Bab 1

Milton

Aku benci kunjungan ke panti asuhan. Bukankah lebih baik main bola daripada pergi ke panti asuhan? Aku tahu kebanyakan orang merasa kunjungan semacam itu penting demi mengingatkan kita untuk selalu bersyukur. Kepala sekolahku salah satu dari kebanyakan orang itu. Karena itulah setiap kelas di sekolahnya, dari tingkat TK sampai kelas 12, harus mengadakan sedikitnya dua kunjungan setiap tahunnya. Karena aku sudah bersekolah di sekolah swasta ini sejak TK, aku tidak ingat lagi berapa kali aku pernah mengunjungi panti asuhan.

Tapi, aku ingat bahwa aku membenci setiap kunjungannya.

Aku juga tahu bahwa kunjungan itu mengingatkanku untuk bersyukur karena kami, kaum yang punya harta ini, tidak pernah harus tidur dengan perut lapar.

Itu pemikiran sampah!

Yah, uang memang menyelesaikan banyak masalah. Setiap kali aku merasakan jari kakiku mulai berjejalan di dalam sepatu, aku tinggal membuangnya karena sepasang sepatu baru yang lebih besar sudah menanti di dalam lemari bajuku. Begitu waliku melihatku mengenakan sepatu baru, dia tidak akan buang waktu dan langsung membeli sepasang sepatu yang lebih besar lagi seolah khawatir kakiku akan tumbuh pesat dalam satu malam saja.

Di dalam lemari bajuku juga ada baju, celana, celana panjang, dan piyama yang lebih besar menantiku seolah seluruh dunia memang sedang menantikanku tumbuh besar. Uang jugalah yang memungkinkan diriku bersekolah di sekolah swasta terbaik dan yang membuatku bisa pergi ke dokter terbaik bahkan ketika aku hanya menderita flu biasa saja. Uang jugalah yang membelikanku makanan terbaik.

Namun, sesungguhnya, ada hal-hal yang lebih penting daripada apel sekai-ichi, jamur truffle dan jaket Burberry. Hal-hal seperti keluarga, yang tidak kumiliki. Jadi, setiap kali aku mengunjungi panti asuhan, pada saat teman-temanku memandangi anak yatim piatu seolah mereka adalah mahluk dengan spesies berbeda, aku sebenarnya sedang memandangi kaumku sendiri. Aku hanya diingatkan bahwa walaupun aku mengenakan sepatu merek Vans model terbaru dan pergi ke sekolah swasta mahal, aku sebenarnya lebih mirip anak-anak yatim piatu itu daripada teman sekelasku.

Maka pagi ini, setelah turun dari bis sekolah, ketika kami sedang berjalan ke arah pintu panti asuhan, aku menyelinap ke balik salah satu semak. Mudah saja karena aku sudah melakukan hal itu ratusan kali. Setiap kali pelajaran menjadi terlalu membosankan di kelas, dan pelajaran sering seperti itu, aku selalu menyelinap keluar. Sering kali guru tidak menyadarinya. Atau bila mereka menyadarinya, mereka biasanya terlalu lelah untuk pergi mencariku. Mungkin mereka lega si perecok nomor satu ini tidak ada di dalam kelas.

Sebenarnya, aku tidak suka dinamai perecok nomor satu. Aku hanya suka rasanya bisa melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kulakukan, dan tidak dihukum karenanya. Mungkin teman-temanku iri padaku karena aku tidak punya ibu atau ayah yang selalu berdiri di belakangku untuk membetulkan setiap langkah salah yang kuambil.

Jika mereka memang iri, berarti mereka bodoh. Betapa aku menginginkan seorang ibu yang akan cemberut ketika tahu bahwa aku baru saja mendapatkan hukuman lagi. Betapa aku ingin ada seorang ayah yang akan menghukumku setiap kali aku membolos. Waliku memang sering cemberut, dan aku juga sudah lupa berapa kali dia mengurungku di rumah. Tapi itu tidak sama. Aku tidak tahu bagaimana aku tahu perbedaannya. Aku hanya tahu.

Dengan adanya empat kelas untuk kelas empat, yang seluruhnya berjumlah 120 anak, aku yakin guru-guru tidak sadar bahwa ada satu murid yang tidak ada di ruang depan panti yang penuh sesak itu. Aku hanya akan duduk di rumput berteman semak-semak sampai waktu kembali ke sekolah. Tapi setelah beberapa saat, aku bosan. Percayalah, tidak mudah untuk anak laki-laki berusia sepuluh tahun untuk duduk diam tanpa mengerjakan apa pun lebih dari lima menit. Aku sudah mencoba mencari serangga kecil untuk kusiksa. Ada beberapa. Tapi mencabuti kaki-kaki serangga dari tubuhnya tidak terlalu seru juga. Mungkin sedikit penjelajahan tidak ada salahnya. Toh, teman-temanku masih akan ada di dalam sana selama satu jam ke depan.

