Bab 14
Roger
Aku mendapatkan lebih dari dua puluh ajakan untuk pergi ke prom. Ada yang disampaikan dengan sopan seperti kartu dengan tulisan kaligrafi indah yang diselipkan di bawah pintu kantorku. Yang lainnya disampaikan dengan cara aneh seperti link ke YouTube yang kuterima lewat e-mail. Di dalam video YouTube itu, salah satu muridku bertanya, apakah aku ingin pergi ke prom dengannya. Itu sebenarnya tidak apa-apa jika saja si murid tidak mengenakan bikini—siapa yang mengenakan bikini di musim dingin seperti ini?
Sambil berbicara, dia terus menggosok tubuhnya sendiri dengan krim kue. Dan, yang membuatku lebih tercengang lagi adalah murid ini biasanya datang ke kelas dengan kaus kedodoran dan mengenakan kacamata tebal. Kedua benda itu tidak terlihat di dalam video. Itulah sebabnya hanya setelah aku memutar video itu tiga kali, baru aku akhirnya mengenalinya. (Catatan: Aku memutar video itu tiga kali hanya demi mengidentifikasi si murid, bukan karena sebab lainnya).
Tentu saja aku menolak semuanya. Aku seorang guru. Guru tidak pergi ke prom bersama muridnya. Bahkan aku yang tidak berasal dari sini, tahu aturan itu. Ya, aku memang akan pergi ke prom. Tapi itu hanya karena sang putri akan pergi. Tentu saja dia akan pergi bersama anak laki-laki yang tidak tahu disiplin itu. Jadi, aku harus mengawasi untuk memastikan dia tidak macam-macam.
Aku mengenakan jaket korduroiku. Jaket itu tidak terlalu formal dan mampu menahan udara dingin. Ketika aku keluar dari bangunan tempat tinggal guru, aku melihatnya. Sang putri. Dia sedang berjalan seorang diri. Di mana lelaki itu? Masa dia bahkan tidak menjemput sang putri dari dorm-nya? Kupikir prom ini adalah acara paling penting bagi orang muda, dan kulihat yang lain pergi berpasangan atau dalam kelompok. Mengapa dia membiarkan sang putri berjalan seorang diri? Dia harusnya sudah menunggu di depan dorm-nya satu jam sebelum acara prom dimulai.
Aku melirik jam tanganku. Prom sudah dimulai sekitar lima belas menit yang lalu. Di mana si Milton itu? Tidak sadarkah dia bahwa dia begitu beruntung bisa pergi ke prom dengan seorang putri? Ya, tentu saja dia tidak sadar. Tapi, tetap saja! Kau tidak boleh membiarkan pasanganmu—putri atau bukan putri—berjalan sendirian ke acara prom. Bahkan, aku tahu itu! Dan yang sedang jalan seorang diri ini tak lain adalah sang putri! Jika itu terserah padaku, murid bernama Milton itu harusnya digantung!
***
Andrea
Milton terlambat. Lagi. Dia juga tidak mengangkat ponselnya. Lagi. Pasti ponselnya tertinggal di kamarnya. Lagi. Dia harusnya sudah tiba di sini lima belas menit yang lalu. Tapi aku tidak khawatir. Aku bisa menunggunya di luar atau langsung saja ke hall untuk menemuinya di sana.
Mungkin gadis lain akan marah. Pasangan Jess saja sudah muncul setengah jam yang lalu. Jika tidak, mungkin dia akan mengamuk. Tapi, aku bukan gadis lain. Aku tidak perlu pernyataan kasih sayang dari Milton secara terus-menerus. Dia tidak harus membuktikan apa-apa padaku. Karena aku sadar apa pun yang dia lakukan, atau tidak dilakukan, aku akan tetap mencintainya. Itu menakutkanku. Tapi, mau bagaimana lagi?
Aku masih memikirkan di mana gerangan Milton berada ketika namaku dipanggil. Bukan, itu bukan suara Milton. Aku menoleh dan melihat Mr. Lee—guru Matematika itu—berlari kecil ke arahku.
