memang edisi lama yang sudah tidak digunakan lagi. Mengapa aku harus mencarinya? Tentu saja ini hukuman dari guruku. Hukuman karena tadi pagi aku tidak mengumpulkan pekerjaan rumahku, lagi. Menurut hitungan guruku, ini kali ke sembilan puluh tujuh, aku tidak mengumpulkan pekerjaan rumah tepat waktu dalam tahun ini.

Siapa suruh dia susah-susah menghitung? Dan bukankah sembilan puluh tujuh PR dalam setahun itu terlalu banyak? Bayangkan, berapa banyak waktu bermain bola yang hilang gara-gara semua PR itu! Dan sekarang aku harus membuat beberapa soal yang ada di buku terkutuk itu karena jika tidak, aku tidak akan diperbolehkan naik ke kelas 10.

Apakah dia tidak sadar bahwa buku yang sudah tidak digunakan lagi berarti sudah tidak relevan isinya? Ini tidak adil! Karena walaupun aku jarang buang-buang waktu mengerjakan pekerjaan rumah, toh nilaiku selalu bagus.

Sebenarnya, aku terpikir untuk meminta waliku untuk menuntut saja guruku! Jika perlu, kami akan menuntut pihak sekolah. Tapi, kau tahu sendiri, waliku, Mr. Dale Blake, itu pria paling alim dan paling lemah yang ada di muka bumi. Orang yang tidak berani bahkan melanggar peraturan yang paling kecil sekalipun. Aku sebenarnya heran dia masih bisa berdiri karena kubayangkan tulang belakangnya mungkin terbuat dari karet lunak. Karena dia hanya berani mengucapkan kata 'tidak' kepada satu orang saja, yaitu aku.

Dan di sinilah aku, di perpustakaan kecil ini untuk mencari buku keparat itu. Ini perpustakaan ke lima yang kutelepon dan untungnya bukunya ada. Atau paling tidak seperti itulah yang dikatakan pustakawati bersuara parau di telepon tadi.

Ketika aku masuk, ada dua pustakawati di sana. Aku langsung tahu yang mana pustakawati bersuara parau itu. Wajah tirusnya lebih buruk dari yang kubayangkan. Hampir tidak bisa dipercaya bahwa dia punya kutil yang besar dan menjijikkan! Aku hampir saja mengulurkan tanganku untuk memegangnya untuk memastikan itu kutil sungguhan dan bukan kutil palsu yang dikenakan sebagai asesoris Halloween. Aku yakin bila dia yang bertugas membacakan cerita pada anak-anak kecil, pasti semua anak itu akan bermimpi buruk malam harinya.

Si buruk rupa menyuruhku mencari buku terkutuk itu pada deretan rak berisi buku-buku lama ini. Aku heran kenapa buku-buku jelek ini belum dibakar atau dibuang saja ke jurang. Bau apak buku-buku ini membuatku mual. Lalu, aku melihatnya. Dia duduk berselonjor di lantai dengan posisi yang sama persis seperti saat aku melihatnya lima tahun yang lalu.

Mungkin karena itulah aku langsung mengenalinya.

Tapi, jika dia sedang berjungkir balik sekalipun, aku pasti akan langsung mengenali wajahnya juga. Rambutnya lebih panjang sekarang dan sedikit berombak. Dia mengenakan sepasang kaca mata yang tidak trendy, yang justru membuat tulang pipinya yang tinggi terlihat jelas. Ia mengenakan kaos dan celana jeans, bukan rok yang kedodoran. Dan lekuk tubuhnya terlihat dibalik kaos dan celana panjang itu.

Dia tenggelam di dalam buku yang sedang dibacanya sampai-sampai tidak menyadari bahwa aku sedang berdiri memandanginya.

