Bab 12
Andrea
Jess terus saja membicarakan guru Matematika baru itu. Dan itu ajaib karena Jess biasanya bukan orang yang banyak bicara. Karena guru itu berdarah oriental, Jess merasa orang yang tepat untuk jadi teman membahas sang guru adalah diriku hanya karena aku juga berdarah oriental.
"Matanya sipit tapi justru membuatnya terlihat begitu pintar!" katanya.
Aku mendengus. Itu kali ke lima dia mengatakan hal semacamnya dalam satu jam terakhir ini. Ketika aku tidak memberikan reaksi, dia menyodokkan telunjuknya ke bahuku.
"Sakit, tahu," kataku. Itu benar karena kuku-kuku Jess selalu hitam dan panjang.
"Kira-kira apakah dia akan memperhatikanku bila aku menghitamkan rambutku?"
Aku mengangkat bahu dan berharap dia cepat kembali ke kamarnya supaya aku dapat melanjutkan pekerjaan rumahku. Aku harus menyelesaikannya sebelum memulai shift soreku di perpustakaan setengah jam lagi.
Jess bukan satu-satunya yang bersemangat tentang Mr. Roger Lee, guru Matematika baru Carter. Mr. Lee masih muda, tinggi, ganteng, dan sangat pandai. Semua gadis kutu buku di Carter sudah jatuh cinta padanya sejak hari pertama. Rupanya dia juga sudah mulai menarik perhatian gadis-gadis bukan kutu buku juga. Itu aneh sebenarnya mengingat Mr. Lee sendiri juga adalah seorang kutu buku kelas satu. Kepalanya mungkin hanya berisi angka. Kita juga belum pernah melihat dirinya tersenyum. Tentu saja wajahnya yang ganteng itu membantu. Tapi jika kau tanya diriku, aku tidak suka wajah ganteng yang jarang tersenyum.
"Oh, aku harus pergi. Jam kantor Mr. Lee mulai sepuluh menit lagi. Harus tiba di sana sebelum antreannya panjang," kata Jess.
Aku memang sudah dengar bahwa kantor Mr. Lee selalu ramai. Murid-murid biasanya menghadap guru bila mereka punya pertanyaan atau jika ada bagian dari pelajaran yang mereka tidak mengerti. Tapi kantor Mr. Lee selalu dipenuhi gadis-gadis yang datang untuk pamer kemampuan, untuk membuat Mr. Lee tahu bahwa mereka mengerti yang diajarkannya.
Yah, ada juga sebagian yang menggunakan strategi kebalikannya. Mereka berpura-pura tidak mengerti supaya mendapatkan kesempatan diajari secara pribadi oleh Mr. Lee. Aku tidak tahu strategi mana yang akan digunakan Jess. Tapi aku tidak sempat bertanya karena dia sudah keluar dari kamarku, membiarkanku kembali pada pekerjaanku.
***
Milton
Pesta dansa musim dingin akan segera tiba. Tentu saja aku akan pergi dengan Andrea. Belum, aku belum memintanya. Aku masih mencari cara untuk memintanya. Harus sebuah cara yang tidak terlupakan. Cara romantis yang akan diingatnya seumur hidupnya.
Persoalannya adalah aku tidak punya ide sama sekali. Berlutut sambil memegang sebatang mawar terlalu biasa. Aku yakin jutaan pria sudah melakukan hal itu sebelumnya. Bernyanyi sambil bermain gitar di bawah jendela juga bukan sesuatu yang baru. Aku perlu sesuatu yang orisinil. Sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Atau paling tidak belum dilakukan selama seratus tahun terakhir ini.
Aku meminta pendapat Dale, tapi dia tidak berguna. Jika pun dia punya ide cemerlang, berani taruhan dia tidak akan memberitahuku. Dia tidak suka fakta bahwa aku belum juga memutuskan Andrea. Aku memang tidak berniat melakukan itu. Dale memandangku dan menyuruhku untuk melupakan saja pesta musim dingin itu—dan sekaligus melupakan Andrea—karena ada hal yang lebih penting daripada pesta musim dingin—dan Andrea.