Aku mengubah posisiku dari posisi duduk ke jongkok. Setelah memastikan tidak ada orang di sekelilingku, aku berdiri dengan perlahan dan berjalan ke belakang gedung panti asuhan. Di sana ada sebuah rumah kecil dari kayu yang terlihat seperti gudang. Pintunya terbuat dari kayu lapuk yang engselnya hampir lepas. Ini menarik sekali! Bangunan ini terlihat begitu berpotensi untuk menghiburku. Mungkin saja di dalamnya ada bola yang dapat kupinjam, atau lebih keren lagi mungkin ada bahan peledak yang dapat kuledakkan atau sekeluarga ular yang dapat kubebaskan.

Aku berjingkat ke arahnya dan menempelkan telingaku pada daun pintunya. Ketika aku tidak mendengarkan setitik suara pun, aku membuka pintunya. Untunglah pintu itu tidak berderik. Aku masuk ke dalam dan mencoba membiasakan mataku dalam gelap.

Saat itulah aku melihat gadis itu.

***

Andrea

Aku benci panti asuhan ini. Aku benci petugas panti yang selalu mengingatkan kami pada setiap kesempatan bahwa kami hidup dari belas kasihan mereka. Aku benci anak-anak yang tenggelam dalam perasaan ketakutan. Aku benci bau kekalahan yang beterbangan dari satu ruang ke ruang lainnya. Dan, aku benci bau apak kasurku yang tidak juga hilang walaupun sudah sangat sering kujemur. Tapi, aku lebih membenci panti asuhan ini ketika ada orang-orang yang datang berkunjung.

Tidak seperti kami, anak-anak yang datang terlihat begitu rapi dan bersih. Walaupun mereka semua memakai seragam, mereka pasti punya ratusan baju mahal yang menunggu mereka di lemari. Beberapa dari baju itu bahkan pasti tidak pernah dikenakan barang sekali pun. Benar-benar pemborosan.

Aku dulu punya banyak uang. Aku tidak bohong! Atau paling tidak, bibiku punya. Orangtuaku sudah tidak ada. Kata Aunt Nancy mereka amat menyayangiku. Tapi mereka sudah meninggal di dalam perang. Ayahku meninggal dengan gagah berani di dalam pertempuran dan ibuku..., dia tidak pernah menjelaskan apa yang terjadi pada Ibu. Walaupun aku sering sekali memohon supaya dia memberitahukan lebih banyak tentang ibu dan walaupun aku terus bertanya kenapa ibu tidak bersama kami, bibirnya selalu terkunci rapat seolah itu rahasia yang begitu penting yang harus dijaga sampai akhir hayatnya. Dan ternyata dia memang menjaganya sampai akhir hayatnya.

Walaupun Aunt Nancy punya banyak uang—yang katanya adalah uangku juga—kami tidak pernah boros. Pasta gigi selalu kami gunakan sampai titik pasta terakhir, sampai bila kau menggilas tube pasta gigi itu dengan mesin perata jalanan sekali pun, tidak akan ada lagi pasta yang keluar. Pakaian kami sederhana, yang penting nyaman dikenakan. Kami tidak pernah punya lebih dari sepuluh helai. Bukankah kami hanya perlu satu helai saja untuk menempel di tubuh kami ini?

Aku benci pandangan murid-murid itu. Mereka memandangi kami, menonton kami seolah kami ini hewan di kebun binatang. Terkadang mereka membawa makanan kecil atau cokelat dan permen. Mereka memberikannya kepada kami, persis seperti pengunjung kebun binatang yang memberikan kacang kepada monyet-monyet.

Aku benci panti asuhan. Tapi aku tidak punya pilihan lain ketika Aunt Nancy meninggal dua tahun yang lalu. Hari itu dia tidak menjemputku di sekolah seperti biasanya. Itu sangat mengherankan karena dia tidak pernah sekali pun terlambat menjemputku seolah menjemputku sama pentingnya dengan bernapas atau hal lain yang dibutuhkannya untuk tetap hidup. Bahkan ketika aku bilang padanya bahwa aku sudah cukup besar untuk ikut dengan bus sekolah seperti teman-teman yang lain, dia memandangku dengan terbelalak seolah aku baru saja mengatakan ide yang luar biasa buruk.

"Tidak, Andrea! Sampai kapan pun aku yang akan mengantarmu dan menjemputmu ke sekolah ataupun ke mana pun juga. Camkan itu baik-baik!" katanya waktu itu.