***

Andrea

Aku suka buku-buku tua. Sampulnya yang lunak dan punggungnya yang bergaris-garis menunjukkan bahwa mereka telah berulang kali menghangatkan hati pembaca, dan bahwa mereka telah dicintai dan dipeluk oleh pembaca mereka di malam-malam yang gelap dan dingin. Mungkin mereka telah disesal-sesalkan ke dalam tas dan dibawa ke tempat-tempat yang jauh oleh pembaca mereka, kemudian mereka duduk di bawah sinar bulan atau di dekat sinar lilin di malam hari, hanya berdua, si pembaca dan buku yang paling disukainya.

Aku juga suka bau buku tua. Baunya berbeda dari bau baju tua yang biasanya seperti bau kamper. Juga berbeda dari bau bangunan tua yang seperti bau rayap. Bau buku tua adalah bau paling enak karena adalah gabungan bau kertas tua dan kenangan. Aku bahkan tidak mempermasalahkan apa yang tertulis di dalam buku-buku tua itu, apakah itu buku fiksi atau non fiksi. Bukunya bisa berisi cerita dari masa lalu atau persoalan Matematika untuk dikerjakan.

Setiap buku tua itu punya kemampuan untuk menenangkanku. Dan, hari ini aku benar-benar sedang membutuhkannya. Bukannya aku tidak bersyukur atas keluarga asuhku. Aku tahu mereka sudah berbaik hati memungutku dan berbagi rumah denganku selama empat tahun ini.

Pada awalnya, dengan naifnya aku begitu berharap untuk dapat hidup bahagia dengan keluarga Robinson itu hanya karena si ibu memiliki nama depan yang sama dengan Aunt Nancy. Tapi, dengan cepat kusadari bahwa itu satu-satunya persamaan di antara mereka. Aku adalah pusat perhatian Aunt Nancy. Sementara Nancy Robinson, satu-satunya hal tentang diriku yang mengundang perhatiannya adalah uang bulanan yang dikirimkan pemerintah pada mereka sebagai keluarga asuh. Dan karenanya, ketika aku mendapatkan kabar hari ini bahwa aplikasi beasiswaku ke Sekolah Carter diterima, mereka tidak menyukainya.

Carter adalah salah satu sekolah berasrama terbaik di California. Dengan bersekolah di sana berarti aku tidak lagi memerlukan keluarga untuk menampungku. Dan itu berarti keluarga Robinson tidak akan lagi mendapatkan uang bulanan dari pemerintah. Tentu mereka tetap bisa menjadi keluarga asuh untuk anak yatim piatu lainnya. Tapi prosesnya memakan waktu beberapa bulan sebelum mereka mendapatkan anak asuh baru. Berarti, selama itulah mereka tidak mendapatkan uang bulanan dari pemerintah.

Seharian tadi setelah aku mendapatkan telepon yang sudah kutunggu-tunggu selama beberapa bulan ini, mereka memasang wajah masam dan mendiamkanku. Dennis, anak lelaki mereka yang memperlakukanku seperti pelayannya sengaja menumpahkan kopinya di atas taplak terbaik ibunya supaya aku mendapatkan pekerjaan tambahan mencuci taplak itu. Tapi, itu tidak merusak kebahagiaanku. Beasiswa ini adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi padaku. Tapi yah, memang tidak terlalu banyak hal baik yang terjadi di dalam hidupku.

Walaupun beasiswa hanya akan meliputi uang sekolah dan uang tinggal di asrama, aku yakin aku dapat mencari pekerjaan paruh waktu untuk mencari uang makan. Sekarang yang harus kulakukan adalah menanti akhir tahun ajaran ini yang tinggal sisa satu bulan lagi. Bulan depan, aku sudah bisa pindah ke asrama Carter untuk melanjutkan hidupku. Aku menutup buku teks tua di pangkuanku, memeluknya, dan memejamkan mataku.

"Maaf, aku butuh buku itu," kata sebuah suara mengagetkanku.