"Andrea, benar?" tanyanya seraya menyamai langkahku.
"Ya, Mr Lee."
"Sendirian?" tanyanya.
"Aku akan bertemu temanku di sana."
"Jika begitu, biarkan aku mengantarmu ke sana," katanya sambil memberikan lengannya.
Aku memandangnya. Jess benar. Guru muda ini terlihat begitu pintar seolah kau bisa melihat angka-angka beterbangan keluar dari benaknya. Aku ragu-ragu dan dia mengangkat sebelah alisnya. Yah, pastinya tidak ada salahnya diantar oleh seorang guru. Apalagi Milton masih juga belum kelihatan. Maka aku pun melingkarkan tanganku pada lengannya dan kami mulai berjalan.
"Boleh kutahu, Ya..., maksudku Andrea, apakah Matematika memang pelajaran kesukaanmu?"
Rupanya dia tahu nilaiku selalu bagus.
"Ya. Matematika memang salah satu yang kusuka."
"Pelajaran apa lagi yang kau suka?" tanyanya.
"Bahasa."
***
Roger
Lalu tiba-tiba aku kehilangan kemampuan bicaraku. Maksudku, ada begitu banyak yang ingin kukatakan kepadanya. Aku ingin memberitahunya bagaimana kami semua sudah begitu lama menantikan kepulangannya. Bagaimana aku tadinya tidak suka karena diutus untuk menjemputnya pulang tapi setelah berada di sini, aku begitu senang karena akulah yang terpilih—untuk menjemputnya pulang, maksudku. Bagaimana aku begitu kagum karena dia telah berhasil untuk bertahan seorang diri selama beberapa tahun ini.
Aku juga punya begitu banyak cerita yang ingin kusampaikan tentang Chitrasca kepadanya. Tentang sungainya yang lebih jernih, gunungnya yang lebih hijau, dan langitnya yang lebih biru. Tapi, aku tahu, aku tidak boleh. Belum waktunya. Selain itu, aku tiba-tiba sadar bahwa aku sedang mengantarkan sang putri ke prom. Sang Putri tengah menggamit lenganku!
Tidak perlu menggunakan rumus Matematika rumit untuk mengerti bahwa dalam situasi berbeda, di tempat berbeda, ini bisa saja sebuah kejadian historis yang amat penting atau kejadian yang amat emosional. Semua pemuda Chitrasca akan melakukan apa saja untuk berada di posisiku saat ini.
"Mr. Lee? Kau baik-baik saja?" tanyanya. Dari caranya memandangku seolah aku ini aneh, aku tahu itu bukan kali pertama dia melontarkan pertanyaan itu.
"Oh, aku baik-baik saja."
"Kau yakin? Karena sepertinya..., pikiranmu tidak di sini."
"Hanya ada sesuatu yang terlintas di benakku. Tapi percayalah, Ya..., mmm..., Andrea, aku baik-baik saja."
Itu kali kedua-ku hampir memanggilnya dengan sebutan Yang Mulia.
Kami lalu tiba di tempat acara yang sudah dipenuhi orang. Aku merasakan sang putri memperlambat langkahnya seolah dia ragu-ragu apakah dia memang benar-benar ingin berada di sana. Kami berhenti beberapa langkah dari pintu masuk. Mungkin dia ingin menanti kekasihnya itu terlebih dahulu. Dia memandang berkeliling. Aku juga. Aku tahu dia sedang berharap Milton segera muncul, sementara aku mengejutkan diriku sendiri karena sebaliknya, aku mengharapkan dia tidak muncul.
***
Andrea
Milton sama sekali tidak muncul. Aku mencoba menelepon ponselnya lagi tapi tidak diangkat. Setelah berdiri manyun selama satu setengah jam di luar, aku memutuskan untuk beranjak dari sana. Tidak, aku tidak kembali ke kamar asramaku. Aku perlu berjalan untuk mengosongkan pikiran. Apakah sebaiknya aku mencari Milton di gedung asramanya? Mungkin tadi sore dia memutuskan untuk beristirahat lalu ketiduran hingga sekarang—dan ponselnya dalam keadaan silent. Tapi, ada begitu banyak kemungkinan lain. Dan kebanyakan adalah kemungkinan yang menyeramkan.