Aku hanya memutar bola mataku. Aunt Nancy memang seperti itu. Mungkin karena aku adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Jadi, ketika siang itu aku tidak melihat wajah bulat pucatnya di luar pagar sekolah, aku bingung.

Ketika guruku mengantarku pulang, apartemenku dikunci dan Aunt Nancy tidak membukakan pintu walaupun kami menggedor berulang kali. Kami harus memanggil landlord kami untuk membukakan pintunya. Dan di sana, di lantai apartemen yang selalu bersih, dia terbaring kaku. Pertamanya kukira dia hanya tertidur. Walaupun aku tidak pernah melihat Aunt Nancy tidur di lantai. Tapi guruku berteriak kaget dan segera menelepon ambulans. Aku berlutut di samping tubuh terbaringnya dan memegang pipinya. Pipi itu masih hangat. Sampai sekarang aku masih ingat rasa kulitnya pada jemari tanganku.

Aku menangis berhari-hari, dan berulang kali menjawab pertanyaan yang ditanyakan padaku. "Tidak, aku tidak punya saudara lain yang bisa dihubungi."

Beberapa hari kemudian, aku diantarkan ke panti asuhan ini. Aku tidak tahu di mana Aunt Nancy menyimpan uang kami. Dia tidak pernah memberitahuku. Kata petugas sosial yang mengantarkanku ke panti ini, Aunt Nancy tidak punya rekening bank sama sekali. Jadi, aku memang tidak punya pilihan lain selain tinggal di sini.

Aku duduk bersandar pada sebuah kotak kayu reyot sambil membaca. Buku ini sudah kubaca berulang kali. Tapi buku-buku lain di panti asuhan juga sudah kubaca berulang kali semuanya. Gudang ini satu-satunya tempat di mana aku bisa sendirian. Aku selalu ke sini bila perlu menghindar dari sesuatu seperti kunjungan dari murid-murid sekolah swasta termahal pada hari ini.

Gudang ini sudah lama tidak pernah digunakan. Mungkin petugas-petugas panti tidak punya waktu dan tenaga untuk membereskannya atau mereka yakin memang tidak ada hal berguna lagi di dalam gudang ini. Ada cerita yang beredar tentang hantu wanita berambut panjang yang tinggal di gudang ini dan sering menangis di malam hari sehingga tidak ada satu pun anak-anak panti yang suka dekat-dekat tempat ini. Oleh karena itu, tempat ini sempurna untukku.

Ketika pintu kayu reyotnya tiba-tiba dibuka perlahan, seraya sinar matahari siang berlomba masuk ke dalam ruangan gelap ini, aku tersentak kaget.

Saat itulah aku melihatnya.

***

Milton

Dia duduk berselonjor bersandarkan sebuah kotak kayu lapuk termakan rayap. Baju yang dikenakannya kedodoran dan rambut hitamnya berantakan. Tapi ada sesuatu pada matanya yang tak bisa kujelaskan, seolah mata itu punya kemampuan memandangku tanpa semua atributku, seolah dia sudah mengenalku selamanya. Atau apakah itu hanya keinginan atau imajinasiku saja karena rambut berantakan dan baju kedodoran itu tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa di hadapanku duduk gadis paling menarik yang pernah kulihat?

***

Andrea

Dia berdiri dengan satu tangan pada saku celana seragamnya dan satu tangan pada daun pintu. Untuk sesaat dia tidak melakukan apa-apa selain menyipitkan matanya. Lalu dia melihatku. Kekecewaan menyerbuku seperti air bah.

Sejak datang ke panti ini, aku memelihara harapan rahasia bahwa suatu hari nanti, ibuku akan datang. Dia akan membebaskanku dari tempat ini dan kami berdua akan hidup bahagia selamanya.

Jadi, ketika pintu kayu itu dibuka dari luar padahal aku tahu tidak ada seorang pun di panti asuhan ini yang akan melakukan itu, aku berharap itu adalah ibuku yang akhirnya sudah berhasil menemukan diriku. Bukankah setiap ibu pasti punya hubungan batin dengan anak gadis mereka? Bukankah mereka punya semacam radar yang terus memantau anak gadis mereka? Bukankah hanya tinggal masalah waktu sebelum ibuku datang?

Yah, waktu itu bukanlah hari ini. Yang membuka pintu hanya seorang anak lelaki kaya yang kurus. Aku berdiri dan berjalan dengan cepat ke arah pintu. Dia tidak bergeser untuk memberiku jalan, tapi aku tidak peduli. Aku menerobos melewatinya dan berjalan keluar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top