***

Milton

Aku tidak langsung menyadari bahwa buku di pangkuannya itu adalah buku yang kucari. Baru setelah dia menutup buku itu aku dapat membaca judul pada sampulnya. Lalu, dia memeluknya seolah buku itu adalah sebuah boneka beruang yang empuk dan berbulu tebal. Aku tahu seharusnya aku pergi saja. Dia pasti tidak ingin dilihat sedang memeluk buku tua itu. Paling tidak aku tidak mau dilihat sedang memeluk buku Trigonometri tua yang berbau. Itu sama sekali tidak keren. Tapi, aku memang butuh buku itu.

Dorongan untuk berbicara padanya pun meluap di dalam diriku. Entah kenapa. Mungkin karena dia memang menarik. Dan juga cantik. Aku selalu merasakan dorongan untuk mengajak gadis cantik berbicara karena biarpun mereka tidak menunjukkannya, aku tahu bahwa gadis-gadis cantik suka berbicara denganku juga. Beberapa bahkan membiarkan diriku melakukan hal-hal lain selain berbicara. Harus kuakui, selama lima tahun ini, terkadang tanpa alasan apa pun, gadis ini akan muncul di benakku begitu saja.

Tidak terlalu sering. Aku bukannya terobsesi olehnya. Sama sekali tidak begitu.

Tapi, setiap bulannya pasti ada satu atau dua kali dia tiba-tiba singgah di benakku seolah untuk memastikan bahwa aku tidak akan pernah melupakannya.

"Maaf, aku butuh buku itu," kataku padanya.

Dia langsung membuka matanya dan melihat ke arahku. Jantungku melompat. Jika dia mengenali diriku, dia tidak menunjukkannya. Dia hanya berdiri, meraih tasnya, dan berjalan ke arahku. Dia lalu menjejalkan buku itu ke dadaku dan melewatiku begitu saja. Terjadinya begitu cepat. Tapi aku tahu aku harus mengikutinya. Aku tidak boleh kehilangan jejaknya lagi. Tapi aku tidak ingin dia tahu bahwa aku mengikutinya. Jadi aku berjongkok, membuka tasku, dan memasukkan buku berbau itu ke dalamnya sambil memastikan bahwa dirinya masih berada di dalam jarak pandangku.

Dia berjalan ke arah pintu perpustakaan. Aku mulai berjalan sambil menjaga jarak di belakangnya. Dia melambai ke arah pustakawati buruk rupa dengan kutil itu. Si pustakawati membalas senyumnya. Sebuah senyuman yang, menurut pendapatku, membuatnya terlihat lebih menyeramkan lagi. Aku menunggu sampai gadis itu berada beberapa langkah di luar pintu kaca itu sebelum berjalan ke arah pintu. Dan ketika alarm berbunyi, aku bahkan tidak menyadari bahwa aku-lah penyebabnya sampai si kutil berteriak ke arahku dengan suara paraunya.

"Hei, kau!" teriaknya.

Aku menghentikan langkahku dan baru ingat pastilah buku keparat di dalam tasku ini yang menyebabkan alarm berbunyi. Aku belum melakukan proses peminjaman. Di luar sana, gadis itu hampir tiba di sudut jalan. Jika aku tidak keluar sekarang, aku akan kehilangan jejaknya. Si kutil berjalan ke arahku dengan tampang seperti singa yang hampir mengamuk. Aku berlari ke arah pintu.

"Berhentiii!" teriaknya.

Tapi, aku tidak mendengarkannya. Jika saja tidak ada penjaga keamanan yang tiba-tiba muncul di hadapanku, aku pasti sudah berhasil keluar. Si penjaga mencekal tangan kananku. Aku mencoba melepaskan pegangannya tapi dia terlalu kuat. Seraya aku dipaksa berjalan kembali ke meja pustakawati untuk menjelaskan mengapa aku mencuri buku busuk ini, aku melihat gadis itu hilang di sudut jalan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top