Z. Harmonica
Pulang ke rumah ketika langit masih berwarna biru adalah hal yang langka bagi Mila. Kemungkinannya hanyalah satu dibanding seratus. Namun sialnya, untuk mendapatkan salah satu dari hari "spesial" itu, dia harus jatuh sakit terlebih dahulu. Miris banget, kan?
"Loh, Mil? Kamu sakit?"
Mama langsung tahu apa yang terjadi begitu Mila muncul dari balik pintu ruang tamu. Wanita paruh baya itu buru-buru menaruh kuas lukisnya dan tergopoh-gopoh menyongsongnya. Tangannya dengan cepat meraba kening Mila, kemudian berpindah ke pipi, dan kembali berakhir di kening.
"Aku nggak demam, Ma." Mila tertawa kecil sembari berkelit menghindari tangan ibunya. Mungkin karena dia tergolong orang yang jarang sakit, makanya sekalinya sakit malah diperlakukan begini. "Tamu bulanan, sih. Biasa. Tapi tumben ini nyeri banget."
"Ya sudah, sana istirahat. Mau Mama bikinin teh?"
"Boleh deh, Ma."
Sembari terus menahan nyeri di perut bagian bawahnya, Mila melangkah tertatih menyusuri tangga. Satu-satunya hal yang diinginkannya saat ini hanyalah rebahan.
Begitu Mila sampai di hadapan pintu kamarnya, sayup-sayup terdengar suara harmonika. Nadanya tidak beraturan, panjang pendeknya tidak jelas, kadang melengking kadang melunak. Bahkan dari balik pintu tertutup saja suara sumbangnya tetap sanggup mengganggu pendengaran. Sepertinya si peniup harmonika berniat memainkan lagu "My Heart Will Go On", tapi belum apa-apa tampaknya dia sudah megap-megap di pertengahan lagu. Mila menghela napas pasrah. Sepertinya keinginannya untuk tidur-tiduran mesti ditunda dulu untuk sementara waktu.
Dia membuka pintu dan berjalan mendekati jendela. Bunyi harmonika tersebut terdengar semakin keras begitu dia mendorong jendela hingga terbuka.
"Mau request lagu, dong!" teriaknya.
Rion--tetangga samping rumahnya yang sejak tadi sibuk memainkan harmonika--nyaris terjungkal dari posisinya. Laki-laki itu buru-buru turun dari kusen jendela tempatnya duduk dan memutar tubuh menghadap Mila.
"Astaga, Mil!" Sebelah tangan Rion mengusap-usap dada. "Kalau tadi aku jatuh gimana?"
Mila menarik kursi kecil yang ada di depan meja rias dan meletakkannya di dekat jendela. "Untungnya enggak," tukasnya sambil mengambil posisi duduk dan menumpukan lengannya di kusen jendela.
"Horor banget tahu! Kirain aku baru saja disapa hantu. Lagian tumben banget pulang pas hari masih terang." Tak lama kemudian, Rion melihatnya lekat-lekat dengan kening berkerut. Matanya menyipit dan bibirnya terkulum. "Tunggu. Kamu benar-benar Mila, kan? Bukan hantu penunggu kamar yang sedang menyamar jadi Mila?"
Di hari biasa, mungkin Mila akan menyambut gurauan itu dan berpura-pura seolah dirinya hantu, lalu mengerjai Rion yang terkenal penakut. Namun, perutnya yang nyeri membuatnya kehilangan mood untuk melakukan itu.
"Lagi nggak enak badan," jawabnya singkat.
"Sakit haid?" Rion bertanya ragu-ragu.
"Menurutmu?"
"Kayaknya sih ... iya." Rion tertawa kecil, entah apa yang lucu. "Sudah minum obat?"
Mila menggeleng.
"Sudah makan?"
Lagi-lagi Mila menggeleng.
"Lalu kamu maunya gimana?"
Sekarang giliran Mila yang tertawa. Sepertinya Rion takut kena semprot. Pria itu sudah belajar dari pengalaman. Apa pun yang terjadi, jangan bikin kesal cewek yang sedang haid. Titik.
"Mainkan lagu saja, deh. Yang merdu, ya."
Rion memandangi harmonikanya canggung. "Kan kamu tahu sendiri gimana kemampuanku. Kalau permainan harmonikaku merdu, aku nggak perlu repot-repot jadi artis."
"Apa hubungannya?" Mila memutar bola mata malas. "Kalau begitu mainkan semampumu saja."
Tadinya Mila memang hanya ingin langsung tiduran ketika masuk kamar. Namun, melihat sosok Rion, entah kenapa dia langsung berubah pikiran. Ini pertemuan pertama mereka dalam dua minggu terakhir. Meskipun bertetangga, frekuensi pertemuan mereka dalam sebulan bisa dihitung dengan jari. Rion jarang ada di rumah, terkadang dia harus pergi syuting ke luar kota bahkan luar negeri. Sementara itu, Mila sendiri pun terlalu sibuk bekerja dan hanya ada di rumah ketika hari sudah gelap.
Karena itu, pertemuan kali ini tidak boleh disia-siakan.
"Berhubung aku nggak tahu satu pun lagu-lagu lawas kesukaanmu, aku mainkan yang kutahu saja, ya?"
"Iya." Mila mengangguk setuju.
Tak lama kemudian, lagu "Sempurna"-nya Andra and The Backbone mengalun dengan sumbang. Mila merebahkan kepalanya di atas lengan. Semilir angin membelai lembut wajahnya dan sementara itu tatapannya terpaku pada sosok Rion yang sedang berkonsentrasi penuh. Diam-diam dia tersenyum kecil.
Syukurlah hari ini dia pulang cepat.
***
BAB 26:
"Buatlah cerita yang mengandung 3 kata ini: Biru, Harmonika, Jendela. Minimal 500 kata. Kata harus ditulis secara berurutan dari Biru-Harmonika-Jendela."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top