Bab 13
Roger
Sang putri sama sekali tidak seperti yang kubayangkan. Karena dia tidak berada di tempat yang dikatakan Ayah, perlu waktu sedikit lebih lama untuk mencarinya. Tapi tidak terlalu lama. Beberapa hari di kantor-kantor instansi, di depan internet, dan di kantor private investigator menghasilkan cukup informasi untuk mencarinya. Kemampuan berbahasaku membantu.
Semua jam-jam yang kuhabiskan di dalam kelas mendengarkan guru aneh berbicara dalam bahasa aneh itu akhirnya ada hasilnya. Rupanya guru kami bukan orang aneh. Dia hanya..., berbeda. Dan itu karena dia berasal dari tempat ini.
Tempat ini sendiri sesungguhnya tidak jauh berbeda dari tempat kami. Harus kuakui, Ayah dan Sang Ratu telah memilih dengan baik. Fakta bahwa duarsi memang dinilai berharga di mana-mana, amat membantu. Di sini mereka menyebutnya berlian. Aku dapat menjual duarsi yang dibawakan Ayah dengan mudah. Dengan uang yang kudapat, aku berhasil membeli semua yang kubutuhkan termasuk hal yang paling penting, identitas.
Aku bahkan menyukai nama yang kudapat untuk diriku sendiri. Nama itu memang milik seseorang yang sudah meninggal tapi aku toh tidak dalam posisi bisa memilih. Melamar menjadi guru di Carter juga tidak sulit. Apalagi jika kau memosisikan dirimu sebagai seseorang yang begitu ingin menanamkan pengetahuan dan kebijakan pada generasi yang lebih muda, sampai kau rela dibayar hanya setengah dari standar gaji yang berlaku karena mengajar adalah panggilan hidupmu. Aku bahkan akan setuju bila harus bekerja sukarela tapi itu mungkin malah mencurigakan.
Jadi di sinilah aku, duduk di sebuah kantor kecil mengerjakan hitungan-hitungan dengan sebaris murid, kebanyakan wanita, di depan pintuku. Tidak, sang putri tidak ada di dalam antrean. Bahkan selama seluruh semester ini, tidak pernah sekali pun dia datang meminta bantuanku. Nilai-nilainya juga selalu baik. Pastinya otak Chitrasca-nya membantu. Sebelum aku datang, aku membayangkan dirinya sebagai gadis sombong yang selalu berjalan dengan dagu terangkat tinggi dengan beberapa teman yang selalu mengikutinya. Ternyata dia sama sekali tidak seperti itu. Dia hampir selalu sendirian, kecuali bila sedang bersama dengan murid lelaki itu. Aku belum tahu apakah murid lelaki itu akan menjadi halangan misiku.
Alih-alih berjalan dengan dagu diangkat tinggi, sang putri hampir selalu sedang duduk dengan mata tertumpu pada bukunya, mencoba untuk tidak menarik perhatian. Dia bahkan bekerja di perpustakaan! Sebenarnya Ayah pasti telah menyediakan cukup uang agar dia dapat hidup nyaman. Amat tidak beruntung, pengasuhnya meninggal dan membiarkannya hidup sendirian. Tapi, dia toh sudah berhasil membawa dirinya ke titik ini. Mungkin dia memang punya kualitas seorang putri. Walaupun seorang putri biasanya lebih cantik dari dirinya. Tapi mungkin itu hanya karena caranya berpakaian.
Karena sudah berhasil menemukan dirinya, aku tinggal menunggu waktu membawanya pulang sambil memastikan dia ada di dalam pengawasanku. Tidak, aku belum mengambil keputusan bagaimana aku akan melakukannya. Aku masih terbagi di antara menjelaskan semuanya kepadanya supaya dia mau ikut denganku ketika waktunya tiba, atau mengagetkannya dan membawanya pergi sebelum dia punya waktu untuk memikirkannya. Toh, tubuhnya mungil, jadi tidak akan masalah bila aku harus menyeretnya sekalipun.
Kembali ke murid lelaki tadi. Aku tidak tahu apa yang dilihat sang putri di dalam dirinya. Dia tidak berada di salah satu kelasku tapi jika kuperhatikan, dia datang dan pergi ke sekolah sesuka hatinya seolah sekolah ini miliknya. Sama sekali bukan orang yang berdisiplin. Jika aku kepala sekolah di sini, murid itu pasti sudah kukeluarkan sejak lama.
***
Andrea
Ketika aku membuka pintu, aku melihatnya. Dia berdiri di gang, bersandar pada dinding di seberang kamarku seolah sudah menantiku selamanya. Jantungku melompat. Efek itu tidak pernah pudar walaupun kami sudah bersama berbulan-bulan.
Entah kapan aku akan terbiasa melihatnya. Apakah akan tiba waktunya saat aku dapat memandangnya tanpa membangunkan setiap sel pada tubuhku?
"Bagaimana kau bisa masuk ke asrama putri?" tanyaku.
Milton tersenyum.
"Aku punya caraku sendiri," katanya sambil mengulurkan tangan.
Aku menyambutnya tanpa berpikir. Secara otomatis pula langsung tersirat betapa membosankannya hidupku sebelum aku mengenalnya. Sedihnya, aku sadar bahwa hal seindah ini tidak mungkin bertahan selamanya. Aku menegang. Apakah benar-benar ada cara yang baik untuk putus dengan seseorang yang benar-benar kau sayangi? Apakah lebih baik cepat seperti jatuhnya kapak atau apakah lebih baik perlahan seperti jatuhnya tetesan air?
"Ayo, kita jalan-jalan!" katanya sambil melingkarkan tangannya pada pinggangku.
Ternyata jalan-jalan itu bukan hanya sebuah jalan-jalan biasa. Itu lebih seperti misi pencarian jejak. Milton mengajakku ke kafeteria di mana kami menemukan sebuah amplop bernomor dan sebuah catatan di dekat tempat teh. Catatannya memberitahukan tempat selanjutnya yang harus diperiksa untuk mendapatkan amplop berikutnya.
Kami pergi ke kandang kuda, ke ruang olahraga, dan ke baris rak buku terakhir di perpustakaan lantai tiga di mana kami bercumbu dulu sejenak sebelum melanjutkan misi pencarian jejak ini. Apakah ada waktu yang tepat untuk putus dengan seseorang yang benar-benar kau sayangi? Apakah saat kau rasakan bibirnya pada bibirmu, ketika napas menyatu, saat hatimu dan hatinya berdetak bersama itu waktu yang tepat?
Sudah waktu makan malam ketika kami berhasil mengumpulkan semua amplopnya. Saat itu, barulah Milton memperbolehkan diriku membukanya. Di dalam setiap amplop ada secarik kertas bertuliskan satu kata dalam tulisan tangan Milton. Kata-kata itu membentuk kalimat: Maukah kau pergi ke prom denganku? Dan walaupun aku tahu aku harus bilang tidak, aku memeluknya dan bilang iya.
***
Milton
Dia bilang, iya. Tentu saja dia akan bilang iya. Aku tahu itu. Tapi ketika dia memang benar-benar bilang iya, aku tidak menyangka aku akan begitu lega dan senang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top