Mataku melebar.
"Apakah orangtuaku akan datang?" tanyaku.
Tentu saja itu hal pertama yang datang ke benakku ketika Dale menyebut sesuatu yang penting. Dale berpikir sebentar, tapi lalu menggelengkan kepalanya. Harapanku lenyap. Jika demikian, berarti aku tidak punya hal yang lebih penting daripada mencari cara tak terlupakan untuk mengajak Andrea ke pesta.
***
Andrea
Pesta dansa musim dingin tinggal sebentar lagi. Tapi aku tidak yakin apakah aku harus pergi. Milton pasti akan mengajakku. Dia sempat menyinggungnya sekali dua kali. Dia bertanya apa warna gaun yang akan kukenakan seolah dia perlu menyiapkan pakaian yang senada denganku. Dia bertanya apakah aku lebih suka limosin hitam atau putih dan kujawab tidak keduanya karena tentu saja kami tidak butuh limo untuk mengangkut kami dari asrama ke ruang dansa sekolah yang jaraknya hanya beberapa ratus meter saja.
Belum, dia belum bertanya terang-terangan apakah aku bersedia pergi ke pesta dansa dengannya. Tapi aku yakin dia akan bertanya cepat atau lambat. Apakah aku akan bilang iya? Yang sebenarnya, aku sadar bahwa aku harus bilang tidak. Persoalannya adalah, aku tidak punya sepotong gaun pun yang pantas untuk kupakai ke pesta dansa.
Ya, aku tahu. Mempersoalkan gaun adalah pemikiran yang dangkal. Gaun tidak penting. Kamu dapat mengenakan gaun apa saja ke pesta. Tapi sekali-kali aku ingin terlihat cantik, paling tidak secantik gadis-gadis lain di ruangan itu. Aku tidak ingin Milton malu karena harus berdiri di sampingku.
Tidak, itu bukan alasan sesungguhnya kenapa aku merasa harus bilang tidak. Alasan sesungguhnya adalah..., aku tahu seharusnya aku minta putus dari Milton. Perasaanku untuknya telah bertumbuh di luar kekuasaanku. Dan aku tidak nyaman. Setiap saat aku tidak dapat berhenti memikirkannya. Aku suka bersama-sama dengannya. Pada waktu-waktu di mana aku tidak bersama dirinya, aku sibuk menantikan saat bersama dirinya lagi. Aku tidak boleh bergantung seperti ini pada orang lain. Tidak bisa.
Milton terus-menerus mengatakan bahwa dia tidak akan pernah meninggalkanku. Tapi siapa yang memberinya kemampuan untuk membuat janji seperti itu? Tidak ada makhluk hidup yang mampu memberikan janji seperti itu. Dan lagi, ternyata dia bukan seorang yatim piatu seperti diriku. Orangtuanya masih hidup, dan mungkin tidak suka dia berhubungan dengan seorang gadis yatim piatu yang tidak jelas asal-usulnya sepertiku.
Tapi aku begitu ingin pergi ke pesta dansa bersamanya. Aku ingin memasuki ruangan pesta dansa yang dihias menakjubkan itu sambil bergandengan dengannya. Aku menginginkan dirinya berdiri di belakangku ketika kami antre makanan. Dan dia pasti akan membisikkan hal-hal lucu untuk membuatku tertawa. Ujung jarinya akan menyentuh punggungku karena aku akan mengenakan gaun tanpa punggung warna hijau yang kulihat di jendela butik Claire. Sebuah gaun yang jelas-jelas tidak mampu kubeli.
Aku menginginkan lengannya pada tubuhku saat kami turun ke lantai dansa. Aku ingin mendengarkan semua janji-janji yang akan dibisikannya kepadaku. Satu saja pesta dansa. Apakah itu permintaan yang terlalu banyak?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top