Mungkin saja dia tiba-tiba sadar bahwa aku memang bukan pasangan yang cukup baik untuknya dan karenanya dia memutuskan untuk menghindariku. Atau mungkin dia memang hanya mengajakku ke prom sebagai sebuah ledekan. Mungkin dia memang sudah merencanakan untuk tidak datang sejak dari permulaan. Karena yang sebenarnya, bagaimana seorang anak lelaki yang punya segalanya seperti Milton, bisa jatuh hati pada seorang yatim piatu seperti diriku?
Aku menggeleng. Aku harus menghilangkan semua pikiran negatif ini dari benakku. Milton tidak seperti itu. Milton mencintaiku. Lalu aku terpikir kemungkinan yang lebih buruk lagi. Sesuatu telah terjadi pada dirinya! Jangan-jangan dia terlibat sebuah kecelakaan! Dengan cepat aku mengeluarkan ponselku lagi untuk meneleponnya. Tolong..., tolong angkat. Aku tidak marah karena kau tidak datang. Tolong.
Dia tetap tidak mengangkatnya. Aku berlari ke gedung asramanya. Petugas keamanan tidak membiarkanku masuk. Anak-anak perempuan memang tidak diperbolehkan masuk ke asrama anak lelaki. Aku meminta bantuannya untuk memeriksa kamar Milton, dan dia memintaku menunggu.
Aku menunggu selama lima menit saja tapi lima menit itu terasa bagaikan berjam-jam. Akhirnya petugas itu kembali dan memberitahuku bahwa kamar Milton kosong. Dia lalu menelepon penjaga gerbang sekolah dan mendapat kabar bahwa Milton telah dijemput walinya sore tadi.
Tiba-tiba aku tahu apa yang sedang terjadi. Pastilah Milton sedang dalam perjalanan bertemu orangtuanya! Pasti seperti itu. Mungkin Mr. Blake tadi tiba-tiba datang untuk menjemputnya sehingga dia tidak sempat memberitahuku. Jika dia ingat untuk membawa ponselnya, pastinya ponsel itu dimatikan saat Milton bertemu dan bercakap-cakap dengan orangtuanya untuk pertama kalinya. Aku tersenyum. Aku membayangkan dirinya di dalam pelukan ibunya. Aku berjalan kembali ke kamarku. Dia pasti akan menceritakan segalanya padaku setelah dia kembali.
Aku tidak sabar untuk mendengarkannya.
***
Roger
Seharusnya aku senang karena harapanku tercapai. Anak lelaki tak tahu diuntung itu benar-benar tidak datang sama sekali. Tapi, aku tidak senang. Aku terluka karena melihat kekecewaan pada wajah sang putri. Sang putri tidak membiarkanku menemaninya menunggu di depan gedung. Dia menyuruhku untuk masuk lebih dulu. Aku pun masuk. Tapi aku lalu keluar lagi dari pintu belakang. Tentu saja aku tidak akan membiarkan sang putri menunggu seorang diri.
Satu setengah jam kemudian, ketika dia berjalan ke arah asrama murid laki-laki, aku membuntutinya dari jauh. Dia lalu bercakap-cakap dengan petugas keamanan tapi aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan. Dari sana dia kembali ke gedung asramanya. Aku menunggu sebentar di luar hanya untuk melihat apakah dia keluar lagi atau tidak. Baru setelah dia mematikan lampu kamarnya, aku pergi.
Anak bernama Milton itu benar-benar tidak muncul malam ini! Aku merasakan amarahku mulai tumbuh. Sejak hari ini, aku harus benar-benar mengawasi anak lelaki itu. Tidak ada orang yang boleh menyakiti hati sang putri tanpa dihukum.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top